
10 Desember 2009
Demo Hari HAM Unik di Jakarta
Iman D. Nugroho
Masyarakat dari berbagai organisasi menggelar demonstrasi untuk Hari Hak Asasi Manusia di dean Istana Merdeka Jakarta, Kamis [10/12] ini. Tampak pada gambar seorang aktivis trans gender ikut mewarnai demonstrasi dengan berpakaian menarik.

09 Desember 2009
Teriakkan Tuntutan Usut Century di Depan Kantor Presiden
Iman D. Nugroho
Ribuan orang dari berbagai elemen menggelar demo Hari Anti Korupsi se-Dunia di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia, Rabu (9/12/09) ini. Mereka menuntut pemerintah serius dalam mengusut kasus korupsi di Indonesia. Termasuk mengusut kasus Bank Century yang diduga kuat melibatkan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tampak pada gambar, poster dari Serikat Rakyat Miskin Kota saat berdemo di Istana Merdeka, Jakarta.

08 Desember 2009
Selembar Bendera untuk Garuda
Senja Madinah
“Nda, semalam aku bermimpi,” Celoteh cempreng gadis kecil berambut sebahu itu meminta perhatian. Aku menoleh sekelebat. “Oh ya? Mimpi apa?” Tanyaku ikut bersemangat agar antusiasnya tak padam. Aku melihat wajah bulat bermata bening telaga itu sedikit berpikir. Menghentikan sejenak kegiatannya memasang kaus kaki berwarna putih ke kaki kirinya.
“Mimpi rumah panjang yang bunda ceritakan semalam,” Jawabnya menggantung. Aku tahu ini akan menjadi cerita yang sedikit panjang. Ah, anakku itu benar-benar merasukkan dongeng itu dalam benaknya. Aku menunggu. Ia melanjutkan kegiatan memasang sepatu.
Dongeng rumah betang. Tentu saja ini cerita istimewa. Berkisah tentang kehidupan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Ku ambil dan kuadaptasikan dari serumpun artikel dan film documenter yang pernah ku lihat. Film berjudul Long Life Though The Long House itu rencananya malah ingin ku perlihatkan padanya sepulang sekolah nanti.
“Aku bermimpi punya nenek yang suka bercerita. Bercerita sambil menggumam-gumam seperti yang bunda ceritakan itu. Aku mimpi dia bercerita langsung padaku. Di rumah betang itu,” Celotehnya tanpa mengurangi konsentrasi memasukkan kakinya pada lubang sepatu.
Dalam dongeng yang ku kisahkan semalam, aku bercerita tentang seorang nenek yang sedang dikelilingi gadis belia seusianya. Ditemani bapak dan ibu mereka masing-masing. Nenek berwajah tirus dimakan usia itu sedang bedudu (bertutur / cerita nasehat). Seluruh penghuni rumah panjang yang terdiri dari beberapa keluarga itu mendengarkan dengan hikmad. Ku katakan padanya, tradisi ini masih lestari digunakan orang-orang dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat.
PESAN DALAM CERITA
Aku teringat, sempat memperlihatkan peta Kalimantan pada Salma, sebelum memulai cerita. Menunjuk salah satu kawasan bernama Sintang, tempat tradisi itu masih dilestarikan. Salah satu kawasan orang-orang Dayak itu tinggal dan istiadat masih disemai. Selain menunjuk beberapa tempat lain, seperti Ibu Kota Propinsi, Pontianak. Ini strategi pelajaran geografi yang selalu gagal ku nikmati dengan baik, saat di bangku sekolah dahulu.
“Bukannya nenek Salma juga suka mendongeng jika berkunjung ke sana?” Tanggapku seraya meletakkan sarapan pagi untuknya di sebuah meja kecil. Segelas susu panas yang baru saja diperah mengepul dari gelas keramik favoritnya. Gelas keramik buatan tangannya sendiri.
“Nggak Nda, dalam mimpi itu bukan Eyang yang cerita. Tapi orang lain. Nenek yang katanya bunda punya tiga kerut di wajahnya. Yang rambutnya putih seputih salju, digelung ke belakang. Yang kurus, yang suka makan rotan. Tumis rotan. Nenek yang katanya bunda suka bercerita tentang anak-anak yang suka belajar itu,” Suaranya meninggi, bersemangat. Aku mengulas senyum, mengangguk. Ku kira, aku juga sering bermimpi dongeng-dongeng yang sering diceritakan Ibu, dulu. Otak nakalku meloncat, mungkin ia bermimpi makan tumis rotan muda, atau mimpi makan kursi goyang di rumah Eyangnya yang terbuat dari rotan? Hahaha…
RUMAH PANJANG ITU,..
“Nun, jauh masuk ke dalam hutan. Di sebuah daerah bernama Sintang. Berdirilah sebuah rumah yang sangat panjang. Rumah itu ditinggali sekitar 27 keluarga. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka berapakah jumlah seluruh orang yang ada di rumah itu?” Tanyaku memulai cerita, sambil mengusap-usap kepalanya.
Ah, ia tak kehilangan kecerdasannya meski dilanda kantuk, “Seratus delapan,” Jawabnya. Aku mengecup keningnya, seraya membisikan pujian tak berlebihan untuknya.
“Di rumah bernama Rumah Ensaid Panjang itu, seorang perempuan yang mempunyai rambut serba putih keperakan, di kelilingi oleh anak-anak kecil sepertimu. Perempuan itu memiliki tiga kerut di dahinya. Beberapa kerut lagi di dekat matanya, juga mulutnya. Usianya sekira 65 tahun. Tapi, perempuan itu masih lugas untuk berkisah. Berkisah tentang sebuah hikayat, diantara ratusan dongeng yang sering diceritakan di rumah betang,” Aku melanjutkan. Ia mendengarkan dengan khuyu’.
“Nenek-nenek?” Tanyanya polos. Aku mengangguk. “Tapi, Eyang rambutnya kok nggak putih semua, Nda? Masih legam, bagus banget. Meskipun, Salma pernah nemu ada yang warna putih? Tapi nggak banyak,” Ini distorsi yang akan memperlama proses bercerita. Tapi aku menyukai sela ini. Karena ku kira, ini menunjukkan kecakapannya mengenali sesuatu dan jeli pada sekitarnya.
Serta merta aku akan menjelaskan beberapa hal, mulai dari faktor usia, penjelasan sedikit ilmiah tentang genetika, yang dibuat seringan mungkin atau juga proses kimia yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya telah berambut putih. Ia akan kembali ke topik awal, jika merasa penjelasanku cukup memuaskannya.
“Diterangi sebuah pelita, Berkisahlah nenek itu;
“Lagu ini akan terdengar di begitu banyak pintu.
Di rumah betang Ensaid panjang.
Di halaman depan dan jalan yang panjang.
Saya kasihan dengan kalian semua.
Tapi tak ada yang bisa saya katakan,
hanya melalui bedudu (cerita nasehat) ini saya berbisik,”
Aku memutar instrument Sampe’ Dayak Klasik. Instrument yang didominasi oleh alat musik petik bernama Sampe’ dengan dawai berjumlah tiga atau empat. Sesekali terdengar Kadire turut memberikan daya magis pada instrument yang diperdengarkan. Ku antarkan dia berimajinasi agar memiliki gambaran yang lebih mendalam pada kisah yang ku ceritakan. Sound system yang hanya berada di pojok-pojok kamar dengan volume yang tak terlalu keras membuatnya semakin menikmati cerita. Sejurus kemudian, Ayah Salma ikut bergabung. Turut memeluknya dari arah kanan.
SEPATU SALMA
“Terus?” Tanyaku tak ingin menyurutkan semangatnya bercerita.
“Terus, dalam mimpi itu tiba-tiba Salma mau diantar sekolah sama Ayah. Tapi Salma menolak. Karena kawan-kawan Salma nggak ada yang diantar orang tuanya,” ia melanjutkan. Kali ini ia beringsut ke meja kecil tempat sarapan paginya.
“Waktu jalan bareng teman-teman, Salma justru malu pakai sepatu. Karena semua teman Salma bertelanjang kaki.” Ceritanya terdistorsi beberapa suap nasi yang meluncur tergesa ke mulutnya.
“Nah, akhirnya, sepatu yang Salma pakai, ku lembar ke angkasa,” Intonasinya meninggi. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah omlet dengan potongan sayur dan tomat, demi melanjutkan cerita ini.
“Ternyata, Sepatu itu terlempar ke burung yang sedang terbang. Burungnya persis dengan burung yang dipajang di kelas, di sekolah. Itu lho Nda, burung yang dipajang di atas papan tulis, ada di tengah, sedikit lebih tinggi diantara gambar presiden sama wakil presiden,” Jelasnya bersemangat, sekaligus bingung.
