23 Juli 2008

Hasil Polling Khofifah: 0 %, Karsa: 15 %

Iman D. Nugroho

Kalau KAJI dan KARSA memang dalam quick count usai pencoblosan Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, namun tidak bagi netter. Hasil polling ID Daily menunjukkan, tidak ada sama sekali netter yang memilih Khofifah dan Mudjiono. Hmm,..


Dalam polling yang bertema “Kandidat Pilgub yang Bisa Menyelesaikan Masalah Jawa Timur” itu, netter ID Daily memilih jawaban “Tidak Ada”, 66 persen. Artinya, tidak ada kandidat yang dianggap bisa menyelesaikan persoalan di Jawa Timur. Sutjipto dan Ridwan Hisjam, kandidat yang berangkat dari PDI Perjuangan, mendapatkan 18 persen.

Soekarwo-Syaifullah Yusuf meraup 15 persen suara, disusul Soenarjo-Ali Maschan Moesa di belakangannya dengan perolehan 6 persen suara. Ahmady-Soehartono hanya mendapatkan 3 persen suara. Apappun hasilnya, memang tidak lantas menjadikan polling ini menjadi “penting”. Karena, hasil resmi KPU Jatim belum diumumkan.

Namun kesimpulannya agaknya sama: Tidak ada kandidat yang bisa menyelesaikan persoalan di Jawa Timur. Terutama soal semburan Lumpur Panas dan Berbahaya Lapindo Brantas Inc.



Banyak Pemilih Frustasi Melihat Elit Politik

Iman D Nugroho

Banyaknya jumlah golongan putih (golput) dalam Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2008, mencapai hampir 40 persen, adalah hasil dari pemilih yang frustasi melihat prilaku politik elitnya. Hal itu membuat hasil pilkada gubernur secara sosial tidak terlegitimasi oleh masyarakat.


Sosiolog Ayu Sutarto melihat jelas kondisi itu. Menurut Ayu, golput bisa dilihat sebagai pergeseran cara pandang masyakat Jatim kepada vote getter yang tidal lain adalah tokoh dan kyai. Masyarakat melihat, birokrat, ulama dan tokoh masyarakat melakukan sesuatu yang jauh dari keinginan masyakat. “Ketika tokoh-tokoh ini menjadi vote getter, hasilnya justru penolakan dari masyarakat yang frustasi,” kata Ayu Sutarto pada The Post, Rabu (23/07) ini di Surabaya.

Dalam bahasa lain, Ayu melihat adanya erosi kepercayaan masyakaat pada figur ulama, politisi, dan birokrasi. Salah satu main problemnya adalah pendidikan politik yang keliru. “Kondisi itu diperparah dengan tidak bekerjanya mesin-mesin politik Lihat saja, yang membuat kandidat itu terpilih adalah adanya sentimen kepada kelompok tertentu, misalnya memilih calon yang perempuan satu-satunya, bukan karena jargon dan program kerja,” kata Ayu.

Intelektual muda NU Ali Khaidar menekankan, sosok vote getter yang selama ini dipilih oleh kandidat, seperti para kyai dan tokoh agama masyakat setempat, tidak lagi membawa pengaruh signifikan. Salah satu sebabnya, kyai dan tokoh masyatakat ini memiliki orientas yang beragam. “Tidak hanya di Jawa Timur, di banyak tempat, banyak kandidat yang didukung tokoh agama dan tokoh masyarakat malah tidak menang,” kata Ali Khaidar.

Namun, tokoh agama itu agaknya tetap dipakai sebagai vote getter karena biaya yang dikeluarkan untuk mereka tergolong murah. Dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk iklan dan sarana komunikasi yang lain. “Masyarakat bisa melihat hal itu, banyak tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berbicara seakan-akan membela masyarakat saat pilkada, padahal pada dalam kesehariannya justru melakukan hal-hal yang menyakitkan masyarakat,” kata Ali.

