Press Release
Menyusul tanggapan Iran terhadap surat tertanggal 14 Juni 2008 yang ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri negara-negara E3+3, Menteri Kantor Persemakmuran Departemen Luar Negeri Inggris Dr Kim Howells mengaku kecewa.
'Kami kecewa bahwa Iran telah gagal memberikan tanggapan positif kepada Javier Solana atas paket dermawan yang ditawarkan oleh E3+3. Menanggapi respon yang mengecewakan ini dan Iran telah gagal memenuhi tenggat waktu yang tercantum di Resolusi DK PBB 1803 untuk menghentikan program pengayaan nuklirnya, negara-negara E3+3 telah menyepakati bahwa kontak informal antara Solana dan Jalili akan dilanjutkan, kami saat ini tidak memiliki pilihan selain menjatuhkan sanksi-sanksi lebih jauh terhadap Iran, sebagai bagian dari strategi jalan ganda kami.
'Iran memiliki sebuah pilihan jelas: bekerjasama atau isolasi. Kami menyesali that para pemimpin Iran tampaknya telah memilih isolasi. Paket negara-negara E3+3 mencantumkan segala hal yang harus dilakukan oleh Iran untuk sebuah program tenaga nuklir sipil yang modern, yang diakui oleh para pemimpin Iran adalah tujuan mereka, sebagai tambahan terhadap bantuan ekonomi, pendidikan dan sains. "Jika Iran tetap menolak untuk berunding, hal ini hanya akan meningkatkan tekanan internasional terhadap Iran," katanya.
Pengirim:
Faye Belnis
Head of Press & Public Affairs Section British Embassy Jakarta
Youtube Pilihan Iddaily: MBG
07 Agustus 2008
Jangan Merokok Kawatir Perda Tidak Maksimal
Press Release
Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Tanpa Rokok (JANGAN MEROKOK), selanjutnya disebut Jaringan, sebuah jaringan dari 13 organisasi non pemerintah di Surabaya, telah mengikuti dengan seksama pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Surabaya tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok.
Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Tanpa Rokok (JANGAN MEROKOK), selanjutnya disebut Jaringan, sebuah jaringan dari 13 organisasi non pemerintah di Surabaya, telah mengikuti dengan seksama pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Surabaya tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok.
Pembahasan Raperda usulan eksekutif yang dilakukan oleh Pansus Raperda Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok DPRD Surabaya telah menghasilkan sejumlah pembahasan maju dan diharapkan mampu menyelesaikan dan memperbaiki materi Raperda.
Sayangnya, pembahasan yang dilakukan Pansus terancam terhenti di tengah jalan karena masa kerja Pansus telah berakhir pada Sabtu, 2 Agustus 2008 yang lalu. Habisnya masa kerja Pansus ini dikhawatirkan akan membuat pembahasan draf Raperda terhenti dan pada akhirnya menyebabkan pengambilan keputusan politik DPRD atas Raperda ini berjalan tidak sempurna.
Informasi yang diterima oleh Jaringan menyebutkan bahwa Pansus tersebut senyatanya telah dibentuk kurang lebih setahun yang lalu dan telah melakukan sejumlah pembahasan, namun sayang belum juga mampu menyelesaikan pembahasan materi Raperda. Dalam pandangan jaringan, hal ini terjadi karena minimnya sosialisasi yang berakibat kurangnya partisipasi dan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat. Atas kondisi ini, Jaringan telah mendorong partisipasi dan melibatkan diri dalam membahasan Raperda.
Jaringan memandang bahwa pembahasan dan penyelesaian yang utuh atas Raperda tersebut adalah hal penting, setidaknya karena 2 alasan. Pertama, secara normatif, Raperda tersebut adalah perintah dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Penyelesaian dan pengesahan Raperda tersebut dapat menjadi bukti nyata dari disiplin penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Kedua, penyelesaian Raperda tersebut akan mampu mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh asap rokok bagi kesehatan masyarakat.
Hak atas kesehatan adalah bagian dari hak asasi yang harus dipenuhi (fullfil) oleh negara cq Pemerintah Kota Surabaya. Pemenuhan hak tersebut dilakukan dengan melakukan mobilisasi atas seluruh sumber daya yang tersedia, baik regulasi, aparatur maupun anggaran. Negara cq Pemerintah Kota Surabaya dituntut untuk melangkah maju menjaga dan memenuhi hak atas kesehatan masyarakat dengan membuat pengaturan yang memadai terhadap hal-hal yang dapat mengganggu dan merugikan kesehatan, dalam hal ini rokok.
Untuk kepentingan tersebut, Jaringan mendesak pimpinan DPRD Kota Surabaya agar kembali memperpanjang masa kerja Pansus dan mendorong kinerja Pansus agar membuahkan hasil yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat.
Jaringan mendukung segala inisiatif maju, baik dari eksekutif maupun legislatif, guna segera melanjutkan pembahasan dan melakukan sejumlah penyempurnaan atas draf sebelum akhirnya ditetapkan sebagai Peraturan Daerah. Jaringan memberi apresiasi keterbukaan yang diberikan oleh pimpinan Pansus yang memberi kesempatan yang layak dan memadai kepada Jaringan dan sejumlah pakar kesehatan untuk memberikan masukan yang berguna dalam penyempurnaan Raperda.
Surabaya, 7 Agustus 2008
JANGAN MEROKOK (Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Tanpa Rokok)
Athoillah (LBH Surabaya)
Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Tanpa Rokok (JANGAN MEROKOK), selanjutnya disebut Jaringan, sebuah jaringan dari 13 organisasi non pemerintah di Surabaya, telah mengikuti dengan seksama pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Surabaya tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok.
Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Tanpa Rokok (JANGAN MEROKOK), selanjutnya disebut Jaringan, sebuah jaringan dari 13 organisasi non pemerintah di Surabaya, telah mengikuti dengan seksama pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Surabaya tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok.
Pembahasan Raperda usulan eksekutif yang dilakukan oleh Pansus Raperda Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Rokok DPRD Surabaya telah menghasilkan sejumlah pembahasan maju dan diharapkan mampu menyelesaikan dan memperbaiki materi Raperda.
Sayangnya, pembahasan yang dilakukan Pansus terancam terhenti di tengah jalan karena masa kerja Pansus telah berakhir pada Sabtu, 2 Agustus 2008 yang lalu. Habisnya masa kerja Pansus ini dikhawatirkan akan membuat pembahasan draf Raperda terhenti dan pada akhirnya menyebabkan pengambilan keputusan politik DPRD atas Raperda ini berjalan tidak sempurna.
Informasi yang diterima oleh Jaringan menyebutkan bahwa Pansus tersebut senyatanya telah dibentuk kurang lebih setahun yang lalu dan telah melakukan sejumlah pembahasan, namun sayang belum juga mampu menyelesaikan pembahasan materi Raperda. Dalam pandangan jaringan, hal ini terjadi karena minimnya sosialisasi yang berakibat kurangnya partisipasi dan dukungan dari berbagai kelompok masyarakat. Atas kondisi ini, Jaringan telah mendorong partisipasi dan melibatkan diri dalam membahasan Raperda.
Jaringan memandang bahwa pembahasan dan penyelesaian yang utuh atas Raperda tersebut adalah hal penting, setidaknya karena 2 alasan. Pertama, secara normatif, Raperda tersebut adalah perintah dari Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan. Penyelesaian dan pengesahan Raperda tersebut dapat menjadi bukti nyata dari disiplin penyelenggaraan negara yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Kedua, penyelesaian Raperda tersebut akan mampu mengurangi bahaya yang ditimbulkan oleh asap rokok bagi kesehatan masyarakat.
Hak atas kesehatan adalah bagian dari hak asasi yang harus dipenuhi (fullfil) oleh negara cq Pemerintah Kota Surabaya. Pemenuhan hak tersebut dilakukan dengan melakukan mobilisasi atas seluruh sumber daya yang tersedia, baik regulasi, aparatur maupun anggaran. Negara cq Pemerintah Kota Surabaya dituntut untuk melangkah maju menjaga dan memenuhi hak atas kesehatan masyarakat dengan membuat pengaturan yang memadai terhadap hal-hal yang dapat mengganggu dan merugikan kesehatan, dalam hal ini rokok.
Untuk kepentingan tersebut, Jaringan mendesak pimpinan DPRD Kota Surabaya agar kembali memperpanjang masa kerja Pansus dan mendorong kinerja Pansus agar membuahkan hasil yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat.
Jaringan mendukung segala inisiatif maju, baik dari eksekutif maupun legislatif, guna segera melanjutkan pembahasan dan melakukan sejumlah penyempurnaan atas draf sebelum akhirnya ditetapkan sebagai Peraturan Daerah. Jaringan memberi apresiasi keterbukaan yang diberikan oleh pimpinan Pansus yang memberi kesempatan yang layak dan memadai kepada Jaringan dan sejumlah pakar kesehatan untuk memberikan masukan yang berguna dalam penyempurnaan Raperda.
Surabaya, 7 Agustus 2008
JANGAN MEROKOK (Jaringan Masyarakat Peduli Kawasan Tanpa Rokok)
Athoillah (LBH Surabaya)
Dynand Fariz Merawat dan Mengreasi Fashion di Jalanan
Iman D. Nugroho
Angin mendadak bertiup kencang, saat Dynand Fariz mulai menapaki catwalk dalam Jember Fashion Carnival (JFC) ke-7, awal Agustus 2008 ini. Topi setinggi 1,5 M seberat 7 Kg yang dikenakannya sedikit miring. Bulu dan ornamen di topi itu menjadi terpaan angin. Dengan cekatan, pemrakarsa JFC ini menopang dengan tangan kanannya, sembari terus bergoyang mengukuti irama lagu etnik Papua yang bertalu-talu. “Gila anginnya kenceng banget, kalau tidak biasanya, mungkin bisa langsung jatuh tertiup angin,” kata Dynand pada The Jakarta Post.
Terpaan angin pada topi Dynand Fariz adalah sepihan cerita JFC-7. Selebihnya, sama seperti enam JFC sebelumnya, hanya tepukan tangan dan decak kekaguman yang menjadi kesan pagelaran fashion terakbar di Indonesia itu. Bagaimana tidak, ada 550 model yang berpartisipasi dengan 550 rancangan yang berbeda pula. Belum lagi catwalknya. Sepanjang 3,6 Km, dengan memanfaatkan jalan protokol Kota Jember Jawa Timur. Bisa dibayangkan, ada sekitar 200 ribu penonton yang berjajar di sepanjang jalan yang menyaksikannya. JFC adalah salah satu event “gila” di Indonesia.