Aku tertegun. Burung Garuda?
“Salmaaaaa, nanti terlambat,” Terdengar teriakan dari arah depan kamar.
“Sebentar yaaaahhh,” Salma ikut berteriak. Segera menandaskan susunya, menyambar tas sekolah dan berlari ke arah depan. Menuruni tangga dengan tergesa. Aku mengikutinya dari belakang sampai di ambang pintu, sebelum akhirnya ia kembali menghampiriku. Mencium pipiku.
“Tolong beri satu ciuman lagi di bibir bunda, Salma. Hadiah dari Ayah,” Lelaki itu mengerling, sambil mengaitkan kaca mata hitam ke sela bajunya. Aku tersenyum menerima ciuman bertubi-tubi dari Salma.
NASEHAT SEDERHANA
“Belajarlah, janganlah kita menjadi orang bodoh.
Jelilah dalam melihat sesuatu.
Pikirkan segala sesuatu dengan masak-masak.
Di tengah rumah aku bercerita, semoga tak sia-sia,”
“Dalam kisah yang diceritakan dengan suara sengau mendengung-dengung itu, sang nenek memberikan nasehat jika anak-anak dayak itu harus terus belajar. Karena jika mereka tidak belajar akan jadi orang bodoh. Anak-anak itu, diminta untuk selalu jeli melihat sesuatu, agar tidak mudah tertipu, selalu berpikir dalam bertindak,” Kisah ini dilanjutkan lelakiku yang kini mengikuti alur cerita. Ku lihat Salma semakin girang ditemani dua pendongeng hebat di sebelak kanan-kirinya.
“Yah, suara sengau itu seperti apa?” Demi mendengar pertanyaan ini, lelaki itu menatapku, bingung. Aku tertawa, sebelum akhirnya kami berusaha mempraktekannya, dengan beberapa catatan, tak boleh menggunakannya untuk melecehkan orang lain atau suaranya tidak benar-benar sengau.
“Kisah ini didengarkan oleh seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah betang itu, selepas anak-anak belajar atau mengerjakan PR dan makan malam. Beberapa orang sambil mengayun-ayunkan adik-adik bayi pada sebuah ayunan yang dibuat dengan sederhana di teras rumah betang itu. Beberapa yang lain sambil membuat kain tenun ikat tradisional,” Ia melanjutkan. Merapatkan selimut yang mulai longgar di badan Salma. Satu tangannya menelusup ke tengkukku.
“Jadi, anak-anak Dayak itu rajin sekolah. Meskipun mereka tak punya sepatu untuk sekolah. Meskipun mereka tak punya seragam merah-putih untuk belajar. Keterbatasan itu sama sekali tak menghalangi semangat mereka untuk berangkat ke sekolah,” Ku lihat matanya sedikit membesar, takjub. “Padahal, jarak rumah mereka dengan sekolah lebih dari 10 kilometer dari sekolah terdekat. Harus lewat sawah yang becek, jalan berbatu dan tak sedikit yang harus menyeberang sungai,” Imbuh sang Ayah.
“Karena hikayat yang diceritakan sang nenek itu, benar-benar mereka camkan dalam benak mereka,” keningnya berkerut mendengar kalimat terakhir dari ayahnya.
“Nggak capek jalan sepanjang itu? Nggak laper? Sepuluh kilo kan ada 10.000 meter? Kalau sekali langkah anak-anak itu sekitar setengah meter, berarti mereka harus berjalan 20.000 langkah setiap harinya. Kalau pulang pergi, jadi 40.000 langkah.” Tanyanya menggebu, penuh ingin tahu. Aku senang dengan permainan matematikanya.
“Ya Capek. Tapi mereka suka bawa bekal nasi dan lauk seadanya. Mereka tak sempat makan di rumah karena khawatir terlambat di sekolah,” Lelakiku itu menjawab dengan gemas. Mencium pipi Salma berkali-kali. Agaknya Salma sedikit terganggu, meskipun ia tidak menolak ciuman itu. Ku kira, rasa terganggu itu karena ia lebih ingin mendengar keterangan komplit dari dongeng yang baru saja diceritakan.
“Terus?” Tanyanya tak sabar.
“Nggak mau dilanjutin, beri Ayah ciuman dulu,” Ayah Salma pura-pura merajuk. Menggoda Salma yang dililit rasa penasaran. Serta merta ia bangkit dari posisi celentang. Meraih leher Ayahnya dan meluncurkan ciuman bertubi-tubi. Aku tertawa sambil membesarkan bola mata. Mengarah ke bola mata suamiku. Sedikit meresa jengkel. Usahaku untuk membuat Salma tertidur bubar berantakan akibat ulah jahilnya. Dia hanya tertawa sambil mencuri-curi mencium pipiku, tanpa malu di depan Salma.
“Terus, Yah?” Tanya Salma enggan kembali ke posisi tidur. Duduk bersila di hadapan kami berdua. Ia meraih tangan Salma. Memberi gerakan reflek yang membuat tubuh Salma kembali tumbang di antara kami.
“Nah, anak-anak cerdas itu, memakan bekalnya, di separoh perjalanan. Di sebuah jembatan kecil. Membuka kantong anyaman pandan tempat penyimpan nasi dan lauk seadanya. Mereka makan bersama. Tak ada yang saling iri, karena nasi dan lauk yang mereka bawa, nyaris sama. Ikan bakar, seperti patin dan baung, hasil pancingan mereka sendiri. Terkadang mereka melahap ayam dan babi yang mereka pelihara sendiri. Mereka lebih sering berlauk sayuran yang juga ditanam sendiri. Bahkan, nasi yang mereka makan pun hasil sawah sendiri,” Jawaban terakhir ini membuat kening Salma berkerut.
“Enak dong Yah, mereka makannya sama ikan bakar, ayam, babi,… Kita makan tempe sama tahu,” Tukasnya, kritis.
KECOMBRANG
“Eh, tapi kan semuanya dipelihara atau didapat dengan keringatnya sendiri. Ayam dan babi pun disembelih kalau ada ritual persembahan sebelum atau setelah panen. Mereka jarang menggunakan uang. Lebih sering malah makan sayuran. Nah, sayur favorit mereka adalah pojak pusung jaung atau tumis bunga kecombrang dan pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda,” Salma manggut-manggut.
“Kecombrang?” Salma mengulangi pernyataan ayahnya.
“Iya, kecombrang kalau di istilah bahasa Indonesia. Sebetulnya berasal dari bahasa jawa. Kalau istilah orang Sunda disebut honje. Nah, di Sumatera Utara disebut Bunga kencong atau kincug, kalau di Bali disebut bongkot. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger. Tapi intinya, tanaman itu mirip jahe, tetapi bunganya lebih bagus, warnanya merah muda. Sementara buahnya mirip nenas sehingga sering dipakai sebagai asam. Kadang, nenek Salma sering memakai buah kecombrang kalau sedang masak sayur asem,” Jelas sang Ayah.
“Nah, kalau dalam ilmu pengetahuan biologi, Bunga Kecombrang ini, termasuk kelas Liliopsida, memiliki ordo Zingiberales, familinya Zingiberaceae, bergenus Nicolaia, dan spesiesnya Nicolaia Speciosa Horan,” Lanjutku.
“Tumis rotan?” Pertanyaan itu telah diucapkannya dengan mata terpejam dan bergumam. Sejurus kemudian, ia telah pergi ke alam mimpi.
***
Aku melihat layar selularku, seusai siaran pagi; Solusi cerdas bagi perempuan cergas! Ada sebuah pesan masuk, saat aku beranjak dari kursi dan keluar dari studio. Tak sengaja membentur tangan kanan Damian, penyiar berikutnya. Penyiar berusia 23 tahun yang membawakan acara jazzy jazz itu membuatku betah di kantor satu jam lebih lama. Selain karena aliran musik yang dibawakan, aku juga menyukai informasi yang disisipkannya dalam setiap siaran, tentang lagu-lagu jazz.
Ah, meskipun aku mengaku penyuka jazz tapi aku tak pernah tahu jika awalnya musik jazz lahir dengan dasar Blues. Kemudian pada sekitar tahun 1987 mulai dikenal bentuk Rag Time, yang pada waktu itu berupa permainan piano di bar-bar. Blues dan Rag Time berkembang menjadi Boogie - Woogie. Bentuk-bentuk tersebut selain merambah pada jalurnya sendiri, juga berkembang menelusuri perjalanan musik jazz. Aku tak pernah tahu tentang itu, sampai mendengar informasi yang disampaikannya. Yang aku tahu, musik jazz hanyalah berasal dari Amerika Serikat sekitar tahun1868.
