Iddaily Mobile | Dari Anda Untuk Publik
Youtube Pilihan Iddaily: Pramoedya Ananta Toer
       

06 Maret 2008

ITS Tebarkan Virus di Enam Kampus

Iman D. Nugroho

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melalui Center For Enterpreneurship Development (CED) menebar virus. Bukan virus berbahaya sih, melain virus technopreneurship atau wirausahawan bidang teknologi. Keenam kampus yang akan disebari virus itu adalah Universitas Negeri Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Negeri Jember (Unej), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Negeri Brawijaya (Unibraw), Universitas Kristen (UK) Petra dan tentu saja ITS sendiri.

Ketua Technopreneurship CED Ir. Mudji Irmawan mengatakan, upaya ini ditujukan untuk membumikan technoprenuer di kalangan mahasiswa. Tiga tahun silam, saat pertama kali dirintis, technoprenuer ditujukan untuk intern mahasiswa ITS. Tidak sia-sia, sejak saat itu, CED sudah mempunyai beberapa unit usaha yang dikerjakan oleh mahasiswa. "Ada bidang IT, pengolahan tumbuhan, hingga budidaya perikanan," ujarnya.

Para mahasiswa memproduksi mesin dan teknologinya, sementara yang melaksanakan adalah para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). "Mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,’’ kata Mudji. Hal semacam inilah yang akan ditularkan CED ke kampus lain-lain. "Karena itu, kita sebarkan virus technopreneurship ini ke enam kampus, saya yakin ada gunanya," ujarnya.

Technopreneur juga bisa dilihat sebagai bentuk tanggung jawab institusi terhadap mahasiswanya. Semacam layanan purna jual mahasiswa oleh institusi kampusnya. Selama ini kebanyakan institusi pendidikan lepas tangan dengan produk sarjana yang telah dihasilkan. "Mereka nggak peduli apakah lulusannya itu bekerja, atau tidak. Lepas dari kampus ya sudah lepas begitu saja,’’ kata Direktur CED, Widya Utama.

Dengan program CED, mahasiswa sudah disiapkan sejak dini untuk mampu terjun dan berkembang di dunia usaha. Apalagi potensi mahasiswa untuk menghasilkan teknologi yang layak jual sangat besar. Selama ini, ide pemikiran kreatif mahasiswa masih banyak yang mandeg di tataran skripsi. "Setelah tugas akhir dibukukan ya sudah. Padahal itu bisa jadi uang," terang Widya yang juga dosen mata kuliah Fisika ini.

Widya mencontohkan PR (pekerjaan rumah) para mahasiswa teknik informatika berupa game. Walau sekedar PR, namun game karya mahasiswa ini sangat menarik bagi anak SMA ataupun SMP. "Game yang hanya PR ini kan bisa dijual. Kalau bayar baru bisa download, si mahasiswa pencipta juga mendapatkan royalti setiap karyanya didownload," paparnya.

Dia berharap road show workshop ke enam kampus ini nantinya dapat menjadi jejaring program technopreneurship. "Angan-angan ke depan setiap kampus punya produk hasil karya mahasiswanya sendiri," lanjutnya.

Sebagai langkah pendukung lainnya, dalam waktu dekat ini CED ITS akan meluncurkan situs toko online. Situs ini akan menjembatani penjual dan pembeli dari berbagai tempat. "Namanya masih belum diputuskan," ujarnya. Dan sebagai langkah terobosan baru, pembayaran atas hasil transaksi cukup melalui SMS yang disponsori oleh provider Telkomsel. "Kita akan launching toko online ini 17 Maret mendatang," pungkasnya.

04 Maret 2008

Sebulan Berlalu, Nasib Korban Banjir Situbondo Bertalu-talu

Iman D. Nugroho

Korban banjir bandang di Situbondo, Jawa Timur, menolak rencana pemerintah yang akan merelokasi mereka dari bantaran sungai. Selain daerah relokasi yang jauh dari kota, relokasi juga dinilai sebagai upaya oknum pemerintah untuk ikut "menikmati" dana bantuan yang menjadi hak korban banjir. Tidak adanya titik temu itulah yang membuat korban banjir bandang Situbondo masih terkatung-katung hingga kini.

----------------------------

Tenda biru berukuran 4x4 itu menjadi satu-satunya harapan bagi Suryotomo (59), untuk terhindar dari terik sinar matahari Selasa (04/03/08) ini. Dari bawah tenda, pensiunan pekerja Bank Nasional Indonesia (BNI) ini duduk di atas kloset rusak. Bapak enam anak itu untuk mengawasi lima pekerjanya, mengambili barang-barang di bekas rumah miliknya di Jl. Merpati Situbondo, Jawa Timur.