“Kegilaan” pagelaran fahion ini terletak pada Dynand Fariz, sang pemrakarsa. “Sejak awal saya menyadari melaksanakn fashion di jalanan memang “gila”, lebih gila lagi, ketika hal itu dilaksanakan di Jember, “ kata anak ke Anak ke 8 dari 11 bersaudara itu pada The Post. Jember, adalah kota yang terletak 190-an Km dari Surabaya, Jawa Timur. Di kota yang merupakan basis Islam tradisional ini, dikenal pula sebagai kota yang konvensional. Budaya campuran Jawa-Madura plus sisi ke-islaman-annya, membuat Jember menolak modernisasi. Apalagi, modernisasi yang dianggap hanya glamor dan hura-hura. “Tapi saya yakin, JFC bukan Cuma urusan glamor dan hura-hura, karena itulah, saya bersikeras menggelarnya di Jember,” kata laki-laki kelahiran Jember, 23 Mei 1953 ini.
Kehadiran JFC berawal dari dibangunnya Rumah Mode Dynand Fariz pada tahun 1998. Tiga tahun kemudian, rumah mode itu menggelar apa yang disebut Pekan Mode Dynand Fariz. Konsepnya sederhana. Yakni, mewajibkan seluruh karyawan rumah mode untuk berpakaian sesuai dengan trend fashion dunia selama seminggu penuh. Tidak puas dengan itu, pada tahun 2002, Pekan Mode Dynand Fariz diisi dengan parade berkeliling kampung dan alun-alun Kota Jember . Hingga pada 2003, Jember pun tergetar saat JFC hadir pertama kali pada 1 Januari 2003, bersamaan dengan HUT Kota Jember.
Pro-kontra pun tidak terelakkan. Apalagi, dalam JFC melibatkan model-model waria yang sampai kini keberadaannya masih diperdebatkan. Dynand tidak ambil pusing. Berturut-turut, lulusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan ( IKIP ) Surabaya tahun 1984 ini tetap saja menggelar JFC. Berturut-turut, digelar JFC-2 pada 30 Agustus 2003, JFC-3 pada 8 Agustus 2004 dan JFC-4 pada 7 Agustus 2005 dengan tema utama Discover The World. “Tidak banyak orang tahu, penolakan itu bergitu besar, pernah saat beraksi di jalanan, ada seseorang yang meludahi wajah saya,” katanya.
Show must goon. Tentangan yang begitu kuat itu perlahan-lahan hilang saat JFC benar-benar mengglobal. Pada JFC-5lah, cover media massa pada JFC tidak bisa dibendung. Tema Anxiety and Spirit of The World yang diusung dalam JFC-5 itu membuat mata dunia terbelalak. Ada sekitar 200 media massa, dari dalam dan luar negeri, termasuk kantor berita asing dan fotografer profesional dari berbagai negara hadir di Jember untuk mengabadikan momen itu. “Sepertinya, orang mulai tahu, JFC adalah upaya yang harus dilakukan untuk menjadikan Jember sebagai Rio de Janeiro-nya Indonesia,” kata lulusan sekolah mode Esmod Jakarta dan Prancis ini.
Dan “mimpi” itu terbukti bukan isapan jempol semata. Apa yang ditemui dalam JFC, seperti juga yang terjadi di Rio de Janeiro Brazil. Sekitar 500-an model, dari berbagai latar belakang usia, pendidikan dan status social untuk berkarnaval, berfashion run way dan dance, di jalan utama kota Jember disaksikan oleh ratusan ribu penonton di kanan dan kiri jalan. Mereka terbagi dalam beberapa defile yang masing-masing defile mencerminkan trend fashion pada tahun yang bersangkutan. Uniknya, para peserta merancang, membuat, dan memperagakan sendiri costume yang mereka buat. Termasuk make up dan hair style yang ditampilkan. “Yang sering tidak disangka-sangka adalah event lain dari JFC, yakni pengembangan dunia pendidikan, kesenian, budaya dan tentu saja perekonomian,” kata Dynand.
Dynand mengembangkan konsep 4E. Education (pendidikan), Entertainment (hiburan), Exhibition (pameran) dan Economic Benefit (keuntungan ekonomi). Dalam E pertama, Dynand melakukan pendekatan in house training para peserta. Pengetahuan tentang merancang busana, fashion run way, fashion dance, presenter, make up dan hairstyle dan melalui ajang kompetisi ( olympiade) diberikan secara cuma-cuma setahun sebelum acara ini digelar. Bukan tidak mungkin, akan lahir instruktur, leader, koreographer, presenter , singer baru setelah JFC. “Temanya pun tidak sembarangan, ada research dari trend fashion dunia yang bakalan menjadi trend tahun, kreator memang tidak bisa berbicara sendiri, tapi juga mendengar dari pihak lain,” katanya. member of Indonesian Social Interpreneur dari Fellow Ashoka , Washington DC ini.
Dalam JFC-7 2008 ini, Dynand Fariz mengusung World Evolution sebagai tema besarnya. Di dalamnya ada Archipelago Papua, Barricade, Off Earth, Gate-11, Roots, Metamorphic, Undersea dan Robotic. Masing-masing tema dalam World Evolution memiliki nilai filosofi tersendiri. Dalam Arhipelago Papua misalnya, Dynand menginginkan masyakat dunia kembali melirik Papua dengan berbagai fenomenanya. Termasuk “menangkap” air mata masyarakat Papua yang saat ini masih mengalir. “Papua adalah potensi, banyak yang belum digarap di sana, saya ingin masyakat dunia kembali melirik ke sana,” kata peraih Best Costume dan Unique Costume ESMOD Santa Chaterina Day.
Hilangnya sisi natural di dunia coba dimanifestasikan dalam tema Off Earth. Para designer merancang fashion yang penuh dengan plastik berwarna putih. Begitu juga dengan Robotic, penggambaran dunia saat sudah kehilangan manusia dan dipenuhi dengan robot. Roots dan Undersea menyoroti alam Indonesia yang rusak. “Dalam Roots, pesan yang ada adalah mencoba menggali persoalan dari dalam, tidak cuma yang tampak dipermukaan saja,” katanya. Sementara Barricade, Gate-11 dan Metamorphic, memiliki nilai human interest yang kuat. Dynand menangkap adanya semangat manusia untuk menerobos “barikade” nilai-nilai kehidupan. Padahal, manusia mengatuhi, ada kepalsuan di dalamnya, seperti yang tergambar dalam Metamorphic.
“Ironisnya, manusia seringkali acuh tak acuh, seperti saat kita berada di gerbang bandara udara, orang dengan tujuan yang sama namun acuh tak acuh dengan sesamanya, itu yang akan muncul dalam Gate-11,” kata peraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kategori Catwalk Terpanjang pada Penyelenggaraan Jember Fashion Carnaval III ini.
Lima tahun Jember Fashion Carnaval (JFC) berjalan. Pelan-pelan, “benih” yang ditanam Dynand Fariz di Jember mulai menuai hasilnya. Tim JFC pun mendapatkan undangan dari berbagai event nasional dan internasional. Mulai Fashion Street Kuta Karnival Bali, Bali Fashion Week Bali, Exhibition bersama Nusantara Culture dan Foundation Indonesia pimpinan Marzuki Usman di Jakarta, 100th, World Scout Jamboree dalam Indonesian Day London dan Indonesian Reception Day di Mumbay, India. “Ini belum apa-apa, saya minta dukungan untuk terus menjaga dan mengkreasi fashion di jalanan kota Jember dalam JFC selanjutnya,” katanya.
Angin mendadak bertiup kencang, saat Dynand Fariz mulai menapaki catwalk dalam Jember Fashion Carnival (JFC) ke-7, awal Agustus 2008 ini. Topi setinggi 1,5 M seberat 7 Kg yang dikenakannya sedikit miring. Bulu dan ornamen di topi itu menjadi terpaan angin. Dengan cekatan, pemrakarsa JFC ini menopang dengan tangan kanannya, sembari terus bergoyang mengukuti irama lagu etnik Papua yang bertalu-talu. “Gila anginnya kenceng banget, kalau tidak biasanya, mungkin bisa langsung jatuh tertiup angin,” kata Dynand pada The Jakarta Post.
Terpaan angin pada topi Dynand Fariz adalah sepihan cerita JFC-7. Selebihnya, sama seperti enam JFC sebelumnya, hanya tepukan tangan dan decak kekaguman yang menjadi kesan pagelaran fashion terakbar di Indonesia itu. Bagaimana tidak, ada 550 model yang berpartisipasi dengan 550 rancangan yang berbeda pula. Belum lagi catwalknya. Sepanjang 3,6 Km, dengan memanfaatkan jalan protokol Kota Jember Jawa Timur. Bisa dibayangkan, ada sekitar 200 ribu penonton yang berjajar di sepanjang jalan yang menyaksikannya. JFC adalah salah satu event “gila” di Indonesia.
“Kegilaan” pagelaran fahion ini terletak pada Dynand Fariz, sang pemrakarsa. “Sejak awal saya menyadari melaksanakn fashion di jalanan memang “gila”, lebih gila lagi, ketika hal itu dilaksanakan di Jember, “ kata anak ke Anak ke 8 dari 11 bersaudara itu pada The Post. Jember, adalah kota yang terletak 190-an Km dari Surabaya, Jawa Timur. Di kota yang merupakan basis Islam tradisional ini, dikenal pula sebagai kota yang konvensional. Budaya campuran Jawa-Madura plus sisi ke-islaman-annya, membuat Jember menolak modernisasi. Apalagi, modernisasi yang dianggap hanya glamor dan hura-hura. “Tapi saya yakin, JFC bukan Cuma urusan glamor dan hura-hura, karena itulah, saya bersikeras menggelarnya di Jember,” kata laki-laki kelahiran Jember, 23 Mei 1953 ini.
Kehadiran JFC berawal dari dibangunnya Rumah Mode Dynand Fariz pada tahun 1998. Tiga tahun kemudian, rumah mode itu menggelar apa yang disebut Pekan Mode Dynand Fariz. Konsepnya sederhana. Yakni, mewajibkan seluruh karyawan rumah mode untuk berpakaian sesuai dengan trend fashion dunia selama seminggu penuh. Tidak puas dengan itu, pada tahun 2002, Pekan Mode Dynand Fariz diisi dengan parade berkeliling kampung dan alun-alun Kota Jember . Hingga pada 2003, Jember pun tergetar saat JFC hadir pertama kali pada 1 Januari 2003, bersamaan dengan HUT Kota Jember.
Pro-kontra pun tidak terelakkan. Apalagi, dalam JFC melibatkan model-model waria yang sampai kini keberadaannya masih diperdebatkan. Dynand tidak ambil pusing. Berturut-turut, lulusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan ( IKIP ) Surabaya tahun 1984 ini tetap saja menggelar JFC. Berturut-turut, digelar JFC-2 pada 30 Agustus 2003, JFC-3 pada 8 Agustus 2004 dan JFC-4 pada 7 Agustus 2005 dengan tema utama Discover The World. “Tidak banyak orang tahu, penolakan itu bergitu besar, pernah saat beraksi di jalanan, ada seseorang yang meludahi wajah saya,” katanya.
