04 Januari 2009

Rp.2,7 Juta, Upah Layak Jurnalis Surabaya

Iman D. Nugroho, Surabaya

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya merilis upah layak jurnalis di Surabaya sebesar Rp.2,7 juta/bulan. Nilai ini diambil berdasarkan survey kepada jurnalis di Surabaya atas kebutuhan sehari-hari yang dikonsumsinya. "Kami berharap pemilik media memenuhi upah layak jurnalis karena hal ini adalah upaya untuk membangun budaya jurnalistik yang profesional," kata Donny Maulana, Ketua AJI Surabaya, Minggu (4/1) ini di Surabaya.


Survey AJI Surabaya dilakukan secara acak kepada 30 jurnalis yang terpublish dan berkantor pusat di Surabaya. Para wartawan itu diminta mengisi 24 form kebutuhan mulai makanan-minuman, perumahan-fasilitas, transportasi, komunikasi, kesehatan dan kebersihan, rekreasi hingga tabungan. Dari data-data yang terkumpul kemudian dianalisa dengan mengambil nilai tengah atau harga yang paling sering muncul dari responden. Dari hasil survey itu diketahui, sebagian besar jurnalis di Surabaya rata-rata membeli makanan tidak lebih dari Rp.10 ribu/sekali makan, tanpa memperhatian standarisasi kesehatan makanan yang disantapnya.

Jurnalis di Surabaya juga tidak menjadikan rekreasi, membeli buku atau bacaan lain, bahkan menabung sebagai salah satu kebutuhan pokok setiap bulannya. "Berdasarkan survey terhadap jurnalis sebagai responden dan survey harga barang di pasar, maka Upah Layak Jurnalis Surabaya sebesar Rp 2,7 juta," kata Adreas Wicaksono, Koordinator Upah Layak AJI Surabaya.

AJI Surabaya menilai, selama ini belum adanya standarisasi pengupahan jurnalis. Penentuan gaji wartawan hanya berdasar nilai rata-rata upah jurnalis yang berlaku di pasaran. Rata-rata masih jauh dari kelayakan. Bahkan, masih ada jurnalis yang tidak digaji sama sekali oleh media tempatnya bekerja. Meski demikian, AJI Surabaya juga melihat ada manajemen media yang menjadikan jenjang pendidikan jurnalis sebagai patokan. Tidak layaknya upah jurnalis ini selalu menjadi alasan untuk melanggengkan praktek terima suap "amplop", meskipun dalam kode etik jurnalistik jelas-jelas melarang praktek tersebut.

Data-data yang didapat AJI Surabaya mendapatkan nilai rentang upah pokok yang diterima jurnalis berdasarkan jenis media. Ironisnya, rentang upah ini menunjukkan adanya jurnalis yang digaji lebih rendah dari upah minimum kota/kabupaten 2009 sebesar Rp. 910 ribu. "Rentang gaji jurnalis di Surabaya mulai Rp. 300.000,-1.650.000,- nilai itu jelas jauh dari nilai standart menengah kebutuhan harian jurnalis di Surabaya," jelas Andreas yang juga jurnalis salah satu stasiun televisi di Surabaya ini.

Selain menjelaskan soal upah layak, AJI Surabaya juga menjabarkan hasil kerja sepanjang tahun 2008. Diantaranya advokasi terhadap berbagai kasus yang menimpa jurnalis di wilayah kerja AJI Surabaya. Seperti kasus Kasus pemukulan wartawan di Bojonegoro dan kasus intimidasi jurnalis Radar Mojokerto, Jalaluddin Hambali. "AJI Surabaya juga sempat bereaksi atas pernyataan Kapolda Jawa Timur Herman S. Sumawiredja yang menyalahkan jurnalis dalam kasus tragedi pembagian zakat di Pasuruan," kata Donny, Ketua AJI Surabaya.

Dalam kasus perburuhan, AJI Surabaya juga terlibat dalam kasus perburuhan antara Hendro Dwijo Laksono sebagai Chief Editor Majalah Mossaik dengan manajemen Suara Surabaya Media. Hendro yang semula terancam diberhentikan dengan alasan bekerja di dua tempat secara bersamaan, akhirnya berubah dengan alasan Pensiun Dini. Juga, himbauan kepada pengelola media massa, baik cetak dan elektronik untuk membayarkan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada jurnalis.