Sesekali, Suryotomo yang bertongkat penyangga itu harus berjalan tertatih di atas puing-puing rumahnya. Memastikan seluruh barang miliknya sudah diambil. "Kabarnya pemerintah akan melebarkan Sungai Sampeyan hingga 20 meter, jelas itu memakan tanah milik saya, daripada dibuang, lebih baik saya menambil semua barang-barang milik saya yang sebagian besar sudah rusak kena air banjir," katanya pada The Jakarta Post.

Suryotomo adalah salah satu korban banjir bandang yang melanda Kabupaten Situbondo, 8 Februari 2008 lalu. Pada saat itu, sembilan kecamatan di kabupaten ini tergenang oleh banjir. Air yang meluap dari Sungai Sampayen di sebelah selatan pusat kota, mengaliri anak-anak sungai yang juga ikut meluap. Sejumlah 15 orang tewas dalam peristiwa itu.

Kecamatan Kota Situbondo menjadi daerah terparah. Di lokasi yang juga merupakan pusat kota Situbondo ini, 112 rumah hanyut dan hancur terseret air. Sejumlah 703 rumah rusak berat dan tidak bisa ditempati, serta 3284 lainnya rusak ringan. Kondisi parah juga dialami oleh Kecamatan Panji. Sejumlah 62 rumah hanyut, 211 rusak berat dan 609 rusak ringan dan masih bisa ditempati. Ribuan orang mengungsi di jalanan, rumah sanak keluarga atau tempat umum yang lebih aman.

Peristiwa yang hampir sebulan lalu terjadi itu, hingga kini masih menyisakan luka. Bukan luka fisik, namun luka hati karena permintaan korban banjir bandang untuk mendapatkan ganti rugi dari pemerintah tidak dikabulkan. "Pemerintah maunya merelokasi kami di Desa Sliwung Kecamatan Panji, jauh dari sini, jelas kami tidak mau," kata Tolak, warga Kecamatan Kota pada The Post. Desa Sliwung terletak 10 Km dari pusat kota Situbondo. Lokasinya adalah berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso.

Tolak adalah salah satu korban banjir bandang. Rumahnya yang terletak 10 meter dari bibir sungai, hanyut dibawa banjir. Menurut laki-laki yang bekerja sebagai sopir truk ini, keputusan relokasi ke Desa Sliwung seperti membunuh korban banjir bandang pelan-pelan. Karena penduduk yang akan direlokasi itu hampir seluruhnya bekerja di kota. Seperti menjadi tukang becak, pedagang kaki. "Lalu, bagaimana kita bekerja kalau kita tinggal di desa Sliwung," kata Tolak.

Nuryati, korban banjir yang lain mengatakan, karena alasan jauh dan tidak ada pekerjaan itulah, sebagian besar korban banjir meminta pemerintah membatalkan relokasi dan mengganti kerugian dengan sejumlah uang. "Jumlahnya terserah saja, tapi yang pasti layak dan bisa digunakan untuk membangun rumah lagi," kata Nuryati.

Ibu satu anak yang kini tinggal di tenda Jl. Merak ini mengatakan, bila korban banjir mendapatkan uang, maka korban banjir itu sendiri yang akan mengelola uang itu. Apakah mau dipakai membangun rumah lagi atau membuka usaha baru di kota, sepenuhnya menjadi hak korban. "Kalau saya akan membangun rumah di daerah Pantai Patek, karena di sana anak saya sudah beli tanah di sana," katanya.

Suryotomo, korban banjir dari Jl. Merpati Situbondo mencurigai, kengototan pemerintah merelokasi akan memposisikan korban banjir bandang sebagai obyek. Mulai obyek penyunatan dana, sampai obyek kontraktor dalam mengambil keuntungan. "Misalnya kita dapat relokasi rumah seharga Rp.20 juta, maka nilai riil rumah itu akan jauh lebih rendah, karena sudah disunat di sana-sini," kata Suryotomo yang juga pensiunan pegawai BNI ini.