Ali melihat kondisi yang sama saat ketika Pemilihan Presiden langsung digelar pada 2004 lalu. Ketika itu, Hasyim Muzadi, Ketua PBNU maju sebagai calon wakil presiden bersama Megawati Soekarno Putri, malah kalah. Di tingkat kelurahan dan Kabupaten tempat Hasyim Muzadi tinggal, perolehan suara berada di bawah Susilo Bambang Yudhoyono.

Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Jawa Timur Sri Sugeng mencatat ada pelanggaran serius terjadi di Jawa Timur. Pelanggaran pertama adalah penghitungan suara di Madura yang dilakukan sebelum waktunya. Sementara di Ponorogo, undangan pencoblosan tidak diberikan pada setiap pemilih, melainkan hanya pada keluarga. Karena itu banyak yang merasa tidak diundang.

Meski begitu, Kapolda Jawa Timur Herman S. Sumawiredja mengatakan, hasil pantauan polsi di Jawa Timur selama pelaksanaan pilkada Jatim tidak mengindikasikan adanya kejadian luar biasa. Di beberapa titik yang dianggap rawan, seperti di Madura, Lumajang dan Malang masih aman-aman saja. “Tidak ada laporan tentang kejadian luar biasa, semua aman-aman saja,” katanya.



19 Juli 2008

Eksekusi Mati, Pengacara Merasa Gagal, Kejaksaan Malah Bangga

Iman D. Nugroho

Eksekusi mati dua terpidana mati asal Surabaya, Sumiasih dan Sugeng dilaksanakan di Surabaya, Sabtu (19/07) dinihari. Usai pelaksanaan eksekusi, jenazah keduanya diserahkan kepada keluarga untuk dimakamkan di Malang, Jawa Timur. Pengacara mengaku gagal, Kejaksaan malah bangga.


Drama eksekusi mati Sumiasih dan Sugeng itu diawali dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Dengan menggunakan enam mobil, keduanya dibawa di suatu tempat yang dirahasiakan. Beberapa wartawan yang coba membuntuti mobil yang membawa kedua narapidana, tidak mampu mengetahui lokasi pasti eksekusi itu, lantaran keenam mobil itu berjalan ke arah yang berbeda.

Ada dugaan, eksekusi itu dilakukan di lapangan tembak Markas Polda Jawa Timur di Jl. Ahmad Yani Surabaya. Beberapa wartawan yang menunggu di Mapolda Jatim melihat iring-iringan mobil masuk ke Mapolda Jatim. Tak lama berselang, iring-iringan mobil itu meninggalkan Mapolda Jatim dengan diiringi oleh sebuah mobil ambulance, menuju ke RSU Dr.Soetomo Surabaya untuk diotopsi.

“Yang pasti pelaksanaannya di sebuah lapangan luas, lokasi pastinya, jelas rahasia,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur yang juga Ketua Tim ekesekutor, Purwosudiro, Sabtu dini hari, usai pelaksanaan otopsi. Setelah semua proses selesai, jenazah Sumiasih dan Sugeng dirahterimakan kepada keluarga untuk dimakamkan di tempat pemakaman umum di Malang, Jawa Timur.

Sumiasih dan Sugeng adalah dua terpidana mati yang “tersisa” dalam kasus pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinir Purwanto dan empat anggota keluarganya di Surabaya 1988. Dua terpidana lain, Djais Adi Prayitno (meninggal karena sakit pada tahun 2005-RED) dan Adi Sucipto (dieksekusi mati tahun 1992-RED) sudah terlebih dahulu menghadap sang kuasa.

Atas pelaksanaan eksekusi itu, pengacara dua terpidana mati, Sutedja Djajasasmitha mengaku gagal mengubah nasib Sumiasih dan Sugeng. Upaya hukum Seutedja selama 20 tahun untuk mengubah vonis mati menjadi hukuman kurungan, tidak berhasil. “Namun semua upaya hukum mulai Naik Banding hingga Grasi Presiden, gagal, hingga akhirnya terdakwa dieksekusi pagi ini,” kata Sutedja.

