Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

19 Desember 2009

Iklan Denny JA dan LSI tentang Bank Century Menyesatkan

Iman D. Nugroho

Gerakan Keadilan Sosial (GeraKS) menganggap iklan ”Tuntaskan Century sebelum 100 Hari” yang dikampanyekan Direktur LSI Denny JA dapat disebut menyesatkan proses penyelidikan Bank Century yang saat ini telah berjalan dengan baik sesuai konstitusi, baik oleh Pansus Angket Bank Century maupun KPK.

”Jika dicermati lebih dalam, ajakan penuntasan kasus Bank Century sebelum 100 hari pemerintahan SBY-Boediono itu menyiratkan kasus Bank Century tidak ada kaitan dengan Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani. Padahal pokok pangkal yang sedang diselidiki Pansus DPR maupun KPK, salah satunya adalah keterkaitan Gubenur BI dan Menkeu kala itu yang menelurkan kebijakan bailout untuk Bank Century,” tulis Suriswanto, Ketua GeraKS (19/12) dalam siaran persnya.

Suriswanto yang juga praktisi periklanan mengingatkan, Denny JA dan LSI adalah pemain penting dalam tim sukses pasangan SBY-Boediono dalam pilpres lalu. Iklan Denny JA ”Tuntaskan Century sebelum 100 Hari” tersebut dalam naskahnya telak-telak menyebut perlunya kasus Bank Century diselesaikan sebelum 100 hari pemerintahan SBY-Boediono atau akhir Januari 2010. GeraKS khawatir, pembelokan isu Kasus Century agar tidak menyentuh substansi persoalan, yakni pengusutan secara tuntas kasus korupsinya.

”Isi pesan iklan Denny dan LSI-nya itu sungguh tidak etis dan tidak menghormati Pansus Angket Bank Century yang telah menetapkan jadwal kerja selama dua bulan yang akan berakhir sampai pertengahan Februari 2010. Memangnya siapa Denny JA dalam sistem kenegaraan kita?” demikian Suriswanto. GeraKS sepakat, kasus Bank Century harus diselesaikan secara tuntas, adil dan terbuka oleh Pansus DPR sesuai jadwal dua bulan yang telah ditetapkan.

*Tulisan tentang Kasus Century, Klik di sini
*Graphic by inilah.com

Mencintai Batik Adalah Mencintai Indonesia

Balgis Muhyidin

Sebelum tanggal 15 oktober lalu, saya menerima banyak sms yang berisikan ajakan untuk mengenakan busana batik di hari tersebut. Sebagai bentuk solidaritas terhadap pengukuhan batik oleh Unesco sebagai warisan budaya asli Indonesia. Namun ketika di hari H, saya me reply sms teman-teman tersebut dengan pertanyaan: Apakah anda menggenakan batik hari ini?. Jawaban yang saya terima beragam. Ada yang menjawab, ya iyalah masak iya donk. Atau cukup dengan yoi. Dan he..he… lupa.

Dalam beberapa bulan terakhir ini (khususnya di Surabaya) banyak pameran bertajuk batik. Ada pameran khusus batik, batik dengan handycraft lainnya ataupan pameran lain namun menempelkan unsur batik. Dari pengamatan saya, remaja pun banyak yang mengenakan batik dan mereka tidak nampak jadul (jaman dulu). Model dengan bahan dasar batik yang ditawarkan saat ini mempunyai banyak pilihan. Hal ini menjadi angin segar bagi pengrajin, dengan banyaknya kesempatan pameran mereka memunyai banyak kesempatan untuk memasarkan hasil karyanya.

Batik, sebagai sebuah produk sebagaimana pergeseran jaman, batik juga mengalami perubahan. Meskipun masih ada batik yang tetap mempertahan pakem dengan tetap mempunyai makna filosofi pada setiap motifnya. Misalnya motif kuno Sidomukti, biasa dipakai pada saat pernikahan dengan harapan pernikahan tersebut akan langgeng dan membahagiakan. Atau motif kuno Satrio Manah, yang mempunyai arti bahwa pemakai batik ini adalah orang yang menjunjung tinggi moral dalam mencapai tujuannya. Di Jawa Timur, motif kuno yang mirip motif batik kuno dari Solo dan Jogja banyak ditemui salah satunya pada batik tulis yang berasal dari Tulung Agung....

*klik di sini [ My Family] untuk versi lengkapnya.
*photo by galursoleil.files.wordpress.com

18 Desember 2009

Tetap Tersenyum Meski Kena "Kanker"

Bayu Indra

Oke, mungkin di antara kalian pernah mengalami masalah ini. Lagi ingin jalan ke mall atau berbagai tempat hangout, tapi terkendala dengan budget. Bagi sebagian orang, tinggal minta saja kucuran uang pada orang tuanya, dan wuss! Mereka sudah ada di mall atau café dengan nyamannya tanpa memikirkankan yang namanya budget. Tapi, yang susah adalah yang kena "kanker" atau kantong kering. Apa yang harus dilakukan?

