Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

30 Desember 2009

George Junus Aditjondro: Ramadhan Memprovokasi Saya

Iman D. Nugroho

George Junus Aditjondro, penulis buku Gurita Cikeas, yang juga dituduh memukul Anggota DPR-RI Komisi 1, Ramadhan Pohan di sela-sela diskusi, Rabu [30/12] justru mengatakan bahwa Ramadhan Pohanlah yang memprovokasi dirinya. Hingga terjadi pemukulan itu. "Justru Ramadhan yang memprovokasi saya dengan pendapatnya, dan itu dikatakannya berulang-ulang dalam beberaa kesempatan," kata George Junus dalam konferensi persnya.

Sebelumnya, diskusi di Doekoen Coffee itu sempat ricuh dengan peristiwa "pemukulan" George kepada Ramadhan. George yang duduk di sebelah kanan Ramadhan dan dipisahkan tiga pembicara lain, memukulkan buku yang dipegangnya dengan tangan kiri ke arah Ramadhan.

"Sebagian besar buku yang dipukulkan George itu kena dada saya, hanya sebagian kecil yang mengenai Ramadhan," kata Boni Hargen, salah satu pembicara yang duduk di antara George dan Ramadhan dalam diskusi itu. Ramadhan pun memilih untuk keluar dari ruang diskusi, dan membuat laporan resmi ada polisi atas peristiwa pemukulan itu.

Dalam jumpa persnya George menjelaskan, konfrontasi antara dirinya dan Ramadhan sudah berlangsung selama tiga kali. Dan selama itu juga, Ramadhan selalu menjelaskan hal yang sama, tentang penjelasan George di buku Gurita Cikeas yang menjelaskan hubungan koran Jurnal Nasional-media yang pernah dipimpin oleh Ramadhan, dengan Budi Sampoerna.

"Dalam setiap kesempatan itu juga, saya menjawab bahwa di buku saya, tidak ada hal seperti itu," kata George. Namun Ramadhan tidak mengubah penjelasannya. Kedatangan Ramadhan dalam acara diskusi yang diselingi oleh demonstrasi anti George ini juga diwarnai penjelasan Harris Rusli Moti yang menjelaskan pihak panitia tidak pernah mengundang Ramadhan.

"Kami memang mengundang Andy Arief, dari pihak pendukung SBY, tapi yang datang Ramadhan, yang mengaku mewakili Andy Arief, tapi ternyata saat bicara di forum, dia bilang mewakili dirinya sendiri," kata Harris. Haris menekankan, sejumlah 28 pengacara siap membela George, bila kasus ini terus bergulir di ranah hukum. penegasan yang sama juga disampaikan berbagai elemen yang hadir di Doekoen Coffee.

Berbeda Otot Demi Buku Gurita Cikeas

Iman D. Nugroho














Buku Gurita Cikeas terus memunculkan kontroversi. Dalam sebuah diskusi di Doekoen Coffee, Rabu [30/12] ada dua kelompok massa yang mendukung dan menentang George Junus Aditjondro. Kelompok pendukung dan mengharapkan bisa mendapatkan buku yang tidak ada di toko-toko buku itu memilih mengikuti diskusi di dalam cafe dan di bawah tenda. Sementara yang menentang George, memilih untuk berdemonstrasi di seberang jalan. Dengan mengenakan topeng dan poster-poster yang mencaci maki penulis buku, Georde Junus Aditjondro.

Lomba Karya Jurnalistik Tentang Anak

Press Release

Tahun 2009, AJI-UNICEF kembali menyelenggarakan ‘Penghargaan untuk Liputan Media Terbaik tentang Anak’. Penghargaan ini terbuka untuk jurnalis media cetak/online, radio dan televisi.






Ketentuan:

