Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

20 Januari 2010

[ Kabar dari Seberang ] Susahnya Bikin SIM di AS

Maya Mandley

Birokrasi memang tak selalu mudah. Di Indonesia atau Amerika, sama saja. Bedanya, di Indonesia, kalau punya uang, ada biro jasa yang bisa potong kompas untuk membantu. Tapi di Amerika, meski ada uang, tapi tetap saja hal itu tidak berlaku. Capek deh!


Di Amerika, birokrasi pun berliku dan makan waktu. Tapi yang terpenting, NO CALO apalagi amplop. Nggak main-main, pegawai negeri yang korupsi mendapatkan sanksi sangat tegas. Sampai-sampai kehilangan hak untuk memilih pada pemilu. Sebagai seorang perantau yang harus ikut aturan, mau tak mau, aku menghormarti hal itu. Waktu mau bikin SIM alias driver license di negara bagian New Jersey, semua keruwetan itu berawal.

Sebagai gambaran, di sini [AS], setiap negara bagian punya aturan sendiri soal ketentuan membikin SIM. Dan menurut cerita beberapa teman, negara bagian tempatku tinggal, NJ, termasuk daerah yang susah, dengan standard kelulusannya sangat tinggi. Tapi, mau tidak mau semua tantangan itu harud dilalui. Apalagi, SIM termasuk identification yang penting, selain ID lain yang juga hanya boleh dikeluarkan Motor Vehicles Agency (MVC).

Petugas di MVC adalah orang sipil yang tak perlu berseragam tentunya. Untuk dapat ID atau SIM dari MVC di NJ, ada beberapa persyaratan. Di antaranya prove address dari bank statement, akte kelahiran, Sosial Security Card dan lain-lain. Sementara untuk orang asing seperti aku, yang paling penting adalah permanent residence card atau yang dikenal dengan greencard, atau work permit, atau student visa untuk mahasiswa asing. Tentu saja semua persyaratan ini dicek terlebih dahulu sebelum mengikuti proses selanjutnya.

Sampai aku dapat izin mengemudi sementara, ada 4 windows yang aku lalui. Mula-mula isi formulir, kemudian, cek kelengkapan, lalu membayar USD 25 untuk permit test dan NJ ID plus foto, dan terakhir window untuk ujian. Ujian tulis dilakukan di depan komputer dengan touch screen. Ada 15 komputer untuk ujian dan semuanya nge-link dengan komputer petugas.

Sebelum ujian, si petugas memasukkan data dan menyiapkan komputer mana yang harus aku hadapi untuk ujian. Jadi si petugas bisa tahu lulus atau tidaknya aku setelah menjalani tes lewat komputer di depannya. Dari 50 pertanyaan multiple choice, untuk NJ salah maksimal 10 alias 80% untuk bisa lulus. Sebelum ikut ujian tulis ini, calon peserta harus membaca buku panduan yang dikeluarkan MVC yang bisa didapatkan cuma-cuma alias gratis.

Meski pernah ikut ujian tulis SIM di Surabaya, aku harus 3 kali ambil ujian tulis di NJ. Standar kelulusan yang tergolong tinggi di antara negara bagian Amerika, serta pertanyaan yang sangat menjebak menyebabkan aku harus belajar ekstra keras dan membaca pertanyaan dengan hati-hati untuk bisa lulus. Dari dua kali tes, aku salah 11, padahal salah maksimal 10.

Yang bikin sebel, ada pertanyaan paling gampang yang aku salah menjawabnya. Yaitu pertanyaan urutan lampu merah. Harusnya sambil merem juga bisa, tapi ya gitu, waktu liat ada jawaban yang depannya red duluan langsung aku pilih, padahal urutannya salah. Di tes ketiga, aku betul-betul mempersiapkan diri, dan alhamdulillah dari 50 pertanyaan aku betul semua menjawabnya.

Lega sekali rasanya. Dan permit alias surat izin latihan ini berlaku dua tahun. Namun karena umurku yang sudah di atas 21 tahun, aku bisa ambil road test setelah tiga bulan. Dan waktunya pun sudah ditentukan setelah aku selesai ikut ujian tulis. Sesuai peraturan, mereka yang berusia 16 tahun sudah diperbolehkan ambil permit atau izin mengemudi. Tentu saja dengan persyaratan ketat.