Sutedja menilai, pelaksanaan hukuman mati hendaknya tidak lagi dilakukan diganti dengan hukuman badan seperti hukuman seumur hidup. “Meski gelap, Saya bisa melihat dari kegelapan bagaimana eksekusi itu,” kata Sutedja. Sumiasih dan Sugeng, katanya, duduk di dua kursi berjarak sekitar 20-an meter.

Tangan ibu dan anak itu ditalikan di sandaran belakang kursi. Di depan mereka ada dua regu tembak yang mengambil posisi tiarap. “Saya ada di sana sebagai saksi, para penembak tiarap, setelah ada komando, dua regu tembak itu menembak secara bersama-sama,” kata Sutedja. Semuanya mengarah ke bagian jantung yang ditandai dengan warna terang. Dor! Sumiasih dan Sugeng pun meninggal seketika.

Dua dokter polisi yang disiagakan di lokasi, segera memeriksa keadaan keduanya. Dan memastikan dua terpidana mati yang sudah menunggu pelaksanaan eksekusi selama 20 tahun itu benar-benar meregang nyawa. “Setelah itu Saya diminta menandatangani berita acara,” kata Sutedja. “Sebagai manusia, saya tidak ingin hal itu terjadi, Saya sudah berjuang bersama teman-teman jaringan di seluruh dunia untuk membatalkannya, tapi tetap gagal,” katanya.

Kejati Jatim yang juga Ketua Tim Eksekutor, Purwosudiro mendiskripsikan, Sumiasih dan Sugeng dalam keadaan ikhlas saat pelaksanaan eksekusi. Semua ditunjukkan dengan penandatanganan berita acara eksekusi oleh keduanya sebelum eksekusi dilaksanaan. “Keduanya mata mereka ditutup, mulut mereka dibiarkan terbuka untuk membaca doa,” kata Purwosudiro. Purwosudiro menjelaskan, tembakan peluru pasukan eksekusi menembus tubuh Sumiasih dan Sugeng.

Purwosudiro sempat menyinggung statemen beberapa pihak yang tidak sepakat dengan hukuman mati, dan mengatakan kedua terpidana menjalani hukuman dua kali, 20 tahun kurungan dan eksekusi mati. “Itu tidak benar, hukuman mereka cuma sekali, namun karena terpidana meminta banding, kasasi dan grasi, yang memakan waktu 20 tahun, kesannya pelaksanaan hukuman menjadi sangat panjang,” katanya. Padahal, bila Sumiasih dan Sugeng menerima vonis mati, maka eksekusi bisa langsung dilakukan. Seperti yang terjadi pada terpidana mati Adi Sucipto.

Kepala Kejaksaan Negeri yang juga anggota tim eksekutor, Abdul Azis mengatakan, apa yang dilakukan Kejaksaan Jawa Timur adalah penegakan Undang-Undang. Harus diingat, Sumiasih dan Sugeng sudah melakukan perbuatan keji berupa pembunuhan keluarga Letkol (purn) Marinis Purwanto. ”Pembunuhan yang dilakukan 13 Agustus 1989 itu memang keji, ingat, istri Letkol Purwanto sedang hamil ketika persitiwa itu terjadi,” katanya.

Tidak hanya membunuh, usai melakukan tindakan itu, korban dinaikkan ke mobil dan dibuang ke jurang dalam keadaan terbakar. “Jadi seharusnya kita bangga, penegakan hukum sudah dilakukan di Jawa Timur. Setelah Sumiasih, dua terpidana mati lain di Surabaya menunggu waktu eksekusi. “Tinggal tunggu saja, kalau grasi mereka ditolak, maka eksekusi akan segera dilakukan.

Meski begitu, Abdul Azis mengakui masih ada yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukum mati. Ketidaksetujuan itu hendaknya disalurkan ke DPR untuk bisa merubah UU. “Kejaksaan hanya melaksanakan UU saja,” katanya.