Show must goon. Tentangan yang begitu kuat itu perlahan-lahan hilang saat JFC benar-benar mengglobal. Pada JFC-5lah, cover media massa pada JFC tidak bisa dibendung. Tema Anxiety and Spirit of The World yang diusung dalam JFC-5 itu membuat mata dunia terbelalak. Ada sekitar 200 media massa, dari dalam dan luar negeri, termasuk kantor berita asing dan fotografer profesional dari berbagai negara hadir di Jember untuk mengabadikan momen itu. “Sepertinya, orang mulai tahu, JFC adalah upaya yang harus dilakukan untuk menjadikan Jember sebagai Rio de Janeiro-nya Indonesia,” kata lulusan sekolah mode Esmod Jakarta dan Prancis ini.
Dan “mimpi” itu terbukti bukan isapan jempol semata. Apa yang ditemui dalam JFC, seperti juga yang terjadi di Rio de Janeiro Brazil. Sekitar 500-an model, dari berbagai latar belakang usia, pendidikan dan status social untuk berkarnaval, berfashion run way dan dance, di jalan utama kota Jember disaksikan oleh ratusan ribu penonton di kanan dan kiri jalan. Mereka terbagi dalam beberapa defile yang masing-masing defile mencerminkan trend fashion pada tahun yang bersangkutan. Uniknya, para peserta merancang, membuat, dan memperagakan sendiri costume yang mereka buat. Termasuk make up dan hair style yang ditampilkan. “Yang sering tidak disangka-sangka adalah event lain dari JFC, yakni pengembangan dunia pendidikan, kesenian, budaya dan tentu saja perekonomian,” kata Dynand.
Dynand mengembangkan konsep 4E. Education (pendidikan), Entertainment (hiburan), Exhibition (pameran) dan Economic Benefit (keuntungan ekonomi). Dalam E pertama, Dynand melakukan pendekatan in house training para peserta. Pengetahuan tentang merancang busana, fashion run way, fashion dance, presenter, make up dan hairstyle dan melalui ajang kompetisi ( olympiade) diberikan secara cuma-cuma setahun sebelum acara ini digelar. Bukan tidak mungkin, akan lahir instruktur, leader, koreographer, presenter , singer baru setelah JFC. “Temanya pun tidak sembarangan, ada research dari trend fashion dunia yang bakalan menjadi trend tahun, kreator memang tidak bisa berbicara sendiri, tapi juga mendengar dari pihak lain,” katanya. member of Indonesian Social Interpreneur dari Fellow Ashoka , Washington DC ini.
Dalam JFC-7 2008 ini, Dynand Fariz mengusung World Evolution sebagai tema besarnya. Di dalamnya ada Archipelago Papua, Barricade, Off Earth, Gate-11, Roots, Metamorphic, Undersea dan Robotic. Masing-masing tema dalam World Evolution memiliki nilai filosofi tersendiri. Dalam Arhipelago Papua misalnya, Dynand menginginkan masyakat dunia kembali melirik Papua dengan berbagai fenomenanya. Termasuk “menangkap” air mata masyarakat Papua yang saat ini masih mengalir. “Papua adalah potensi, banyak yang belum digarap di sana, saya ingin masyakat dunia kembali melirik ke sana,” kata peraih Best Costume dan Unique Costume ESMOD Santa Chaterina Day.
Hilangnya sisi natural di dunia coba dimanifestasikan dalam tema Off Earth. Para designer merancang fashion yang penuh dengan plastik berwarna putih. Begitu juga dengan Robotic, penggambaran dunia saat sudah kehilangan manusia dan dipenuhi dengan robot. Roots dan Undersea menyoroti alam Indonesia yang rusak. “Dalam Roots, pesan yang ada adalah mencoba menggali persoalan dari dalam, tidak cuma yang tampak dipermukaan saja,” katanya. Sementara Barricade, Gate-11 dan Metamorphic, memiliki nilai human interest yang kuat. Dynand menangkap adanya semangat manusia untuk menerobos “barikade” nilai-nilai kehidupan. Padahal, manusia mengatuhi, ada kepalsuan di dalamnya, seperti yang tergambar dalam Metamorphic.
“Ironisnya, manusia seringkali acuh tak acuh, seperti saat kita berada di gerbang bandara udara, orang dengan tujuan yang sama namun acuh tak acuh dengan sesamanya, itu yang akan muncul dalam Gate-11,” kata peraih penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk kategori Catwalk Terpanjang pada Penyelenggaraan Jember Fashion Carnaval III ini.
Lima tahun Jember Fashion Carnaval (JFC) berjalan. Pelan-pelan, “benih” yang ditanam Dynand Fariz di Jember mulai menuai hasilnya. Tim JFC pun mendapatkan undangan dari berbagai event nasional dan internasional. Mulai Fashion Street Kuta Karnival Bali, Bali Fashion Week Bali, Exhibition bersama Nusantara Culture dan Foundation Indonesia pimpinan Marzuki Usman di Jakarta, 100th, World Scout Jamboree dalam Indonesian Day London dan Indonesian Reception Day di Mumbay, India. “Ini belum apa-apa, saya minta dukungan untuk terus menjaga dan mengkreasi fashion di jalanan kota Jember dalam JFC selanjutnya,” katanya.
06 Agustus 2008
Sanitasi Menjadi Persoalan Serius di Surabaya
Iman D. Nugroho
Tidak tertatanya sanitasi kota secara menyeluruh, membuat perkampungan di Kota Surabaya menghadapi persoalan sanitasi yang serius. Terutama penduduk yang tinggal di perkampungan lama. Entah itu di tengah maupun di pinggir kota. Tidak adanya program berkala oleh pemerintah kota dan tanpa kesadaran penduduk akan hal itu, memperburuk kondisi.
Demikian dikatakan Ipung Fitri Purwanti, Staf Pengajar Jurusan Lingkungan dan Peneliti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, pada The Jakarta Post, Rabu (6/08/08) ini di Surabaya. “Meskipun menjadi kota nomor dua di Indonesia, setelah Jakarta, sanitasi masih menjadi problem. Masih ada beberapa lokasi yang tidak punya sarana sanitasi yang memadai. Akibatnya penduduk memilih membuang sampah dan kotoran ke sungai,” kata Ipung.
Salah satu daerah yang dijadikan contoh Ipung adalah Perkampungan Keputih, Sukolilo, Surabaya Timur. Di daerah itu, katanya, masih banyak penduduk yang tidak memiliki fasilitas mandi cuci kakus (MCK), sarana air bersih dan tidak adanya kawasan hijau. “Hal ini menyedihkan, karena secara geografis, Keputih tidak jauh dari Kampus ITS Surabaya, namun kesadaran itu tidak tertular kepada warganya,” katanya.
Satu hal yang membuat sanitasi buruk adalah tidak adanya kepedulian dan program pemerintah kota untuk mengentas hal itu. Pemerintah Kota Surabaya hanya mengembar-gemborkan program lingkungan tanpa hasil. Di sisi yang lain, penduduk pun tidak memiliki kepedulian. “Ada kombinasi kesalahan yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan kaum intelektual yang tidak membuat isu lingkungan menjadi hal penting, semakin memperburuk kondisi itu,” katanya.
Menilaian yang sama dikatakan Syaiful Munir, Ketua Komunitas Kampoeng Sawoeng, sebuah NGO yang bergerak dalam pemberdayaan perkampungan di Surabaya. Munir mengatakan, dari 33 perkampungan yang didampingi Kampoeng Sawoeng, hampir seluruhnya memiliki potret yang sama. “Semua memiliki problem sanitasi yang buruk,” kata Munir pada The Post.
Munir mencontohkan Kampung Gresikan di Surabaya Timur. Sampai sekarang, kondisi sanitasi di salah satu perkampungan padat di Surabaya ini belum terbangun. Selokan yang selalu macet karena dibersihkan satu bulan sekali, berpadu dengan tidak adanya penghijauan. “Masyarakat masih menganggap tidak perlu memperbaiki kondisi kampung, karena hal itu adalah tanggungjawab pemerintah,” katanya.
Dalam hal sanitasi, Munir mengelompokkan ada tiga problem besar, pengelolaan sampah, pengelolaan air dan MCK. Pengelolaan sampah yang dimaksud adalah sortasi sampah kering dan sampah basah. Problelm air menurutnya adalah tidak adanya mind set penghematan air. Sementara persoalan MCK lebih pada kebiasaan masyarakat pinggir sungai yang masih saja gemar membuang sampah rumah tangga ke sungai. “Masih belum tersentuh upaya manfaat air tanah, misalnya deperti di daerah Jambangan Surabaya yang sudah membuat bio-pori (pori-pori bumi),” katanya.
Tidak adanya manfaat yang langsung bisa dirasakan serta tidak adanya mereka informasi, membuat masyarakat abai akan hal itu. Belum lagi persoalan kepadatan. Dari daerah yang didampingi Kampoeng Sawoeng, yang paling parah daerah Kampung Tambaksari, Kampung Wonosari dan Kampung Wonokusumo. “Kampung-kampung itu adalah daerah padat penduduk, mereka tidak punya ruang berinisiatif, karena pendidikan rendah yang membuat kesadaran tidak muncul dan tidak cepat menangkap inisiatif itu,” katanya.
Karena kondisi itulah Munir mengatakan, sejak pertama kali mendampingi kawasan perkampungan pada tahun 2005 hingga sekarang, Kampoeng Sawoeng melakukan strategi yang berbeda. Pada awal tahun, Kampoeng Sawoeng mencoba mengubah prilaku anak-anak yang menjadi “masa depan” kampung itu. Bersama sekolah-sekolah, Kampoeng Sawoeng menggelar workshop menanam dan melukis. Ekstrakulikuler itu dilakukan setiap hari sabtu. “Hingga tiga tahun berjalan, beberapa sekolah masih menginginkan program itu terus dilakukan,” kata Munir.
Tahun 2006-2007, di samping meneruskan pelatihan anak-anak, fokus garapan Kampoeng Sawoeng diperlebar dengan meningkatkan kepedulian warga perkampungan. Intinya adalah penguatan komunitas melalui diskusi-diskusi dan partisipasi langsung dari masyarakat. Bentuknya, penanganan sampah dan penghijauan. Dari program itu, jumlah kampung dampingan yang awalnya “hanya” 15 kampung, bertambah menjadi 33 kampung. “Baru tahun ini masuk pada program perbaikan sanitasi,” katanya.
Pengelolaan air adalah fokus utama. Yakni dengan mendorong pembuatan lubang ke di tanah yang disebut sebagai bio-pori. Dengan bio-pori, air akan mengalir ke dalam tanah dan terikat oleh struktur tanah. “Jumlah air yang tumpah ke selokan akan lebih sedikit, karena air juga akan masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah,” kata Munir.
Meski terlihat sederhana, namun sosialisasi bio-pori memiliki kesulitan tersendiri. Terutama kesulitan teknis pengeboran. Harus ada campur tangan pemerintah dan lembaga funding untuk merealisasikan hal itu. “Ini lebih berat dari penghijauan, lagi-lagi, seperti yang saya katakan di awal, manfaat air tanah tidak bisa langsung dirasakan,” katanya.