Yang ku tahu hanyalah beberapa musikus atau penyanyi yang terkenal di dunia jazz, seperti Syahrani yang memiliki kualitas vocal yang ok, Tompi seorang dokter muda dengan improvisasi yang full, Glenn Fredly, Maliq & D’Essentials, Bunglon, January Christy, Dian Pramana Putra, Ermi Kulit, Mus Mujiono, Fariz RM, Gilang Rahamdhan, Indra Lesmada dan ayahnya almarhum. Atau juga beberapa penyanyi jazz barat seperti Norah Jones, Nat King Cole, Al Jareau, Diana Krall, Michael Frank, Boby Caldwell dan juga Manhattan transfer, atau Lee Ritenour. Sementara bagaimana mereka ada, berkenalan dengan musik jazz dan memberi jejak di dunianya, aku tak pernah tahu. Sampai mendengar ceramah ringan dari Damian.
Aku membaca pesan: Tadi Salma minta aku tidak lagi mengantarnya ke sekolah.
Segera ku pencet tombol OK untuk menjawab SMS itu melalui telephon.
“Sayang? Sudah selesai siaran? Atau masih mendengar penyiar pujaanmu itu mengulas tentang jazz?” Sapa suara di seberang. Sepertinya dia sedang berada di rumah. Suara riuh lima ribu ekor ayam menjadi backsound suaranya. Aku mengangguk, lupa jika kami terpisah oleh ruang. Sekaligus tergelak menyadari tambahan kalimat terakhirnya. Sedikit tersanjung. GRku, dia sedang bermain-main dengan jawaban berbahayaku. Untuk menyakiti dirinya sendiri; Jealous. Haha,…
“Tidakkah dia menceritakan tentang mimpinya padamu?” Tanyaku setelah memperbaiki jawabanku atas pertanyaan yang hanya ku jawab dengan anggukan tadi. Ia berkata seperti menggumam. Sedikit tak terdengar karena kokok ribuan ayam itu lebih ribut daripada suara tenornya. Ku raba, ia bertanya tentang isi mimpi Salma.
Ku ceritakan mimpi unik Salma. Tentang rumah betang dan lemparan sepatu mengenai burung garuda. Terdengar suara oh, saat aku mengakhiri ceritanya. Dalam pembicaraan itu, aku baru mendengar informasi jika siang kemarin, saat aku menggantikan siaran siang kawanku, mereka, Salma dan Ayahnya, menyaksikan film documenter: Indonesiaku di Tepi Batas (My Indonesia at The Edge of Border).
BATAS NEGARA
Berjalan tertatih. Sendiri, menyusuri hutan. Dengan sebatang tongkat sebagai penyangga badan yang telah bergeser tiga puluh derajad ke arah depan. Kulitnya yang telah layu dibiarkan dikibas lambaian angin dari tanaman keras yang masih tersisa. Kulit itu membungkus sekerat daging yang masih menempel pada tulang. Matanya yang tidak lagi awas sesekali menyandung kerikil atau juga akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. Ia berhenti. Sesekali istirahat melepas lelah dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar. Sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Menerobos perbatasan.
Perbatasan itu hanya ditandai sebuah patok. Sungguh aneh, pikirnya. Karena perbatasan ini bukanlah sekedar batas desa atau kecamatan. Tapi ini batas antara dua Negara. Ia hanya menggeleng. Sambil membayangkan bagaimana wajah Negara saat mebahas tentang Ambalat atau Sipadan dan Ligitan diakui Negara lain.
Tapi ia merasa beruntung, karena batas itu tak disertai kawat berduri atau penjaga perbatasan. Kalau tidak, maka ia merasa akan lebih menderita lagi. Betapa tidak, usianya yang telah renta tak menggerakkan hati para dokter atau penjaga kesehatan di puskesmas desanya tergerak untuk sekedar mengobatinya. Sehingga ia terpaksa berjalan lebih dari 8 jam untuk menerobos perbatasan dan memohon pengobatan gratis di sana. Ah, ia hanya berpikir, ingin mati dengan cara yang lebih baik, jika Tuhan memang memanggilnya. Tidak dalam kondisi mengerang saat meregang nyawa.
“Saya harus berjalan sekitar 8 jam untuk berobat ke Negara tetangga. Sebab puskesmas yang ada di desa kami sering tutup karena dokter yang tidak datang,” Mata tua itu tak kehilangan semangat untuk hidup. Setidaknya itu terpancar dari usahanya pergi berobat meski harus menempuh jarak berpuluh kilo meter.
Mata bening itu tak berkedip. Melihat setiap adegan yang terekam dalam film documenter karya seorang sineas spesialis film documenter, Deny Sofyan, sahabatku. Sesekali berkomat-kamit seperti merapal mantra. Atau menghafal kata? Ia hanya bergerak dari posisi tiduran di pangkuanku ke posisi duduk. Meski kepalanya tetap menyandar di dadaku. Sesekali ku hapus keringat yang menetes dari keningnya. Kemarau kali ini terasa lebih panjang. Entahlah, mungkin karena badai elnino yang banyak dibicarakan pakar itu. Atau juga karena manusia telah melupakan jantung mereka hingga terus membalak secara liar.
“Sebagaian besar masyarakat yang tinggal di perbatasan belum sepenuhnya mengetahui bahwa mereka bagian dari wilayah Indonesia. Baru kemarin, di bulan Agustus, saat dikibarkan bendera merah putih, mereka baru sadar jika merekapun Indonesia. Tapi, saya kira kalau sekedar bendera tidak bisa mensejahterakan masyarakat,” Ujar seorang Perangkat Desa di Sintang.
Gadisku itu, tampak sangat meresapi cerita. Matanya semakin berbinar saat melihat gumpalan awan yang bergerak begitu dramatis di langit Borneo bagian barat. Mata itu juga berkaca-kaca saat melihat anak-anak sekolah seusianya bertelanjang kaki dan hanya sebagian kecil yang mengenakan seragam. Mimiknya juga berubah miris manakala melihat sang saka merah putih yang telah pudar warnanya dan tercabik tinggal separoh, berkibar ditiup angin, pada sebatang bamboo yang dipancang di atas pohon.
“Yah, orang-orang diperbatasan masih menyedihkan begitu. Tapi kenapa pak polisi sama om-om di KPK meributkan soal siapa cicak, siapa buaya? Memangnya Cicak sama Buaya musuhan ya, Yah? Padahal, dalam sejarah rantai makanan kan, mereka tidak tergabung dalam satu lingkaran? Buaya bukan predatornya cicak kan Yah? Terus kenapa semua orang jadi pada ribut saling membela atau mencerca Cicak atau Buaya?” Tanyanya dengan mimic inosens. Saat itu, aku kehilangan kata untuk menjelaskan pertanyaan kritisnya
PUISI BENDERA
Siang yang pekat. Panasnya menyengat hingga menembus pori-pori. Aku memasuki pelataran halaman sekolah Salma dengan penuh tanda tanya. Sebuah surat memanggil kami untuk segera menemui guru Salma. Saat kami masuk ke ruang guru, seorang guru setengah baya menunggu.
“Saya mengundang bapak dan ibu untuk menunjukkan PR menulis puisi yang ditulis Salma,” Suara lembut keibuan itu keluar dari bibir tipis sang guru. Mengawali pembicaraan serius, setelah beberapa saat berbasa-basi. Keningku berkerut. PR? Aku menoleh. Suamiku juga sama tidak mengertinya.
Selembar Bendera untuk Garuda
Karya: Salma Andalucia
Bunda, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan selembar bendera?
Sementara kawan-kawanku di perbatasan bertelanjang dada
Hanya untuk belajar Bahasa.
Ayah, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan seekor burung Garuda?
Sementara seorang bapak tua hampir melata
Hanya untuk merasa sentosa.
Tapi, pak polisi dan om KPK itu,
Masih Ribut urusan Cicak dan Buaya
Yang sebetulnya tak pernah bertemu
Dalam satu lingkaran rantai makanan
Ah, aku tak mengerti dengan pikiran orang dewasa,
Yang mengaku cinta Negara tapi tak pernah berpikir tentang manusia.
Aku tertegun. Membaca larik-larik sajak yang ditulis jagoan kecilku itu. Tak bisa ku gambarkan perasaanku kini. Antara bangga, miris, sekaligus merasa tertampar. Ku lirik, Ayah Salma pun terpekur. Sebelum berkomentar pada sang guru.
“Saya kira, anda adalah seorang guru. Dan anda lebih tahu apa yang harus dilakukan,” Ujar ayah Salma yang diikuti dengan longo sang guru bahasa Indonesia.
***

“Mimpi rumah panjang yang bunda ceritakan semalam,” Jawabnya menggantung. Aku tahu ini akan menjadi cerita yang sedikit panjang. Ah, anakku itu benar-benar merasukkan dongeng itu dalam benaknya. Aku menunggu. Ia melanjutkan kegiatan memasang sepatu.
