Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

26 November 2009

Solidaritas Jurnalis Indonesia Untuk Jurnalis Filipina

Iman D. Nugroho

























DEMO FILIPINA. Aktivis dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Indonesia menggelar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Filipina di Jakarta, Kamis (26/11) ini. Mereka mengecam tindakan pembunuhan 27 jurnalis dan masyarakat sipil di Filipina. Aksi solidaritas ini diwarnai oleh tabur bunga di depan kedutaan besar. Tampak pada gambar demonstrasi di depan Kedutaan Besar Filipina [kiri] dan ketika Jajang Jamaluddin, Sekjen AJI Indonesia dan Margiyono, Divisi Advokasi AJI Indonesia sedang berbincang dengan Duta Besar Filipina, Querol di ruang tamu kedutaan.

*foto: iman d. nugroho, Adri Kampret dan AFP

25 November 2009

AJI Indonesia Tabur Bunga untuk 12 Jurnalis yang Dibantai

Iman D. Nugroho

Insiden pembantaian 12 jurnalis dan 39 masyakat sipil di Mindanao, Filipina, tanggal 24 November 2009 membuat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar tabur bunga. Aksi solidaritas yang juga akan mengundang komunitas pers Indonesia itu digelar untuk mendesak pemerintah Filipina dan negara lain agar memberikan perlindungan pada jurnalis yang bekerja di wilayah mereka.

Aksi solidaritas ini juga mendorong agar pemeritah Filipina untuk menyelidiki kasus tersebut dan membawa pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan itu ke pengadilan internasional. Komunitas jurnalis harus menentang upaya impunitas bagi pelaku pembunuhan terhadap jurnalis di manapun berada.

"Dengan aksi solidaritas tersebut, komunitas pers Indonesia berharap agar tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis di Filipina maupun tempat-tempat lain," tulis Nezar Patria. Hanya dengan aksi soldiaritas global tersebut, jaminan keselamatan bagi jurnalis dapat diupayakan. Aksi solidaritas tersebut juga bertujuan untuk mengingatkan agar semua pihak menghormati profesi jurnalis. Tak ada kekerasan terhadap jurnalis yang dapaty ditolerir, apalagi pembantian massal.

Kehadiran rekan-rekan komunitas pers sangat berarti bagi upaya mendorong proteksi bagi jurnalis yang oleh Perserikatan Bangsa-bangsa diakusi sebagai pembela Hak Asasi Manusia (human rights defenders). AJI di seluruh kota di Indonesia akan menggelar aksi serupa sebagai bentuk solidaritas nasional.

*Foto news.yahoo.com

Kemungkinan Terus Bertambah, Kini 105 Jemaah Haji Meninggal Dunia

Iman D. Nugroho

Hingga Rabu (25/11) ini, sudah 105 jemaah haji meninggal dunia dalam persiapan pelaksanaan ibadah haji di Arab Saudi. Besar kemungkinan jumlah itu akan bertambah setelah puncak ritual haji digelar di pada Rabu ini berupa Wukuf Padang Arofah. Karena saat itu banyak jemaah calon haji akan kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh dari penginapan menuju ke Arofah. Penjelasan itu dikatakan Abdul Ghafur Jawain dari Departemen Agama RI, Rabu (25/11) ini di Jakarta.

Menurut catatan petugas Departemen Agama di Arab Saudi, dalam ritual yang bertepatan dengan Hari Raya Haji itu akan menguras banyak energi. Jemaah haji Indonesia itu akan menuju ke Padang Arofah dengan menggunakan 30 bus permahtap.

Khusus untuk jemaah calon haji yang tidak bisa melakukan ritual puncak wukuf itu, bisa melakukannya dengan menggunakan bus yang sudah dimodifikasi. "Ada sekitar 154 jemaah calon haji yang sakit, 99 diantaranya hanya bisa duduk dan 54 lainnya hanya bisa berbaring," kata Abdul Ghafur.

Selain itu, data dari petugas Departemen Agama di Arab Saudi mencatat ada 22 orang jemaah calon haji yang tidak bisa keluar dari ruang ICU rumah sakit setempat karena sakit. Khusus untuk ke-22 jemaah haji itu, wukuf akan digantikan oleh petugas yang sudah disiapkan. Sementara itu, Departemen Agama juga mengabarkan jumlah jemaah calon haji di Indonesia yang saat ini hampir mencapai satu juta orang.

*foto by news.yahoo.com

Tanpa Penuntasan Kasus Munir, Penegakan Hukum yang Adil Hanya Isapan Jempol Belaka

Iman D. Nugroho

Di antara sedikit kesan yang tertangkap saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato, adalah pentingnya penegakan hukum yang jujur dan adil serta tidak tebang pilih. Kenyataan membuktikan, dalam konteks hukum di Indonesia, semua itu hanya isapan jempol belaka. Dalam kasus pembunuhan Munir misalnya. Jauh dari prespektif hukum yang jujur dan adil.