31 Desember 2008

Aksi Berbahaya Menjelang Tahun Baru

Iman D. Nugroho, Surabaya

BERBAHAYA. Masyarakat Surabaya memeriahkan datangnya tahun baru 2009 dengan berpesta di jalanan. Seperti yang tampak di jalan protokol Jl.Gubernur Suryo Surabaya, seorang pengendara sepeda motor beraksi di tengah-tengah kerumunan massa sepeda motor yang menyemut, Rabu(31/12) malam.





Regenerasi Penari Agar Seni Reyog Tak Pernah Basi

Iman D. Nugroho, Ponorogo, Jawa Timur

Alunan suara gamelan khas Ponorogo bertalu-talu, saat Holsea Peter Agung Saputra atau Peter bersama dua temannya beraksi dia atas panggung penutupan Festival Reyog Ponorogo, akhir Desember 2008 lalu. Dengan rancak, Peter yang kini berusia 12 tahun itu menari khas Bujang Ganong, salah satu tokoh dalam tarian Reyog Ponorogo. Tidak hanya menari, Peter dan dua temannya juga jumpalitan bersalto bak atlet senam. Decak kagum dan tawa renyah ribuan penonton yang hadir terdengar.


Peter adalah salah satu seniman muda dalam dunia Reyog Ponorogo. Anak pasangan Andik Riyanto dan Lidya Trimurti itu sudah menggeluti dunia reyog sejak masih bersekolah di taman kanak-kanak. "Sejak awal saya melihat ada bakat menari di dalam anak saya, waktu saya perkenalkan dengan reyog, ternyata dia suka sekali," kenang Andik pada The Jakarta Post. Sejak itulah, Peter seakan tidak pernah berhenti menari.

Sepulang sekolah, Peter mendapatkan latihan privat dari sang ayah. Mulai mengenal jenis-jenis gerakan tari, hingga belajar bersalto. Namanya anak kecil, hal itu dipandang sebagai permainan belaka. "Peter suka sekali menari, sampai prestasi pertamanya diraih saat kelas 4 SD (Sekolah Dasar)," kenang Andik. Saat itu, Peter menyabet juara satu Lomba Tari Bujang Ganong untuk siswa SD se-Ponorogo. Andik pun mengarahkan Peter menjadi seniman profesional dengan memasukkan Peter ke sanggar reyog Singo Aglar Nuswantoro pimpinan Seniman Reyog, Shodik Pristiwanto.

Kehadiran Peter dalam dunia reyog di Ponorogo adalah salah satu gambaran upaya regenerasi seniman reyog di kota itu. Hal itu penting, seperti banyak seni tradisional lain, reyog pun memiliki ancaman tergerus gempuran budaya modern. Hal itu juga yang dirasakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo hingga perlu menstimulus munculnya seniman reyog dengan menggelar Reyog Ponorogo untuk anak-anak atau dikenal dengan Reyog Mini. "Itu salah satu upaya melestarikan Reyog Ponorogo," kata Wiwik Dyah Pratiwi, Kepala Seksi Dinas Promosi Wisata Dinas Dinas Pariwisata dan Seni Budaya Kabupaten Ponorogo.

Reyog Mini adalah festival Reyog Ponorogo yang dikhususkan untuk anak-anak dan remaja. Pelaksanaan festival yang dimulai lima tahun lalu itu adalah ajang bagi sanggar-sanggar reyog yang banyak tersebar di Ponorogo untuk menunjukkan kebolehan anak didiknya. Juga, ruang apresiasi grup reyog yang dimiliki sekolah-sekolah di Ponorogo.

"Hampir setiap sanggar reyog dan sekolah di Ponorogo memiliki grup reyog, saat Festival Reyog Mini itulah mereka beraksi," kata Wiwik pada The Post. Satu grup reyog mini memiliki paling tidak 40 pemain. Semuanya tersebar sebagai penari Jatilan, penari Dhadak Merak dan Karawitan. Selain festival Reyog Mini, Kabupaten Ponorogo juga memiliki even bertajuk Parade Budaya yang dilaksanakan setiap tahun. Dalam parade budaya itu, seluruh grup reyog di seantero Kabupaten Ponorogo akan menunjukkan performanya dengan berkarnaval keliling kota Ponorogo.