17 Juli 2008

Terpidana Mati Sugeng: Saya Lebih Senang Kalau Segera Eksekusi

Iman D. Nugroho

"Aku lebih senang kalau segera dieksekusi, tugas Saya sebagai manusia sudah selesai," kata Sugeng, seperti ditirukan Rahmawati N. Penisusantri. Sugeng adalah salah satu terpidana mati yang saat ini menunggu detik-detik eksekusinya. Bersama Sumiasih, ibunya yang juga terpidana mati, Sugeng mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya.


Kamis (17/07/08) ini, Sugeng dikunjungi teman lamanya yang juga anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Rahmawati N. Penisusantri. Peni, panggilan akrab Rahmawati adalah teman Sugeng saat bersekolah di SMPN 2 Jombang.

Usai pertemuan Peni menceritakan, Sugeng kecewa lantaran ada beberapa orang yang ingin dijumpainya sebelum eksekusi dilaksanakan, namun tidak dipenuhi oleh Kejaksaan Tinggi. "Mengapa nama-nama yang ada di list tidak dipenuhi?" tanya Sugeng seperti ditirukan oleh Peni. Karena itu juga, melalui Peni, Sugeng akhirnya mengirim surat ke beberapa teman yang hingga detik-detik eksekusi dilakukan, masih belum menemuinya.

Pertemuan yang berlangsung 30 menit itu, kata Peni dipenuhi oleh ceramah agama Sugeng. "Sugeng mengingatkan saya untuk tidak berbicara soal 3 hal, maut, jodoh dan rezeki, saya bingung juga, kok tiba-tiba Sugeng jadi seperti ini (berbuah menjadi lebih sholeh)," kata Peni. "Agama juga yang membuat Sugeng siap untuk dieksekusi," katanya.

Di hari yang sama, M.Sholeh, salah satu pengacara Sumiasih dan Sugeng dilarang masuk ke LP Medaeng. Sholeh dianggap menyebarkan foto pertemuan Sumiasih dan Sugeng di LP Medaeng. "Saya akan melaporkan ke Komnas HAM," kata M. Soleh.

Sementara itu, Kamis ini, LP Medaeng diramaikan oleh aksi sejumlah aktivis dari Masyarakat Pro Demokrasi yang menuntut penghapusan hukuman mati di Indonesia. Hukuman mati dinilai tidak menghargai hak hidup manusia dan tidak membawa efek jera kepada pelaku kejahatan.


Perjuangan Mengubah Peta Berdampak Terus Berlangsung

Iman D. Nugroho

Perjuangan warga korban semburan lumpur panas dan berbahaya Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, terus berlangsung. Masyarakat tiga desa yang selama ini belum dimasukkan ke dalam peta terdampak lumpur kembali bergejolak. Sebagian pergi ke Jakarta untuk bertemu Presiden SBY, sebagian lagi memilih untuk memberi support di daerahnya.


Salah satu koordinator warga tiga desa, Desa Besuki, Desa Pajarakan dan Desa Kedungcangkring yang ada di Jakarta, Ali Mursyid mengatakan, Kamis (17/07) ini adalah hari ke-5 perwakilan tiga desa berjuang di Jakarta. Saat dihubungi, Ali Mursyid dan 80 orang perwakilan lainnya sedang melakukan demonstrasi di depan Istana Negara, Jakarta. “Tuntutan kami tidak berubah, kami ingin Peraturan Presiden (Perpres) No.14 tahun 2007 diubah. Beberapa kawasan yang awalnya tidak dimasukkan sebagai wilayah terdampak, dimasukkan ke dalam peta terdampak,” kata Ali pada The Jakarta post, Kamis.

Perpres No.14 tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menjadi dasar penyelesaian kasus semburan lumpur Lapindo, memang banyak menuai kecaman. Salah satunya karena Perpres No.14 bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memprasyaratkan beban risiko perusakan lingkungan kepada pelaku (dalam hal ini adalah Lapindo Brantas Inc). Padahal dalam Perpres No.14justru beban resiko itu dialihkan kepada negara melalui APBN.