Menanggapi pro-kontra relokasi atau yang cash, Yamin Muazin, Kepala Perlindungan Masyarakat (Linmas)Kabupaten Situbondo, yang juga anggota Satuan Pelaksana Penanganan Bencana (Saklak PB) Situbondo meminta masyarakat untuk berpikir lagi bila akan menolak. Karena semua yang dilakukan pemerintah sepenuhnya untuk kepentingan dan keselamatan masyarakat. "Bertempat tinggal di bantaran kali itu berbahaya, apa tidak lebih baik menerima relokasi," kata Yamin pada The Jakarta Post.

Yamin mengungkapkan, saat ini pihak Satlak PB sedang melakukan kunjungan ke Jember untuk melihat rumah relokasi yang dibangun di Jember. Rumah relokasi Jember itu diperuntukkan bagi korban banjir bandang di Kecamatan Panti, Jember tahun 2006 lalu. "Siapa tahu, setelah melihat rumah yang sudah jadi, maka masyarakat akan mengubah pendapatnya," kata Yamin.

Sementara itu, Selasa (04/03/08) ini, tujuh pengacara dari Tim Kemanusiaan Advokat Ikadin mengajukan gugatan class action pada Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Situbondo, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pengairan Kabupaten Situbondo. Tergugat dianggap lalai dalam mengelola air, hingga menyebabkan terjadinya banjir bandang. Kelalaian itu membuah jatuhnya korban jiwa dan harta benda.

03 Maret 2008

Yustinus Menahan Rasa Nyeri Selama 21 Tahun

Manusia Kutil dari Jawa Timur

Iman D. Nugroho

Untuk menjaga keseimbangan saat berjalan, kepala Yustinus selalu miring ke kiri. Sementara tubuhnya dimiringkan ke kanan. Benjolan sebesar biji alpukat di kiri belakang kepala laki-laki berumur 34 tahun itu, membuatnya berjalan sedikit terseok. "Ya begini ini, yang saya rasakan, benjolan di tubuh saya terus tumbuh entah sampai sebesar apa,..." katanya.

----------------------------

Laki-laki yang oleh media lokal dijuluki sebagai Manusia Kutil itu bernama lengkap Yustinus Cokrohadikusumo. Waktu kecil, meski memiliki "toh" atau tanda lahir di punggung, secara fisik Yustinus tidak berbeda dengan anak kecil kebanyakan. Hanya saja, laki-laki kelahiran 6 Maret 1974 itu sedikit mengalami keterbelakangan mental. Karena itulah, kedua orangtuanya, Yosep Samian (62) dan Maria Sumarni (58) menyekolahkan Yustinus di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhakti di Malang.

Enam tahun berlalu. Di SLB Bhakti, Yustinus menuntut ilmu hingga lulus Sekolah Dasar. Karena alasan ekonomi, Yustinus memilih keluar dari sekolah dan kembali ke Jember. Yustinus yang berumur 13 tahun tidak menyadari "toh" atau tanda lahir punggungnya bertambah lama bertambah besar. "Tiba-tiba, keluarga sudah mengetahui "toh"itu sudah sebesar bola tenis meja," kata Maria, Senin (03/03/08). Tidak hanya itu, dalam hitungan bulan, muncul bercak-bercak merah yang kemudian menggelembung berisi daging.

Kadang-kadang, gelembung yang tumbuh di sekujur tubuh Yustinus itu terasa nyeri. Sebentar nyeri itu hilang, sebentar kambuh lagi. Begitu seterusnya. Yus hanya bisa mengadukan hal itu kepada kedua orang tuanya. "Kami juga kebingungan, karena tidak ada uang untuk membawanya ke dokter, maka hal itu kita biarkan saja," kata Yosep, sang ayah yang sehari-hari bekerja sebagaui buruh di bengkel motor tidak jauh dari rumahnya. Apalagi, masih ada empat anak lagi yang membutuhkan dana. Nasib Yustinus pun masih terabaikan.

Pertambahan umur membuat Yustinus semakin menderita. Lama kelamaan, daging tumbuh ditubuhnya-yang dalam bahasa medis dikenal sebagai Epidermodysplasia verruciformis atau kutil-semakin banyak saja. Yang paling besar sampai sebesar buah alpukat. Letaknya di punggung bawah dan sebelah kiri belakang kepalanya. "Seperti Anda lihat, inilah bentuknya," kata Maria sembari membantu Yustinus membuka baju dan menyibakkan rambut.

Setahun lalu, kutil utama di bagian punggung sempat lecet dan mengeluarkan darah. Saat itu keluarga membawa Yustinus ke mantri desa. Saat itulah untuk pertama kali Yus mendapatkan pertolongan medis. "Mantri mengatakan, Yustinus harus segera dioperasi, lha uangnya dari mana?" kata Maria.