Misalnya gak boleh drive malam hari, gak boleh drive sendirian dan paling penting harus lulus sekolah mengemudi yang khusus untuk siswa SMA. SIM untuk usia 17 tahun juga ada persyaratannya, tapi tentu tak seketat untuk usia 16 tahun. Mereka yang betul-betul tak ada persyaratan dalam SIM nya kalo sudah mencapai 18 tahun.

Betul-betul pengalaman berharga buatku untuk dapat SIM NJ. Meski banyak teman-teman Indonesiaku yang hanya butuh 1 kali tes untuk bisa lolos. Tahap berikutnya ujian jalan alias road test. Mudah-mudahan kali ini aku bisa langsung lolos. Tapi meskipun tak lolos, aku tak akan sekecewa tak lulus ujian tulis. Karena road test is about skill, bukan soal menghapal dan mengerti pertanyaan seperti halnya ujian waktu sekolah atau kuliah dulu. Wish me luck ya! Salam dari Garden State (Semboyan New Jersey State !)

*kabar dari AS lain, klik di sini.


19 Januari 2010

[ Think Sport ] Stop Rasisme di Liga Indonesia

Jojo Raharjo

Satu poin menarik saya dapat dari jumpa pers bulanan PT Liga Indonesia yang digelar di sekretariat Liga Indonesia di Rasuna Office Centre, Kuningan, Selasa (19/1). Sebagaimana disampaikan CEO Liga Indonesia Joko Driyono, Badan Liga Indonesia memutuskan, mulai putaran kedua Superliga Februari mendatang, wasit dapat menghentikan pertandingan bila merasa ada kata-kata atau tindakan rasisme secara massal dalam partai yang dipimpinnya. “Kita tidak ingin membangun sepakbola dalam spirit rasis,” tegas Joko.

Dalam sesi tanya-jawab, saya mengacungkan tangan, menanyakan, apakah bisa di-breakdown definisi rasisme yang dapat membuat perangkat pertandingan serta-merta memutuskan sebuah laga tidak dilanjutkan? ”Apakah ejekan kepada pemain berkulit hitam saja, atau juga termasuk nyanyian cemooh bagi kelompok supporter lain?” tanya saya memohon penjelasan. Joko tidak menjawab detail. Ia memaparkan, ”Prinsip SARA dalam Pedoman Fair Play dan Kode Disiplin adalah upaya yang sifanya menghasut kebencian kepada orang lain. Baik sifatnya tindakan, ucapan, atau apapun,” katanya.

Joko berkilah, secara spesifik aturan untuk menghentikan pertandingan ada di laws of the game. Katanya, instruksi ini bukan untuk pengawas pertandingan atau panpel, tapi hanya wasit pihak satu-satunya yang bisa menghentikan pertandingan. ”Begitu ada teriakan atau lagu-lagu bernada rasis, wasit harus menghentikan pertandingan,” urai Joko.

Joko berterus-terang, pihaknya mengaku gagal dalam mendefinisikan prinsip-prinsip SARA yang dinilai universal dalam kaidah tutur-kata Indonesia. ”Kami ingin belajar dari orang Surabaya bahwa jancuk itu adalah hal yang lumrah, sebagaimana kata anjing bagi orang Medan. Tapi kami sepakat, bahwa kata Dibunuh Saja bukan hal lumrah dan merupakan perkataan rasis,” kata pria asal Ngawi itu.

Isu rasisme mencuat dalam sepakbola Indonesia terutama berupa ejekan terhadap pemain berkulit hitam dan olok-olok terhadap pendukung klub lain. Awalnya adalah Aremania, yang memang dikenal kreatif dan lagu-lagunya banyak dijiplak supporter lain, memperkenalkan syair untuk menjatuhkan mental tim lawan. Misalkan Arema bertanding melawan Persiba, maka para pendukung itu lantang bernyanyi dengan ending, ”Arema.. Arema.. Singo Edan.. Singo Edan aremania.. sekarang arema menang.. persiba ... dibunuh saja.

Pada putaran pertama Superliga lalu, Arema bahkan mendapat hukuman sekali pertandingan tanpa penonton dan denda Rp 50 juta akibat ulah segelintir oknumnya yang mengejek pemain Persipura sebagai ”monyet jelek”. Akibat teriakan itu, pemain Persipura marah-marah dan merusak kamar ganti Stadion Kanjuruhan, markas tim ”Singo Edan” itu. Di kalangan Aremania, hukuman dari PSSI dinilai tidak adil karena tidak ada bukti yang menyatakan ada teriakan rasis, setidaknya bukti ejekan itu dilakukan secara masif.