1. Karya jurnalistik ( cetak/on line, radio, TV ) berupa feature tentang anak.
2. Setiap jurnalis/media baik media cetak/online, radio dan televisi di seluruh Indonesia dapat mengikuti perlombaan ini.
3. Karya harus pernah dipublikasikan atau disiarkan di media massa (bukan media internal).
4. Setiap peserta bisa mengajukan maksimal tiga karya.
5. Karya peserta harus pernah dipublikasikan pada media massa umum pada periode antara 27 Oktober 2008 – 29 Januari 2010.
6. Karya harus sudah diterima panitia paling lambat 10 Februari 2010.
7. Karya harus dilengkapi dengan pernyataan bahwa karya adalah karya orisinal. Jadi bukan saduran, terjemahan dan tidak termasuk advertorial komersial.
8. Ralat, jika ada, harus disertakan.
9. Karya belum pernah memenangi lomba jurnalistik.
10. Karya yang sudah dikirim ke panitia tidak akan dikembalikan.
11. Keputusan juri tidak bisa diganggu gugat.
12. Untuk karya media cetak, peserta harus mengirim kliping beserta soft copy karya yang sudah dimuat. Untuk media online, peserta harus mengirim karyanya berupa print out yang sudah di-copy langsung dari situs beritanya. Karya harus dilengkapi dengan surat keterangan dari redaktur media online yang menyatakan bahwa karya yang dikirimkan pernah dimuat di media tersebut.
13. Untuk karya media radio, peserta harus mengirim karyanya dalam bentuk CD (MP3 atau WAV). Karya harus dilengkapi dengan surat keterangan dari pimpinan (Pemimpin redaksi) yang menyatakan bahwa karya yang dikirimkan pernah disiarkan di radio tersebut. Peserta diwajibkan mengirimkan naskahnya.
14. Untuk karya media televisi, peserta harus mengirimkan karyanya dalam bentuk VCD/DVD (MPEG atau AVI) dengan mencantumkan nama dan asal media di kepingan VCD/ VCD . Peserta diwajibkan mengirimkan naskahnya.
15. Dewan Juri akan memilih 5 karya nominasi terbaik dari setiap kategori. Kemudian dipilih 1 karya terbaik per kategori yang akan mendapat hadiah study trip ke negara di Asia Pasifik dan laptop senilai Rp. 5 juta.
16. Kirimkan karya jurnalistik ke Sekretariat AJI Indonesia:
Jl. Kembang Raya 6, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420
E-mail ke [email protected]. Telp 021-3151214 Faks. 021-3151261.
Atau hubungi panitia:
Alida, e-mail: lidbahaweres@yahoo, HP. 081330392480
Minda, HP. 08128572252

DEWAN JURI KATEGORI CETAK

I Made Sutama, UNICEF
Willy Pramudya, AJI
Abdullah Alamudi, Dewan Pers
Irwanto, Peneliti dan Dosen Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta

DEWAN JURI KATEGORI TV
Lely Djuhari, UNICEF
Andy Budiman, AJI
Rosiana Silalahi, SCTV
Bobbi Guntarto, Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak

DEWAN JURI KATEGORI RADIO
Iwan Hasan, UNICEF
Margiono, AJI
Arya Gunawan, UNESCO
Arist Merdeka Sirait, Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak

photo by: http://majedsblog.files.wordpress.com

“Kebebasan di Dunia Maya dalam Ancaman”

Catatan AJI Indonesia

Kemajuan teknologi informasi telah membawa perubahan pesat bagi dunia pers dan cara masyarakat dalam mengekspresikan pendapat dan perasaannya. Kemajuan ini ditandai dengan tumbuhnya situs-situs berita, blog dan jejaring sosial di internet. Media-media sosial di internet telah menjadi saluran komunikasi alternatif bagi masyarakat. Pengguna media sosial di internet pun tumbuh subur. Namun, dunia maya yang dikenal sebagai media paling bebas pun kini tengah terancam oleh hukum yang tidak demokratis.

Sepanjang 2009, muncul sejumlah kasus kriminalisasi pencemaran nama oleh pengguna internet di Indonesia. Kasus-kasus tersebut adalah:

1. Ujang Romansyah, seorang pelajar di Bogor karena update status di situs jejaring sosial Facebook pada 30 Juni 2009. Ujang dituduh mencemarkan nama baik Felly, pengguna Facebook lain, karena pesan di wall Facebook.

2. Muhammad Iqbal, seorang pegawai honorer di Dinas Kehutanan Lampung, dilaporkan sekretaris Dinas Kehutanan Lampung, Veronica Bertha, ke polisi pada 2 Juli 2009 karena pesan di Facebook. Kasus ini terjadi gara-gara Iqbal mengirimkan pesan di wall Belinda, seorang pegawai honorer di instansi yang sama.

3. Anggota DPRD Sulsel, Imbar Ismail, dilaporkan ke polisi karena Facebook pada 23 September 2009. Imbar telah mengirim pesan ke inbox Facebook milik Dewi Riasari Zainuddin, seorang dokter gigi di Bandung, Jawa Barat. Kata-kata dalam pesan Imbar dinilai mengandung penghinaan karena dianggap tidak pantas.

4. Luna Maya, seorang artis, dilaporkan polisi oleh pekerja infotainment pada 15 Desember 2009. Luna dituduh mencemarkan nama gara-gara pernyataannya di akun microblogging Twitter.com miliknya.

Jika dibanding tahun 2008, kasus pencemaran nama di internet naik dua kali lipat. Pada 2008, terdapat dua kasus, yakni kasus pencemaran oleh blogger Nurliswandi Pilliang atas laporan anggota DPR Alvin Lie dan kasus Prita Mulyasari yang dilaporkan RS Omni International Alam Sutra Tangerang.