Dongeng rumah betang. Tentu saja ini cerita istimewa. Berkisah tentang kehidupan suku Dayak di pedalaman Kalimantan. Ku ambil dan kuadaptasikan dari serumpun artikel dan film documenter yang pernah ku lihat. Film berjudul Long Life Though The Long House itu rencananya malah ingin ku perlihatkan padanya sepulang sekolah nanti.
“Aku bermimpi punya nenek yang suka bercerita. Bercerita sambil menggumam-gumam seperti yang bunda ceritakan itu. Aku mimpi dia bercerita langsung padaku. Di rumah betang itu,” Celotehnya tanpa mengurangi konsentrasi memasukkan kakinya pada lubang sepatu.
Dalam dongeng yang ku kisahkan semalam, aku bercerita tentang seorang nenek yang sedang dikelilingi gadis belia seusianya. Ditemani bapak dan ibu mereka masing-masing. Nenek berwajah tirus dimakan usia itu sedang bedudu (bertutur / cerita nasehat). Seluruh penghuni rumah panjang yang terdiri dari beberapa keluarga itu mendengarkan dengan hikmad. Ku katakan padanya, tradisi ini masih lestari digunakan orang-orang dayak yang tinggal di pedalaman Kalimantan Barat.
PESAN DALAM CERITA
Aku teringat, sempat memperlihatkan peta Kalimantan pada Salma, sebelum memulai cerita. Menunjuk salah satu kawasan bernama Sintang, tempat tradisi itu masih dilestarikan. Salah satu kawasan orang-orang Dayak itu tinggal dan istiadat masih disemai. Selain menunjuk beberapa tempat lain, seperti Ibu Kota Propinsi, Pontianak. Ini strategi pelajaran geografi yang selalu gagal ku nikmati dengan baik, saat di bangku sekolah dahulu.
“Bukannya nenek Salma juga suka mendongeng jika berkunjung ke sana?” Tanggapku seraya meletakkan sarapan pagi untuknya di sebuah meja kecil. Segelas susu panas yang baru saja diperah mengepul dari gelas keramik favoritnya. Gelas keramik buatan tangannya sendiri.
“Nggak Nda, dalam mimpi itu bukan Eyang yang cerita. Tapi orang lain. Nenek yang katanya bunda punya tiga kerut di wajahnya. Yang rambutnya putih seputih salju, digelung ke belakang. Yang kurus, yang suka makan rotan. Tumis rotan. Nenek yang katanya bunda suka bercerita tentang anak-anak yang suka belajar itu,” Suaranya meninggi, bersemangat. Aku mengulas senyum, mengangguk. Ku kira, aku juga sering bermimpi dongeng-dongeng yang sering diceritakan Ibu, dulu. Otak nakalku meloncat, mungkin ia bermimpi makan tumis rotan muda, atau mimpi makan kursi goyang di rumah Eyangnya yang terbuat dari rotan? Hahaha…
RUMAH PANJANG ITU,..
“Nun, jauh masuk ke dalam hutan. Di sebuah daerah bernama Sintang. Berdirilah sebuah rumah yang sangat panjang. Rumah itu ditinggali sekitar 27 keluarga. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka berapakah jumlah seluruh orang yang ada di rumah itu?” Tanyaku memulai cerita, sambil mengusap-usap kepalanya.
Ah, ia tak kehilangan kecerdasannya meski dilanda kantuk, “Seratus delapan,” Jawabnya. Aku mengecup keningnya, seraya membisikan pujian tak berlebihan untuknya.
“Di rumah bernama Rumah Ensaid Panjang itu, seorang perempuan yang mempunyai rambut serba putih keperakan, di kelilingi oleh anak-anak kecil sepertimu. Perempuan itu memiliki tiga kerut di dahinya. Beberapa kerut lagi di dekat matanya, juga mulutnya. Usianya sekira 65 tahun. Tapi, perempuan itu masih lugas untuk berkisah. Berkisah tentang sebuah hikayat, diantara ratusan dongeng yang sering diceritakan di rumah betang,” Aku melanjutkan. Ia mendengarkan dengan khuyu’.
“Nenek-nenek?” Tanyanya polos. Aku mengangguk. “Tapi, Eyang rambutnya kok nggak putih semua, Nda? Masih legam, bagus banget. Meskipun, Salma pernah nemu ada yang warna putih? Tapi nggak banyak,” Ini distorsi yang akan memperlama proses bercerita. Tapi aku menyukai sela ini. Karena ku kira, ini menunjukkan kecakapannya mengenali sesuatu dan jeli pada sekitarnya.
Serta merta aku akan menjelaskan beberapa hal, mulai dari faktor usia, penjelasan sedikit ilmiah tentang genetika, yang dibuat seringan mungkin atau juga proses kimia yang mungkin dilakukan oleh orang-orang yang seharusnya telah berambut putih. Ia akan kembali ke topik awal, jika merasa penjelasanku cukup memuaskannya.
“Diterangi sebuah pelita, Berkisahlah nenek itu;
“Lagu ini akan terdengar di begitu banyak pintu.
Di rumah betang Ensaid panjang.
Di halaman depan dan jalan yang panjang.
Saya kasihan dengan kalian semua.
Tapi tak ada yang bisa saya katakan,
hanya melalui bedudu (cerita nasehat) ini saya berbisik,”
Aku memutar instrument Sampe’ Dayak Klasik. Instrument yang didominasi oleh alat musik petik bernama Sampe’ dengan dawai berjumlah tiga atau empat. Sesekali terdengar Kadire turut memberikan daya magis pada instrument yang diperdengarkan. Ku antarkan dia berimajinasi agar memiliki gambaran yang lebih mendalam pada kisah yang ku ceritakan. Sound system yang hanya berada di pojok-pojok kamar dengan volume yang tak terlalu keras membuatnya semakin menikmati cerita. Sejurus kemudian, Ayah Salma ikut bergabung. Turut memeluknya dari arah kanan.
SEPATU SALMA
“Terus?” Tanyaku tak ingin menyurutkan semangatnya bercerita.
“Terus, dalam mimpi itu tiba-tiba Salma mau diantar sekolah sama Ayah. Tapi Salma menolak. Karena kawan-kawan Salma nggak ada yang diantar orang tuanya,” ia melanjutkan. Kali ini ia beringsut ke meja kecil tempat sarapan paginya.
“Waktu jalan bareng teman-teman, Salma justru malu pakai sepatu. Karena semua teman Salma bertelanjang kaki.” Ceritanya terdistorsi beberapa suap nasi yang meluncur tergesa ke mulutnya.
“Nah, akhirnya, sepatu yang Salma pakai, ku lembar ke angkasa,” Intonasinya meninggi. Ia menghentikan kegiatannya mengunyah omlet dengan potongan sayur dan tomat, demi melanjutkan cerita ini.
“Ternyata, Sepatu itu terlempar ke burung yang sedang terbang. Burungnya persis dengan burung yang dipajang di kelas, di sekolah. Itu lho Nda, burung yang dipajang di atas papan tulis, ada di tengah, sedikit lebih tinggi diantara gambar presiden sama wakil presiden,” Jelasnya bersemangat, sekaligus bingung.
Aku tertegun. Burung Garuda?
“Salmaaaaa, nanti terlambat,” Terdengar teriakan dari arah depan kamar.
“Sebentar yaaaahhh,” Salma ikut berteriak. Segera menandaskan susunya, menyambar tas sekolah dan berlari ke arah depan. Menuruni tangga dengan tergesa. Aku mengikutinya dari belakang sampai di ambang pintu, sebelum akhirnya ia kembali menghampiriku. Mencium pipiku.
“Tolong beri satu ciuman lagi di bibir bunda, Salma. Hadiah dari Ayah,” Lelaki itu mengerling, sambil mengaitkan kaca mata hitam ke sela bajunya. Aku tersenyum menerima ciuman bertubi-tubi dari Salma.
NASEHAT SEDERHANA
“Belajarlah, janganlah kita menjadi orang bodoh.
Jelilah dalam melihat sesuatu.
Pikirkan segala sesuatu dengan masak-masak.
Di tengah rumah aku bercerita, semoga tak sia-sia,”
“Dalam kisah yang diceritakan dengan suara sengau mendengung-dengung itu, sang nenek memberikan nasehat jika anak-anak dayak itu harus terus belajar. Karena jika mereka tidak belajar akan jadi orang bodoh. Anak-anak itu, diminta untuk selalu jeli melihat sesuatu, agar tidak mudah tertipu, selalu berpikir dalam bertindak,” Kisah ini dilanjutkan lelakiku yang kini mengikuti alur cerita. Ku lihat Salma semakin girang ditemani dua pendongeng hebat di sebelak kanan-kirinya.