Ada pepatah yang mengatakan, “tak perlu pergi ke Roma untuk menikmati indahnya dunia. Cukup berada di kamar sempit, bersama teman teman atau sahabat yang gokil." Oops, itu bukan kata pepatah ding, tapi kata mutiaraku. Artinya, kita harus cerdas melihat peluang. Pantai bisa menjadi salah satu pilihan. Kebetulan, aku ada di Makassar yang terkenal dengan Partai Losarinya. Menyaksikan matahari mulai tenggelam bersama someone, seru dan yang paling penting tidak menguras kantong kita.

Kalau bosan ke pantai, coba nikmati gadget yang ada. misalnya VCD atau DVD atau Mp3. Kalau ada VCD atau DVD, tinggal beli film komedi atau film favorite yang lagi "in", lalu undang kawan dan orang sekampung, se-gang atau sahabat untuk nonton di rumah. Bagaimana kalau nggak punya gagget? Kan bisa pinjam ke tetangga. Kalau ada (dan bisa mainnya) gitar, pinjam saja. Atau, undang kawan yang bisa memainkannya. Pokoknya jangan nyerah!

Kalau tetap tidak bisa, bagaiman kalau ke kuburan. Pilih kuburan yang paling jelek, dan menganislah aja sekerasnya. Kidding, jack! Ayolah, selalu ada cara untuk membuat kita bahagia tanpa biaya. Sip!

Luna, Ruhut dan Etika Jurnalistik

Iman D. Nugroho

Saat semangat masih berapi-api mengikuti kasus Luna Maya melawan wartawan infotainment, tiba-tiba sebuah "tag" foto berjudul Skandal Ruhut Sitompul mengejutkanku. Seperti gambar disamping ini, anggota DPR dari Partai Demokrat tampak mesra memeluk seorang perempuan. Muncul pertanyaan, apakah hal ini pantas diberitakan?

Untuk menjawab pertanyaan jadul (baca: jaman dulu) itu paling pas membuka lagi Code of Ethics atau kode etik jurnalis Indonesia. Dalam pasal 3 yang tertulis, "Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah," membuat jurnalis tidak boleh gegabah dalam melihat gambar Skandal Ruhut ini.

Harus dilakukan pengujian informasi dengan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. Diberikan ruang berimbang kepada yang bersangkutan, dengan menghapus semua praduga yang tertancap di otak kita. Kalau sudah ada prasangka, silahkan lihat Pasal 8. Tertulis di sana "Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani."

Dan yang tidak kalah penting pada pasal 9 yang tertulis "Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik." Karena itu, jurnalis harus berhati-hati dan menahan diri, untuk tidak memasuki wilayah pribadi nara sumber. Dalam kasus Skandal Ruhut, apakah hal ini sudah memasuki wilayah publik? Untuk menjawabnya, harus dilihat dulu, apakah ada domain publik yang terlanggar dalam foto itu.

Misalnya, apakah Ruhut melakukannya di gedung DPR/MRP yang notabene gedung publik dan tidak digukana untuk hal itu? Apakah waktu bepergian itu Ruhut menggunakan mobil dinas? Kita tahu, mobil dinas DPR/MPR digunakan untuk kepentingan tugas sebagai Wakil Rakyat saja, bukan untuk hal pribadi. Intinya, semua hal harus dibenturkan pada kepentingan publik. Bagaimana dengan moralitas? Misalnya, sebagai Wakil Rakyat, Ruhut tidak sepantasnya melakukan hal demikian.

Ah. Pers tidak mengurusi urusan moral. Memangnya pers malaikat?

Luna Maya vs Infotainment

Dedy Adriansyah

Saya tertarik membaca perseteruan artis Luna Maya dan pekerja infotainment. Kejadian ini mengembalikan memori saya untuk mundur lima tahun ke belakang.

Sesungguhnya, perseteruan antara pekerja infotainment terhadap selebritis pernah terjadi di tahun 1995. Ketika itu sederet kasus yang melibatkan artis dan pekerja selebritis mencuat. Ingat bagaimana seorang komedian Parto yang mengacungkan pistol ketika terdesak oleh pertanyaan para pekerja infotainment, atau artis Bella Shapira yang pernah marah-marah ketika ditanyai, apakah ia seorang wanita panggilan? Demikian juga Sarah Ashari melempar asbak setelah berkonflik dengan pekerja infotainment?