Desakan aktivis dan keluarga Almarhum Munir kepada Presiden SBY untuk segera menuntaskan kasus pembunuhan Munir, sungguh menyayat. Di sela-sela momentum perang antara Cicak dan Buaya yang memaksa Presiden SBY turun tangan, publik seperti diingatkan kembali adanya tragedi tewasnya pejuang hukum dan HAM di atas pesawat Garuda dari Singapura menuju Belanda.

Siapa yang membunuh Munir? Pertanyaan itu seperti menggantung di langit-langit hukum Indonesia sampai kini. Rangkaian sidang yang menghadirkan orang-orang dari berbagai kalangan, mulai awak Garuda Indonesia Airways hingga Badan Intelejen Negara (BIN) yang dituduh terlibat pun tidak mampu menguak skenario jahat pembunuhan itu. Malahan, beberapa di antaranya justru melenggang bebas, sampai sekarang.

Ironisnya, sempat berkembang isu jahat di masyarakat yang mengatakan "layaknya" Munir dibunuh oleh "negara" karena dianggap akan menyebarkan data "berbahaya" kepada aktivis HAM di Belanda. Data-data yang konon berisi daftar pelanggaran HAM sejak era Timor Timur hingga 1998 itu dianggap mampu menempatkan Indonesia kembali menjadi negara pelanggar HAM berat.

Meski secara fair, hal itu jelas tidak mungkin. Di era sekarang, untuk mengetahui pelanggaran HAM di Indonesia, bisa langsung diakses melalui banyak sumber di Internet. Karena itu juga, isu mendiskreditkan Munir itu hilang begitu saja ditelan angin. Publik lebih percaya peristiwa pembunuhan Munir sebagai konspirasi lain yang lebih kejam.

Karena itulah, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) meminta agar SBY memperhatikan kelanjutan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir. Istri Almarhum Munir, Suciwati meminta pemerintah memperhatikan Peninjauan Kembali (PK) bebasnya Muchdi PR, mantan orang BIN yang disebut-sebut mengetahui dengan pasti kasus pembunuhan Munir. Karena itulah Pak Presiden, tanpa penuntasan kasus Munir, penegakan hukum yang adil hanya isapan jempol belaka.

*foto dokumentasi FB Suciwati

24 November 2009

Yang Aneh Dalam Kasus Century

Iman D. Nugroho

Tulisan tentang Kasus Bank Century ini bukan untuk sekali lagi menguliti kasus perbankan yang bakal jadi kasus menghebohkan setelah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Bank Bali itu. Tapi hanya menggunakan pemikiran gaya proletar (baca: sederhana) untuk melihat kasus yang konon melibatkan "orang dekat" di lingkaran RI 1.


Komentar Mantan Presiden RI, KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Kantor PBNU, Jakarta, 24 Nopember 2009 sepertinya menjadi titik pijak yang baik untuk membahas kasus Bank Century. Menurut Gus Dur, mestinya Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani nonaktif dari jabatan masing-masing dan diperiksa polisi atas kasus itu. Hal itu "harus" dilakukan karena Gus Dur menilai adanya persamaan di muka hukum.

Memang, kasus Bank Century tergolong aneh. Bagi publik, kasus itu menjadi sesuatu yang penting untuk diklarifikasi. Tidak hanya jumlah nominalnya yang tergolong tinggi, Rp.6,7 triliun, tapi siapa-siapa yang kemungkinan menyebabkan kasus itu terjadi bukan orang sembarangan. Belum lagi isu-isu yang mengiringi kasus itu. Seperti yang dikatakan Presiden SBY, ada isu yang mengatakan uang sengketa Bank Century mengalir juga ke Partai Demokrat. "Fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan," kata Presiden SBY.

Pantas bila Presiden merasa tersinggung dengan isu itu. Bagaimana tidak, bila Partai Demokrat terpercik uang Bank Century, bisa-bisa seluruh kemenangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009 akan bisa digugat. Dan kalau sudah seperti itu, "Apa kata dunia!" Sekarang pun, ketika nama Wakil Presiden Boediono disebut-sebut ikut bertanggungjawab ketika masih menjadi Gubenur Bank Indonesia, SBY pun meradang.

Tapi, ada lagi yang lebih aneh. Yakni keputusan presiden yang meminta polisi dan kejaksaan mengusut kasus Bank Century. Sekali lagi aneh! Karena polisi, dalam hal ini Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan kejaksaan saat ini sedang masuk dalam ranah sengketa kriminal kasus Bibit-Chandra dan sekaligus disebut-sebut ikut cawe-cawe dalam kasus Century. Jelas ada conflict of interest. Bagaimana mungkin, kelompok yang disebut-sebut terlibat, bahkan mungkin bisa menjadi terjadi tersangka (bahkan terdakwa) harus memeriksa kasus yang sama. Please deh. Lalu baiknya gimana? Dalam logika sangat sederhana, mungkin yang harus dilakukan adalah membersihkan keolisian dan kejaksaan.

Copot orang-orang yang masuk dalam wilayah sengketa! Bersihkan, sebersih-bersihnya. Setelah itu, baru rock n' roll dengan memblejeti kasus Bank Century. Sorry, pak presiden, kalau diperlukan, bapak harus bersedia juga diperiksa,..maukan?

*Tulisan lain soal Kasus Bank Century, klik di sini.