Selain itu, Perpres itu juga dianggap melanggar HAM karena mengabaikan hak warga Porong, Sidoarjo lain yang juga ikut terdampak semburan lumpur. Disebutkan dalam Perpres no.14 itu, Lapindo Brantas Inc hanya bertanggungjawab membeli tanah dan bangunan milik masyarakat di 5 desa terdampak Lapindo. Padahal kenyataannya, jumlah desa yang terkena jauh lebih banyak, hingga 11 desa. “Termasuk tiga desa kami, Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki,” kata Ali.

Sayangnya, kata Ali, sejak hari pertama kedatangan perwakilan tiga desa ke Jakarta, Minggu lalu hingga saat ini, tuntutan mereka untuk bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, masih belum bisa dipenuhi. “Tidak ada yang menemui kami, tidak apa-apa, yang pasti kami akan terus berjuang di Jakarta, sampai keinginan kami terpenuhi,” katanya.

Sementara itu dari Porong, Sidoarjo, sekitar 100-an warga Desa Besuki melakukan aksi demonstrasi untuk mendukung perjuangan perwakilan yang ada di Jakarta. Aksi itu berupa blokade jalan bekas jalan tol Porong-Gempol. Tidak tanggung-tanggung, dalam aksi Rabu (16/07) lalu itu, warga menjadikan pipa pembuangan lumpur sebagai alat blokade jalan. Aksi itu membuat arus di Jl. Raya Porong, Sidoarjo terjebak dalam kemacetan parah.

Mobil-mobil yang biasanya menggunakan jalur alternatif itu untuk menghindari kemacetan di Jl. Raya Porong, terpaksa berbalik arah kembali ke Jl. Raya Porong. Penumpukan kendaraan membuat macet semakin panjang hingga 5 Km. Kendaraan roda empat yang keluar dari pintu keluar tol Porong, diarahkan kembali ke Kota Sidoarjo, karena Jl. Raya Porong tidak lagi bisa menampung volume kendaraan yang menumpuk.

Lala Saputra, salah satu demonstran warga Desa Besuki mengatakan, dirinya meminta maaf kepada pengendara yang terjebak di Jl. Raya Porong. Karena semua yang dilakukan warga Desa Besuki dan tiga desa lainnya, adalah upaya menuntut hak. “Kami meminta maaf, ini adalah salah satu upaya untuk mununtut hak kami,” katanya pada The Jakarta Post.

Sementara itu, Rabu kemarin, Menteri Koordinasi dan Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Aburizal Bakrie untuk pertama kalinya mengunjungi korban lumpur Lapindo. Jelas bukan korban lumpur di Pasar Baru Porong atau di desa terdampak yang belum masuk ke peta berdasarkan Perpres no.14 2007, melainkan korban lumpur yang menerima ganti rugi resetlement di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV), Kabupaten Sidoarjo.

Uniknya, kunjungan Aburizal ke korban lumpur Lapindo bukanlah kunjungan resmi, melainkan kunjungan “dadakan” setelah menghadiri Rakernas Partai Bintang Reformasi (PBR) di Hotel JW Marriott. Karena itu jugalah, “hanya” Wakil Bupati Syaiful Illah yang menemani orang terkaya di Indonesia itu. Itupun, Syaiful datang terlambat sekitar 30 menit.

16 Juli 2008

Jelang Eksekusi, Sumiasih Tidak Diberi Kesempatan Mengikuti Kebaktian

Iman D. Nugroho

Menjelang hari pelaksanaan eksekusi atas dua terpidana mati Sumiasih dan Sugeng, terpidana mati Sumiasih tidak diberi kesempatan mengikuti kebaktian harian yang dilaksanakan di Gereja Lembaga Pemasyarakatan (LP) Medaeng, Surabaya. Pelaksanaan kebaktian harian Sumiasih hanya dilakukan di sel yang kini ditempati oleh Sumiasih. Hal itu dikatakan Pendeta Sindunata dari Gereja Full Gospel, Surabaya. "Sumiasih tidak boleh mengikuti kebaktian harian, Saya tidak melihat dia di gereja LP," kata Sindunata pada The Jakarta Post, Rabu (16/07/08) ini.