Kabupaten Ponorogo juga memiliki cara lain untuk meregenerasi senimannya. Yakni dengan memasukkan pelajaran Reyog Ponorogo dalam Kurikulum Lokal tiap sekolah di Ponorogo. Dalam mata pelajaran kesenian, siswa di Ponorogo diajarkan secara utuh tentang Reyog Ponorogo. Mulai sejarah, jalan cerita, arti busana yang dikenakan hingga makna gerakan tari tiap-tiap tokoh yang diperankan dalam pagelaran Reyog Ponorogo. Karena kurikulum lokal itulah, mayoritas anak-anak dan remaja di Ponorogo memahami Reyog Ponorogo secara utuh.

Shodig Pristiwanto, salah satu seniman Reyog Ponorogo yang juga pimpinan sanggar reyog Singo Aglar Nuswantoro mengatakan, adanya kurikulum itu mempermudah pegiat seni reyog di Ponorogo untuk meregenerasi seniman reyog. "Kurikulum lokal itu paling tidak sudah meletakkan dasar seni yang kuat bagi seniman reyog di Ponorogo," katanya. Shodig mencotohkan sosok Peter yang juga salah satu anggota sanggar yang dipimpinnya.

Di mata Shodik, Peter adalah sosok seniman muda yang kuat nilai seninya. Karena itu juga, Shodik tidak ragu memasang Peter sebagai pemain tokoh Bujang Ganong saat grupnya mengikuti Festival Reyog Nasional 2008 lalu. Hebatnya, dalam festival itu Singo Aglar Nuswantoro menyabet juara pertama. Prestasi itu tidak bisa dilepaskan dari sosok Peter sebagai salah satu pemain tokoh Bujang Ganong. "Kalau Bujang Ganongnya jelek, mungkin kami tidak akan menang, jadi kemenangan ini adalah kemenangan seluruh anggota sanggar, termasuk Peter," kata Shodik.

Pentingnya regenerasi seniman Reyog juga dirasakan grup Reyog yang ada di luar Jawa, seperti Grup Reyog Margomulyo asal Tarakan, Kalimantan Timur. Menurut Ketua Grup Reyog Margomulyo, Sarju Prasetyo, regenerasi seniman reyog akan terkait dengan masa depan seni Reyog itu sendiri. "Bayangkan saja, sekarang saja, Malaysia sudah berani mengklaim reyog sebagai budaya mereka, bagaimana bila nanti seniman reyog sudah hilang?" kata Sarju pada The Post.

Awal Januari lalu, dalam website Dinas Pariwisata Malaysia termuat klaim reyog sebagai budaya asli Malaysia. Hal itu sempat memicu kemarahan seniman reyog di Indonesia. Termasuk seniman reyog di Tarakan, daerah perbatasan Indonesia-Malaysia. "Tidak ada solusi lain, selain regenerasi seniman reyog," tegas Sarju.

Masyarakat Harus Bersatu Membela Korban Lumpur Lapindo

Catatan Akhir Tahun LBH Surabaya
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengingatkan masyarakat untuk kembali bersatu, berjuang bersama membela korban lumpur Lapindo. Karena tanpa hal itu, penyelesaian kasus Lumpur Lapindo yang membuat belasan ribu warga Porong, Sidoarjo terusir dari daerahnya akan semakin jauh. "Masyakat dan korban lumpur Lapindo harus bersatu untuk membela semua korban lumpur tanpa terkecuali," kata Faiq Assidiqi, Divisi Tanah dan Lingkungan LBH Surabaya, Rabu (31/12) ini di Surabaya.

Memanfaatkan Background

Fully Syafi, pengasuh rubrik Photo Corner IDDAILY memberi tips untuk menciptakan foto menarik dengan memanfaatkan background. Hasilnya? Bisa dinikmati di Photo Corner. Klik di sini!