Aremania sendiri menganggap, ulah pemain Persipura merusak perabotan di dressing room (belakangan Persipura juga didenda Rp 10 juta atas aksi vandalisme ini) hanya mencari kambing hitam atas kekalahan 1-2 yang mereka derita. Perilaku tidak terpuji bukan hanya dilakukan Aremania. Lagu-lagu ”Dibunuh Saja” diplagiat hampir semua kelompok supporter Indonesia. Adapun lagu ”Bonek Jancuk Dibunuh Saja” kemudian diubah oleh supporter Persebaya menjadi ”Arema Jancuk.. dan lain-lain”.

Sementara itu, seperti diputar di film Romeo dan Juliet karya Andi Bachtiar Jusuf, kebersamaan supporter daerah melawan klub ibukota terdengar jelas dalam lirik lagu, ”Viking dan Bonek sama saja.. asal jangan The Jak.. The Jak itu Anjing..” Kubu Jakmania tak mau kalah. Mereka kerap mengumandangkan lagu ”Aku punya anjing kecil...kuberi nama Viking..” sebagai pelecehan atas pendukung Persib, musuh turun-temurun Persija.

Lima tahun silam, saya yang berada di sisi lapangan Stadion Surajaya Lamongan mendengar teriakan dari pendukung Persela menirukan suara gonggongan anjing. Tak sulit menebak, ledekan itu dialamatkan ke pelatih Persebaya, Jacksen Ferreira Tiago, yang berkulit gelap dan mengenakan kalung emas di lehernya. Tak ada sanksi dari PSSI saat itu. Jacksen sendiri, seusai pertandingan mengelak menjadi korban rasisme, ”Saya tidak memperhatikan mereka, saya konsentrasi ke pertandingan,” kilahnya.

Kini, Badan Liga Indonesia sudah menegaskan aturan resmi, bahwa wasit bisa menghentikan pertandingan atas alasan rasisme secara masif. Akankah langkah tegas ini dapat berwujud nyata? Atau hanya menjadi macan kertas belaka? Akankah peringatan dari Badan Liga ini kemudian membuat supporter sepakbola Indonesia menjadi dewasa dalam menyikapi perbedaan dan menghindarkan diri dari cemoohan tak bermutu?

*analisa olahraga lain klik di sini.

Martin Luther King "I have a dream"




Peringatan meninggalnya pejuang Hak Asasi Manusia [HAM] AS Dr. Martin Luther King Jr., pasa 15 Januari, 18 tahun lalu diperingati di AS. Sosok Martin Luther King mengingatkan kembali pentingnya menghapus Suku Agama Ras dan Antar-golongan [SARA] dalam kehidupan manusia. Martin meninggal dunia pada usia 39 tahun.

18 Januari 2010

Allah, Bukan Milikmu

Rusdi Mathari

Maka kini cukuplah untuk mengatakan tidak kepada mereka yang mengaku penganut “monoteis” (Yahudi, Kristen atau Muslim) –yang tidak mencegah mereka jatuh ke dalam penyembahan berhala— untuk merasa paling berhak menyebut Allah.

LALU siapa sebetulnya Allah dan milik siapa Dia? Di Malaysia –dan mungkin juga di tempat lain dan di sini— orang-orang yang marah itu kemudian merasa paling memiliki dan paling berhak menyebut “Allah.” Mereka menganggap tak satu manusia pun yang tidak memiliki pandangan keimanan yang sama dengan mereka, layak dan pantas menyebut “Allah.” “Allah” adalah milik mereka, kendati mereka juga tidak paham, siapa Allah dan mengapa harus disebut “Allah.”

Tentu saja, itu bukan sekadar klaim melainkan sebuah kesalahpahaman besar manusia karena apa yang kemudian disebut sebagai “Allah” –oleh terutama orang-orang Islam— sebetulnya hanya istilah yang juga dibuat manusia untuk menyebut sesuatu yang luar biasa (maha) di luar dirinya. Karena berbagai alasan, banyak orang kemudian percaya bahwa orang-orang Islam menyembah Allah yang berbeda dari Allah orang-orang Kristen dan Yahudi. Sebuah anggapan yang sebetulnya sama sekali keliru, karena sesungguhnya tidak ada keraguan, seorang Muslim sebetulnya menyembah Allah yang disembah Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, dan Yesus (salam untuk mereka semua).