Persoalan ini kemudian bergulir bukan lagi antara selebritis vs pekerja infotainment. Tetapi pada sebuah pertanyaan, apakah pekerja infotainment adalah juga seorang jurnalis (wartawan)?

Ini dilandasi oleh cara-cara yang dilakukan para pekerja infotainment untuk mewawancarai narasumbernya yang cenderung tidak mengikuti etika sebagai seorang jurnalis.

Menurut Ketua Persatuan Artis Sinretron Inodonesia (PARSI), Anwar Fuadi dalam buku Potret Pers Indonesia (yang diterbitkan Dewan Pers-2005), para pekerja infotainment sering memaksa, mencaci maki, menggedor pintu dan bahkan lebih parah menerobos masuk pekarangan rumah narasumbernya untuk melakukan wawancara.

Ingat, peliputan kasus di kalangan artis berbeda dengan skandal yang dilakukan oleh pejabat negara. Meski sama-sama publik figur, tapi profesi artis sama dengan profesi lainnya. Sementara pejabat negara disumpah dan digaji oleh negara. Wajar, jika kemudian metode peliputan terhadap pejabat yang terlibat kasus korupsi, kriminal, bisa dilakukan dengan cara-cara tak biasa.

Ignatius Haryanto, Peneliti di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) Jakarta dalam tulisannya berjudul ”Selebritas dan Jurnalisme Infotainment” (Potret Pers Indonesia-diterbitkan Dewan Pers) mencoba mengurai apakah pekerja infotainment itu masuk dalam kategori wartawan atau bukan.

Dalam tulisannya itu, Ignatius memang tidak secara kongkrit menolak pekerja infotainment disetarakan dengan profesi wartawan. Namun dia membandingkan bagaimana metode kerja yang dilakoni jurnalis dengan pekerja infotainment tersebut.

Jurnalis bekerja untuk mencari dan menyiarkan berita demi kepentingan publik, untuk memenuhi rasa keadilan dan ketidakadilan masyarakat yang lebih luas. Seorang jurnalis juga bekerja berdasarkan standar profesi yang tinggi dengan rules dan regulasi yang mengikutinya dalam hal ini Kode Etik Jurnalis Indonesia (KEJI).

Sementara para pekerja infotainment berkutat pada wilayah personal/privat si artis. Domain yang digarap adalah hiburan yang melulu bicara soal kehidupan pribadi artis, kawin, cerai, selingkuh, meninggal, melahirkan, pindah agama, merayakan hari besar dan bahkan profil dari benda-benda pribadi yang dimiliki si artis.

Jika pekerja infotainment mau dilihat sebagai jurnalis yang meliput dunia hiburan, maka dunia hiburan tak melulu soal pribadi si artis saja, tapi bisa diperluas dari struktur ekonomi-politik-hukum dari dunia hiburan tersebut. Dan ini luput ditulis oleh banyak para pekerja dunia hiburan.

Contoh kasus. Saya pernah melihat tayangan infotainment yang meliput pasangan selebritis beserta kedua anaknya melakukan perjalanan ke lokasi hiburan keluarga. Tayangan tersebut menggambarkan bagaimana happy-nya pasangan tersebut.

Anda tahu, selebritis yang ditayangkan tersebut ternyata adalah pasangan kumpul kebo. Anak-anak mereka lahir tanpa ikatan pernikahan yang disahkan oleh agama ataupun negara. Sesuatu yang tabu bagi budaya masyarakat timur.

Tapi pekerja infotainment sepertinya mengabaikan dampak dari tayangan tersebut kepada pemirsanya. Karena pesan yang muncul di masyarakat adalah, hidup tanpa hubungan pernikahan di Indonesia ternyata bisa dilakukan di Indonesia.

Padahal dalam diri seorang jurnalis, dia harus memiliki semangat kontrol sosial atas ketidakadilan/ketidakwajaran yang terjadi di sekitarnya. Jika memang tidak berani mengkritik pasangan tersebut, harusnya infotainment tidak memberi ruang yang bebas bagi pasangan tadi. Sebab, pemberian porsi yang bebas di dunia infotainment itulah, karir dan pendapatan kedua pasangan tersebut terus meroket.

Reaksi PWI Ancam Kebebasan Pers?

Kita kembali ke kasus Luna Maya. Saya menilai Luna Maya tentu punya alasan mengapa harus mengeluarkan umpatan di twitternya. Mencermati pemberitaan di infotainment, kronologi kasus ini bermula ketika Luna Maya menghadiri pemutaran film Sang Pemimpi bersama orangtua dan Alleia, putri Ariel (sang kekasih), Selasa (15/12) malam.

Usai acara, Luna Maya menggendong sang putri kecil tersebut yang tengah tertidur. Mendapat angel yang menarik, para pekerja infotainment kemudian mengejar Luna Maya untuk dimintai keterangan.