LBH Surabaya Kutuk Serangan Israel

Athoillah, SH

LBH Surabaya mengikuti segala perkembangan yang terjadi terkait dengan krisis yang terjadi di Palestina, termasuk penggunaan kekerasan dan penyerangan secara brutal yang dilakukan oleh pemerintah Israel yang ditujukan secara langsung pada masyarakat Palestina, termasuk masyarakat sipil. Sejumlah sumber menyebut bahwa akibat penyerangan tersebut, ratusan warga sipil meninggal dan fasilitas publik hancur.


LBH Surabaya menyampaikan rasa solidaritas mendalam kepada masyarakat Palestina serta mengutuk aksi militer yang dilakukan oleh Israel. Penggunaan kekerasan dan teror yang ditujukan secara langsung kepada masyarakat sipil di Palestina, sesungguhnya tidak semata-mata menyerang rakyat Palestina, namun juga merupakan penyerangan secara langsung terhadap kemanusiaan dan peradaban dunia.

LBH Surabaya mendesak pemerintah Indonesia khususnya dan masyarakat serta organisasi internasional pada umumnya untuk meningkatkan tekanan dan menegaskan peran internasionalnya dalam menghentikan segala tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi yang dilakukan oleh pemerintah Israel.

Pemerintah Indonesia diminta untuk mengambil sikap yang tegas dan menggunakan segala jalur politik yang dapat digunakan untuk mendorong adanya resolusi DK PBB untuk mengecam dan menghentikan tindak kekerasan Israel. Dalam posisinya sebagai anggota Dewan HAM PBB, Indonesia juga harus menjadi pionir dan mendukung segala inisiatif bagi digunakannya seluruh mekanisme internasionak yang tersedia untuk segera menghentikan aksi penyerangan tersebut.

Tindakan penyerangan tersebut jelas adalah pelanggaran HAM dan pengangkangan yang nyata dari statuta Roma. Selain menghentikan tindak kekerasan, komunitas internasional seyogyanya mencari dan menemukan mekanisme yang tepat untuk menyeret pimpinan Israel ke Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court). LBH Surabaya telah menggunakan sejumlah jalur yang dapat diaksesnya untuk melibatkan diri dalam desakah internasional yang mengecam kasus ini, diantaranya melalui Asian Human Rights Commission di Hongkong dan sejumlah jalur nasional maupun internasional lainnya.

30 Desember 2008

Hukuman Mati, Sebuah Catatan Akhir Tahun

Iman D. Nugroho, Surabaya, Jawa Timur

Tahun 2008 merupakan tahun kelam bagi penegakan Hak Asasi Manusia di Jawa Timur. Di tahun ini, ada empat penduduk Jawa Timur yang dihukum mati karena tindakan kejahatan yang didakwakan kepada mereka. Keempatnya adalah Sumiasih dan Sugeng (kasus pembunuhan sekeluarga di Surabaya), serta Amrozi dan Ali Gufron (kasus terorisme dalam tragedi peledakan Bom Bali 1 di Kuta, Bali).


Praktek hukuman mati yang hingga kini masih berlangsung di Jawa Timur tidak bisa dilepaskan dari kebijakan hukum nasional Indonesia yang juga masih membuka kesempatan bagi dilakukannya hukuman mati. Hal itu jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang seharusnya tunduk dengan Kesepakatan Internasional tentang Hak Sipil, Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Namun yang terjadi justru kebalikannya. Dalam waktu lima tahun terakhir, jumlah eksekusi hukuman mati di Indonesia terus bertambah. Termasuk empat warga Jawa Timur, Sumiasih, Sugeng, Amrozi dan Ali Gufron. Hal itu menguatkan pro-kontra hukuman mati di Indonesia yang sempat mencuat saat Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu dieksekusi di Palu, Sulawesi Tengah setahun lalu. Bagaimana dengan tahun 2009?

Agaknya pelaksanaan hukuman mati akan kembali terulang. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengatakan, setelah ekseskusi Sumiasih dan Sugeng, masih ada dua lagi terpidana mati di Surabaya yang akan dieksekusi. Dalam catatan KontraS, lebih dari 100 terpidana mati yang terancam pelaksanaan hukuman mati. Dari Jawa Timur, nama-nama terdakwa Nurhasan Yogi Mahendra (Lamongan), Kolonel M. Irfan Djumori (Sidoarjo), Sugianto alias Sugik (Surabaya) dan Rahem Agbaje Selami, warga negara Rep of Cordova) (Surabaya) terancam vonis mati.

