Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

27 Januari 2010

AJI Serukan Jurnalisme Dengan Perspektif Anak

Press Release

Dalam beberapa hari terakhir, media massa ramai memberitakan kasus penculikan, mutilasi, dan kekerasan seksual dengan korban anak-anak. Kasus paling menonjol adalah kasus mutilasi Baekuni dengan korban 10 anak.

Berita tentang kejahatan yang menimpa anak-anak biasanya selalu menarik perhatian pembaca/pemirsa. Soalnya, ada kedekatan secara psikologis antara subjek berita (anak) dengan pembaca/pemirsa yang tidak lain adalah orang tua, paman/bibi, atau saudara tua dari anak-anak. Paling tidak, semua pembaca/pemirsa pernah melewati masa kanak-kanak.

Masalahnya, pemberitaan tentang anak kerap kurang mempertimbangkan kemungkinan si anak menjadi korban secara berulang-ulang. Anak yang telah menjadi korban kekerasan, bisa juga menjadi korban pemberitaan. Dalam kasus berita anak pengidap HIV/AIDS, misalnya, si anak yang telah menjadi korban ketidaktahuan atau ketidakhati-hatian orang tuanya, setelah diberitakan, bisa juga menjadi korban stigma dan perlakuan buruk dari masyarakat sekitarnya. Misalnya, ketika si anak dan keluarganya dikucilkan dari lingkungan tempat tinggalnya.

Begitu pula dengan anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual. Setelah wajah si anak difoto dan ditampilkan secara utuh tanpa dikaburkan, atau identitas (seperti nama, alamat, dan sekolah) si anak dimuat tanpa disamarkan, setelah diberitakan, dia dipaksa menanggung rasa malu atau kembali mengingat peristiwa traumatik yang pernah dia alami.

Munculnya istilah 'razia dubur' bagi anak jalanan, juga berbagai pemberitaan tentang razia tersebut, sangat berpotensi membuat si anak yang telah menjadi korban kekerasan seksual untuk kembali menjadi korban pemberitaan. Padahal, jangankan dalam kasus anak-anak yang jadi korban. Dalam memberitakan anak-anak yang menjadi pelaku tindak kriminal pun, kemasan beritanya tetap harus memposisikan si anak sebagai korban (korban kekacauan rumah tangga, korban salah asuh, korban dari sistem pendidikan yang teramat mahal sehingga si anak tidak bisa sekolah, dan seterusnya).

Di lapangan, masih ditemui jurnalis yang tidak menggunakan jurnalisme perspektif anak. Misalnya masih ada wartawan yang bertanya pada anak, “Apakah kamu pernah disodomi?”, “Apa yang ada dalam benak kamu kalau di sodomi”. Kalimat itu dilontarkan kepada anak jalanan secara langsung. Itu pun dengan mengggunakan cara bertanya yang kasar. Tak ada empati sama sekali dari jurnalis. Ini tentu bukan perilaku jurnalis yang menerapkan jurnalisme perspektif anak.

Berkaitan dengan pemberitaan anak sebagai korban kejahatan susila atau anak yang menjadi pelaku tindak kejahatan, bersama ini kami dari Aliansi Jurnalis Independen kembali mengingatkan para jurnalis (reporter, redaktur, dan produser) serta penanggung jawab ruang redaksi untuk memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Jurnalis menerapkan Kode Etik Jurnalistik pasal 5 yang berbunyi :”Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

2. Jurnalis menerapkan prinsip dasar meliput anak yang dikeluarkan oleh International Federation of Journalists (IFJ). Beberapa di antaranya adalah menghindari eksploitasi dan sensualisme anak, menghindari seksual image terhadap anak di media. Serta tidak mengekspose anak secara berlebihan.

3. Jurnalis menerapkan isi Pedoman Perilaku Penyiaran, khususnya pasal 5 ayat f yang menyebutkan, "Lembaga penyiaran melindungi kehidupan anak-anak, remaja dan perempuan," dan Pasal 18 soal 'Narasumber Anak dan Remaja' yang menyebutkan lembaga penyiaran harus mengikuti sejumlah ketentuan seperti:

a. Anak dan remaja, di bawah 18 tahun, tidak boleh diwawancarai mengenai hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya.

b. Keamanan dan masa depan anak dan remaja yang menjadi narasumber harus dipertimbangkan.

c. Anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses pengadilan terlibat dengan kejahatan seksual atau korban dari kejahatan seksual harus disamarkan atau dilindungi identitasnya.

