Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

11 April 2008

Artis Roy Marten Divonis Tiga Tahun Penjara

Iman D. Nugroho

Artis Roy Marten divonis tiga tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Jumat (11/04) ini di Surabaya. Roy dianggap bersalah menggunakan dan memiliki zat psikotropika tanpa izin. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut Roy Marten dengan hukuman penjara 3,5 tahun penjara.


Dalam persidangan yang diketuai oleh Berlin Damanik itu terungkap Roy Marten tidak terbukti bersalah seperti yang dituntutkan dalam dakwaan primer. Yakni bertransaksi atau menjual beli zat psikotropika jenis sabu-sabu. Dari pengakuan delapan saksi di pengadilan membuktikan Roy Marten tidak mengetahui transaksi sabu-sabu. ""Transaksi tidak diketahui oleh terdakwa, dan tidak sesuai dengan dakwaan primer," kata Berlin Damanik.

Namun, melalui keterangan saksi menyebutkan, Roy Marten bersama-sama tiga terdakwa yang lain menggunakan sabu-sabu yang sudah disiapkan oleh terdakwa Fredy Matatullah dan Didik Kesit. Karena itulah, unsur bersekongkol dan bersepakat untuk melakukan perbuatan sesuai dakwaan sekunder, serta unsur menggunakan dan memiliki dinilai majelis hakim sudah terpenuhi.

Yang memberatkan, Roy Marten dianggap melakukan kebohongan publik dan tidak menjaga kepercayaan yang sudah diberikan Badan Narkotika Nasional (BNN). Seperti diberitakan sebelumnya, kedatangan Roy Marten ke Surabaya karena diundang oleh BNN dan Jawa Pos, ketika akan menandatangani MOU Anti Narkoba. "Juga, terdakwa pernah dihukum dalam kasus yang sama," kata Majelis Hakim.

Karena beberapa pertimbangan itu, Roy Marten akhirnya dijatuhi vonis 3 tahun penjara, denda Rp.3 juta dan subsider 3 bulan. "Terdakwa secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur persekongkolan terhadap tindak pidana serta menyimpan, memiliki, atau membawa psikotropika yang melanggar pasal 71 ayat 1 jo pasal 62 ayat 2 UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika," kata Berlin Damanik. Baik Roy, Tim Pembela Hukum dan Jaksa Penuntut Umum mengaku pikir-pikir atas putusan itu.

Lebih jauh Roy mengatakan, putusan atas dirinya terlalu berat. Hukuman tiga tahun sama dengan hukuman pengedar. Padahal, dirinya bukan pengedar. "Tiga tahun terlalu berat, saya bukan pengedar," kata Roy usai pembacaan vonis. Vonis atas dirinya, kata Roy, sudah diputuskan sebelumnya. Sidang Jumat ini, katanya, hanya formalitas belaka.

Meski begitu, kepada The Jakarta Post Roy Marten mengatakan bahwa dirinya akan menjaga trust masyarakat yang belakangan luntur karena tertangkap dua kali. "Trust masyarakat kali ini akan saya jaga, ini serius,..saya tidak akan mengecewakan masyarakat lagi," katanya pada The Jakarta Post usai persidangan.

Dalam persidangan sebelumnya, empat terdakwa lain yang ditangkap bersamaan dengan Roy Marten dihukum 1-5 tahun penjara. Mereka adalah Windasari dengan vonis 1 tahun penjara, Fredy Matatullah dengan vonis 3,5 tahun penjara, Hong Ko Hong alias Hartanto dan Didit Kesit dengan dengan vonis masing-masing 5 tahun penjara.