Siswanto, warga Kampung Klampis Ngasem adalah salah satu warga yang “menunggu-nunggu” pelaksanaan program sanitasi Kampoeng Sawoeng dilaksanakan. Budaya penggunaan air di kampungnya, membuat Ketua RW 1 Kampung Klampis ini merasa perlu adanya pengelolaan air. “Dari pada air yang sudah digunakan dibuang., kan lebih baik diproses untuk bisa digunakan kembali,” katanya.
Tidak tertatanya sanitasi kota secara menyeluruh, membuat perkampungan di Kota Surabaya menghadapi persoalan sanitasi yang serius. Terutama penduduk yang tinggal di perkampungan lama. Entah itu di tengah maupun di pinggir kota. Tidak adanya program berkala oleh pemerintah kota dan tanpa kesadaran penduduk akan hal itu, memperburuk kondisi.
Demikian dikatakan Ipung Fitri Purwanti, Staf Pengajar Jurusan Lingkungan dan Peneliti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, pada The Jakarta Post, Rabu (6/08/08) ini di Surabaya. “Meskipun menjadi kota nomor dua di Indonesia, setelah Jakarta, sanitasi masih menjadi problem. Masih ada beberapa lokasi yang tidak punya sarana sanitasi yang memadai. Akibatnya penduduk memilih membuang sampah dan kotoran ke sungai,” kata Ipung.
Salah satu daerah yang dijadikan contoh Ipung adalah Perkampungan Keputih, Sukolilo, Surabaya Timur. Di daerah itu, katanya, masih banyak penduduk yang tidak memiliki fasilitas mandi cuci kakus (MCK), sarana air bersih dan tidak adanya kawasan hijau. “Hal ini menyedihkan, karena secara geografis, Keputih tidak jauh dari Kampus ITS Surabaya, namun kesadaran itu tidak tertular kepada warganya,” katanya.
Satu hal yang membuat sanitasi buruk adalah tidak adanya kepedulian dan program pemerintah kota untuk mengentas hal itu. Pemerintah Kota Surabaya hanya mengembar-gemborkan program lingkungan tanpa hasil. Di sisi yang lain, penduduk pun tidak memiliki kepedulian. “Ada kombinasi kesalahan yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan kaum intelektual yang tidak membuat isu lingkungan menjadi hal penting, semakin memperburuk kondisi itu,” katanya.
Menilaian yang sama dikatakan Syaiful Munir, Ketua Komunitas Kampoeng Sawoeng, sebuah NGO yang bergerak dalam pemberdayaan perkampungan di Surabaya. Munir mengatakan, dari 33 perkampungan yang didampingi Kampoeng Sawoeng, hampir seluruhnya memiliki potret yang sama. “Semua memiliki problem sanitasi yang buruk,” kata Munir pada The Post.
Munir mencontohkan Kampung Gresikan di Surabaya Timur. Sampai sekarang, kondisi sanitasi di salah satu perkampungan padat di Surabaya ini belum terbangun. Selokan yang selalu macet karena dibersihkan satu bulan sekali, berpadu dengan tidak adanya penghijauan. “Masyarakat masih menganggap tidak perlu memperbaiki kondisi kampung, karena hal itu adalah tanggungjawab pemerintah,” katanya.
Dalam hal sanitasi, Munir mengelompokkan ada tiga problem besar, pengelolaan sampah, pengelolaan air dan MCK. Pengelolaan sampah yang dimaksud adalah sortasi sampah kering dan sampah basah. Problelm air menurutnya adalah tidak adanya mind set penghematan air. Sementara persoalan MCK lebih pada kebiasaan masyarakat pinggir sungai yang masih saja gemar membuang sampah rumah tangga ke sungai. “Masih belum tersentuh upaya manfaat air tanah, misalnya deperti di daerah Jambangan Surabaya yang sudah membuat bio-pori (pori-pori bumi),” katanya.
Tidak adanya manfaat yang langsung bisa dirasakan serta tidak adanya mereka informasi, membuat masyarakat abai akan hal itu. Belum lagi persoalan kepadatan. Dari daerah yang didampingi Kampoeng Sawoeng, yang paling parah daerah Kampung Tambaksari, Kampung Wonosari dan Kampung Wonokusumo. “Kampung-kampung itu adalah daerah padat penduduk, mereka tidak punya ruang berinisiatif, karena pendidikan rendah yang membuat kesadaran tidak muncul dan tidak cepat menangkap inisiatif itu,” katanya.
Karena kondisi itulah Munir mengatakan, sejak pertama kali mendampingi kawasan perkampungan pada tahun 2005 hingga sekarang, Kampoeng Sawoeng melakukan strategi yang berbeda. Pada awal tahun, Kampoeng Sawoeng mencoba mengubah prilaku anak-anak yang menjadi “masa depan” kampung itu. Bersama sekolah-sekolah, Kampoeng Sawoeng menggelar workshop menanam dan melukis. Ekstrakulikuler itu dilakukan setiap hari sabtu. “Hingga tiga tahun berjalan, beberapa sekolah masih menginginkan program itu terus dilakukan,” kata Munir.
Tahun 2006-2007, di samping meneruskan pelatihan anak-anak, fokus garapan Kampoeng Sawoeng diperlebar dengan meningkatkan kepedulian warga perkampungan. Intinya adalah penguatan komunitas melalui diskusi-diskusi dan partisipasi langsung dari masyarakat. Bentuknya, penanganan sampah dan penghijauan. Dari program itu, jumlah kampung dampingan yang awalnya “hanya” 15 kampung, bertambah menjadi 33 kampung. “Baru tahun ini masuk pada program perbaikan sanitasi,” katanya.
Pengelolaan air adalah fokus utama. Yakni dengan mendorong pembuatan lubang ke di tanah yang disebut sebagai bio-pori. Dengan bio-pori, air akan mengalir ke dalam tanah dan terikat oleh struktur tanah. “Jumlah air yang tumpah ke selokan akan lebih sedikit, karena air juga akan masuk ke dalam tanah dan menjadi air tanah,” kata Munir.
Meski terlihat sederhana, namun sosialisasi bio-pori memiliki kesulitan tersendiri. Terutama kesulitan teknis pengeboran. Harus ada campur tangan pemerintah dan lembaga funding untuk merealisasikan hal itu. “Ini lebih berat dari penghijauan, lagi-lagi, seperti yang saya katakan di awal, manfaat air tanah tidak bisa langsung dirasakan,” katanya.
Siswanto, warga Kampung Klampis Ngasem adalah salah satu warga yang “menunggu-nunggu” pelaksanaan program sanitasi Kampoeng Sawoeng dilaksanakan. Budaya penggunaan air di kampungnya, membuat Ketua RW 1 Kampung Klampis ini merasa perlu adanya pengelolaan air. “Dari pada air yang sudah digunakan dibuang., kan lebih baik diproses untuk bisa digunakan kembali,” katanya.
02 Agustus 2008
Kegelisahan Demi Kegelisahan
Anita Rachman
TIDAK ada yang tetap, semua berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan dan perubahan ketetapan. Kalimat-kalimat itu ditulis oleh Tan Malaka dalam bukunya, yang digilai kaum marxis tanah air, Materialisme Dialektika Logika (Madilog). Pria jenius yang kecewa terhadap Islam itu sedang mengulas unsur atom dan partikelnya, tapi sudah barang tentu dia juga menyindir hidup.
Saya percaya apa yang dikatakan Tan Malaka benar. Seperti juga kepercayaan saya akan pergeseran definisi jurnalis menjadi wartawan atau reporter adalah sahih. Definis jurnalis sejatinya bergeser. Kala itu yang disebut jurnalis adalah mereka yang menulis jurnal-jurnal ilmiah, untuk kemudian diterbitkan dalam bahasa dan model yang formal. Seperti Charles Dickens.
Seiring almanak berganti, terutama pada abad ke 19, istilah itu melebar. Jurnalis tak hanya mereka yang menulis jurnal, tapi juga mereka yang mempraktikkan (apa yang kemudian disebut) ilmu jurnalistik. Jurnalis adalah mereka yang mengumpulkan data dan lantas menuliskannya dalam sebuah tulisan. Mereka tak dibatasi tembok dalam bekerja, tak juga diikat dasi atau rok mini saat bertugas, atau diatur untuk menyantap makan siang mulai pukul 12.00 hingga 13.00. Jurnalis adalah mereka yang bebas.
Namun bukan kebebasan absolut yang mereka punya; jurnalis yang tak perlu memakai dasi dan rok mini saat bekerja itu diikat sebuah ikrar berbentuk kode etik: benar, jujur, berimbang, serta beretika. Yang terakhir adalah bukan sembarang kode. Etika datangnya jauh dari kata ethikos milik Yunani yang berarti moralitas, cabang dari ilmu filsafat, yang berkaitan dengan sifat baik, buruk, serta tanggung jawab. Jurnalis, yang boleh makan siang pukul 10.00 atau mandi pukul 13.00, adalah mereka yang diminta beretika.
Seperti Graham Green atau Hemingway, jurnalis yang juga novelis, bebas merokok pukul 11.05, atau buang air besar pukul 13.35, menguap pukul 14.20, dan tetap beretika sepanjang hari. Di suatu tempat bernama Amerika Serikat, segala sesuatunya selalu tampak serba mudah dan murah. Bertolak dengan alam Pertiwi, di mana masih sering kita jumpai lalat berpantat hijau hinggap di sedotan es teh kita, segalanya serba susah dan mahal, tak terkecuali etika. Satu-satunya kekang seorang jurnalis.
Seperti siang itu, ketika saya melihat tali-tali etika dilepaskan oleh satria-satria pena, demi sebuah amplop.
Sungguh, bagai menyaksikan drama, lagi-lagi saya terperangah (walau saya sudah sering menghadapinya) dengan prosesi amplop. Kejadiannya acap kali berlangsung lama namun rapi. Saya dapat membaca alur dan adegan pembukanya, lantas konflik, klimaks, hingga antiklimaksnya. Seperti siang itu, di sebuah instansi milik pemerintah (yang juga berarti kepunyaan rakyat) di mana semua orang memakai setelan berwarna cokelat, dan menunduk-nunduk pada seorang pria yang juga bersetelan cokelat dan memakai plakat nama.
Siang itu, mulanya, kami ngobrol biasa saja. Kami berbincang tentang jumlah ini di propinsi ini, dan dana untuk melakukan itu di daerah itu, lalu tujuan melakukan kegiatan tersebut serta capaian yang dimaksud. Kami mendengar dan mencatat, sesekali menengok ke arah Bapak Bersetelan Cokelat penuh perhatian. Di pulau bagian timur ini, memang hanya dia yang punya data semacam rupa.
Berselang cukup lama, cangkir-cangkir teh lantas disuguhkan, kami diminta dengan hormat untuk menenggaknya. Sampai seorang pria berkumis, juga bersetelan cokelat, lantas berdiri dan mencatat. Mengamati kami para kuli tinta dengan seksama. Di bukunya, dia menuliskan nama dan angka, lalu menerawang menghitung. Ini adalah opening, yang membikin perut mual.