Bahwa orang-orang Yahudi, Kristen dan Islam kemudian memiliki konsep yang berbeda tentang Allah, itu benar adanya. Umat Islam –seperti halnya Yahudi- misalnya, menolak kepercayaan Trinitas dan Inkarnasi Ilahi dari ajaran Kristen. Akan tetapi, itu tak berarti masing-masing penganut dari tiga agama itu menyembah Tuhan yang berbeda – karena Allah hanya satu. Yudaisme, Kristen dan Islam mengklaim sebagai “Agama Ibarahim” (Abrahamic Faith) dan mereka semua juga diklasifikasikan sebagai “monoteistik.”

Realitasnya memang ada beberapa orang yang sejauh ini selalu ingin membuat orang percaya bahwa “Allah” adalah sebutan untuk para “dewa” orang Arab (baca: The Moon-god Allah in the Archeology of the Middle East) dan Islam benar-benar sesuatu yang “lain” -yang tidak memiliki akar umum dengan agama-agama Ibrahim lainnya yaitu Kristen dan Yahudi. Argumen semacam itu menggelikan karena menganggap umat Islam menyembah “Allah” yang berbeda —karena mereka mengatakan “Allah”— adalah sama tidak logisnya dengan pendapat yang mengatakan orang-orang Prancis menyembah Allah yang lain karena mereka menggunakan kata “Dieu,” orang-orang berbahasa Spanyol juga menyembah Allah yang berbeda karena mereka berkata “Dios” atau mereka yang berbahasa Ibrani menyembah Allah yang tidak sama karena mereka kadang-kadang memanggil Allah dengan sebutan “Yahweh.”

Sebagian orang akan mengatakan, soal “Allah” itu bukan sekadar soal logika. Namun mereka yang mengklaim setiap satu bahasa hanya menggunakan kata yang benar untuk menyebut Allah, sama artinya dengan menyangkal universalitas pesan Tuhan kepada umat manusia –untuk segala bangsa dan suku dan orang-orang melalui berbagai nabi yang berbicara bahasa yang berbeda.

Hanya sedikit orang yang paham, soal Allah itu sebetulnya adalah kata yang sama dalam bahasa Arab yang digunakan orang-orang Kristen dan Yahudi untuk menyebut Allah. Bukalah Alkitab (Injil) berbahasa Arab, maka di sana akan tertera kata “Allah” digunakan seperti halnya “Allah” digunakan dalam bahasa Inggris: “Allah” adalah kata dalam bahasa Arab dan sama dengan kata dalam bahasa Inggris “God” dengan huruf “G.” Kata “Allah” itu pun bahkan tidak dapat dibuat jamak.

Allah dalam Bahasa
Lihatlah kata “El” dalam bahasa Aram yang adalah kata untuk Tuhan ketika Yesus berbicara niscaya lebih mirip pengucapannya dengan kata “Allah” dibandingkan dari kata “God” dalam bahasa Inggris. Itu pula berlaku untuk berbagai macam kata untuk menyebut Tuhan dalam bahasa Ibrani: “El” dan “elah,” atau “Elohim” (dimuliakan) itu. Alasan kesamaan itu karena baik Aram, Ibrani dan Arab adalah bahasa-bahasa yang berasal-usul sama: bahasa Semit.

Lalu dalam bahasa Arab, kata “Allah” pada dasarnya sama dengan kata “ilah” yang artinya Tuhan dan karena itu makna dari kata “Allah” adalah juga sama dengan makna dari kata “ilah.” Perbedaan mutlak kedua kata tersebut terletak pada penggunaannya. Dalam bahasa Arab, kata “ilah” dikenal sebagai bentuk mufrad (bersifat umum) dan bersifat jamak dengan kata aalihat, sementara kata “Allah” adalah nama khusus dan tidak mempunyai bentuk jamak.

Ucapan seperti “ya Ilahi” atau “ya Allah” juga menunjukkan, tidak ada perbedaan antara kata “Allah” dan “ilah” kecuali yang satu ("Allah") digunakan hanya untuk makna khusus, dan yang lain (“ilah”) lebih bersifat umum. Dalam buku Tauhid dan Syirik, Syrekh Ja’far Subhani bahkan menyebut kedua kata itu memiliki persamaan yang lebih dekat karena berasal dari satu akar kata yang sama.