Pendeta Sindunata mengaku heran dengan hal itu. Karena bagi terpidana mati yang akan dieksekusi, mendekatkan diri kepada Tuhan adalah salah satu solusi untuk menenangkan diri. "Saya juga heran, mengapa Sumiasih tidak diperbolehkan mengikuti kebaktian," kata Sindunata, beberapa saat setelah dirinya menggelar kebaktian.

Sumiarsih (59) dan Sugeng (44) adalah dua terpidana mati yang "tersisa" dalam kasus pembunuhan berencana atas lima orang keluarga Letkol (Marinir) Poerwanto. Dua terpidana mati lain Djais Adi Prayitno (suami Suamiasih) dan menantunya Adi Saputro sudah meninggal dunia. Djais Adi Prayitno meninggal karena sakit pada tahun 2005, sementara Adi Saputro dieksekusi mati pada 1 Desember 1992 lalu.

Sejak divonis mati pada tahun 1988, Sumiasih dipenjara di LP Wanita, Malang. Sementara Sugeng mendekam di LP. Porong Sidoarjo. Selama ini Sumiasih dan Sugeng terus mengajukan grasi kepada Presiden RI. Perjuangan keduanya mendapatkan pengampunan dari Presiden berakhir ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menolak permohonan grasi itu. Eksekusi Sumiasih dan Sugeng pun segera dilakukan. Selasa malam kemarin, Sumiasih dan Sugeng dipindahkan ke LP. Medaeng, Surabaya.

Salah satu anak Sumiasih, Rosmawati yang akan menjenguk ibu dan kakaknya Rabu pagi harus gigit jari. Karena tidak membawa surat dari Kejaksaan Negeri (Kejadi) Surabaya, Rosmawati yang didampingi rohaniawan Andreas Rusmandala dilarang masuk ke dalam LP. Medaeng. "Tolong, jangan sekarang (wawancaranya-RED), Saya masih sangat tertekan, kami akan ke Kejari untuk mengambil surat," kata Rosmawati kepada wartawan yang mencegatnya di depan LP. Medaeng. Hingga berita ini diturunkan, Rosmawati dan Andreas Rusmandala masih berada di Kejari Surabaya untuk menunggu surat izin bezuk.

Rohaniawan Lenny Chandra, dari Gereja Pelita Kasih yang Rabu ini memimpin kebaktian di LP. Medaeng mengaku melihat sel tempat Sumiasih selalu tertutup. Lenny menyaksikan dua rohaniawan lain, Ibu Hartono dan Johnatan Jie yang terlihat mondar-mandir di sekitar sel tempat Sumiasih tinggal. "Mungkin keduanya (Ibu Hartono dan Johnatan Jie-RED) yang saat ini intens menemani Sumiasih di selnya," kata Lenny pada The Jakarta Post.

Hingga saat ini, masih belum diketahui secara pasti kapan eksekusi penembakan mati Sumiasih dan Sugeng akan dilakukan. Hanya saja, Dari pengamatan The Jakarta Post, penjagaan di sekitar LP. Medaeng mulai ditingkatkan. Satu truk petugas Brimob Polda Jatim berjaga-jaga di pintu masuk menuju LP. Medaeng. Pihak LP. Medaeng pun bersiap-siap dengan memasang kawat berduri di pepohonan yang berada di seberang pintu keluar LP. Pohon itu biasanya digunakan wartawan untuk mengambil gambar keluarnya terpidana mati. "Wah, kalau seperti ini, bisa-bisa kita bisa kesulitan mengambil gambar," keluh Eddy Prasetyono, wartawan sebuah media online di Surabaya.