Produk Perundang-undangan yang Represif
Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia terbentur oleh hukum yang tidak demokratis. Kriminalisasi pencemaran nama menjadi senjata untuk menekan orang-orang yang kritis.
Kriminalisasi pencemaran nama tersebut diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU No. 14 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pasal-pasal pencemaran nama dalam KUHP meliputi pencemaran nama kepala negara sahabat (pasal 142 sampai 144), pencemaran nama pejabat negara (pasal 207 dan 208), dan penghinaan terhadap orang lain (pasal 310 sampai 322).

Pencemaran nama melalui media diatur dalam pasal 27 ayat (3) UU No. 11 tahun 2008 tentang ITE. Pasal tersebut mengancam hukuman 6 tahun penjara bagi “setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pasal 27 ayat (3) tersebut jauh lebih represif dibanding KUHP, baik dari segi ancaman hukumannya maupun dari rumusan deliknya. Pencemaran nama melalui media elektronik diancam pidana 6 tahun penjara. Sementara, ancaman pidana maksimum untuk delik pencemaran nama di KUHP “hanya” 1 tahun 4 bulan.

Dilihat dari rumusan deliknya, pasal 27 ayat (3) KUHP tidak mensyaratkan pencemaran dilakukan di depan umum. Dengan demikian, pencemaran melalui jalur komunikasi privat juga dapat dijerat oleh pasal ini. Padahal, menurut KUHP pencemaran nama hanya dapat dihukum jika dilakukan di depan umum.

Selain itu, pencemaran nama berdasarkan pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak mensyaratkan adanya orang atau lembaga yang jadi obyek, sebagaimana diatur KUHP. Dengan demikian, pencemaran nama terhadap benda atau obyek selain orang dapat dijerat berdasarkan pasal ini. Sementara menurut KUHP, hanya mencemarkan nama orang lain atau badan hukum yang dapat dijerat.

Rumusan seperti itu membuat pasal 27 ayat (3) menjadi pasal karet, sehingga mudah digunakan untuk menjerat siapa pun. Hal ini bertentangan dengan prinsip hukum yang mensyaratkan adanya perumusan yang jelas dan ketat. Dengan demikian, pasal ini bertentangan dengan asas kepastian hukum.

Selain itu, hukuman 6 tahun penjara berpotensi membuat pasal 27 ayat (3) menjadi aturan yang diskriminatif terhadap jurnalis media online dan pengguna internet. Sebab, bagi orang yang mencemarkan nama dengan media konvensional “hanya” diancam pidana maksimum 1 tahun 4 bulan, sementara pencemaran melalui internet hukumannya 6 tahun. Hal ini bertentangan dengan asas keadilan, sebab memberikan ancaman hukuman berbeda untuk perbuatan yang sama.

Selain pasal 27 ayat (3), ancaman pasal 28 ayat (1) juga mengancam pidana 6 tahun penjara bagi orang yang menyebarkan berita bohong lewat internet. Pasal ini juga jauh lebih represif dibanding pasal 311 KUHP tentang fitnah yang ancamannya 4 tahun penjara.

AJI Indonesia pernah melakukan uji materi terhadap pasal 27 ayat (3) UU ITE, namun Mahkamah Konstitusi tidak mengabulkan permohonan tersebut. Untuk itu, saat ini AJI Indonesia mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi UU ITE.

Kekerasan Terhadap Jurnalis
Sepanjang tahun 2009, jurnalis Indonesia masih menghadapi ancaman berbagai bentuk kekerasan. Jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis tahun ini adalah 40 kasus. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi, pembunuhan (1 kasus), pemukulan (20 kasus), larangan meliput (4 kasus), tuntutan hukum (7 kasus), penyanderaan (2 kasus), intimidasi (1 kasus), demonstrasi (2 kasus), dan sensor (2 kasus),.

Dibanding tahun lalu, jumlah kekerasan terhadap jurnalis mengalami penurunan. Menurut catatan AJI Indonesia, sepanjang 2008 terdapat 60 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kasus-kasus tersebut meliputi pemukulan (21 kasus), intimidasi (19 kasus), larangan meliput (9 kasus), tuntutan hukum (6 kasus), sensor (3 kasus), demonstrasi (1 kasus) dan sensor (1 kasus).

Jakarta, 29 Desember 2009

29 Desember 2009

[ My Family ] Nasibmu TKI

Balqis Muhyidin

Mungkin judul tulisan ini, Nasibmu TKI (Tenaga Kerja Indonesia) seolah olah menyatakan bahwa saya tidak berpihak kepada mereka. Bahwa apapun yang terjadi dengan mereka, ya persoalan mu alias dirimu sendiri bukan diri kami atau diri kita, bukan saya. Karena itu tidak salah jika selama tahun 2009 seribu delapan belas TKI (Jawa Pos, 18 Desember 2009) tewas ketika bekerja, dan saya – kita! terkesan tidak berdaya mencegahnya.