Demo 28 Januari yang Sangat Penting, itu,..

Iman D. Nugroho

Tanggal 28 Januari ini, bisa jadi menjadi hari yang sangat bersejarah bagi Indonesia. Setelah mantan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBYlah yang akan didemo oleh puluhan ribuan orang. Seratus hari masa kepemimpinan presiden yang pernah mengklaim diri sebagai Presiden dengan dukungan mayoritas rakyat dalam Pemilu itu, akan benar-benar akan diwarnai dengan ungkapan kekecewaan.

Mengapa demonstrasi? Pertanyaan ini selalu saja ada ketika sebuah demonstrasi akan digelar. Jawabannya sangat sederhana: karena cara inilah yang terbukti sangat efektif untuk menunjukkan ekspresi tentang sesuatu. Apalagi di Indonesia. Sejauh yang Saya tahu, demonstrasi masih menjadi mekanisme yang paling tepat untuk mengekspresikan rasa yang kita punya. Dalam konteks pemerintahan sekarang apalagi. Apa masih mau bersandar pada DPR/MPR yang hampir semuanya mendeklarasikan diri menjadi anggota koalisi pro SBY? Hmm,..jelas tidak.

Belum lagi, DPR/MPR adalah arena ganas bola liar politik. Setiap persoalan yang digulirkan di Senayan, akan dinilai benefit apa yang mungkin akan didapatkan, bila diurus di Senayan. Bukannya berpikir rakyat sebagai ukurannya. Sangat menjijikkan. Lihat saja persoalan Bank Century. Semangat untuk mencari kebenaran dalam kasus itu, menjadi bergeser manjadi semangat untuk menjatuhkan Pemerintahan. Saat ada usulan memanggil SBY sebagai orang yang dianggap tahu, justru dimaknai beragam, berlawanan.

Karena itulah, gerakan politik demonstrasi, memang masih menjadi pilihan. Saya tidak menutup mata, demonstrasi juga bisa "dijual". Dengan broker yang memainkan harga Rp.25 ribu/kepala misalnya akan mudah menggelar demonstrasi tergantung pesanan. Tapi, itu tidak semuanya. Sangat gampang membedakan mana demonstrasi asli, dan mana yang bayaran. Secara fisik, lihat saja massa demonstrasi. Apakah mereka cukup memiliki kapasitas untuk meneriakkan isu yang diusungnya? Lalu, lihat yang berorasi. Kalau hanya orang-orang itu-itu juga, tanpa ada perwakilan dari elemen massa aksi, berarti ada yang "aneh".

Dan yang terakhir, lihatlah isunya. Ini butuh analisa sedikit. Misalnya, ketika atmosfir politik mengecam X, sementara demonstrasi itu justru membela X, maka lagi-lagi, ada yang "aneh". Namun, demokrasi adalah arena perbedaan. Silahkan saja mengusung isu apa saja, asalkan dilaksanakan dengan demokratis. Dan untuk yang akan didemo, tenang saja. Tidak usah panik, takut atau bahkan mencurigai ini dan itu.

Rakyat Indonesia yang sudah pintar ini cinta negerinya. Semua dilakukan atas dasar masa depan yang lebih baik. Jadi, yang sepakat dengan demo 28 Januari, ayo bergabung. Untuk yang tidak sepakat, lanjutkan kehidupan, sambil berdoa agar kebaikan tetap terjadi di Indonesia. Bagi SBY yang akan di demo, kalau urusan Banten sudah selesai, segera balik ke Istana Merdeka ya,... :P

26 Januari 2010

Ini Lho Tampang Pak Presiden Kalau Marah-Marah

Iman D. Nugroho | Youtube.com

Di balik wajahnya yang kalem, penampilan yang selalu rapi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sering juga marah. Empat video yang bisa disaksikan di youtube.com ini memunjukkan SBY yang sedang marah. Semoga, bukan kemarahan seperti ini yang ditunjukkan SBY ketika melihat rakyat menggelar demonstrasi besar pada 28 Januari 2010 ini. "Sabak par,..eh salah,..sabar pak!"