10 April 2008

Penambangan Emas Banyuwangi Berkilau Petaka

Iman D. Nugroho

Matahari mulai condong ke barat, ketika Bejo ditemani istri dan anak keempatnya, menunggu waktu melaut di joglo samping tempat pelelalangan ikan Pantai Puger, Banyuwangi, Rabu (09/04/08) ini. Sesekali, laki-laki 60 tahun itu melemparkan pandangannya ke arah Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah, yang berjarak 5 Km ke arah timur. “Mungkin, inilah saat terakhir Saya melihat Gunung itu, sebentar lagi, gunung itu akan hilang karena ada penambangan emas,” kata Bejo.


Bejo dan 4500 jiwa warga Dusun Pancer adalah pihak yang paling resah dengan rencana penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah Banyuwangi. Aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Indo Multi Niaga (IMN) itu dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi mata pencahariannya sebagai nelayan. ”Kata orang-orang, akan ada pencemaran di laut dan membuat ikan-ikan pergi, lalu bagaimana nasib kami sebagai nelayan?” kata laki-laki yang istri pertamanya tewas saat tsunami menerjang Pantai Pancer pada 1994 ini.

Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, perjalanan aktivitas penambangan emas di Banyuwangi berawal dari rencana lama Hatman Group (HG), PT Hakman Platino Metallindo (HPM) dan Banyuwangi Mineral (BM) yang berencana membuka jalur emas Jember-Banyuwangi pada 1995. BM, juga dua perusahaan lain, PT. Indo Multi Cipta (IMC) dan PT. Indo Multi Niaga (IMN) adalah perusahaan emas milik pengusaha Yusuf Merukh. Merukh juga pemegang 20% saham PT. Newmont Minahasa Raya (NMR).

Karena rencana penambangan di Gunung Baban Silosanen, Jember mendapatkan perlawanan dari aktivis lingkungan, maka rencana penambangan dialihkan ke Banyuwangi. Hal itu bisa dilihat dari Berita Acara Pemeriksaan Lapangan (BAPL) terhadap Kawasan Hutan yang dimohon PT IMN, tertanggal 18 April 2007. Tepatnya pada petak 75, 76, 77 dan 78. Hebatnya, permohonan itu diterima, meskipun Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak pernah mengeluarkan izin tertulis. Dan pada 13 Februari 2007, eksplorasi deposit emas di Gunung Pitu dan Pulau Merah pun mulai dilakukan.



Sisi Keamanan Penambangan Emas (Bagian Ke-2)

Amankah aktivitas penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah? Dalam presentasi PT. Jember Mineral (JM) 29 Agustus 2000 di Jember dan presentasi PT Banyuwangi Mineral 31 Agustus 2000 lalu, dijelaskan adanya menerapkan sistem Submarine Tailing Disposal (STD) dalam pengolahan limbah penambangan. Rencana STD juga dapat dilihat pada analisis dampak lingkungan (Andal) yang telah dibuat PT. IMN. Block tailing direncanakan dibangun di tengah laut yang berdekatan dengan pulau merah.


”Pembuangan limbah model ini dipastikan akan menghancurkan beberapa jenis vegetasi laut di perairan itu sebagaimana tabel di bawah ini,” kata Direktur Walhi Jatim, Ridho Saiful Ashadi.

Pilihan underground mining dengan konsekuensi pembuangan limbah di darat pun tidak memiliki garansi untuk tidak mengalir ke laut. Harus diingat, blok Tumpang Pitu berdempetan dengan laut. Bahkan Pulau Merah dan Pulau Mahkota yang masuk dalam kawasan blok tersebut, justru merupakan pulau kecil yang berada di tengah laut. Pembuangan limbah ke darat bahkan akan mengancam pemukiman dan pertanian penduduk mengingat kawasan limbah tersebut direncanakan berada di kawasan daratan seluas 250 hektar.

Pengamat pertambangan yang juga anggota Forum Komunitasi Pencita Alam, Stevanus Bordonski menegaskan, hampir pasti penambangan deposit emas di Banyuwangi akan menimbulkan malapetaka. Karena memang seperti itulah efek samping yang dihasilkan oleh penambangan. Apalagi aktivitas penambangan di Indonesia selalu mengabaikan fase penting dalam penambangan, yakni study kelayakan. “Study kelayakan penting dilakukan untuk mengetahui kondisi ekologi dan sosial, sebelum, saat pelaksanaan dan sesudah penambangan, ini yang selalu tidak dilakukan secara kontinyu,” katanya pada The Jakarta Post.