Sepuluh menit kemudian adegan mulai berirama. Guyonan-guyonan kering mengalir dari Bapak Bersetelan Cokelat. Dan para kuli pun tertawa renyah, menertawai guyonan Sang Bapak yang tak lucu. Tentang kesukaannya pada singkong dan kacang-kacang tanah yang direbus. Seorang kawan berkomentar, memuji Sang Bapak yang tetap rendah hati: meski sudah tinggi jabatan, tak hilang pula kesukaan pada makanan tanah. Rising Act.
Bapak Bersetelan Cokelat masih berbicara, saat lima menit kemudian kawan bersandal berpamitan pulang. Ada urusan penting sedang menunggu di luar sana, tuturnya. Bapak lantas melirik Pak Kumis, matanya berkedip. Itu sebuah kode, sebuah perintah: lepas kekangnya.
Ini konflik. Pak Kumis maju ke depan, sedikit berlari mengejar kawan. Amplop panjang berwarna coklat merangsek masuk ke dalam tas kawan bersandal. Sekilas aksi penolakan berlangsung, meski (tentu saja, Tuhan) gagal. Pak Kumis berhasil melepas tali kekang kawan bersandal. Seulas senyum dan anggukan Pak Kumis membuat mata Sang Bapak bersinar.
Kawan bersandal sudah di seberang pintu, tapi telinganya mungkin masih menangkap suara. Derak-derak sepatu Pak Kumis ketika berkeliling ruangan sambil membagi amplop panjang berwarna cokelat. Dia menjatuhkan amplop sambil menutup mata. Mereka yang menerima hanya membuka mulut, lantas mengatupkanya kembali. Terdengar seulas ucapan: terima kasih.
Ini anti klimaks. Ritual tahu sama tahu. Tali-tali kekang sudah terlepas. Mata-mata saling memandang. Saya dan dia yang menolak, dan mereka yang berterima kasih. Mata-mata tetap saling memandang. Semuanya telah bergeser. Dan Tan Malaka tak salah. Semuanya berubah.
Saya tak pernah membaca buku kode etik, mungkin begitu juga dengan kawan bersandal. Tapi tak tahukah kawan bersandal, bahwa kekang tak boleh lepas dari pundak. Karena kekang adalah jelmaan objektivitas. Kekang adalah rakyat dan amanat. Kekang adalah dialog yang utuh.
Ah, terlalu muluk saya berharap, agar kawan bersandal melihat rona merah di pipi saya ketika amplop menjejal masuk ke dalam ranselnya. Adalah mimpi meminta Tan Malaka menulis: ada yang tak pernah berubah dari dunia. Para kuli tinta yang selalu sigap menggendong kekang. Para kuli tinta yang selalu menjaga etika. Adalah mimpi.
TIDAK ada yang tetap, semua berubah. Yang tetap cuma ketetapan perubahan dan perubahan ketetapan. Kalimat-kalimat itu ditulis oleh Tan Malaka dalam bukunya, yang digilai kaum marxis tanah air, Materialisme Dialektika Logika (Madilog). Pria jenius yang kecewa terhadap Islam itu sedang mengulas unsur atom dan partikelnya, tapi sudah barang tentu dia juga menyindir hidup.
Saya percaya apa yang dikatakan Tan Malaka benar. Seperti juga kepercayaan saya akan pergeseran definisi jurnalis menjadi wartawan atau reporter adalah sahih. Definis jurnalis sejatinya bergeser. Kala itu yang disebut jurnalis adalah mereka yang menulis jurnal-jurnal ilmiah, untuk kemudian diterbitkan dalam bahasa dan model yang formal. Seperti Charles Dickens.
Seiring almanak berganti, terutama pada abad ke 19, istilah itu melebar. Jurnalis tak hanya mereka yang menulis jurnal, tapi juga mereka yang mempraktikkan (apa yang kemudian disebut) ilmu jurnalistik. Jurnalis adalah mereka yang mengumpulkan data dan lantas menuliskannya dalam sebuah tulisan. Mereka tak dibatasi tembok dalam bekerja, tak juga diikat dasi atau rok mini saat bertugas, atau diatur untuk menyantap makan siang mulai pukul 12.00 hingga 13.00. Jurnalis adalah mereka yang bebas.
Namun bukan kebebasan absolut yang mereka punya; jurnalis yang tak perlu memakai dasi dan rok mini saat bekerja itu diikat sebuah ikrar berbentuk kode etik: benar, jujur, berimbang, serta beretika. Yang terakhir adalah bukan sembarang kode. Etika datangnya jauh dari kata ethikos milik Yunani yang berarti moralitas, cabang dari ilmu filsafat, yang berkaitan dengan sifat baik, buruk, serta tanggung jawab. Jurnalis, yang boleh makan siang pukul 10.00 atau mandi pukul 13.00, adalah mereka yang diminta beretika.
Seperti Graham Green atau Hemingway, jurnalis yang juga novelis, bebas merokok pukul 11.05, atau buang air besar pukul 13.35, menguap pukul 14.20, dan tetap beretika sepanjang hari. Di suatu tempat bernama Amerika Serikat, segala sesuatunya selalu tampak serba mudah dan murah. Bertolak dengan alam Pertiwi, di mana masih sering kita jumpai lalat berpantat hijau hinggap di sedotan es teh kita, segalanya serba susah dan mahal, tak terkecuali etika. Satu-satunya kekang seorang jurnalis.
Seperti siang itu, ketika saya melihat tali-tali etika dilepaskan oleh satria-satria pena, demi sebuah amplop.
Sungguh, bagai menyaksikan drama, lagi-lagi saya terperangah (walau saya sudah sering menghadapinya) dengan prosesi amplop. Kejadiannya acap kali berlangsung lama namun rapi. Saya dapat membaca alur dan adegan pembukanya, lantas konflik, klimaks, hingga antiklimaksnya. Seperti siang itu, di sebuah instansi milik pemerintah (yang juga berarti kepunyaan rakyat) di mana semua orang memakai setelan berwarna cokelat, dan menunduk-nunduk pada seorang pria yang juga bersetelan cokelat dan memakai plakat nama.
Siang itu, mulanya, kami ngobrol biasa saja. Kami berbincang tentang jumlah ini di propinsi ini, dan dana untuk melakukan itu di daerah itu, lalu tujuan melakukan kegiatan tersebut serta capaian yang dimaksud. Kami mendengar dan mencatat, sesekali menengok ke arah Bapak Bersetelan Cokelat penuh perhatian. Di pulau bagian timur ini, memang hanya dia yang punya data semacam rupa.
Berselang cukup lama, cangkir-cangkir teh lantas disuguhkan, kami diminta dengan hormat untuk menenggaknya. Sampai seorang pria berkumis, juga bersetelan cokelat, lantas berdiri dan mencatat. Mengamati kami para kuli tinta dengan seksama. Di bukunya, dia menuliskan nama dan angka, lalu menerawang menghitung. Ini adalah opening, yang membikin perut mual.
Sepuluh menit kemudian adegan mulai berirama. Guyonan-guyonan kering mengalir dari Bapak Bersetelan Cokelat. Dan para kuli pun tertawa renyah, menertawai guyonan Sang Bapak yang tak lucu. Tentang kesukaannya pada singkong dan kacang-kacang tanah yang direbus. Seorang kawan berkomentar, memuji Sang Bapak yang tetap rendah hati: meski sudah tinggi jabatan, tak hilang pula kesukaan pada makanan tanah. Rising Act.
Bapak Bersetelan Cokelat masih berbicara, saat lima menit kemudian kawan bersandal berpamitan pulang. Ada urusan penting sedang menunggu di luar sana, tuturnya. Bapak lantas melirik Pak Kumis, matanya berkedip. Itu sebuah kode, sebuah perintah: lepas kekangnya.
Ini konflik. Pak Kumis maju ke depan, sedikit berlari mengejar kawan. Amplop panjang berwarna coklat merangsek masuk ke dalam tas kawan bersandal. Sekilas aksi penolakan berlangsung, meski (tentu saja, Tuhan) gagal. Pak Kumis berhasil melepas tali kekang kawan bersandal. Seulas senyum dan anggukan Pak Kumis membuat mata Sang Bapak bersinar.
Kawan bersandal sudah di seberang pintu, tapi telinganya mungkin masih menangkap suara. Derak-derak sepatu Pak Kumis ketika berkeliling ruangan sambil membagi amplop panjang berwarna cokelat. Dia menjatuhkan amplop sambil menutup mata. Mereka yang menerima hanya membuka mulut, lantas mengatupkanya kembali. Terdengar seulas ucapan: terima kasih.
Ini anti klimaks. Ritual tahu sama tahu. Tali-tali kekang sudah terlepas. Mata-mata saling memandang. Saya dan dia yang menolak, dan mereka yang berterima kasih. Mata-mata tetap saling memandang. Semuanya telah bergeser. Dan Tan Malaka tak salah. Semuanya berubah.
Saya tak pernah membaca buku kode etik, mungkin begitu juga dengan kawan bersandal. Tapi tak tahukah kawan bersandal, bahwa kekang tak boleh lepas dari pundak. Karena kekang adalah jelmaan objektivitas. Kekang adalah rakyat dan amanat. Kekang adalah dialog yang utuh.
Ah, terlalu muluk saya berharap, agar kawan bersandal melihat rona merah di pipi saya ketika amplop menjejal masuk ke dalam ranselnya. Adalah mimpi meminta Tan Malaka menulis: ada yang tak pernah berubah dari dunia. Para kuli tinta yang selalu sigap menggendong kekang. Para kuli tinta yang selalu menjaga etika. Adalah mimpi.
01 Agustus 2008
Hasil Rekapitulasi Mensyaratkan Putaran Kedua Pilkada Jatim
Iman D. Nugroho
Hasil rekapitulasi hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung Gubernur Jawa Timur 2008 mensyaratkan adanya putaran kedua. Kandidat Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menempati urutan dua besar, sekaligus akan "bertarung" dalam putaran kedua.
Dalam rekapitulasi yang dilakukan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur Jumat (1/08/08) ini kandidat nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono atau KAJI mendapatkan 4,2 juta suara atau 24,82 persen. Kandidat nomor 2 Soetjipto dan Ridwan Hisjam atau SR, mendapatkan 3,6 juta suara atau 21,18 persen. Kandidat Soenarjo dan Ali Maschan Moesa atau SALAM, mendapatkan 3,2 juta suara atau 19,34 persen.
Kandidat Achmadi-Soehartono atau ACHSAN memperoleh 1,3 juta suara atau 8,21 persen dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf memperoleh 4,4 juta suara atau 26,43 persen. "Berdasarkan hasil rekapitulasi itu, maka secara hukum akan dilakukan putaran kedua," kata Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi, usai rekapitulasi dilakukan. Dalam perhitungan itu, jumlah suara sah 17.014.266 suara, dan tidak sah tercatat 895,045 suara, dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 29.061.718 suara.