Kalau kemudian ada kekhususan makna dari kata “Allah” seperti yang sejauh ini disebut oleh kaum Muslim, tak lain karena kebiasaan orang-orang Arab yang selalu menggunakan lafal “al ilah.” Penambahan kata “al” pada “ilah” itu dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang telah dikenal dalam pikiran (isyarah dzihniyah). Di buku Majma’ul Bayan Jilid 9, Al Thabarsi menerangkan, huruf “i” pada “al ilah” kemudian menjadi hilang dalam percakapan sehari-hari sehingga “al ilah” diucapkan sebagai “Allah.”

Penjelasan yang kurang lebih sama tentang asal usul penyebutan nama “Allah juga diungkapkan Thabarsi dalam buku yang sama Jilid 1. Mengutip pendapat Imam Sibawaih (pakar gramatikal tentang asal-usul lafal “Allah”) Thabarsi menjelaskan perubahan dari “ilah” menjadi “Allah” disebabkan penisbian huruf hamzah di atas huruf “i” (alif) sehingga menjadi al ma’rifah, yang tak bisa dipisahkan. Maka ketika menyebut “ya Allah” pengucapannya bukan “yallah” melainkan “ya Allah.” Seandainya tidak ada huruf hamzah dalam kata aslinya, menurut Thabarsi niscaya pengucapan hamzah tidak dibenarkan sebagaimana dalam kata-kata lainnya.

Tentang Allah yang berasal dari kata “ilah” dengan menghilangkan huruf hamzah dan menggantinya dengan kata “al” juga dijelaskan oleh Ar Raghib di buku Al Mufradat. Nama tersebut dikhususkan bagi nama Allah sebagai Wajibul Wujud atau zat mutlak yang wajib ada.

Bisa dimengerti karena itu jika para ahli tauhid lalu memaknai “Allah” dan “ilah” sebagai makna yang satu yaitu Tuhan. Namun menurut sebagian ahli tafsir, dalam kalimat tauhid “laa ilaha illallah” kata “ilah” mempunyai makna ma’bud (yang disembah) dan karena itu penggunaan maknanya harus disertai penjelasan bihaqqin (secara benar). Maka kalimat “Tidak ada Tuhan selain Allah” maknanya adalah “Tidak ada Tuhan yang wajib disembah secara benar (hak) kecuali Allah.”

Maka kini cukuplah untuk mengatakan tidak kepada mereka yang mengaku penganut “monoteis” (Yahudi, Kristen atau Muslim) –yang tidak mencegah mereka jatuh ke dalam penyembahan berhala— untuk merasa paling berhak menyebut Allah. Tidakkah banyak orang termasuk beberapa Muslim, yang mengklaim percaya kepada “Satu Tuhan” tapi mereka terjerembap ke lubang syirik?

Lihatlah pula, tidak sedikit orang Protestan yang menuduh pengikut Katolik Roma yang memercayai orang-orang kudus dan Perawan Maria— sebagai bidah dan menyembah berhala. Juga Gereja Ortodoks Yunani yang selalu dianggap menyembah “berhala” oleh banyak orang Kristen lain karena menggunakan banyak ikon dalam ibadah mereka. Padahal ketika seorang Katolik Roma atau Ortodoks Yunani diminta mengakui Allah adalah “Satu” niscaya mereka akan selalu menjawab “Ya.”

Sungguh dengan semua nama dan sebutan “Allah” itu, manusia tak lalu bisa mengetahui hakikat Allah, kecuali hanya sedikit orang. Karena nama-nama, istilah atau apa pun julukan yang ditujukan untuk Allah hanyalah salah satu cara untuk mengenal (kekuasaan) Allah. Di balik semua nama dan istilah, Allah adalah Allah dan hanya Allah yang tahu akan Allah. Lalu mengapa orang-orang itu marah dan merusak gereja, hanya karena merasa paling memiliki dan merasa paling berhak menyebut “Allah?”


17 Januari 2010

[ Cerita Pendek ] Bukan Hermes dan Aphrodite

Senja Medinah

Hujan.
Rinainya menetes satu-satu di atap pertokoan. Aku terjebak di antara lebatnya. Ku rapatkan jaket tipis yang ku pakai. Gigil mulai menyapa kulit air, membuat bulu kudukku berdiri tegak. Merayap hingga ke tulang sum-sum.