Kutil yang semakin banyak dan membesar, berpengaruh pada keseimbangan tubuh Yustinus. Bukan sekali dua, laki-laki yang gemar anak kecil ini terjatuh saat berjalan. Bahkan, untuk menghindari seekor kucing yang melintas pun, Yustinus tidak sanggup. "Dengan kondisi semacam itu, mana ada perusahaan yang mau menerimanya sebagai pekerja," kata Maria. Karena itulah, Yustinus memilih mengisi harinya sebagai penjaga toko kelontong milik keluarga. Tokoh itu terletak di bagian depan rumahnya.

Untuk mengurangi penderitaannya dari kutil yang mengganggu, Yustinus melakukan eksperimen penghilangan kutil secara mandiri. Yakni dengan mengikat bagian pangkal kutil dengan karet gelang. Lama kelamaan, kutil itu akan mengering dengan sendirinya. Kalau sudah begitu, Yustinus tinggal menyanyatnya dengan pisau dapur atau gunting. "Hasilnya seperti ini,"kata Yustinus sambil menunjukkan bercak hitam pada kutil yang berhasil "dioperasi".

Meski hidup dalam keterbatasan, fisik maupun mental, Yustinus mengaku tidak malu dengan masyarakat. "Buat apa malu, memang kondisi saya seperti ini," kata Yustinus sambil tersenyum. Bahkan, Yustinus mengaku ingin sembuh dengan operasi. "Kalau ada yang mau membiayai, saya mau dioperasi," katanya. Yustinus bercita-cita ingin bekerja, entah sebagai apa. "Kalau sudah bekerja, nanti menikah, haha,.." katanya diselingi tawa.

Dokter specialis kulit dan kelamin asal Jember, Dr. Johny S. Erlan mengatakan, apa yang diderita Yustinus itu adalah jenis neurofibrimatosis multiple atau jenis tumor jinak. Biasanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan ini berhubungan dengan faktor genetika. "Bisanya dioperasi pada kutil yang mengganggu, itupun bisa tumbuh lagi," kata Dr. Johny.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jember Dr. Olong Fajri Maulana mengatakan, ada baiknya bila Yustinus segera dibawa ke puskesmas terdekat. Memang, puskesmas tidak akan mampu mengobati Yustinus, namun setidaknya Yustinus bisa mendapatkan rujukan ke RS. Dr. Soebandi Jember atau ke RS. Dr. Soetomo Surabaya. "Kalau memang miskin, kan ada kemanisme untuk mendapatkan pengobatan gratis," kata Dr. Olong.

Sayangnya, hingga saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Jember tidak berinisitif mendatangi keluarga Yustinus untuk menjelaskan hal itu. Dengan alasan keterbatasan sumber daya manusia (SDM), Dinas Kesehatan meminta keluarga Yustinus untuk secara mandiri membawa Yustinus ke rumah sakit. "Tenaga dinas kesehatan itu terbatas, ada 2,5 juta penduduk Jember yang kami urus, perlu ada partisipasi aktif bagi masyarakat untuk membawa Yustinus ke puskesmas, baru kemudian ke rumah sakit," katanya.***

28 Februari 2008

DPRD Sidoarjo dan Korban Lumpur Tolak Keputusan Pemerintah

Iman D. Nugroho

Keputusan Pemerintah untuk membayar ganti rugi warga tiga desa baru, Desa Pejarakan, Desa Besuki dan Desa Kedungangkring yang sebelumnya tidak dimasukkan ke peta desa berdampak lumpur Lapindo, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Seharusnya, pemerintah juga memasukkan dua desa lain, Desa Siring Barat danDesa Mindi, yang juga terkena dampak tidak langsung semburan lumpur Lapindo.

-------------

Ketua Panitian Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Kabupaten SiIdoarjo, Ali Fauzi mengatakan, keputusan pemerintah itu menyakitkan hati korban lumpur yang lain. Bukan tidak mungkin, akan muncul reaksi keras dari masyarakat atas keputusan itu. "Penggantian tiga desa itu menyakitkan, dan akan muncul reaksi keras," kata Ali Fauzi di Sidoarjo, Kamis (28/02/08) ini.

Nasib masyarakat dua desa lain yang belum dimasukkan ke dalam desa berdampak akan semakin terpuruk. Padahal kenyataannya, Desa Siring Barat dan Desa Mindi juga terkena dampak lumpur Lapindo. Selain rusaknya sarana dan prasarana, dua desa itu juga berbahaya sebagai tempat tinggal.