Karenanya, penambangan cenderung meninggalkan kerusakan. Apalagi, secara teknis, penambangan tergolong proses yang mengerikan. Diawali dengan pengeboran (drill) dari berbagai sudut, pengeboran vertikal, pengeboran miring hingga pengeboran silang. Tujuan pengeboran tahap awal ini untuk mencari kapasitas deposit objek yang akan ditambang. “Melalui pengeboran tahap satu itu akan diketahui berapa jenis bahan tambang yang ada, berapa banyak dan berapa waktu yang diperlukan untuk menambang,” jelasnya. Bila data sudah didapat, maka dilakukan eksploitasi.

Proses eksploitasi ini tergolong mengerikan. Kecuali eksploitasi Uranium, sejak Perang Dunia II berakhir, tidak ada lagi eksploitasi vertikal dengan menggunakan terowongan (tunnel). Melainkan bentuk eksploitasi terbuka (open mining). Eksploitasi dengan ini secara otomatis akan membuang lapisan tanah yang tidak memiliki kandungan mineral atau over border. Jumlahnya bisa jutaan matrix ton. “Bentuknya seperti obat nyamuk, melingkar ke bawah semakin kecil, seperti yang dilakukan Newmont dan Freeport, tanah yang tidak bermineral akan dibuang ke waste dam,” jelas Stevanus. Jalan melinkar itu digunakan sebagai jalur truk untuk mengangkut soil.

Soil yang dikumpulkan dari lapisan tanah bermineral (deposit), kemudian akan diproses dengan menggunakan mesin canggih. Dalam proses itu, digunakan berbagai bahan berbahaya seperti arsenik, asam sianida, mercury dll. Melalui bahan kimia itu, akan dipisahkan mineral dan serbuk batu. Mineral yang sudah terkumpul akan dibuat konsentrat, sementara serbuk batu akan dibuang. “Jangan lupa, dalam setiap aktivitas penambangan, hasilnya tidak hanya satu jenis mineral saja, misalnya, dalam lapisan tanah itu akan ditemukan pula mineral lain yang bernilai ekonomis, seperti zeng, nikel, barium dan kloroid, semuanya memiliki nilai ekonomis,” jelas Stevanus.

Namun, yang lebih penting dari itu, adalah efek samping dari penambangan, yakni munculnya gas dan elemen berbahaya lain. Nah, hal inilah yang mebuat Stavanus bisa memastikan akan adanya malapetaka pertambangan. “Pasti, akan terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan, bahkan tidak mungkin akan berakibat kematian,” kata Stavanus.


Kegelisahan Taman Nasional Meru Betiri (Bagian Ke-3)

Penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah, Banyuwangi menggelisahkan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Sumarsono dari TNMB menjelaskan, secara administratif, penambangan di Banyuwangi sepenuhnya adalah tanggungjawab Perhutani Wilayah Banyuwangi Selatan. Karena secara geografis, posisi penambangan itu berada di dalam kawasan yang menjadi tanggungjawab pengelolaan Perhutani Wilayah Banyuwangi Selatan.


Hanya saja, efek buruk penambangan itu bisa mempengaruhi ekosistem di kawasan yang menjadi tanggung jawab TMNB. “Penambangan itu berada di bawah tanggungjawab Perhutani, tapi efek buruknya ikut pula kami rasakan,” kata Sumarsono pada The Jakarta Post. Posisi penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah berjarak hanya 10 mil dari tiga daerah penting TMNB. Yakni, Pantai Rajekwesi, Teluk Hijau dan Pantai Sukamade. Tiga wilayah itu adalah wilayah konservasi alam yang hingga saat ini tetap dijaga kealamiannya. Terutama Pantai Sukamade, yang merupakan daerah pandaratan penyu. “Pantai Sukamade adalah satu-satunya daerah pendaratan penyu di Samudera Hindia, yang kepemilikannya resmi dimiliki oleh Pemerintah Indonesia,” kata Sumarsono.