“Yah, suara sengau itu seperti apa?” Demi mendengar pertanyaan ini, lelaki itu menatapku, bingung. Aku tertawa, sebelum akhirnya kami berusaha mempraktekannya, dengan beberapa catatan, tak boleh menggunakannya untuk melecehkan orang lain atau suaranya tidak benar-benar sengau.
“Kisah ini didengarkan oleh seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah betang itu, selepas anak-anak belajar atau mengerjakan PR dan makan malam. Beberapa orang sambil mengayun-ayunkan adik-adik bayi pada sebuah ayunan yang dibuat dengan sederhana di teras rumah betang itu. Beberapa yang lain sambil membuat kain tenun ikat tradisional,” Ia melanjutkan. Merapatkan selimut yang mulai longgar di badan Salma. Satu tangannya menelusup ke tengkukku.
“Jadi, anak-anak Dayak itu rajin sekolah. Meskipun mereka tak punya sepatu untuk sekolah. Meskipun mereka tak punya seragam merah-putih untuk belajar. Keterbatasan itu sama sekali tak menghalangi semangat mereka untuk berangkat ke sekolah,” Ku lihat matanya sedikit membesar, takjub. “Padahal, jarak rumah mereka dengan sekolah lebih dari 10 kilometer dari sekolah terdekat. Harus lewat sawah yang becek, jalan berbatu dan tak sedikit yang harus menyeberang sungai,” Imbuh sang Ayah.
“Karena hikayat yang diceritakan sang nenek itu, benar-benar mereka camkan dalam benak mereka,” keningnya berkerut mendengar kalimat terakhir dari ayahnya.
“Nggak capek jalan sepanjang itu? Nggak laper? Sepuluh kilo kan ada 10.000 meter? Kalau sekali langkah anak-anak itu sekitar setengah meter, berarti mereka harus berjalan 20.000 langkah setiap harinya. Kalau pulang pergi, jadi 40.000 langkah.” Tanyanya menggebu, penuh ingin tahu. Aku senang dengan permainan matematikanya.
“Ya Capek. Tapi mereka suka bawa bekal nasi dan lauk seadanya. Mereka tak sempat makan di rumah karena khawatir terlambat di sekolah,” Lelakiku itu menjawab dengan gemas. Mencium pipi Salma berkali-kali. Agaknya Salma sedikit terganggu, meskipun ia tidak menolak ciuman itu. Ku kira, rasa terganggu itu karena ia lebih ingin mendengar keterangan komplit dari dongeng yang baru saja diceritakan.
“Terus?” Tanyanya tak sabar.
“Nggak mau dilanjutin, beri Ayah ciuman dulu,” Ayah Salma pura-pura merajuk. Menggoda Salma yang dililit rasa penasaran. Serta merta ia bangkit dari posisi celentang. Meraih leher Ayahnya dan meluncurkan ciuman bertubi-tubi. Aku tertawa sambil membesarkan bola mata. Mengarah ke bola mata suamiku. Sedikit meresa jengkel. Usahaku untuk membuat Salma tertidur bubar berantakan akibat ulah jahilnya. Dia hanya tertawa sambil mencuri-curi mencium pipiku, tanpa malu di depan Salma.
“Terus, Yah?” Tanya Salma enggan kembali ke posisi tidur. Duduk bersila di hadapan kami berdua. Ia meraih tangan Salma. Memberi gerakan reflek yang membuat tubuh Salma kembali tumbang di antara kami.
“Nah, anak-anak cerdas itu, memakan bekalnya, di separoh perjalanan. Di sebuah jembatan kecil. Membuka kantong anyaman pandan tempat penyimpan nasi dan lauk seadanya. Mereka makan bersama. Tak ada yang saling iri, karena nasi dan lauk yang mereka bawa, nyaris sama. Ikan bakar, seperti patin dan baung, hasil pancingan mereka sendiri. Terkadang mereka melahap ayam dan babi yang mereka pelihara sendiri. Mereka lebih sering berlauk sayuran yang juga ditanam sendiri. Bahkan, nasi yang mereka makan pun hasil sawah sendiri,” Jawaban terakhir ini membuat kening Salma berkerut.
“Enak dong Yah, mereka makannya sama ikan bakar, ayam, babi,… Kita makan tempe sama tahu,” Tukasnya, kritis.
KECOMBRANG
“Eh, tapi kan semuanya dipelihara atau didapat dengan keringatnya sendiri. Ayam dan babi pun disembelih kalau ada ritual persembahan sebelum atau setelah panen. Mereka jarang menggunakan uang. Lebih sering malah makan sayuran. Nah, sayur favorit mereka adalah pojak pusung jaung atau tumis bunga kecombrang dan pojak iyur gai kotok atau tumis rotan muda,” Salma manggut-manggut.
“Kecombrang?” Salma mengulangi pernyataan ayahnya.
“Iya, kecombrang kalau di istilah bahasa Indonesia. Sebetulnya berasal dari bahasa jawa. Kalau istilah orang Sunda disebut honje. Nah, di Sumatera Utara disebut Bunga kencong atau kincug, kalau di Bali disebut bongkot. Dalam bahasa Inggris disebut torch ginger. Tapi intinya, tanaman itu mirip jahe, tetapi bunganya lebih bagus, warnanya merah muda. Sementara buahnya mirip nenas sehingga sering dipakai sebagai asam. Kadang, nenek Salma sering memakai buah kecombrang kalau sedang masak sayur asem,” Jelas sang Ayah.
“Nah, kalau dalam ilmu pengetahuan biologi, Bunga Kecombrang ini, termasuk kelas Liliopsida, memiliki ordo Zingiberales, familinya Zingiberaceae, bergenus Nicolaia, dan spesiesnya Nicolaia Speciosa Horan,” Lanjutku.
“Tumis rotan?” Pertanyaan itu telah diucapkannya dengan mata terpejam dan bergumam. Sejurus kemudian, ia telah pergi ke alam mimpi.
***
Aku melihat layar selularku, seusai siaran pagi; Solusi cerdas bagi perempuan cergas! Ada sebuah pesan masuk, saat aku beranjak dari kursi dan keluar dari studio. Tak sengaja membentur tangan kanan Damian, penyiar berikutnya. Penyiar berusia 23 tahun yang membawakan acara jazzy jazz itu membuatku betah di kantor satu jam lebih lama. Selain karena aliran musik yang dibawakan, aku juga menyukai informasi yang disisipkannya dalam setiap siaran, tentang lagu-lagu jazz.
Ah, meskipun aku mengaku penyuka jazz tapi aku tak pernah tahu jika awalnya musik jazz lahir dengan dasar Blues. Kemudian pada sekitar tahun 1987 mulai dikenal bentuk Rag Time, yang pada waktu itu berupa permainan piano di bar-bar. Blues dan Rag Time berkembang menjadi Boogie - Woogie. Bentuk-bentuk tersebut selain merambah pada jalurnya sendiri, juga berkembang menelusuri perjalanan musik jazz. Aku tak pernah tahu tentang itu, sampai mendengar informasi yang disampaikannya. Yang aku tahu, musik jazz hanyalah berasal dari Amerika Serikat sekitar tahun1868.
Yang ku tahu hanyalah beberapa musikus atau penyanyi yang terkenal di dunia jazz, seperti Syahrani yang memiliki kualitas vocal yang ok, Tompi seorang dokter muda dengan improvisasi yang full, Glenn Fredly, Maliq & D’Essentials, Bunglon, January Christy, Dian Pramana Putra, Ermi Kulit, Mus Mujiono, Fariz RM, Gilang Rahamdhan, Indra Lesmada dan ayahnya almarhum. Atau juga beberapa penyanyi jazz barat seperti Norah Jones, Nat King Cole, Al Jareau, Diana Krall, Michael Frank, Boby Caldwell dan juga Manhattan transfer, atau Lee Ritenour. Sementara bagaimana mereka ada, berkenalan dengan musik jazz dan memberi jejak di dunianya, aku tak pernah tahu. Sampai mendengar ceramah ringan dari Damian.
Aku membaca pesan: Tadi Salma minta aku tidak lagi mengantarnya ke sekolah.
Segera ku pencet tombol OK untuk menjawab SMS itu melalui telephon.
“Sayang? Sudah selesai siaran? Atau masih mendengar penyiar pujaanmu itu mengulas tentang jazz?” Sapa suara di seberang. Sepertinya dia sedang berada di rumah. Suara riuh lima ribu ekor ayam menjadi backsound suaranya. Aku mengangguk, lupa jika kami terpisah oleh ruang. Sekaligus tergelak menyadari tambahan kalimat terakhirnya. Sedikit tersanjung. GRku, dia sedang bermain-main dengan jawaban berbahayaku. Untuk menyakiti dirinya sendiri; Jealous. Haha,…
“Tidakkah dia menceritakan tentang mimpinya padamu?” Tanyaku setelah memperbaiki jawabanku atas pertanyaan yang hanya ku jawab dengan anggukan tadi. Ia berkata seperti menggumam. Sedikit tak terdengar karena kokok ribuan ayam itu lebih ribut daripada suara tenornya. Ku raba, ia bertanya tentang isi mimpi Salma.