Bekas Rias Tertoreh di Solo, Jawa Tengah

Press Release

Monolog ‘Bekas Rias di Panggung’ Tour on Solo, menampilkan empat aktor sepuh berusia mendekati 60 tahun ke atas. Pementasannya akan berlangsung di Teater Arena, Taman Budaya Jawa Tengah, Jl. Ir. Sutami 57 Surakarta, Kamis malam, 28 Januari 2010, mulai pukul 19.00.

Keempat aktor yang akan bermonolog ini, yaitu Multato (60 tahun), Mastohir (65), Fatimah (60) dan Suliswanto (58), masing-masing berasal dari basic seni pertunjukan teater yang berbeda-beda. Multato, misalnya, mendalami teater modern. Dia aktor kawakan dari kelompok Sanggar Teater Nuansa.

Sementara itu, Mastohir, Fatimah dan Suliswanto adalah aktor yang berangkat dari seni teater tradisi. Mastohir adalah anggota Kelompok Srimulat, pernah menjadi Sutradara di kelompok yang membesarkan nama Tarzan, Basuki, Timbul, Asmuni, dan lain sebagainya ini, di tahun 1980 hingga pertengahan 1990-an. Sedangkan Suliswanto adalah pemain Ludruk dan pernah menjadi Sutradara Ludruk RRI selama dua dasawarsa. Sementara itu, Fatimah, di masa mudanya adalah aktris Ketoprak.

Di masanya, mereka adalah aktor yang pernah menjadi kebanggaan Kota Surabaya. Hingga kini, boleh dibilang, mereka adalah orang-orang yang tampaknya sudah mantap memilih jalan hidup lewat teater. Terbukti, meski sudah lama tidak memperoleh ruang tampil, keempatnya masih selalu hadir di setiap peristiwa kebudayaan, khususnya dalam even-even pementasan teater, baik di Surabaya maupun di luar kota, walau sekadar hanya menjadi penonton.

Untuk pentas monolog ‘Bekas Rias di Panggung, 28 Januari di Surakarta nanti, mereka telah menyiapkan perannya masing-masing. Fatimah akan mementaskan lakon 'Sritanjung', sebuah kisah legenda dari Banyuwangi. Mastohir akan menampilkan lakon ‘Jo Kasmo’ yang diilhami naskah Nyanyian Angsa, karya Anton Chekov. Multato akan memainkan lakon ‘Maling’, naskah karya Yulius Siramanual. Sedangkan Suliswanto akan
memungkasinya dengan lakon karyanya sendiri yang berjudul 'Mak Satona’.

Mereka layak diketengahkan kembali dengan format monolog seraya menakar kekuatannya berakting. Karena itu kami sangat mengharap kehadiran Anda untuk menyaksikannya.


[ Think Sport ] Indonesia Tanpa One

Jojo Raharjo | Iman D. Nugroho [photo]

Bonek kembali menjadi bahan pembicaraan. Di Solo, Jawa Tengah, suporter Persebaya Surabaya itu memukuli jurnalis foto Antara. Tak lama kemudian, massa yang marah dengan aksi Bonek menyerang KA yang membawa rombongan Bonek menuju ke Surabaya. Berikut ini pengalaman mengerikan saya tentang suporter yang pernah dimuat di Iddaily.

Sebuah pengalaman kecut nan traumatik saya alami akhir pekan lalu: nyaris ditelanjangi di di kawasan tempat saya tinggal!


Sabtu, 18 November 2006, pukul 21.00 WIB, saat berjalan kaki kembali masuk ke dalam gang menuju rumah, setelah mengantarkan seorang sahabat mencari taksi, seorang pemuda memepetku ke tembok gang.“Hei, kamu tinggal di mana-mana?" ia bertanya.

Sekejap, pikiran cepatku bekerja: ini pasti gara-gara badanku memakai kaos hijau dengan tulisan Bonek, kelompok suporter garis keras pendukung Persebaya. Analisa yang tak meleset karena sekilas mataku melirik, pemuda itu memakai kaos putih bertuliskan Jakmania. Maka, skenario terburuk pun melintas dalam angan, "Siap-siap gembuk..."

Maklum saja, daerah Pondok Pinang –- yang hanya berjarak 2 kilometeran dari Stadion Lebak Bulus -- adalah salah satu wilayah di Jakarta yang menjadi basis pendukung fanatik The Jak alias Persija. Bahkan, di tembok tempatku dipepet itu, terpampang grafiti yang mengagungkan The Jak, dan melecehkan Persib Bandung dan kelompok supporter Viking. Ada pula coretan besar terbaca, “Gendut Doni, Tolol…” Gendut Doni, ialah ikon Persija ketika Juara Liga Indonesia VIII, yang pada musim lalu pindah ke Persib, musuh seumur hidup Jakmania.