Bisakah Indonesia melepaskan diri dari hukuman mati? Sepertinya hal itu tidak serta merta bisa dilakukan. Apalagi, sikap pemerintah Indonesia dalam hal hukuman mati, tergolong bermuka dua. Di satu sisi, memiliki regulasi hukum dengan ancaman hukuman mati, namun di sisi lain mengatasnamakan kemanusiaan. Simak saja, Indonesia memiliki 11 hukum yang masih menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) misalnya, ada 10 hukum pasal yang mengancam pelakunya dengan hukuman mati. Mulai pasal Makar, Mengajak negara lain menyerang RI, Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI hingga Pemerasan dengan kekerasan. Juga UU Darurat No. 12 Tahun 1951 tentang Senjata api, UU No. 11 Tahun 1963 tentang Pemberantasan kegiatan subversif.

UU No. 4 Tahun 1976 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan, UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UU No. 22 Tahun 1997 Narkotika, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Di sisi berlawanan, justru Indonesia adalah pihak yang menandatangani Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) yang memposisikan hak hidup sebagai hak setiap manusia. Dan negara bertugas menjamin terpenuhinya hak itu. Atas nama kemanusiaan itu juga, Indonesia sempat melakukan lobby-lobby international untuk membatalkan hukuman mati bagi warga Indonesia yang melakukan kejahatan.

Meski demikian, dua posisi hukum yang berbeda itu tidak membuat majelis hakim yang menangani kasus dengan ancaman hukuman mati, menjadi "kebingungan". Mereka tetap memakai kaidah hukum positif Indonesia (dengan memvonis mati), dari pada harus melihat sisi kemanusiaan. Bukti kongkret dari penjelasan alinea ini adalah tetap saja ada vonis mati dalam berbagai kasus di Indonesia.

Sebagai bagian dari upaya menghormati hukum, mungkin keputusan majelis hakim "bisa diterima". Namun, dalam kerangka yang lebih lebar, jelas sekali, hukuman mati harus ditolak. Setidaknya, bobroknya sistem hukum di Indonesia bisa dijadikan salah satu alasan. Bukan tidak mungkin, keputusan yang dihasilkan dari sistem hukum yang bobrok, akan jauh dari rasa keadilan. Bisakah kita meyakini vonis hukuman mati di Indonesia benar-benar vonis yang adil?

Bila salah satu alasan pelaksanaan hukuman mati adalah "efek jera", hal itu jelas tidak terbukti. Tidak ada korelasi antara pelaksanaan hukuman mati dengan menurunnya angka kejahatan. Sialnya, hal itu ada di semua kasus yang selama ini dianggap "pantas" diganjar dengan hukuman mati. Mulai kasus pembunuhan, narkotika hingga terorisme. Bahkan, hukuman mati kepada pelaku terorisme, disebut-sebut menstimulus munculnya teroris-teroris baru.

Belum lagi pandangan diskriminasi hukuman mati. Selama ini, hukuman mati tidak pernah "menyentuh" pelaku kejahatan kerah putih. Seperti korupsi, misalnya. Padahal, kejahatan jenis ini lebih memiliki efek lebih keji kepada masyarakat dan negara. Karena berbagai hal itu, mengurangi angka kejahatan dengan perbaikan struktur kenegaraan banyak dipandang lebih pas ketimbang hukuman mati.

Lantas, apa yang harus dilakukan? Seperti halnya sikap 142 negara di dunia yang menghapus hukuman mati, Indonesia pun harus melakukan hal yang sama: Menghapus hukuman mati di Indonesia.

29 Desember 2008

Melarung di Telaga Ngebel Ponorogo

Iman D. Nugroho, Ponorogo
Photo Gallery

Masyarakat Ponorogo melakukan Larung Sesaji sebagai ritual menyambut Tahun Baru Islam 1 Muharram, Senin(29/12) ini. Dalam acara yang digelar di Telaga Ngebel Ponorogo itu dilarung nasi tumpeng berukuran raksasa dengan menggunakan rakit.