Ku ceritakan mimpi unik Salma. Tentang rumah betang dan lemparan sepatu mengenai burung garuda. Terdengar suara oh, saat aku mengakhiri ceritanya. Dalam pembicaraan itu, aku baru mendengar informasi jika siang kemarin, saat aku menggantikan siaran siang kawanku, mereka, Salma dan Ayahnya, menyaksikan film documenter: Indonesiaku di Tepi Batas (My Indonesia at The Edge of Border).
BATAS NEGARA
Berjalan tertatih. Sendiri, menyusuri hutan. Dengan sebatang tongkat sebagai penyangga badan yang telah bergeser tiga puluh derajad ke arah depan. Kulitnya yang telah layu dibiarkan dikibas lambaian angin dari tanaman keras yang masih tersisa. Kulit itu membungkus sekerat daging yang masih menempel pada tulang. Matanya yang tidak lagi awas sesekali menyandung kerikil atau juga akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah. Ia berhenti. Sesekali istirahat melepas lelah dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah pohon besar. Sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Menerobos perbatasan.
Perbatasan itu hanya ditandai sebuah patok. Sungguh aneh, pikirnya. Karena perbatasan ini bukanlah sekedar batas desa atau kecamatan. Tapi ini batas antara dua Negara. Ia hanya menggeleng. Sambil membayangkan bagaimana wajah Negara saat mebahas tentang Ambalat atau Sipadan dan Ligitan diakui Negara lain.
Tapi ia merasa beruntung, karena batas itu tak disertai kawat berduri atau penjaga perbatasan. Kalau tidak, maka ia merasa akan lebih menderita lagi. Betapa tidak, usianya yang telah renta tak menggerakkan hati para dokter atau penjaga kesehatan di puskesmas desanya tergerak untuk sekedar mengobatinya. Sehingga ia terpaksa berjalan lebih dari 8 jam untuk menerobos perbatasan dan memohon pengobatan gratis di sana. Ah, ia hanya berpikir, ingin mati dengan cara yang lebih baik, jika Tuhan memang memanggilnya. Tidak dalam kondisi mengerang saat meregang nyawa.
“Saya harus berjalan sekitar 8 jam untuk berobat ke Negara tetangga. Sebab puskesmas yang ada di desa kami sering tutup karena dokter yang tidak datang,” Mata tua itu tak kehilangan semangat untuk hidup. Setidaknya itu terpancar dari usahanya pergi berobat meski harus menempuh jarak berpuluh kilo meter.
Mata bening itu tak berkedip. Melihat setiap adegan yang terekam dalam film documenter karya seorang sineas spesialis film documenter, Deny Sofyan, sahabatku. Sesekali berkomat-kamit seperti merapal mantra. Atau menghafal kata? Ia hanya bergerak dari posisi tiduran di pangkuanku ke posisi duduk. Meski kepalanya tetap menyandar di dadaku. Sesekali ku hapus keringat yang menetes dari keningnya. Kemarau kali ini terasa lebih panjang. Entahlah, mungkin karena badai elnino yang banyak dibicarakan pakar itu. Atau juga karena manusia telah melupakan jantung mereka hingga terus membalak secara liar.
“Sebagaian besar masyarakat yang tinggal di perbatasan belum sepenuhnya mengetahui bahwa mereka bagian dari wilayah Indonesia. Baru kemarin, di bulan Agustus, saat dikibarkan bendera merah putih, mereka baru sadar jika merekapun Indonesia. Tapi, saya kira kalau sekedar bendera tidak bisa mensejahterakan masyarakat,” Ujar seorang Perangkat Desa di Sintang.
Gadisku itu, tampak sangat meresapi cerita. Matanya semakin berbinar saat melihat gumpalan awan yang bergerak begitu dramatis di langit Borneo bagian barat. Mata itu juga berkaca-kaca saat melihat anak-anak sekolah seusianya bertelanjang kaki dan hanya sebagian kecil yang mengenakan seragam. Mimiknya juga berubah miris manakala melihat sang saka merah putih yang telah pudar warnanya dan tercabik tinggal separoh, berkibar ditiup angin, pada sebatang bamboo yang dipancang di atas pohon.
“Yah, orang-orang diperbatasan masih menyedihkan begitu. Tapi kenapa pak polisi sama om-om di KPK meributkan soal siapa cicak, siapa buaya? Memangnya Cicak sama Buaya musuhan ya, Yah? Padahal, dalam sejarah rantai makanan kan, mereka tidak tergabung dalam satu lingkaran? Buaya bukan predatornya cicak kan Yah? Terus kenapa semua orang jadi pada ribut saling membela atau mencerca Cicak atau Buaya?” Tanyanya dengan mimic inosens. Saat itu, aku kehilangan kata untuk menjelaskan pertanyaan kritisnya
PUISI BENDERA
Siang yang pekat. Panasnya menyengat hingga menembus pori-pori. Aku memasuki pelataran halaman sekolah Salma dengan penuh tanda tanya. Sebuah surat memanggil kami untuk segera menemui guru Salma. Saat kami masuk ke ruang guru, seorang guru setengah baya menunggu.
“Saya mengundang bapak dan ibu untuk menunjukkan PR menulis puisi yang ditulis Salma,” Suara lembut keibuan itu keluar dari bibir tipis sang guru. Mengawali pembicaraan serius, setelah beberapa saat berbasa-basi. Keningku berkerut. PR? Aku menoleh. Suamiku juga sama tidak mengertinya.
Selembar Bendera untuk Garuda
Karya: Salma Andalucia
Bunda, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan selembar bendera?
Sementara kawan-kawanku di perbatasan bertelanjang dada
Hanya untuk belajar Bahasa.
Ayah, apakah kita sudah cukup merasa Indonesia
Hanya dengan seekor burung Garuda?
Sementara seorang bapak tua hampir melata
Hanya untuk merasa sentosa.
Tapi, pak polisi dan om KPK itu,
Masih Ribut urusan Cicak dan Buaya
Yang sebetulnya tak pernah bertemu
Dalam satu lingkaran rantai makanan
Ah, aku tak mengerti dengan pikiran orang dewasa,
Yang mengaku cinta Negara tapi tak pernah berpikir tentang manusia.
Aku tertegun. Membaca larik-larik sajak yang ditulis jagoan kecilku itu. Tak bisa ku gambarkan perasaanku kini. Antara bangga, miris, sekaligus merasa tertampar. Ku lirik, Ayah Salma pun terpekur. Sebelum berkomentar pada sang guru.
“Saya kira, anda adalah seorang guru. Dan anda lebih tahu apa yang harus dilakukan,” Ujar ayah Salma yang diikuti dengan longo sang guru bahasa Indonesia.
***
Tari Padang Pasir di Sudut Kemang
Iman D. Nugroho
Pekan lalu, tari perut “menggoyang” salah satu sudut Jakarta. Di sebuah kafe di wilayah Kemang, Jakarta Selatanlah pertunjukan tari perut itu digelar. Goyang dan gemulai penari dengan perut terbuka yang merupakan tari khas negeri arab itu, seakan mengantar pengunjung ke negeri di mana tokoh film Alladin berasal. “Meski sulit pada awalnya, tapi tarian saya menjadi lebih bermakna pada akhirnya,” kata Kamal Al Bayaty, sang koreografer.
Bila Anda hadir di Kafe Shisha Kemang malam itu, bisa jadi Anda akan merasa “terbang” ke Negeri Padang Pasir. Entah, Saudi Arabia, Iran, Arab atau bahkan Afghanistan. Karena memang seperti itu adanya. Di kafe yang menyajikan makanan-makanan timur tengah itu menyajikan pula Classical Arabian Dance dengan Fashion Show. Tentu saja, fashion show dengan “rasa” yang sama: Arabian Taste.
Desain panggung itu sebenarnya sederhana. Hal yang menampakkan kesan Arab, adalah background reruntuhan bangunan tua, dengan gunung pasir di belakangnya. Lembaran kain transparan yang menaungi memunculkan kesan pertunjukan itu dilakukan di dalam tenda khas padang pasir. Juga lighting warna-warni dari lampu yang juga berdisain senada.