Dalam rekapitulasi itu, semua saksi dari kandidat gubernur Jawa Timur menerima pelaksanaan pilgub dan rekapitulasi. Bambang Yudhono dari saksi SR mengatakan adanya penterjemahan kampanye yang berbeda antara KPU Jatim dan Panwas Jawa Timur. "Perbedaan penterjemahan kampanye itu harus menjadi catatan pelaksanaan pilgub kedepan, meskipun padaprinsipnya kami menerima," kata Bambang.
Hasil rekapitulasi hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung Gubernur Jawa Timur 2008 mensyaratkan adanya putaran kedua. Kandidat Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf menempati urutan dua besar, sekaligus akan "bertarung" dalam putaran kedua.
Dalam rekapitulasi yang dilakukan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur Jumat (1/08/08) ini kandidat nomor urut 1, Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono atau KAJI mendapatkan 4,2 juta suara atau 24,82 persen. Kandidat nomor 2 Soetjipto dan Ridwan Hisjam atau SR, mendapatkan 3,6 juta suara atau 21,18 persen. Kandidat Soenarjo dan Ali Maschan Moesa atau SALAM, mendapatkan 3,2 juta suara atau 19,34 persen.
Kandidat Achmadi-Soehartono atau ACHSAN memperoleh 1,3 juta suara atau 8,21 persen dan Soekarwo-Syaifullah Yusuf memperoleh 4,4 juta suara atau 26,43 persen. "Berdasarkan hasil rekapitulasi itu, maka secara hukum akan dilakukan putaran kedua," kata Ketua KPU Jawa Timur Wahyudi, usai rekapitulasi dilakukan. Dalam perhitungan itu, jumlah suara sah 17.014.266 suara, dan tidak sah tercatat 895,045 suara, dari Daftar Pemilih Tetap (DPT) berjumlah 29.061.718 suara.
Dalam rekapitulasi itu, semua saksi dari kandidat gubernur Jawa Timur menerima pelaksanaan pilgub dan rekapitulasi. Bambang Yudhono dari saksi SR mengatakan adanya penterjemahan kampanye yang berbeda antara KPU Jatim dan Panwas Jawa Timur. "Perbedaan penterjemahan kampanye itu harus menjadi catatan pelaksanaan pilgub kedepan, meskipun padaprinsipnya kami menerima," kata Bambang.
31 Juli 2008
Dokter Jiwa: Ryan Tidak Mengalami Gangguan Jiwa
Iman D. Nugroho
Hasil pemeriksaan kesehatan jiwa Kepolisian Polda Jawa Timur terhadap Verry Idam Henyansyah atau Ryan, pemuda yang diduga melakukan pembunuhan berantai terhadap 11 orang, menunjukkan bahwa Ryan tidak mengalamo gangguan jiwa. Artinya, Ryan dalam kondisi sadar saat melakukan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Hal itu dikatakan AKBP. Dr. Rony Subagyo, Spesialis Kedokteran Jiwa Polda Jatim, Kamis (31/07/08) di Mapolda Jatim.
“Tidak ada tanda adanya gangguan jiwa berat. Daya nilai realitas, baik dan normal. Berarti apa yang dilakukan, disadari dan dipahami, termasuk akibat dan konsekuensi dari perbuatan itu,” kata Rony Subagyo. Dokter juga menemukan ciri kepribadian yang sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Dalam melampiaskan kemarahannya itu, bentuknya impulsif dan agresif. Seperti melempar, membanting dan memukul.
Sifat Ryan yang demikian, menurut Rony disebabkan karena dinamika kehidupan keluarga yang sering diwarnai dengan cek-cok. Sang Ibu, Kasiyatun, yang sehari-hari dominan dalam perkawinan, membentuk Ryan menjadi pemarah, agresif dan membenci wanita. “Karena itulah, Ryan akhirnya tumbuh menjadi homoseksual, dalam hal ini Ryan senang menjadi sosok wanita,” kata Rony. Terlebih, sejak kecil Ryan juga tidak mendapatkan perhatian.
Dalam pemeriksaan terhadap Kasiyatun pun ditemukan hasil yang cenderung sama. Ibu Ryan yang memiliki sifat sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Meski begitu, Rony meyakinkan tidak adanya keterkaitan antara orientasi seksual Ryan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam proses pemeriksaan, kata Rony, Ryan sering menunjukkan prilaku pura-pura gila Ryan ingin kelihatan tidak normal atau sakit. Untungnya dokter bisa mengetahui hal itu. “Dalam kasus Ryan, tidak ada penyesalan, karena itulah tidak ada perubahan setelah dia melakukan pembunuhan yang pertama,” katanya.
Sementara itu, indikasi masih adanya 4-5 mayat lain dan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga (keluarga) itulah, yang membuat pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur melakukan penggalian Kamis (31/07/08) ini. Penggalian dilakukan menyeluruh di halaman belakang dan bagian dalam rumah Ryan di Jombang, Jawa Timur. “Hari ini dibongkar secara menyeluruh di rumah itu, agar masyarakat tahu bahwa polisi sudah mencari semua meskipun tanpa pengakuan Ryan,” kata Rusli Nasution, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur.
Informasi yang didapatkan The Jakarta Post dari Polda Jatim menyebutkan, saat ini ada 4-5 mayat lain yang masih berada di dalam tanah. Yakni, dua mayat di dalam rumah, tepatnya di bawah ruang tamu dan di bawah kamar Ryan. Serta tiga lagi di halaman antara kandang ayam dan kamar mandi, halaman sebelah kanan dan di bawah kebun tebu belakang rumah. Titik terakhir ini dicurigai karena selalu dikerubuti lalat di atasnya.
Keberadaan dua mayat yang berada di dalam rumah itulah memperkuat dugaan keterlibatan keluarga Ryan. Meskipun hingga saat ini Polisi masih belum bisa memastikan hal itu. “Keterlibatan keluarga Ryan akan kita dalami lagi, termasuk sejauh mana keterlibatannya, karena memang harus diketahui kapan menggali dan kapan pembunuhan itu terjadi,” katanya.
Kemungkinan keterlibatan keluarga dikuatkan ditemukannya sepeda motor milik Achsoni atau Soni, salah satu korban yang diduga kuat meninggal, dipakai oleh salah satu kerabat Ryan bernama Mulyo Wasis. Dugaan lain adalah pengakuan dua warga setempat, Suwarto dan Budiono, yang mengaku pernah disuruh ibu Ryan, Kasiyatun untuk menggali lubang di belakang rumah. Di lokasi yang digali itu ditemukan mayat.
Ryan sendiri, hingga saat ini masih ditahan di Polda Jawa Timur, didampingi Noval, seseorang yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Ryan. Hingga berita ini diturunkan, Ryan tetap bersikukuh “hanya” membunuh 10 mayat di Jombang dan 1 di Jakarta. “Tidak ada pengakuan lain selain itu,” kata Rusli.
Sampai Kamis ini, Polda Jawa Timur sudah memeriksa 25 saksi yang diduga bisa memperjelas peristiwa pembunuhan itu. Termasuk pihak keluarga dan warga sekitar yang pernah bersinggungan dengan Ryan dan keluarganya. Mulai kuli gali tanah, kuli angkut hingga tetangga kanan dan kiri rumah Ryan di Jombang.
Sementara itu, otopsi yang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim masih belum menunjukkan perkembangan berarti. Hanya tiga dari 10 mayat yang berhasil diidentifikasi. Dr. Kesehatan Polda Jawa Timur, M. Rudi mengatakan, lamanya mayat dikubur membuat proses otopsi sulit dilakukan. Ketiga mayat itu dan diserahkan ke pada keluarga, Jumat besok. Di ruang otopsi RS. Bhayangkara masih tersimpan enam tengkorak manusia yang beberapa hari lalu diambil dari belakang rumah Ryan.
*Indra Harsaputra Melaporkan dari Jombang, Jawa Timur
Hasil pemeriksaan kesehatan jiwa Kepolisian Polda Jawa Timur terhadap Verry Idam Henyansyah atau Ryan, pemuda yang diduga melakukan pembunuhan berantai terhadap 11 orang, menunjukkan bahwa Ryan tidak mengalamo gangguan jiwa. Artinya, Ryan dalam kondisi sadar saat melakukan pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Hal itu dikatakan AKBP. Dr. Rony Subagyo, Spesialis Kedokteran Jiwa Polda Jatim, Kamis (31/07/08) di Mapolda Jatim.
“Tidak ada tanda adanya gangguan jiwa berat. Daya nilai realitas, baik dan normal. Berarti apa yang dilakukan, disadari dan dipahami, termasuk akibat dan konsekuensi dari perbuatan itu,” kata Rony Subagyo. Dokter juga menemukan ciri kepribadian yang sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Dalam melampiaskan kemarahannya itu, bentuknya impulsif dan agresif. Seperti melempar, membanting dan memukul.
Sifat Ryan yang demikian, menurut Rony disebabkan karena dinamika kehidupan keluarga yang sering diwarnai dengan cek-cok. Sang Ibu, Kasiyatun, yang sehari-hari dominan dalam perkawinan, membentuk Ryan menjadi pemarah, agresif dan membenci wanita. “Karena itulah, Ryan akhirnya tumbuh menjadi homoseksual, dalam hal ini Ryan senang menjadi sosok wanita,” kata Rony. Terlebih, sejak kecil Ryan juga tidak mendapatkan perhatian.
Dalam pemeriksaan terhadap Kasiyatun pun ditemukan hasil yang cenderung sama. Ibu Ryan yang memiliki sifat sensitif, mudah tersinggung dan mudah marah. Meski begitu, Rony meyakinkan tidak adanya keterkaitan antara orientasi seksual Ryan dengan perbuatan yang dilakukannya.
Dalam proses pemeriksaan, kata Rony, Ryan sering menunjukkan prilaku pura-pura gila Ryan ingin kelihatan tidak normal atau sakit. Untungnya dokter bisa mengetahui hal itu. “Dalam kasus Ryan, tidak ada penyesalan, karena itulah tidak ada perubahan setelah dia melakukan pembunuhan yang pertama,” katanya.
Sementara itu, indikasi masih adanya 4-5 mayat lain dan kemungkinan keterlibatan pihak ketiga (keluarga) itulah, yang membuat pihak Kepolisian Daerah Jawa Timur melakukan penggalian Kamis (31/07/08) ini. Penggalian dilakukan menyeluruh di halaman belakang dan bagian dalam rumah Ryan di Jombang, Jawa Timur. “Hari ini dibongkar secara menyeluruh di rumah itu, agar masyarakat tahu bahwa polisi sudah mencari semua meskipun tanpa pengakuan Ryan,” kata Rusli Nasution, Direktur Reserse dan Kriminal Polda Jawa Timur.