Seribu delapan belas TKI, bukanlah sekedar angka namun jumlah jiwa. Jumlah yang tidak sedikit. Jiwa warga negara Indonesia, karena keterbatasan lapangan pekerjaan yang dimiliki oleh Negara ini mengadu nasib ke negeri lain. Demi kelangsungan hidup keluarga. Memenuhi urusan perut, kadang banyak perut yang harus mereka tanggung. Sepadankah jika siksaan bahkan kematian yang mereka peroleh?

Ketika saya membaca alasan beberapa TKW (Tenaga Kerja Wanita) yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Menterjemahkan alasan kepulangan, ketika suami saya bekerja di salah satu asuransi yang mengurusi TKI di Jawa Timur. Saya, sering mengeryitkan dahi. Bagaimana tidak, alasan-alasan itu bagi saya pribadi sungguh tidak masuk akal. Sungguh tidak manusiawi. Antara lain, TKW tersebut dipulangkan karena keringatnya bau. Karena anjingnya tidak suka dsb…dsb. Se-rendah itukah, harga tenaga kerja wanita kita? Sehingga seekor anjing bisa menjadi persoalan baginya untuk tidak mendapatkan pekerjaan?

Tulisan ini bukan meniadakan bahwa mungkin tenaga kerja kita terkadang mempunyai persoalan-persoalan internal yang mesti diselesaikan. Namun, tidak bisakah kita mengirim mereka untuk menjadi lebih professional, sehingga orang tidak semena-mena kepada mereka?

Saya tidak pernah ada di birokrat, sehingga mungkin apa yang saya sampaikan terkesan mustahil bagi birokrat. Benarkah? Jika menurut kaca mata sederhana saya, hal ini hanya tentang dua hal. Satu, menyiapkan mereka seoptimal mungkin sebelum berangkat, pelatihan-pelatihan yang bisa dicerna dengan cepat dan mudah dimengerti. Bisa diaplikasikan dan memang berguna untuk pekerjaan mereka kelak.

Tidak ada salahnya memberi info tambahan tentang Negara yang dituju berikut kebiasaan-kebiasaan dan etika masyarakatnya. Bagus juga jika ditambah dengan pelatihan kepribadian sederhana. Sehingga mereka bisa menjadi tenaga kerja yang bisa menempatkan diri dan menyenangkan. Dengan sendirinya akan meningkatkan price dari TKI/TKW.

Dua, Negara tercinta ini membuat hubungan diplomatis yang setara dengan Negara penerima TKI/TKW. Membuat hotline 24 jam, buku saku atau apalah yang bisa mereka akses dalam kondisi darurat. Dan juga secara rutin KBRI setempat mengecek keberadaan warganya, berbicara langsung dengannya. Sehingga kasus-kasus penyekapan sekian bulan bisa diminimalkan.

Saya menyadari adanya TKI/TKW yang berangkat secara illegal. Menyulitkan penanganannya. Benarkah itu? Bukankah petugas immigrasi, bandara/ pelabuhan adalah pegawai pemerintah? Bukankah masih berada dalam satu lini untuk koordinasi? Benarkah itu masalah yang tidak bisa dipecahkan? Bukankah kita punya data wilayah-wilayah sending area atau wilayah-wilayah yang banyak mengirimkan TKI, bisa khan kita mulai melakukan sesuatu dari sana?

Ketika TKI/TKW menjadi tenaga kerja yang mumpuni dan handal, saya pikir keringat bau ataupun alasan yang tidak masukan akal lainnya tidak akan dengan mudah mendepak mereka. Dengan mempertimbangkankan biaya yang dikeluarkan untuk menjadi TKI/TKW yang tidak murah. Sungguh menyedihkan jika mereka mesti dipulangkan hanya dalam kurun waktu satu atau dua bulan. Meskipun itu masih lebih baik dari pada mereka hanya pulang berupa jasad.

Saya yakin seseorang bisa melakukannya. Seseorang yang mau dan mempunyai kesempatan. Membenahi kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan TKI/ TKW. Semoga, orang yang punya kewenangan agar dampaknya bisa lebih besar. Sehingga teman-teman, saudara-saudara kita ketika kembali ke tanah air, tidak hanya nama. Ketika pulang, mereka bisa menikmati hasil jerih payah dalam keadaan sehat, berkumpul dengan keluarga. Mengganti waktu waktu penuh kerinduan dan kerja keras yang sudah dilakukan sebelumnya. Untuk itulah, seharusnya keringat mereka menetes.

#Taman yang Indah, 19 Desember 2009

#Tulisan lain My Family, klik di sini.