Untuk menghindari hal itu, Jumat ini DPRD Kabupaten Sidoarjo akan melakukan pertemuan dengan perwakilan korban lumpur. DPRD Kabupaten Sidoarjo juga akan mengirim surat ke presiden menyangkut penolakan keputusan itu. "Kami akan berkonsolidasi dengan korban lumpur dan akan segera mengirimkan sikap resmi kami ini ke Presiden RI melalui surat," katanya.

Ali Fauzi mengatakan, seharusnya pemerintah lebih terbuka dan berani mengeluarkan keputusan yang memiliki dampak jangka panjang. Seperti menjelaskan dengan transparan, lokasi-lokasi yang saat ini berbahaya, atau kemungkinan akan terkena dampak lumpur Lapindo. Penjelasan itu penting sebagai upaya antisipasi masyarakat bila suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan.

Ali Mursyid, salah satu penduduk Desa Besuki mengatakan, keputusan pemerintah untuk memasukkan desanya ke dalam desa baru berdampak lumpur Lapindo, adalah sebuah perkembangan yang bagus. Penduduk Besuki, kata Ali, tidak ambil pusing dengan asal dana yang akan digunakan oleh pemerintah untuk membayar ganti rugi. "Apakah dari APBN atau dari Lapindo, yang pasti ganti rugi harus dibayar," kata Ali pada The Jakarta Post.

Kekecewaan tidak terbendung muncul dari penduduk Desa Siring Barat. Penduduk di desa yang berada di samping barat Jl. Raya Porong dan hanya berjarak 1 Km dari pusat semburan lumpur Lapindo itu merasa pemerintah telah memperlakukan mereka dengan tidak adil. "Ini sangat tidak adil, bagaimana pemerintah bisa menilai desa kami tidak pantas diganti, padahal Desa Siring Barat juga berdampak," kata Ahmad, penduduk Desa Siring Barat.

Kamis ini, beberapa penduduk Desa Siring Barat membuktikan betapa berbahayanya tinggal di itu. Mereka menyulut api dari gas yang menyembur di salah satu tempat di desa itu, yang langsung menciptakan api layaknya kompor gas setinggi 30 Cm dari permukaan tanah. "Siapa yang mau tinggal di desa seperti ini," kata Ahmad.

Sementara itu, menanggapi keputusan pemerintah, Abdul Rokhim dari Desa Mindi mengingatkan kembali tentang tiga hal yang menjadi inti persoalan lumpur Lapindo. Yakni adanya pengeboran, lumpur panas dan korban sosial dan lingkungan karena semburan lumpur. "Keputusan pemerintah hendaknya tidak mengingkari tiga fakta tak terbantahkan itu," kata Abdul Rokhim pada The Jakarta Post.

25 Februari 2008

Mengeksplorasi Kejujuran Suku Samin Dalam Bingkai Foto

Iman D. Nugroho

Foto berukuran 16 R dengan bingkai hitam itu menarik perhatian. Apalagi dengan gambar Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah berukuran besar. Apa menariknya sebuah KTP? Bila diamati, kolom agama dalam KTP itu tidak terisi alias kosong. "Karena memang agama kami tidak ada di daftar lima agama yang diakui pemerintah," kata Gun Retno di Surabaya, Senin (25/02/08) ini.

----------------------------

Pameran foto dengan tema kehidupan Suku Samin, digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya, Selasa (26/02/08) hingga Selasa (11/03/08) mendatang. Dalam pameran itu, disuguhkan sisi-sisi kehidupan Suku Samin yang selama ini kurang dikenal oleh masyarakat luas. Kalau toh tahu, masyarakat hanya mengenal stereotipe suku Samin, yang malas dan sulit diajak maju.

Stereotipe itu bawaan dari strategi perlawanan Samin Surantiko, salah satu tokoh masyarakat di daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saat Belanda berkuasa di Tanah Jawa, Samin Surantiko melakukan perlawanan dengan membangkang. Tokoh berpawakan kurus ini menolak apapun yang diperintahkan Belanda.

Perlawanan itu diikuti oleh masyarakat sekitar Pati, Blora, Kudus dan Bojonegoro. Konon, dengan kemampuan berlogika, masyarakat daerah setempat memiliki strategi untuk membangkang Belanda. Kebiasaan itu terbawa hingga saat ini. Hingga lahirlah stereotipe Suku Samin sebagai komunitas masyarakat yang tidak bisa diajak maju, karena selalu membangkang.