Informasi yang didapatkan The Jakarta Post dari Polda Jatim menyebutkan, saat ini ada 4-5 mayat lain yang masih berada di dalam tanah. Yakni, dua mayat di dalam rumah, tepatnya di bawah ruang tamu dan di bawah kamar Ryan. Serta tiga lagi di halaman antara kandang ayam dan kamar mandi, halaman sebelah kanan dan di bawah kebun tebu belakang rumah. Titik terakhir ini dicurigai karena selalu dikerubuti lalat di atasnya.
Keberadaan dua mayat yang berada di dalam rumah itulah memperkuat dugaan keterlibatan keluarga Ryan. Meskipun hingga saat ini Polisi masih belum bisa memastikan hal itu. “Keterlibatan keluarga Ryan akan kita dalami lagi, termasuk sejauh mana keterlibatannya, karena memang harus diketahui kapan menggali dan kapan pembunuhan itu terjadi,” katanya.
Kemungkinan keterlibatan keluarga dikuatkan ditemukannya sepeda motor milik Achsoni atau Soni, salah satu korban yang diduga kuat meninggal, dipakai oleh salah satu kerabat Ryan bernama Mulyo Wasis. Dugaan lain adalah pengakuan dua warga setempat, Suwarto dan Budiono, yang mengaku pernah disuruh ibu Ryan, Kasiyatun untuk menggali lubang di belakang rumah. Di lokasi yang digali itu ditemukan mayat.
Ryan sendiri, hingga saat ini masih ditahan di Polda Jawa Timur, didampingi Noval, seseorang yang disebut-sebut sebagai kawan dekat Ryan. Hingga berita ini diturunkan, Ryan tetap bersikukuh “hanya” membunuh 10 mayat di Jombang dan 1 di Jakarta. “Tidak ada pengakuan lain selain itu,” kata Rusli.
Sampai Kamis ini, Polda Jawa Timur sudah memeriksa 25 saksi yang diduga bisa memperjelas peristiwa pembunuhan itu. Termasuk pihak keluarga dan warga sekitar yang pernah bersinggungan dengan Ryan dan keluarganya. Mulai kuli gali tanah, kuli angkut hingga tetangga kanan dan kiri rumah Ryan di Jombang.
Sementara itu, otopsi yang dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jatim masih belum menunjukkan perkembangan berarti. Hanya tiga dari 10 mayat yang berhasil diidentifikasi. Dr. Kesehatan Polda Jawa Timur, M. Rudi mengatakan, lamanya mayat dikubur membuat proses otopsi sulit dilakukan. Ketiga mayat itu dan diserahkan ke pada keluarga, Jumat besok. Di ruang otopsi RS. Bhayangkara masih tersimpan enam tengkorak manusia yang beberapa hari lalu diambil dari belakang rumah Ryan.
*Indra Harsaputra Melaporkan dari Jombang, Jawa Timur
28 Juli 2008
Malaysia Targetkan Menang
Tim paralayang Malaysia menargetkan menang dalam Kejuaraan dan Festival Paralayang 2008 di Kota Batu, Jawa Timur. Untuk meraih target itu, tim paralayang Malaysia berlatih selama 2 bulan penuh. Hal itu diungkapkan Basyir Abdurrahman, Ketua Tim Malaysia pada The Jakarta Post.
"Jelas, target tim Malaysia adalah menang dalam kompetisi ini," kata Basyir Abdurrahman, Senin (28/07) ini di take off area Gunung Banyak, Kota Batu. Dalam kompetisi ini, Malaysia mengirimkan 12 atlet paralayangnya. Delapan atlet di antaranya adalah atlet lama, sementara sisanya atlet yang baru.
Basyir mengatakan, menjelang pelaksanaan lomba, tim paralayang Malaysia melakukan persiapan serius dengan berlatih setiap hari selama dua bulan penuh. Latihan itu dilaksanakan di Bukit Judre, Selangor Malaysia. "Selama dua bulan penuh kami berlatih di Bukit Judre, meskipun secara geografis lebih rendah, namun kami kira persiapan itu cukup," katanya.
Menurut Basyir, paralayang adalah salah satu olahraga yang belakangan ini berkembang di Malaysia. Meski begitu, perlahan-lahan, jumlah peminatnya terus bertambah. "Sayangnya, Malaysia tidak memiliki tempat latihan yang bagus seperti di Indonesia," kata Basyir.
Uniknya, bila Malaysia menargetkan menang, justru atlet paralayang tuan rumah Jawa Timur tidak menargetkan apa-apa dalam event kali ini. Hal itu dikatakan Ketua Pelaksana Kejuaraan dan Festival Paralayang 2008, Yudho Nugroho. "Kita tidak menargetkan menang, justru event ini adalah event rekreasi bagi atlet Jawa Timur," kata Yudho.
Tidakadanya terget menang, kata Yudho, disebabkan karena para atlet sudah kelelahan saat berangkat di Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-17 di Kalimantan Timur. Jawa Timur hanya mendapatkan dua medali perunggu dalam PON-17 lalu.
Meski begitu, Yudho menjelaskan, perlombaan kali ini menghadirkan juri tingkat nasional yang memiliki brivet serta menggunakan peralatan terkomputerisasi. Apalagi, lomba kali ini diikuti oleh atlet dari tiga negara, Malaysia, Brunei Darussalam dan Jepang. "Semua itu kami lakukan untuk memenuhi standarisasi internasional," kata Yudho.
Kejuaraan dan Festival Paralayang di Kota Batu adalah agenda tahunan yang digelar pemerintah kota setempat. Melalui event ini, Pemerintah Kota Batu mengharapkan adanya peningkatan kunjungan turis domestik maupun manca negara ke kota yang dikenal sebagai Kota Apel itu.
"Jelas, target tim Malaysia adalah menang dalam kompetisi ini," kata Basyir Abdurrahman, Senin (28/07) ini di take off area Gunung Banyak, Kota Batu. Dalam kompetisi ini, Malaysia mengirimkan 12 atlet paralayangnya. Delapan atlet di antaranya adalah atlet lama, sementara sisanya atlet yang baru.
Basyir mengatakan, menjelang pelaksanaan lomba, tim paralayang Malaysia melakukan persiapan serius dengan berlatih setiap hari selama dua bulan penuh. Latihan itu dilaksanakan di Bukit Judre, Selangor Malaysia. "Selama dua bulan penuh kami berlatih di Bukit Judre, meskipun secara geografis lebih rendah, namun kami kira persiapan itu cukup," katanya.
Menurut Basyir, paralayang adalah salah satu olahraga yang belakangan ini berkembang di Malaysia. Meski begitu, perlahan-lahan, jumlah peminatnya terus bertambah. "Sayangnya, Malaysia tidak memiliki tempat latihan yang bagus seperti di Indonesia," kata Basyir.
Uniknya, bila Malaysia menargetkan menang, justru atlet paralayang tuan rumah Jawa Timur tidak menargetkan apa-apa dalam event kali ini. Hal itu dikatakan Ketua Pelaksana Kejuaraan dan Festival Paralayang 2008, Yudho Nugroho. "Kita tidak menargetkan menang, justru event ini adalah event rekreasi bagi atlet Jawa Timur," kata Yudho.
Tidakadanya terget menang, kata Yudho, disebabkan karena para atlet sudah kelelahan saat berangkat di Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-17 di Kalimantan Timur. Jawa Timur hanya mendapatkan dua medali perunggu dalam PON-17 lalu.
Meski begitu, Yudho menjelaskan, perlombaan kali ini menghadirkan juri tingkat nasional yang memiliki brivet serta menggunakan peralatan terkomputerisasi. Apalagi, lomba kali ini diikuti oleh atlet dari tiga negara, Malaysia, Brunei Darussalam dan Jepang. "Semua itu kami lakukan untuk memenuhi standarisasi internasional," kata Yudho.
Kejuaraan dan Festival Paralayang di Kota Batu adalah agenda tahunan yang digelar pemerintah kota setempat. Melalui event ini, Pemerintah Kota Batu mengharapkan adanya peningkatan kunjungan turis domestik maupun manca negara ke kota yang dikenal sebagai Kota Apel itu.
23 Juli 2008
Money Politics Urgent Dipikirkan NU
Kacung Marijan, Pengamat Politik Universitas Airlangga
Dimuat di The Jakarta Post
"Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biayanya jauh lebih besar,"
Empat dari kandidat gubernur Jawa Timur adalah orang NU, sebenarnya seperti apa permainan politik NU sekarang?
Prinsipnya, NU selalu menyerahkan urusan politik kepada jamaah melalui partai politik, bukan pada organisasi NU. Karena sejarahnya, ketika NU masuk ke ranah politik, maka banyak urusan yang menjadi ranah NU menjadi terbengkalai. Cuma yang menjadi masalah, tidak lantas NU tidak tersentuh urusan politik. Apalagi NU berada pada tempat yang fakum, melainkan sangat dinamis. Sehingga NU yang sejak tahun 1984 tidak terjun dalam politik, secara langsung atau tidak, terlibat dalam politik. Saat NU memfasilitasi parpol warga NU. Deklarator PKB adalah pentolan NU. Memang tidak tegas, tapi yang memfasilitasi adalah NU. Sejak saat itu, sampai sekarang, NU terlibat politik. Meski NU bukan partai politik. Misalnya ada perumusan caleg, NU masih dilibatkan. Walau tahun 2004, keterlibatan NU dalam penentuan caleg tidak terlalu besar.
Apa yang sebenarnya terjadi di Jawa Timur? Terutama soal PKB?
Sejarah NU yang kuat di Jawa Timur terjadi karena PKB sedang gonjang-ganjing. Ada pandangan dari elit NU, tentang Jawa Timur adalah basis NU. Karena itulah, bila NU tak ikut cawe-cawe dalam urusan pilkada, sepertinya kok tidak bijaksana. Hal itu juga yang membuat adanya keinginan kuat untuk melibatkan diri secara lansung dalam Pilgub di Jawa Timur. Misalnya, ketika Musyawarah Wilayah NU untuk memilih ketua PWNU baru pada Nopember lalu, ada perjanjian atau kontrak jam’iah yang menyebutkan tidak diperbolehkannya ketua PWNU terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis. Tapi, kontrak jam’iyah itu sudah mempengaruhi politik secara tidak langsung. Yang langsung untuk Ali Maschan Moesa yang ketika itu terpilih. Karena itulah Ali Mschan dihukum rame-rame. Yang awalnya didukung, akhirnya secara jamaah dihindari. Bahkan sekarang yang menghindari Ali Maschan sebagian besar ke kubu Khofifah. Waktu itu, maunya NU tak terserat urusan pencalonan ini. Jadi, kontak jam’iah ini tidak realistis. Kalau kita lihat, yang namanya terlibat tidak langsung itu maknanya sangat luas sama sekali. Misalnya terlibat di opini dan penggalangan massa. Misalnya, ketika PBNU buat menjadi racangan program dan ditawarkan ke calon gubernur, secara tidak langsung mempengaruhi calon gubernur. Dalam kehidupan politik yang dinamis, tidak mungkin akan tidak terlibat dalam politik.