Pagelaran Tari Saat Grebeg Suro 2008 di Alun-alun Kota Ponorogo.

Salah satu aksi peserta pawai Grebeg Suro 2008 di Ponorogo.


Antusiasme penonton Grebeg Suro 2008 di Alun-alun kota Ponorogo yang menyaksikan dari balik pagar.

27 Desember 2008

Polygon Sweet Nice "Kebanjiran"

Arief, Surabaya

Prestasi klub balap sepeda Polygon Sweet Nice (PSN) Surabaya di penghujung tahun ini belum menggembirakan. Namun daya tarik yang dimilikinya membuat banyak pembalap memiliki hasrat untuk bergabung.


Dua pentolan Trek Marcopolo Sergei Kudentsov (Russia) dan Jai Crawford (Australia) sudah menyatakan keinginannya untuk bergabung. Demikian juga dengan sejumlah pembalap dari Kanada, dan negara-negara pecahan Russia lainnya juga menyatakan minatnya.

Seperti yang disampaikan Direktur PSN, Harijanto Tjondrokusumo bila timnya mulai memiliki daya tarik. Cukup banyak pembalap yang ingin bergabung. "Tidak sebatas Jai Crawford dan Sergei Kudentsof saja. Ada pembalap dari Belanda yang juga mengirim data untuk bergabung," terangnya, Kamis (24/12) malam.

Dari imel yang diterima manajemen PSN, menyebutkan setidaknya dipenhujung kompetisi 2007-2008 lalu cukup banyak imel yang masuk. Pembalap yang melamar ini memiliki alasan yang berbeda. Ada pembalap yang sudah tidak diperpanjang klubnya, dan ada pula yang ingin mencari suasana baru. Namun rata-rata pembalap ingin menacri suasana baru.

Hanya saja manajemen PSN terbentur dengan permintaan gaji yang cukup tinggi. Meski tidak menyebut angka, namun gaji yang disodorkan ke manajemen cukup besar. "Rata-rata gaji yang diminta sama dengan klub sebelumnya, terus terang kami tidak mampu. Tetapi kalau disamakan dengan pembalap PSN lainnya, mungkin masih masuk akal," urainya.

Banyaknya permintaan ini tidak membuat PSN terburu-burur merekrut. Sekalipun pembalap yang melamar itu banyak yang sudah memiliki nama besar, namun PSN masih memertahankan skuad yang ada. Sebut saja Sergei dan Jai merupakan figur yang sudah teruji ketangguhannya. Sergei saat ini bergabung Team Sports Macau dan baru saja menyelesaikan balapan Tour of South China Sea. Dalam balapan itu dia mengukuhkan diri sebagai sprinter dengan poin tertinggi, 61 angka.

Tim yang ditopang perusahaan makanan dan sepeda itu tetap konsen dengan pembalap mudanya. Bahkan tahun depan, PSN memproyeksikan tiga pembalap muda, Alexander Dyadichkin, Jimmy Pranata, dan Christopher Antonius. "Ketiganya perlu penambahan jam terbang, karena masih minim pengalaman," tandasnya.

26 Desember 2008

Gema Natal Gereja Madura Sumberpakem

Iman D. Nugroho, Jember

Adhu Yesus Alla kasokan se toron,..
Rabu e alam dunya karsa merokon,..
Enggi e antarana reng-oreng se odhi,..
Jugan kaula neka ampon e tembeli,..


Lagu pujian bertemakan kelahiran Yesus Kristus berbahasa Madura itu mengalun dalam perayaan Natal di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Sumberpakem, Jember, Rabu (24/12) malam ini. Puluhan orang yang hadir dalam kebaktian malam Natal itu seakan terhanyut dengan lagu pujian berjudul Menjelang Kelahiran Tuhan Yesus itu. "Ampon kaula ngartetresna panjenengan, paneka sengatore ajunan sampiyan (aku telah merasakan cinta dari-Mu, semua yang terjadi atas kehendak-Mu," kata Pendeta Sapto Wardoyo di atas mimbar gereja dalam bahasa Madura.