Gelap.
Aku tak melihat satupun benda langit, kecuali tangisnya yang begitu merdu. Menderu. Membuat hewan-hewan malam ikut bernyanyi. Katak merintih. Pilu. Di kejauhan ku dengar anjing menyalak. Cahaya hanya ku dapat dari lampu kota yang hanya satu dua menyala. Sesekali dari truk yang melintas, seraya mengibaskan kubangan air ke arah pejalan kaki seperti ku.

Aku menepi. Saat air semakin kerap menetes. Berlindung di depan warung kecil yang telah tutup. Warung yang sederhana, kalau tak mau dibilang sempit. Aku membayangkan pasti sangat panas saat terik menyapa. Sebab atapnya hanya ditutupi seng.

Telah setengah jam aku berdiri di sini. Tapi langit terus menangis. Seperti seorang anak yang belum diberi ASI sang Ibu. Sungguh ingin meneruskan perjalanan. Pulang menuju rumah. Tapi, kuyup membuatku tak bisa berpakaian. Kalau aku nekad menembus deras. Sebab baju yang melekat di badan ini satu-satunya. Pakaian yang lain tak kering. Matahari tak menyapa bumi tempatku berpijak, seminggu ini.

Tiba-tiba ku teringat. Raut wajah yang belakangan mengganggu benakku. Raut yang selalu ingin membuatku berbalik ke arah barat daya. Pulang. Menemuinya. Sekedar memastikan mata indah itu masih bersinar. Sekedar memastikan tawa itu masih renyah. Sekedar memastikan ia baik-baik saja. Ah, wajah itu. mata itu. membuatku selalu ingin memandangnya lekat-lekat. Membuat aku ingin selalu bersujud pada bibirnya yang merah. Merekah.

Ku rogoh telephone selular yang ku simpan dalam tas punggung. Sekedar melepas rindu pada suaranya yang manja, Seperti bergelayut di lenganku. Suara itu mengingatkanku pada suara Atik CB, penyanyi era ‘80an. Serak dan basah. Sial! Batrainya sedang lemah.

Ia pasti gelisah. Segelisah aku yang tak melihat ada tanda-tanda hujan akan berhenti dalam hitungan sepuluh. Ia pasti menunggu. Seperti aku yang sedang terpaku di ujung sendu malam tanpa gemintang. Sayang, tunggulah aku. Batinku mendesah.

Aku terkulai lemas. Melihat lebat air yang terus saja dimuntahkan dari langit. Gigilku semakin menyengat tungkai. Melorotkan badan yang tegak berdiri. Berjongkok memeluk kaki. Dingin menyapu mataku dengan mimpi. Melayang-layang (ku harap) ke barat daya.
***
“Venus? Kau kah itu?” Ku lihat paras cantik venus memakai gaun serba putih. Gaun tanpa lengan itu memperlihatkan punggung yang putih dan halus. Ia menoleh.

“Lena. Aku Lena, Sayang,” Suara manjanya mulai menggelayut di lenganku.

“Tidak, bagiku kau tetap Venus dalam mithologi Romawi. Aphrodite kekasih Hermes dalam kisah Yunani,” Jawabku. Ia tertawa. Tetap manja. Diakhiri dengan nada getir.

“Jadi, kau kah Hermes itu?” Tanyanya. Sejenak aku ragu menjawabnya. Tapi aku memang merasa menjadi Hermes. Aku mengangguk lemah.

“Hahaha,… Iya, aku Aphrodite. Yang akan menikah dengan Hefestus, si buruk rupa dan pincang itu,” Aku menyesal telah mengangguk. Sebab ku lihat kaca hendak pecah dan meluncur dari mata indahmu. Tapi aku memang merasa menjadi Hermes.

“Dan aku adalah perempuan peselingkuh,” Tambahmu.

“Cinta. Kaulah dewi Cinta. Aku tak menyalahkanmu. Karena gairah yang kau miliki,” Aku merangkum kedua tangannya yang lentik. Warnanya memang lebih gelap dibandingkan lengannya. Ah, tangan halus itu tetap tampak liat. Sekeras hatinya yang selalu teguh memegang prinsip. Tapi, keteguhan itu selalu kalah dengan kelembutan sekaligus kelemahan. Lemah, saat melihat mata ayahnya berkata tidak saat meminta restu kebersamaan kami. Sebagaimana Aphrodite yang tak bisa menolak keinginan Zeus yang telah memilihkan jodoh Hefestus, tanpa bertanya.

“Ingatlah, berapa kali Aphrodite harus berselingkuh? Aphrodite juga berselingkuh dengan Ares, sayang,” Sanggahnya.