Penyu yang juga merupakan hewan yang dilindungi di seluruh dunia, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Sedikit saja ada perubahan ekosistem, maka penyu dipastikan akan meninggalkan daerah pendaratan. “Karena itu, Pantai Sukamade terus dijaga keasliannya, tapi bila limbah pertambangan mencemari Pantai Sukamade, bisa dipastikan tidak ada lagi tempat pendaratan penyu,” katanya. Ironisnya, hingga saat ini, pihak TMNB tidak pernah diajak bicara tentang rencana eksplorasi emas di Banyuwangi. Yang bisa dilakukan TMNB, hanya melaporkan secara berkala perkembangan eksplorasi emas di Banyuwangi kepada Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Hingga saat ini, hasil pengamatan TNMB, perkembangan eksplorasi emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah Banyuwangi sudah masuk ke tahap pengambilan contoh tanah melalui pengeboran dangkal di dua titik. Masing-masing titik memiliki kedalaman hingga 600 meter. Bila sudah dimulai eksploitasi dengan open pit mining (penambangan terbuka), maka TNMB akan menetapkan status “siaga merah” pada eskosistem di sekitar Pantai Sukamade dan sekitarnya. Bila sudah begitu, maka mau tidak mau pengawasan ekosistem di sekitar kawasan TNMB akan dilakukan siang dan malam. “Celakalah ekosistem kita,” katanya.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur memperkirakan, kerusakan ekologi akan menjadi bencana utama. Desa Pesanggaran dan Desa Sumber Agung (dua daerah yang masuk daerah penambangan emas) yang memiliki potensi air tanah dengan kapasitas 15-20 liter perdetik akan berubah. Dan hal itu akan menjadi awal terancam krisis air. Sekaligus berdampak pada hancurnya kedaulatan pangan sektor pertanian seperti; padi, jagung, jeruk, dan palawija. Padahal daerah ini merupakan salah satu lumbung padi Jawa Timur yang menyumbangkan 10 % dari total produksi. Saat ini pun, hal itu bisa dirasakan. Petani yang tinggal disekitar sungai Gangga, Banyuwangi, kini sudah mengeluh kekurangan air akibat air yang mengalir disungai itu dimanfaatkan untuk kepentingan eksplorasi PT. IMN.

Efek kedua adalah konflik sosial. Ini dapat dilihat dari munculnya penolakan nelayan Pancer terkait keberadaan perusahaan emas di dusun Pancer. PT. IMN juga telah mendirikan pos-pos penjagaan (militer) yang cukup ketat di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Mulai dari pintu gerbang gunung tersebut, para pengunjung diharuskan mengisi daftar buku identitas. Pos-pos penjagaan militer juga bertebaran dibanyak sudut, khususnya puncak gunung yang kini sudah rata dan banyak berdiri bangunan dan infra struktur untuk keperluan menuju tahapan eksploitasi. Bahkan lapangan helikopter juga sudah dibangun di puncak gunung. Bukan tidak mungkin kasus Pelanggaran Hamseperti yang terjadi di Papua (160 warga dibunuh sejak tahun 1975 hingga 1997 di sekitar tambang Freeport, akan juga terjadi.