GKJW Sumberpakem, Kecamatan Sumber Jambe, Kabupaten Jember ini memang berbeda dengan gereja lain di Indonesia. Aktivitas keagamaan di gereja yang terletak 35 Km dari pusat kota Jember ini menggunakan tiga bahasa, Indonesia, Jawa dan Madura sebagai bahasa pengantar. Bahkan, Alkitabnya pun memakai edisi khusus berbahasa Madura bernama Alketab. "Hal ini dilakukan agar ada pemahaman yang sama menyangkut materi Alkitab," kata Sapto.

Penggunaan bahasa Madura di GKJW Sumberpakem sudah berlangsung lebih dari 128 tahun. Menurut buku berjudul Babad Zending Ing Tanah Djawa yang ditulis JD. Wollterbeek, kedatangan seorang misionaris Kristen bernama Dr. Esser di desa yang dulu bernama Soemberpakem itu, adalah awal dari semuanya. Esser piawai berbahasa Madura dan Jawa, karena belajar di Solo, Jawa Tengah.

Pastur asal Belanda itu berhasil memperoleh satu pengikut setia berdarah Madura bernama Ebing. Ebing, juga merupakan penduduk pertama di Jember yang beragama Kristen yang dibaptis pada 23 Juli 1882. Pendeta Esser dan Ebing memberikan pelayanan di daerah itu lebih dari tujuh tahun. Selama itu, keduanya tidak berhasil mengkristenkan satu orang pun. "Dokter Esser pun frustasi dan memindah konsentrasi gerejanya di Slateng dan Bondowoso yang berjarak 35 Km dari Sumberpakem," kata Sapto.

Meskipun sedikit mendapatkan "angin" ajaran Kristen di Bondowoso pun dinilai gagal. Dokter Esser pun kembali ke Belanda. Seorang Pendeta bernama H. Van Der Spiegel datang menggantikan pada tahun 1889. Kondisi tidak berubah, Van Der Spiegel pun terpaksa kembali ke Belanda dan digantikan oleh P.A. Otto Lander pada 1890, H. Dekker pada 1891, H. Hendrik pada 1897-1908.

"Pendeta Hendrik yang paling lama dan paling berhasil," kata Sapto. Meskipun sukses, kehadiran Hendrik di Sumberpakem berakhir rusuh, saat Gereja Kristen di Slateng dan perumahan pendeta di Sumberpakem dibakar massa.

Sejak saat itulah, tidak ada lagi misionaris dari Belanda yang "turun" ke Jember dan sekitarnya. Tongkat estafet misionaris dipercayakan kepada Ebing dan anaknya, Sulaiman. Pendekatan lokal yang kuat ala Pendeta Ebing menjadikan agama Kristen lebih bisa diterima. Apalagi, Ebing menggunakan pendekatan bahasa Madura yang lebih mudah dipahami oleh penduduk sekitar. "Peran Ebing dan anaknya, Sulaiman membuat pemeluk kristen di Sumberpakem dan Slateng meningkat tajam," kata Sapto.

Peningkatan paling tajam saat memasuki tahun 1965, pasca peristiwa Gerakan 30 September yang disebut-sebut dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Konflik horisontal yang berujung saling serang antara penduduk berideologi komunis dan non komunis terjadi di Jember dan sekitarnya. Saat itu, Jember merupakan basis kelompok yang kontra dengan ajaran komunisme. Anggota PKI yang ketakutan, memilih untuk memeluk Kristen, dan bergabung menjadi jemaat gereja setempat.

"Saat keadaan kembali normal, kondisi pun berbalik, jumlah pengikut kristen di Sumberpakem pun tak lebih dari ratusan orang," kata Sapto. Meski demikian, bukan berarti gereja berbahasa Madura ini berhenti berdetak. Kehadiran Pendeta Alphius pada tahun 1972 meneruskan semangat Ebing dan anaknya, Sulaiman. Hingga pada tahun 2002 Sapto Wardoyo datang sebagai pendeta, menggantikan Pendeta sebelumnya, Kukuh Supitono.