Kembali ke kisah traumatik tadi. Pemuda ceking itu membentak, berteriak, sambil menunjuk-nunjuk muka, “Gua di Surabaya dihancurin ama bonek.”

Walah, saya semakin tersudut, meski sudah kujelaskan, saya bukan orang baru di kampung itu. Sudah pula kujelaskan, saya ini wartawan yang hobi mengoleksi kaos supporter klub-klub sepakbola seantero nusantrara. Apa daya, pemuda itu tetap tidak terima, memaksaku melepas kaos Bonek. Oke, tanpa perlawanan, kuturuti.

Seorang bapak mencoba mengamankan situasi. “Mas, kalau di sini jangan pakai kaos itu. Ini daerahnya Persija,” katanya, setelah menyaksikan diriku bertelanjang dada.

Namun, belum puas menyaksikanku setengah bugil, pemuda tadi merampas kaos Bonek yang kugenggam. Kaos seharga 30 ribu perak yang kubeli saat menyaksikan Putaran Final Liga Indonesia XI di Senayan tahun lalu.

Hmmm… ya, sudahlah, yang penting tak digembukin, pikirku sambil lari terbirit-birit menuju rumah, bertelanjang dada, seperti turis yang berolahraga kemalaman…

Moral cerita ini sebenarnya adalah, mengapa masih ada perasaan menggebu terhadap fanatisme pada daerah-daerah tertentu di Indonesia? Perasaan, “Kamu berasal dari sana, dan kota itu adalah musuh kami.”

Apalagi, penyebab utamanya adalah sepakbola, sebuah permainan yang diharapkan kompetisinya diharapkan dapat menyatukan bangsa dan meleburkan semua sekat.

Tapi, apa yang terjadi? Bukannya kesatuan yang lahir sebagai produk kompetisi sepakbola. Bentrokan antarsuporter kerap muncul, diiringi fanatisme berlebihan membawa dendam turun temurun sepanjang masa.

Bahkan, hal yang tak ada kaitannya dengan sepakbola pun dibawa-bawa. Sejam sebelum laga Persija melawan Persib di Lebak Bulus, saya pernah menyaksikan kumpulan Jakmania berdiri di atas Metro Mini sambil mengusung spanduk bertuliskan, “Bandung Kota Maksiat”. Lho, apa hubungannya?

Maka, sepakbola kita hanya melahirkan ingar-bingar yang “jalan di tempat”. Bagaimana perasaan Anda saat menyaksikan para pemain nasional -- yang konon produk terbaik dari kompetisi Liga Indonesia- terus-menerus gagal menjadi juara di kelas Asia Tenggara sejak terakhir menyabet medali emas di Sea Games Filipina 1991, sembilan belas tahun lalu!

Di kualifikasi Asian Games, tim yunior Indonesia yang dimasak secara instan di Belanda, belum-belum sudah dihajar setengah lusin gol tanpa balas dari Irak, negeri yang belum pulih benar dari hajaran perang lima tahun terakhir!

Inilah akibatnya, kalau semua lupa, bahwa di antara deretan huruf-huruf yang membentuk kata I-N-D-O-N-E-S-I-A, ada tiga huruf O-N-E secara berurutan! Indonesia adalah satu. Menghilangkan rasa kesatuan antarwarga, berarti sama dengan mencopot tiga huruf ONE itu dari INDONESIA.

Selayaknyalah, perasaan primordialisme terlalu tinggi segera kita singkirkan, kalau tak mau negeri ini kehilangan tuah karena tak ada lagi semangat bergandeng tangan antarinsan dengan perbedaan asal, agama, warna kulit dan pembatas-pembatas lainnya.

Tiba-tiba saya teringat ucapan pakar ekonomi Tanri Abeng dalam sebuah seminar bisnis awal bulan lalu, “Orang kita ini sulit sekali dalam bekerjasama. Makanya, Indonesia jarang sekali bisa menang di olahraga yang mempertandingkan lebih dari dua orang dalam satu tim.”

*analisa olahraga lain klik di sini.