Penari dari Sahara Dance dan kelompok balet Sumber Cipta dipilih sebagai penyaji karya Kamal. Kepiawaian mereka mengolah tubuh dan ballet, merupakan “bahan baku” yang bisa diolah sesuai besutan koreografer asal Irak itu. Empat penari membuka pagelaran itu adalah Veil Dance (tari cadar). Goyangan pinggul yang menjadi ciri khas tarian itu, berpadu apik dengan gerak bahu yang tak henti mengikuti irama padang pasir. Selendang transparan yang digunakan sebagai dari asesoris kostum semakin membuat tarian pembuka ini lebih kental nuansa Timur Tengah-nya.
Sebuah tarian berjudul Sufi, menjadi kekuatan pagelaran ini. Lima penari, yang satu di antaranya adalah laki-laki memberikan kesan berbeda. Belum lagi kekuatan ekspresi wajah yang dimiliki Sicko, sang penari laki-laki, begitu menonjol dari seluruh penari perempuan yang “menghiasi” tarian dengan kecantikan dan gemulai mereka. Kostum Sicko yang sederhana, hanya kaos dan celana pendek hitam plus selendang transparan yang juga berwarna hitam sebagai penutup pinggul hingga lutut, membuatnya lebih menonjol.
Kekuatan ballet dan tari perut kental terasa dalam tarian berjudul Still Ways to Live yang dimainkan oleh Yuni, salah satu anggota Sumber Cipta. Gemulai tubuh Yuni dalam tarian itu kental dengan gerakan-gerakan ballet yang sulit. Apalagi, ritme musik yang turun naik membuat gerakan ballet dalam tarian itu menjadi lebih hidup. Applause panjang menjadi penutup tarian ini. Juga ketika Suzi dan Sicko membawakan tarian berjudul Final.
Dua penari ini seakan “menenggelamkan” penonton dalam romantisme gaya Arabian dan Eropa dalam satu waktu. Suzi yang mengenakan pakaian serba putih, bagai angsa yang menari di oase di tengah gurun. Sementara Sicko coba menggodanya dengan gerakan-gerakan tegas dan lugas. “Saya ingin mengubah image tarian arab yang sering diidentikkan dengan tarian sex menjadi tarian yang lebih memiliki nilai seni tinggi,” kata Kemal.
Classical Arabian Dance dengan Fashion Show kali ini adalah pesta perpisahan Kamal Al Bayaty yang akan pindah ke San Paulo, Brazil, setelah 3,5 tahun mengajar tari di Jakarta. “Saya tidak mau meninggalkan Indonesia tanpa meninggalkan ilmu yang saya miliki, dan tarian malam inilah jawabannya,” kata bapak beranak dua ini. Untuk itulah, 30 penari yang disiapkan Kamal dalam event ini diharapkan bisa menjadi guru bagi penari lain
Kamal mengungkapkan, tidak mudah baginya mengajarkan Tari Perut kepada penari Indonesia. Terutama membiasakan sang penari untuk bisa bergerak bebas. Khususnya, gerakan bebas dari bagian tubuh dada hingga pundak. Penari Indonesia kebanyakan merasa risih menggerakkan dada dan pundaknya. “Mereka, seperti lebih senang membungkuk, untuk tidak menonjolkan bagian dadanya,” kata Kamal. Bisa jadi, tambah Kemal. Ketidakbebasan penari untuk menggerakkan dada hingga pundak itu terjadi karena pengaruh lingkungan.
Dalam budaya timur, perempuan seperti “diwajibkan” untuk melindungi atau menutupi bagian dadanya. Hal itu, jelas Kamal, membuat penari memilih untuk tidak terlalu mengeksplorasi bagian-bagian itu. Padahal, dalam tari perut, gerakan bagian dada dan pundak menjadi sesuatu yang penting. “Karena itulah, hal pertama yang saya perkenalkan kepada para penari ini adalah bagaimana “membebaskan” bagian tubuh dada dan pudak agar lebih bebas bergerak,” jelasnya.
Kebebasan gerak itu, menurut Kamal merupakan elemen terpenting dalam creasi tari miliknya. Semua gerakan tari yang diciptakan untuk pertunjukan kali ini, memadukan tari perut dan tari klasik Indonesia dan Eropa. “Biarkan gerakan, music dan busana yang dikenakan “berbicara” sendiri kepada penonton,” kata Kamal yang juga seorang desainer ini.
Meski awalnya sedikit memiliki kesulitan, tapi perlahan-lahan ke-30 penari itu mulai bisa lebih bebas bergerak. Dalam 12 pagelaran tari dan peragaan busana yang dilakukan malam itu, para penari seakan tak ragu lain menggerakkan seluruh tubuhnya dalam lagu rancak irama padang pasir. Dalam tarian berjudul Wardah With Solo Drum misalnya. Enam penari, Lia, Emma, Tata, Tina, Yulia dan Jenny menyajikannya dengan sangat apik.
Kamal sendiri menunjukkan keahliannya malam itu dengan membawakan tarian berjudul Goodbye Dear. Tarian yang mengekspresikan kesedihan karena harus meninggalkan Keindahan di Indonesia itu termanifestasi dalam gerakannya. “Terima kasih kawan-kawan di Indonesia, saya akan melanjutkan kehidupan di San Paulo Brazil dengan mengajar tari di sana.” Katanya.

Bila Anda hadir di Kafe Shisha Kemang malam itu, bisa jadi Anda akan merasa “terbang” ke Negeri Padang Pasir. Entah, Saudi Arabia, Iran, Arab atau bahkan Afghanistan. Karena memang seperti itu adanya. Di kafe yang menyajikan makanan-makanan timur tengah itu menyajikan pula Classical Arabian Dance dengan Fashion Show. Tentu saja, fashion show dengan “rasa” yang sama: Arabian Taste.
Desain panggung itu sebenarnya sederhana. Hal yang menampakkan kesan Arab, adalah background reruntuhan bangunan tua, dengan gunung pasir di belakangnya. Lembaran kain transparan yang menaungi memunculkan kesan pertunjukan itu dilakukan di dalam tenda khas padang pasir. Juga lighting warna-warni dari lampu yang juga berdisain senada.
Penari dari Sahara Dance dan kelompok balet Sumber Cipta dipilih sebagai penyaji karya Kamal. Kepiawaian mereka mengolah tubuh dan ballet, merupakan “bahan baku” yang bisa diolah sesuai besutan koreografer asal Irak itu. Empat penari membuka pagelaran itu adalah Veil Dance (tari cadar). Goyangan pinggul yang menjadi ciri khas tarian itu, berpadu apik dengan gerak bahu yang tak henti mengikuti irama padang pasir. Selendang transparan yang digunakan sebagai dari asesoris kostum semakin membuat tarian pembuka ini lebih kental nuansa Timur Tengah-nya.
Sebuah tarian berjudul Sufi, menjadi kekuatan pagelaran ini. Lima penari, yang satu di antaranya adalah laki-laki memberikan kesan berbeda. Belum lagi kekuatan ekspresi wajah yang dimiliki Sicko, sang penari laki-laki, begitu menonjol dari seluruh penari perempuan yang “menghiasi” tarian dengan kecantikan dan gemulai mereka. Kostum Sicko yang sederhana, hanya kaos dan celana pendek hitam plus selendang transparan yang juga berwarna hitam sebagai penutup pinggul hingga lutut, membuatnya lebih menonjol.
Kekuatan ballet dan tari perut kental terasa dalam tarian berjudul Still Ways to Live yang dimainkan oleh Yuni, salah satu anggota Sumber Cipta. Gemulai tubuh Yuni dalam tarian itu kental dengan gerakan-gerakan ballet yang sulit. Apalagi, ritme musik yang turun naik membuat gerakan ballet dalam tarian itu menjadi lebih hidup. Applause panjang menjadi penutup tarian ini. Juga ketika Suzi dan Sicko membawakan tarian berjudul Final.
Dua penari ini seakan “menenggelamkan” penonton dalam romantisme gaya Arabian dan Eropa dalam satu waktu. Suzi yang mengenakan pakaian serba putih, bagai angsa yang menari di oase di tengah gurun. Sementara Sicko coba menggodanya dengan gerakan-gerakan tegas dan lugas. “Saya ingin mengubah image tarian arab yang sering diidentikkan dengan tarian sex menjadi tarian yang lebih memiliki nilai seni tinggi,” kata Kemal.