“Itu karena Hermes meninggalkannya, Sayang. Aku tak kan mengulangi kebodohan yang dilakukan oleh Hermes dalam mithologi itu. Aku akan menjadi bayanganmu. Aku akan datang tak terduga disetiap kesendirianmu, aku akan ada lebih dekat dari nafas mu, bahkan nadimu,” Suaraku parau membakar semangatmu.

“Kerinduan tak bertepi selalu menghadirkan amarah sayang. Amarah itu dapat merobohkan ruang dan waktu. Menghantam malam. Mendobrak pagi. Karena itu, berjanjilah kau selalu merindukanku. Maka aku akan ada, di setiap jengkal ragamu,” Racauku tak terkendali. Kini bukan hanya kaca yang pecah dari matamu. Tapi Tashensini telah berpindah dari Yukon, Alaska, ke pipinya.

“Sebagaimana Hefestus, ia temperamen dan jahat, sayang. Aku tak bisa membayangkan jika dia mengetahuinya. Ia tak kan menumpahkannya padaku. Tapi aku tak mau hal buruk terjadi padamu,” Dia, Venusku, Aphroditeku itu, masih saja mencari celah kemungkinan terburuk. Dulu, aku selalu protes pada pemikirannya yang cenderung negative, seolah tak ada harapan.

“Ingtlah, sayangku, Hefestus adalah orang yang konservatif dan bodoh. Dia tak akan mencium pupuk-pucuk cinta yang terus saja bersemi menjadi rimba raya, belantara. Pohon bernama ours itu akan terus tumbuh, menemukan jalannya untuk beranak-pinak, melanjutkan kehidupan,” Aku terus menenangkan.

“Tapi,…” Tuhan, kenapa kau menciptakan kata ‘tapi’? kata itu membuatku capek untuk terus berpikir.

“Sudahlah, Venus. Aku rela menjadi kekasih yang hanya ada dalam hatimu. Aku rela menjadi kisah rahasiamu. Aku rela menunggu Hefestus tertidur. Aku rela menjadi giliran terakhir. demi cinta kita, Aphroditeku,” Aku mendesah. Mengucapkan segala janji. Meski aku tak terlalu yakin bisa melakukannya.

“Tapi bagaimana kita akan memiliki Hermaphrodite? Seorang putra sekaligus putri sebagai pengejawantahan kebersamaan kita? Sebagai harapan bahwa kita tak kan terpisah? Kita yang abadi?” Seketika eksistensiku rontok. Sebagai kekasih, sebagai laki-laki dalam kisah kita.

“Aku sangat ingin berjumpa mimpi, sayangku. Tapi kau selalu menolaknya dengan kata ‘tapi’. Kerinduan bukanlah dosa, cintaku. Bukan laku yang tercela,” Desisku. Dan berlalu.
***
“Mas, bangun, mas. Sudah pagi. Warung saya mau buka,…” Ku dengar suara seorang lelaki membangunkanku. Sedikit kasar. Aku mengerjap. Mengangkat wajah. Melihatnya sekilas.

“Oh, maaf, mbak. Saya kira laki-laki. Rambutnya cepak gitu,” Ia memperbaiki panggilannya kepadaku.

Tak ku sisakan suaraku untuk didengar gendang telinganya. Aku hanya kembali berjalan. Menyandang kembali tas yang ku peluk, ke punggung. Sedikit membuka resleting jaket hingga sebatas dada. Berjalan. Sambil mengenang mimpi semalam. Dan mengutuk keberadaanku di pulau ini, sekarang.

Aku mendesis pada pagi yang muram. Awan gelap bergerak cepat sekali. Mengingat wajah bulat bermata indah yang selalu ku rindu. Membuatku selalu ingin menancapkan layar. Mendayuh sampan. Hingga ku tautkan di depan rumah. dibawah pohon ours yang telah menjadi belantara.

Aku tiarap pada gempuran rindu yang menusuk seperti jarum. Tapi aku juga bertekuk lutut pada angin. Yang masih terus berhembus ke arah timur. Aku menyerah pada kerinduan yang menyayat.

Ku paksakan selularku bekerja. Meski dalam kondisi lemah. Gelombang selularku menghubungi satelit untuk menyambungkan ke telephon selularmu.

“Halo?” God, kenapa suamimu yang menyapa? Apakah alat itu telah disita?