Luna Maya bukan menolak untuk diwawancarai, tapi dia harus membawa Alleia masuk ke mobil dan memberinya ruang yang nyaman untuk tidur di dalam mobil. Tapi para pekerja infotainment seakan tak memperdulikan permintaan itu. Mereka ngotot mengejar hingga kemudian Luna Maya terdesak, dan kepalanya terbentur kamera salah satu infotainment.

Di sinilah amarah Luna memuncak. Alleia ia serahkan kepada ibunya Ariel dan meladeni kemauan infotainment untuk diwawancarai. Dalam wawancara tersebut, Luna tidak sedikitpun mengeluarkan makian atau umpatan. Dia hanya menyampaikan kekesalannya atas perlakukan para pekerja infotainment tersebut.

Usai wawancara itulah, kemudian di twitternya Luna menulis : “Infotaiment derajatnya lebih HINA dari pada PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!

Jika pekerja infotainment tersebut seorang jurnalis, maka mereka tentu menghargai privasi si artis. Memberi ruang bagi Luna Maya untuk membawa anak kecil yang sedang tertidur dalam pelukannya itu lalu kemudian memenuhi janjinya untuk diwawancarai. Jika komunikasi berjalan, makiannya di twitter tersebut jelas tidak akan pernah ada.

Lagi pula, menurut saya, umpatan Luna Maya di Twitter tersebut adalah hal yang wajar. Itu ekpresi dirinya yang kesal terhadap perlakuan para pekerja infotainment. Sama halnya komentar yang kita sampaikan karena kecewa terhadap ketidakadilan di negara ini.

Lagi pula, di situs jejaringannya itu, dia tidak menyebutkan lembaga atau individu infotainment tertentu.
Lalu kenapa pula para pekerja infotainment tersebut harus marah? Apakah pekerja infotainment tak boleh dikritik? Apa mereka lebih hebat dari polisi, jaksa, hakim atau bahkan presiden yangg belakangan ini sering dihujat di situs jejaringan sosial?

Jika kasus ini kemudian bergulir ke polisi, saya khawatir di kemudian hari kasus yang sama akan jadi bola panas bagi siapapun yg mengkritik kinerja institusi negara di jejaringan sosial termasuk FB. Lalu apa gunanya publik membela perlakukan semena-mena RS Omni terhadap Prita Mulyasari?

Bahkan bukan tidak mungkin, sejuta facebooker yang mendukung pembebasan Bibit- Candra terancam dilaporkan ke polisi karena di komunitas jejaringan sosial tersebut berisi jutaan makian dan hujatan terhadap pihak-pihak yang dilawan. Atau RS OMNI akan mempidanakan orang-orang yang tergabung dalam komunitas yang mendukung Prita Mulyasari.

Karena itu saya sangat menyayangkan dan menyesalkan sikap PWI Jaya dan pekerja infotainment yang terburu-buru melaporkan Luna Maya ke polisi. Saya menolak siapapun, baik institusi atau pun individu yang mencoba menjerat komen-komen pengguna situs jejaringan sosial ke jalur hukum. Bagi saya ini adalah bentuk kriminalisasi berekspresi, yang melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).

Hal yang sungguh lebih berbahaya lagi adalah, laporan PWI Jaya tersebut akan menjadi preseden buruk bagi pers Indonesia yang selama ini mengagungkan hak jawab bagi narasumber yang merasa keberatan atas pemberitaan media.

Di samping itu pula, jika memang pekerja infotainment adalah bagian dari jurnalis, harusnya PWI Jaya juga mengikuti peraturan hukum melalui UU Pers 1999. Atau meminta klarifikasi ke Luna Maya terhadap pernyataannya tersebut. Jika tidak bisa juga, lakukan mediasi ke Dewan Pers. Saya kok khawatir, laporan PWI Jaya tersebut akan menjadi alat justifikasi bagi narasumber lain untuk tak menggunakan hak jawab atas pemberitaan yang merugikannya.

Karena itu saya tidak habis pikir, kenapa PWI jaya dan para pekerja infotainment tersebut ujug-ujug menyelesaikan masalah melalui jalur pidana. Bukankah reaksi pekerja infotainment ini semakin memperlebar perdebatan jika pekerja infotainment bukan bagian dari profesi jurnalis.

Jika memang begitu kesimpulannya, tolong dong jangan anda mengaku-ngaku sebagai jurnalis. Saya dan bahkan mungkin sejumlah orang lainnya yang berprofesi sebagai jurnalis justru bisa melaporkan balik, karena anda-anda telah mempermalukan profesi kami, sebagai jurnalis!

*tulisan ini juga bisa dibaca di Ekspresikan.blogspot.com *photo by ME