Classical Arabian Dance dengan Fashion Show kali ini adalah pesta perpisahan Kamal Al Bayaty yang akan pindah ke San Paulo, Brazil, setelah 3,5 tahun mengajar tari di Jakarta. “Saya tidak mau meninggalkan Indonesia tanpa meninggalkan ilmu yang saya miliki, dan tarian malam inilah jawabannya,” kata bapak beranak dua ini. Untuk itulah, 30 penari yang disiapkan Kamal dalam event ini diharapkan bisa menjadi guru bagi penari lain
Kamal mengungkapkan, tidak mudah baginya mengajarkan Tari Perut kepada penari Indonesia. Terutama membiasakan sang penari untuk bisa bergerak bebas. Khususnya, gerakan bebas dari bagian tubuh dada hingga pundak. Penari Indonesia kebanyakan merasa risih menggerakkan dada dan pundaknya. “Mereka, seperti lebih senang membungkuk, untuk tidak menonjolkan bagian dadanya,” kata Kamal. Bisa jadi, tambah Kemal. Ketidakbebasan penari untuk menggerakkan dada hingga pundak itu terjadi karena pengaruh lingkungan.
Dalam budaya timur, perempuan seperti “diwajibkan” untuk melindungi atau menutupi bagian dadanya. Hal itu, jelas Kamal, membuat penari memilih untuk tidak terlalu mengeksplorasi bagian-bagian itu. Padahal, dalam tari perut, gerakan bagian dada dan pundak menjadi sesuatu yang penting. “Karena itulah, hal pertama yang saya perkenalkan kepada para penari ini adalah bagaimana “membebaskan” bagian tubuh dada dan pudak agar lebih bebas bergerak,” jelasnya.
Kebebasan gerak itu, menurut Kamal merupakan elemen terpenting dalam creasi tari miliknya. Semua gerakan tari yang diciptakan untuk pertunjukan kali ini, memadukan tari perut dan tari klasik Indonesia dan Eropa. “Biarkan gerakan, music dan busana yang dikenakan “berbicara” sendiri kepada penonton,” kata Kamal yang juga seorang desainer ini.
Meski awalnya sedikit memiliki kesulitan, tapi perlahan-lahan ke-30 penari itu mulai bisa lebih bebas bergerak. Dalam 12 pagelaran tari dan peragaan busana yang dilakukan malam itu, para penari seakan tak ragu lain menggerakkan seluruh tubuhnya dalam lagu rancak irama padang pasir. Dalam tarian berjudul Wardah With Solo Drum misalnya. Enam penari, Lia, Emma, Tata, Tina, Yulia dan Jenny menyajikannya dengan sangat apik.
Kamal sendiri menunjukkan keahliannya malam itu dengan membawakan tarian berjudul Goodbye Dear. Tarian yang mengekspresikan kesedihan karena harus meninggalkan Keindahan di Indonesia itu termanifestasi dalam gerakannya. “Terima kasih kawan-kawan di Indonesia, saya akan melanjutkan kehidupan di San Paulo Brazil dengan mengajar tari di sana.” Katanya.
07 Desember 2009
AJI Jakarta Diskusikan Film Balibo
Iman D. Nugroho
AJI Jakarta mengadakan pemutaran film secara gratis dan diskusi film kontroversial Balibo. Acara yang rencananya akan dilaksanakan di Theater 21 (Art Cinema) Taman Ismail Marzuki, Senin, 7 Desember 2009 ini menghadirkan Ezki Suyanto (AJI Indonesia), Asvi Warman Adam (Sejarahwan), Muchlis Paeni, Ketua LSF (dalam konfirmasi) dan Letjen (Purn) Agus Widjojo ( Komisi Kebenaran dan Persahabatan antara RI dan Timor Leste).
Karena membludaknya peminat dalam pemutaran film ini untuk pertama kali di Teater Utan Kayu Jakarta beberapa waktu lalu, AJI Jakarta menerapkan aturan yang lebih ketat dengan membagikan tiket. Yakni, dengan mengambil tiket secara gratis di Kantor AJI Jakarta beberapa jam sebelum pemutaran dan diskusi dilakukan.
Film fiksi BALIBO berasal dari kisah nyata yang terjadi di Kabupaten Balibo, Timor Leste pada tahun 1975. Ada dugaan, saat itu terjadi kebrutalan tentara Indonesia terhadap lima wartawan Australia, Gary Cunningham, 27 (cameramen ), Malcolm Rennie, 28 (reporter), Greg Shackleton, 27 (audioman), Tony Stewart, 21 (audioman) dan Brian Peters, 29 (cameraman). Lima jurnalis dari Channel 7 dan Channel 9 Australia terjebak saat militer Indonesia memasuki benteng Balibo di utara Timor Leste. Dan tewas!
Film yang disutradarai Robert Connolly ini dibuat oleh perusahaan Transmission dan FootPrint Film di Australia, dengan David Williamson sebagai penulis skenario. Film ini didasarkan pada penelusuran Jolliffe, wartawan Australia yang bertemu dengan saksi mata sebelum Roger East (wartawan AAP Australia) dibunuh.
Sebelum sempat diputar, pemerintah Indonesia menyatakan film yang dibintangi Anthony La Paglia ini bersifat ofensif. Atas desakan TNI dan pemerintah, LSF akhirnya melarang peredaran film tersebut, karena dianggap akan memunculkan luka lama disertai dengan muatan politis yang akan merendahkan citra Indonesia sebagai pelanggar HAM.
Bagi jurnalis, penayangan film ini sangat berguna untuk mengingatkan semua pihak agar menghormati hak-hak jurnalis saat meliput. Pasalnya, jurnalis bertugas mencari fakta yang mendekati kebenaran. Film ini juga memberi peringatan bahwa pembunuhan terhadap jurnalis harus diusut tuntas. Para pelakunya harus diadili.
Rencananya, film Balibo akan ditayangkan di Jakarta Internasional Film Festival (Jiffest) ke 11 pada 4-12 Desember 2009. Di Australia sendiri, pemutaran film tersebut sudah dirilis pada bulan Juli lalu. Tapi, diakhir cerita, pemutaran itu menuai kontroversi karena Lembaga Sensor Film (LSF) tidak memberikan izin lolos sensor atas film ini. Pemutaran itu pun gagal dilakukan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan protes atas keputusan Lembaga Sensor Film (LSF) terkait larangan peredaran film “Balibo”. Pelarangan film tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi, kebebasan berapresiasi dan tidak menghormati hak masyarakat untuk tahu.

Karena membludaknya peminat dalam pemutaran film ini untuk pertama kali di Teater Utan Kayu Jakarta beberapa waktu lalu, AJI Jakarta menerapkan aturan yang lebih ketat dengan membagikan tiket. Yakni, dengan mengambil tiket secara gratis di Kantor AJI Jakarta beberapa jam sebelum pemutaran dan diskusi dilakukan.
Film fiksi BALIBO berasal dari kisah nyata yang terjadi di Kabupaten Balibo, Timor Leste pada tahun 1975. Ada dugaan, saat itu terjadi kebrutalan tentara Indonesia terhadap lima wartawan Australia, Gary Cunningham, 27 (cameramen ), Malcolm Rennie, 28 (reporter), Greg Shackleton, 27 (audioman), Tony Stewart, 21 (audioman) dan Brian Peters, 29 (cameraman). Lima jurnalis dari Channel 7 dan Channel 9 Australia terjebak saat militer Indonesia memasuki benteng Balibo di utara Timor Leste. Dan tewas!
Film yang disutradarai Robert Connolly ini dibuat oleh perusahaan Transmission dan FootPrint Film di Australia, dengan David Williamson sebagai penulis skenario. Film ini didasarkan pada penelusuran Jolliffe, wartawan Australia yang bertemu dengan saksi mata sebelum Roger East (wartawan AAP Australia) dibunuh.
Sebelum sempat diputar, pemerintah Indonesia menyatakan film yang dibintangi Anthony La Paglia ini bersifat ofensif. Atas desakan TNI dan pemerintah, LSF akhirnya melarang peredaran film tersebut, karena dianggap akan memunculkan luka lama disertai dengan muatan politis yang akan merendahkan citra Indonesia sebagai pelanggar HAM.
Bagi jurnalis, penayangan film ini sangat berguna untuk mengingatkan semua pihak agar menghormati hak-hak jurnalis saat meliput. Pasalnya, jurnalis bertugas mencari fakta yang mendekati kebenaran. Film ini juga memberi peringatan bahwa pembunuhan terhadap jurnalis harus diusut tuntas. Para pelakunya harus diadili.
Rencananya, film Balibo akan ditayangkan di Jakarta Internasional Film Festival (Jiffest) ke 11 pada 4-12 Desember 2009. Di Australia sendiri, pemutaran film tersebut sudah dirilis pada bulan Juli lalu. Tapi, diakhir cerita, pemutaran itu menuai kontroversi karena Lembaga Sensor Film (LSF) tidak memberikan izin lolos sensor atas film ini. Pemutaran itu pun gagal dilakukan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan protes atas keputusan Lembaga Sensor Film (LSF) terkait larangan peredaran film “Balibo”. Pelarangan film tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi, kebebasan berapresiasi dan tidak menghormati hak masyarakat untuk tahu.