Fotografer asal Surabaya yang juga alumni Universitas Kristen Petra, Peter Dwiyanto gerah dengan hal itu. Berawal dari tugas akhir mantan mahasiswa jurusan Komunikasi Visual ini, Peter memilih suku minoritas sebagai tema. Suku yang dimaksud, adalah Suku Samin. "Saya tinggal di Pati, Kudus dan Blora selama satu bulan untuk mengenal mereka," kata Peter.

Hidup bersama Suku Samin seperti memporak-porandakan stereotipe tentang suku itu. Peter menemukan, suku yang kerap memakai baju hitam dengan penutup kepala batik khas Jawa Tengah itu adalah suku yang menjunjung tinggi kejujuran. Seperti yang termuat dalam 20 Anger-Anger Pratikel atau 20 pantangan suku yang juga disebur Sedulur Sirep itu.

Ke-20 Anger-Anger Pratikel itu adalah drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), nemu (menemukan), dagang (berdagang), kulak (kulakan), mblantik (calo), mbakul (berjualan), nganakno duit (rentenir), mbjuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), krenah (nasehat buruk) dan ngampungi pernah (tidak membalas budi). "Intinya adalah jujur antara perbuatan dan kelakuan," kata Peter.

Anger-anger Pratikel itulah yang membuat Peter merasa hidup di tengah-tengah Suku Samin sebagai pengalaman tidak terlupakan. Semua hal di kehidupan Suku Samin bersandar pada kejujuran. "Pernah ada peristiwa seorang sedulur lain (sebutan untuk orang di luar Suku Samin) yang uangnya tertinggal di tahun 1980-an, hingga saat ini uangnya masih disimpan," kenang Peter.

Gun Retno, salah satu warga Suku Samin yang hadir di CCCL Surabaya menjelaskan, bagi Sedulur Sirep, kejujuran pitutur (perkataan) dan prilaku (kelakuan), benar-benar dijaga. Apa yang dikatakan, itu juga yang dilakukan. Juga sebaliknya. Kalau dinilai tidak mampu melakukan, warga Suku Samin tidak akan mengatakannya. Karena kebiasan itu, Suku Samin menjadi sosok yang "aneh".

Bapak empat anak itu misalnya. Hingga saat ini, dirinya masih enggan menggunakan bahasa Indonesia. Karena dia menilai, tidak ahli dalam hal itu. "Saya lebih memilih menggunakan bahasa Jawa, karena bahasa ini yang Saya bisa dan saya mengerti, kalau menggunakan bahasa Indonesia, Saya takut salah," katanya dalam bahasa Jawa.

Petani yang gemar menggunakan pakaian hitam-hitam itu menjelaskan, pilihan itu tidak berarti menolak semua hal baru yang diperkenalkan di Suku Samin. Seperti teknologi baru. "Di desa Kami juga ada televisi, ada traktor pembajak sawah dan barang-barang modern lain, tapi semua digunakan seperlunya, tidak perlu berlebihan," katanya, masih dengan bahasa Jawa.

Juga dalam persoalan menuntut ilmu. Warga Suku Samin memilih untuk mengajari anak-anak soal hidup dan kehidupan, hanya dari pengalaman kedua orang tuanya. Anak laki-laki diajari menjadi petani oleh sang ayah, sementara anak perempuan, diajari memasak oleh sang ibu. "Baca tulis tidak termasuk yang diajarkan, tapi kalau anak-anak ingin belajar, bisa belajar dari teman-temannya," katanya. Sikap itu yang membuat warga Suku Samin kebanyakan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Setelah itu, turun ke sawah sebagai petani.

Keteguhan Suku Samin menjaga tradisi kejujuran juga membuat masyarakat Suku Samin merasa "gerah" dengan hadirnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Apalagi di dalamnya berisi beberapa hal yang menurut warga Suku Samin tidak mereka lakukan. Seperti hal agama. Suku Samin menilai agama sebagai jalan hidup.

"Kalau kita mengaku Islam, Kristen atau agama lain, kita harus hidup dengan cara agama itu, nah, agama kita bukan Islam, Kristen atau yang lain, bagaimana?" katanya. Karena itulah, Suku Samin yang beragama Adam, menolak menuliskan nama agama yang "ditawarkan", dan memilih untuk mengosongi kolom itu. "Tapi sepertinya, sekarang tidak bisa lagi, karena kolom agama itu harus diisi, haha,.." katanya.