Juga soal kemiskinan, yang menjadi dampak pembuangan tailing dengan model pembuangan ke laut. Berbagai jenis ikan laut dan sungai akan hilang, hingga membuat ribuan nelayan kehilangan mata pencahariannya. Beberapa jenis hewan yang ada di Blok Tumpang Pitu, dipastikan akan musnah. Sebut saja Babi Hutan (Sus vittatus), monyet (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa (Cervus unicolor), Bajing, Landak, dan Musang. Burung Gereja (Passer montanus), Kuntul Cina (Egretta eulophotus), Perkutut (Geopelia striata), Pipit (Lonchura sp), Prenjak (Prinia flaviventris), Sikatan (Cyornis concreta), dan Tekukur (Streptophylia chinensis), Ayam Hutan (Gallus bankiva), dan Camar Laut. Raptor (burung pemangsa). Sekaligus kepunahan reptil seperti Kadal, Biawak, Ular Tanah, Ular Hijau, Ular Air, Kobra dan Katak.

Perlawanan Nelayan Pancer (Bagian ke-4)

Iman D. Nugroho

Pencemaran di laut itu juga yang membuat masyarakat sekitar lokasi penambangan emas bersepakat untuk melawan aktivitas penambangan. Dimotori oleh penduduk Dusun Pancer, yang mayoritas adalah nelayan tradisional, perlawanan itu diawali dengan upaya mengirim surat keberatan kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2007. Namun, hal itu tidak berefek apa-apa. Rencana penambangan pun terus dilakukan hingga masuk ke tahap eksplorasi pada tahun 2008. “Kami tidak tahu, apa yang salah dengan surat itu, yang pasti surat itu diabaikan,” kata Mudasar, Kepala Dusun Pancer pada The Post.


Puncaknya adalah Selasa (08/04/08) kemarin, ketika kemarahan warga Pancer tidak bisa lagi dibendung. Warga yang mendengar akan adanya kunjungan perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke Pantai Pancer, memblokade jalan. Tuntutan mereka hanya satu, yakni kemauan pemerintah untuk mendengar aspirasi mereka. “Kami tidak pernah minta macam-macam, tolong dengarkan aspirasi kami,” ungkap Mudasar yang pada tahun 1994 menjadi korban gelombang tsunami di Banyuwangi ini.

Mudasar menceritakan, beberapa minggu sebelum eksplorasi akan dilakukan, perwakilan PT. IMN menggelar petemuan dengan perwakilan warga. Dalam pertemuan itu, PT. IMN meminta izin akan melakukan kegiatan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah. “Saat itu mereka menjanjikan, proses penambangan akan dilakukan secara tertutup, dan limbahnya akan dikelola sehingga tidak mencemari laut,” kata Mudasar.

Bahkan, PT. IMN juga akan membangun masjid, jalan dan rumah sakit yang Dusun Pancer sebagai bukti keberpihakan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Namun, semuanya seakan berbalik ketika masyarakat mengetahui pernambangan tertutup sudah lama tidak digunakan. “Bahkan melalui VCD yang dibawa oleh teman-teman LSM, kami mengetahui aktivitas penambangan bisa berdampak sangat buruk, tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi manusia, karena itu kami sepakat menolak,” katanya.

Meskipun perlawanan itu begitu keras, namun faktanya, penduduk Pancer tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Mengingat tanah di Dusun Pancer berstatus tanah negara milik Kabupaten Banyuwangi. Artinya, negara berhak menggunakan tanah itu untuk kepentingan apapun. “Kami sadar bila posisi kami lemah, namun bukan berarti keberadaan warga Dusun Pancer diabaikan begitu saja kan,” katanya. Hal itu juga yang sepertinya membuat Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengabaikan aspirasi warga Dusun Pancer.

Mudasar mengingatkan, nelayan yang mencari ikan di Laut Selatan, khususnya di kawasan Pantai Pancer, bukan hanya nelayan Banyuwangi saja. Melainkan, nelayan daerah lain pun melakukan hal yang sama. “Ada ribuan nelayan yang mencari ikan di kawasan laut ini,” katanya. Mudasar tidak bisa membayangkan, bila akhirnya limbah penambangan akan mencemari laut dan membuat ikan-ikan di kawasan itu tercemari logam berat.

Jadi, apakah penambangan emas Banyuwangi masih bisa diteruskan?