Sapto yang lulusan Institut Pendeta Theologia (IPTh) Malang, Jawa Timur ini menganggap kedatangannya di Sumberpakem sebagai tantangan dari Tuhan, untuk meneruskan misi Dr. Esser pada 1880. Apalagi, menyebarkan Kristen di tengah-tengah penduduk Jember yang mayoritas Islam, menjadi hal yang tidak pernah dilupakan. "Saya harus secara khusus belajar bahasa Madura untuk bisa menjalankan misi saya di sini," kenangnya.

Memperlajari budaya Madura, adalah hal pertama yang dilakukan Sapto. Hal itu bukan hal yang mudah bagi bapak dua anak kelahiran Yogyakarta ini. Apalagi, Sapto mengaku termasuk orang yang termakan oleh stereotipe orang Madura. Ternyata semua berubah saat anak ke 7 dari 8 bersaudara ini pindah ke Situbondo, 70Km dari Jember, dan mengenal dengan baik budaya Madura. "Terutama budaya bertoleransi yang sangat tinggi," kenang Sapto.

Selama tinggal di Situbondo dan Jember, Sapto sama sekali tidak pernah dimusuhi oleh masyarakat setempat, gara-gara memiliki agama yang berbeda. Bahkan, Sapto mengaku sangat dekat dengan beberapa kyai atau pimpinan pondok pesantren di wilayah tempat tinggalnya. "Terlebih lagi ketika saya tinggal di Sumberpakem, masyarakat di daerah ini menganggap saya sebagai saudara," katanya.

Namun, hal itu tidak membuat Sapto gegabah. Dirinya mengaku perlu menugaskan dua "penasehat" bahasa Madura untuk mengawasi dirinya saat berkotbah menggunakan bahasa Madura. Kedua orang yang asli Sumberpakem itu diminta mengkoreksi ucapannya di atas podium. "Ini penting, karena meskipun bisa berbahasa Madura, namun bahasa yang digunakan di atas podium itu kebanyakan bahasa Madura halus," katanya. Tidak sia-sia, kini, setelah enam tahun berlalu, Sapto yang orang Jawa asli ini, fasih menggunakan bahasa Madura.

Sapto bahkan "berani" mewarnai budaya Madura dengan ajaran-ajaran Kristen. Namun, ini hanya dikhususkan untuk warga setempat yang beragama Kristen saja. Seperti mengubah budaya konjengan (selamatan) bila ada warga yang meninggal dunia. Dalam konjengan, biasanya ada budaya melepaskan ayam dan selamatan selama tujuh hari beturut-turut. "Namun, untuk warga kristiani, tidak lagi ada upacara pelepasan alam, selamatannya pun hanya dilakukan selama tiga hari, 1, 3 dan ke 7," katanya.

Penentuan hari itupun berdasarkan kisah tentang Yesus Kristus. Hari pertama menandakan kelahiran Yesus Kristus, sementara hari ketiga adalah hari dimana Yesus diangkat ke Surga setelah meninggal dunia. Hadi ketujuh berarti hari dimana Tuhan menciptakan alam semesta selama tujuh hari. "Saat itulah ada kehidupan baru, dan saya menginginkan tidak perlu kesedihan akibat kematian itu berlangsung lebih dari tujuh hari, karena ada kehidupan baru pada hari ketujuh," jelasnya.

Yang menarik, Sapto juga mengalkan pohon Natal khas Sumberpakem, yang tidak harus menggunakan pohon cemara. Melainkan bisa diganti dengan pohon kelapa atau pohon pisang. "Pohon Natal itu adalah pertanda kemeriahan dan kuatnya iman kristen, dan semua bisa diwakili dengan pohon apapun, seperti kelapa dan pisang," kata Sapto.

Budaya Madura yang saling toleran ini juga yang membuat warga Madura asli Sumberpakem, bisa dengan tenang menjalankan agamanya. Keluarga Soeyatno adalah salah satunya. Bapak dua anak dan tiga cucu ini mengaku sudah menjadi penganut kristen sejak jaman kakek buyutnya. "Sejak dulu hingga kini, tidak ada istilah bentrok dengan saudara-saudara kita yang beragama muslim, di sini (Sumbepakem), semua adalah saudara," katanya pada The Post.


BERITA UNGGULAN

JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?

Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia. 

   

Postingan Populer

Banyak dikunjungi