Lalu, NU dengan prinsip akhlakul karimah, dan berpolitik, dan kita banyak dengar adanya money politics melalui sumbangan dll, ini bagaimana?
Ini sebenarnya sesuatu yang mengkhawatirkan. Dua minggu lalu ada diskusi tentang fikih dalam pilkada, termasuk soal money politics, kesimpulannya saat itu adalah haram. Hal itu bisa dicheck dalam forum basul masail (forum diskusi hukum kekinian). Persoalannya bila ada orang memberi, apakah itu termasuk money politics atau tidak. Seperti ada orang menyumbang ke pesantren, itukan biasa, tidak mungkin ditanya, menyumbang untuk apa. Dianggap tidak sopan. Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biaya nya jauh lebih besar. Itu info dari tim masing-masing calon. Alasannya, pemilih yang memilih kandidat berdasarkan uang yang diberikan makin banyak. Kandidat tidak Cuma memperbutkan suara, tapi juga memperebutkan vote getter. Mereka harus dibayar juga.
Jadi para ulama tidak terlibat untuk menghapus money politics?
Saya lihat tidak, bahkan menjadi bagian dari itu. Itu menyedihkan, walaupun basul masail, pada dua minggu lalu mengharamkan money politics. Cuma hasil basul masail belum disosialisasikan ke ulama yang lain. Harusnya, ini menjadi isu media juga. Tapi saya lihat, tidak ada media yang melaporkan secara langsung.
Bisa Anda memberikan contoh money politics yang paling transparan dari ulama-ulama ini?
Seperti yang saya katakan, money politics yang langsung mungkin masih debatable, karena calon-calon bukan ke voter, tapi ke tokoh-tokoh, ini yang kemudian memberikan sumbangan bisa puluhan juta. Sumbangan Rp. 1 M pada pada NU, itu sebagian kecil saja.
Tapi itu money politics?
Kalau itu tujuannya untuk mengarahkan suara ke calon tertentu, itu money politics. Karena difinisi money politics itu adalah langkah sengaja untuk mengarahkan suaranya ke calon tertentu. Nah, itu (sumbangan Rp. 1 M, KAJI) adalah tidak langsung bagian dari money politics juga. Karena momennya jelas.
Apalagi, Hasyim Muzadi bersama istrinya kemana-mana bersama Khofifah?
Iya. Itu secara tidak langsung bagian dari money politics.
Lalu soal dukungan kepada 4 kandidat?
Awalnya Hasyim Muzadi mendukung Ali Maschan Moesa. Masalahnya, ada desakan Ali Maschan mundur, tapi tidak mau. Akhirnya konflik. Lalu, Khofifah yang tidak jadi agenda dicalonkan, akhirnya jadi agenda.
Kenapa Khofifah?
Karena Hasyim dan tokoh NU lain mencari alternative. Apalagi, Khofifah relative bersih, dan memiliki jaringan yang luas sampai ranting. Untuk menang, harus melalui hal seperti itu. Nah, saya tidak tahu, tiba-tiba dukungan luar biasa, dan itu tidak lepas dengan uang yang luar biasa juga. Tidak mungkin calon bisa iklan ½ halaman tiap hari di media massa, dan memasang billboard di seantro Jatim, tanpa uang Rp.100 M, itu tidak mungkin. Belum lagi, mobilisasi ndukungan di lavel grassroad, butuh modal yang luar biasa. Karena itu, dukungan itu luar biasa.
Juga pemberian mobil ke 44 Muslimat NU di kabupaten kota di Jatim?
Nah, itu juga. Faktanya, Muslimat 44 cabang dapat mobil APV. Belum juga partai yang lainya.
Dimuat di The Jakarta Post
"Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biayanya jauh lebih besar,"
Empat dari kandidat gubernur Jawa Timur adalah orang NU, sebenarnya seperti apa permainan politik NU sekarang?
Prinsipnya, NU selalu menyerahkan urusan politik kepada jamaah melalui partai politik, bukan pada organisasi NU. Karena sejarahnya, ketika NU masuk ke ranah politik, maka banyak urusan yang menjadi ranah NU menjadi terbengkalai. Cuma yang menjadi masalah, tidak lantas NU tidak tersentuh urusan politik. Apalagi NU berada pada tempat yang fakum, melainkan sangat dinamis. Sehingga NU yang sejak tahun 1984 tidak terjun dalam politik, secara langsung atau tidak, terlibat dalam politik. Saat NU memfasilitasi parpol warga NU. Deklarator PKB adalah pentolan NU. Memang tidak tegas, tapi yang memfasilitasi adalah NU. Sejak saat itu, sampai sekarang, NU terlibat politik. Meski NU bukan partai politik. Misalnya ada perumusan caleg, NU masih dilibatkan. Walau tahun 2004, keterlibatan NU dalam penentuan caleg tidak terlalu besar.
Apa yang sebenarnya terjadi di Jawa Timur? Terutama soal PKB?
Sejarah NU yang kuat di Jawa Timur terjadi karena PKB sedang gonjang-ganjing. Ada pandangan dari elit NU, tentang Jawa Timur adalah basis NU. Karena itulah, bila NU tak ikut cawe-cawe dalam urusan pilkada, sepertinya kok tidak bijaksana. Hal itu juga yang membuat adanya keinginan kuat untuk melibatkan diri secara lansung dalam Pilgub di Jawa Timur. Misalnya, ketika Musyawarah Wilayah NU untuk memilih ketua PWNU baru pada Nopember lalu, ada perjanjian atau kontrak jam’iah yang menyebutkan tidak diperbolehkannya ketua PWNU terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam politik praktis. Tapi, kontrak jam’iyah itu sudah mempengaruhi politik secara tidak langsung. Yang langsung untuk Ali Maschan Moesa yang ketika itu terpilih. Karena itulah Ali Mschan dihukum rame-rame. Yang awalnya didukung, akhirnya secara jamaah dihindari. Bahkan sekarang yang menghindari Ali Maschan sebagian besar ke kubu Khofifah. Waktu itu, maunya NU tak terserat urusan pencalonan ini. Jadi, kontak jam’iah ini tidak realistis. Kalau kita lihat, yang namanya terlibat tidak langsung itu maknanya sangat luas sama sekali. Misalnya terlibat di opini dan penggalangan massa. Misalnya, ketika PBNU buat menjadi racangan program dan ditawarkan ke calon gubernur, secara tidak langsung mempengaruhi calon gubernur. Dalam kehidupan politik yang dinamis, tidak mungkin akan tidak terlibat dalam politik.
Lalu, NU dengan prinsip akhlakul karimah, dan berpolitik, dan kita banyak dengar adanya money politics melalui sumbangan dll, ini bagaimana?
Ini sebenarnya sesuatu yang mengkhawatirkan. Dua minggu lalu ada diskusi tentang fikih dalam pilkada, termasuk soal money politics, kesimpulannya saat itu adalah haram. Hal itu bisa dicheck dalam forum basul masail (forum diskusi hukum kekinian). Persoalannya bila ada orang memberi, apakah itu termasuk money politics atau tidak. Seperti ada orang menyumbang ke pesantren, itukan biasa, tidak mungkin ditanya, menyumbang untuk apa. Dianggap tidak sopan. Saya kira menjadi hal urgent dipikirkan NU. Apalagi, dua tahun terakhir, money politics sangat kental dalam Pilkada. Bisa kita check pada pilkada 2005, 2006, 2007 dan 2008, biaya nya jauh lebih besar. Itu info dari tim masing-masing calon. Alasannya, pemilih yang memilih kandidat berdasarkan uang yang diberikan makin banyak. Kandidat tidak Cuma memperbutkan suara, tapi juga memperebutkan vote getter. Mereka harus dibayar juga.
Jadi para ulama tidak terlibat untuk menghapus money politics?
Saya lihat tidak, bahkan menjadi bagian dari itu. Itu menyedihkan, walaupun basul masail, pada dua minggu lalu mengharamkan money politics. Cuma hasil basul masail belum disosialisasikan ke ulama yang lain. Harusnya, ini menjadi isu media juga. Tapi saya lihat, tidak ada media yang melaporkan secara langsung.
Bisa Anda memberikan contoh money politics yang paling transparan dari ulama-ulama ini?
Seperti yang saya katakan, money politics yang langsung mungkin masih debatable, karena calon-calon bukan ke voter, tapi ke tokoh-tokoh, ini yang kemudian memberikan sumbangan bisa puluhan juta. Sumbangan Rp. 1 M pada pada NU, itu sebagian kecil saja.
Tapi itu money politics?
Kalau itu tujuannya untuk mengarahkan suara ke calon tertentu, itu money politics. Karena difinisi money politics itu adalah langkah sengaja untuk mengarahkan suaranya ke calon tertentu. Nah, itu (sumbangan Rp. 1 M, KAJI) adalah tidak langsung bagian dari money politics juga. Karena momennya jelas.
Apalagi, Hasyim Muzadi bersama istrinya kemana-mana bersama Khofifah?
Iya. Itu secara tidak langsung bagian dari money politics.
Lalu soal dukungan kepada 4 kandidat?
Awalnya Hasyim Muzadi mendukung Ali Maschan Moesa. Masalahnya, ada desakan Ali Maschan mundur, tapi tidak mau. Akhirnya konflik. Lalu, Khofifah yang tidak jadi agenda dicalonkan, akhirnya jadi agenda.
Kenapa Khofifah?
Karena Hasyim dan tokoh NU lain mencari alternative. Apalagi, Khofifah relative bersih, dan memiliki jaringan yang luas sampai ranting. Untuk menang, harus melalui hal seperti itu. Nah, saya tidak tahu, tiba-tiba dukungan luar biasa, dan itu tidak lepas dengan uang yang luar biasa juga. Tidak mungkin calon bisa iklan ½ halaman tiap hari di media massa, dan memasang billboard di seantro Jatim, tanpa uang Rp.100 M, itu tidak mungkin. Belum lagi, mobilisasi ndukungan di lavel grassroad, butuh modal yang luar biasa. Karena itu, dukungan itu luar biasa.
Juga pemberian mobil ke 44 Muslimat NU di kabupaten kota di Jatim?
Nah, itu juga. Faktanya, Muslimat 44 cabang dapat mobil APV. Belum juga partai yang lainya.
BERITA UNGGULAN
JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?
Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia.
Postingan Populer
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Kencan, bisa dilakukan kapan saja. Dalam Solusi Ibu kali ini, membahas kencan dengan pasangan, di tengah-tengah kehidupan keluarga yang mung...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
Banyak dikunjungi
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Kencan, bisa dilakukan kapan saja. Dalam Solusi Ibu kali ini, membahas kencan dengan pasangan, di tengah-tengah kehidupan keluarga yang mung...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Akun X @kkpgoid memposting "breaking news!!!" tentang penghentian kegiatan pemagaran laut tanpa izin. #SahabatBahari, hari ini KKP...