Rohaniawan yang mendampingi keluarga Sumiasih dan Sugeng, Andreas Rusmandala mengatakan dirinya juga tidak mengetahui kapan secara pasti eksekusi itu akan dilakukan. Hanya saja, pihak rohaniawan diminta untuk mendampingi terpidana mati 3x24 jam. Hal yang sama juga dilakukan rohaniawan asal Yayasan Dana Sosial al-Fallah (YDSF) yang mendampingi Sugeng (yang beragama muslim) menjelang pelaksanaan eksekusi.

ITS Tawarkan Kolaborasi dengan NOAA untuk Tangani Tsunami

Press Release

Meski isu tsunami sudah bukan hal baru lagi, namun sistem peringatan dini terhadap datangnya bencana tsunami atau yang dikenal Tsunami Early Warning System (TEWS) masih kurang dipahami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.


Untuk itu, peneliti dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) David McKinnie mencoba membantu menyosialisasikan teknologi TEWS tersebut melalui perguruan tinggi, salah satunya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Selasa (15/7). NOAA merupakan lembaga penelitian dari Amerika Serikat yang memfokuskan penelitiannya salah satunya pada berbagai gejala yang terjadi di laut.

Dalam paparannya, David mengingatkan bahwa dalam menghadapi bencana tsunami, yang paling penting adalah adanya kesiapan dari masyarakat setempat. ”Tanpa adanya kesiapan masyarakat, adanya teknologi deteksi, peringatan ataupun ramalan terhadap tsunami tetap akan sia-sia,” tegasnya dalam sarasehan ”Teknologi Tsunami Early Warning System” di Gedung Rektorat ITS.

Sarasehan ini dihadiri oleh sejumlah pakar dari ITS dan juga para utusan dari berbagai instansi terkait di Pemprov Jatim, termasuk di antaranya pakar tata ruang ITS Prof Johan Silas.

Dalam diskusinya, beberapa peserta menanyakan teknologi yang dikembangkan di NOAA untuk melakukan deteksi dini terhadap tsunami. Sebab, di Indonesia saat ini teknologi yang ada baru bisa mendeteksi datangnya tsunami sekitar 15-20 menit sebelumnya. Sehingga sering kesulitan untuk melakukan penanganan secepat mungkin, karena waktu yang dibutuhkan terlalu pendek.

”Kami masih terus mengembangkan teknologinya untuk bisa mendeteksi sedini mungkin. Sebenarnya pendeteksian datangnya tsunami berbeda-beda tergantung pada lokasi gempa dan besarannya di tengah lautan, tapi biasanya sekitar 20 menit sampai 1 jam sebelumnya,” jelas David yang menjabat sebagai Science Fellow Kedutaan Besar AS di Jakarta.

Dalam hal ini, ITS juga menawarkan sejumlah kerjasama yang bisa dilakukan bersama NOAA. Di antaranya kerjasama untuk mengembangkan teknologi komunikasi dalam menyampaikan peringatan dini tsunami dari lautan menuju ke daratan.
”Dengan mengembangkan teknologi TEWS secara computerized diharapkan bisa lebih mempercepat informasi dan koordinasi dalam menghadapi datangnya tsunami,” jelas Dr Ir Wahyudi, Kepala Pusat Studi Bencana dan Kebumian ITS yang juga didampingi Haryo Dwito Armono ST PhD, pembantu Dekan IV Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS.

Sebab, selama ini juga teknologi TEWS yang sudah diterapkan di Indonesia masih didatangkan dari luar negeri dan juga melibatkan para pakar dari mancanegara. Sehingga dipastikan memakan biaya yang tak sedikit. ”Tidak ada salahnya kalau kita mencoba megembangkan sendiri dari pakar-pakar yang ada di Indonesia ini,” ujar Wahyudi.

Selain, kerjasama untuk menangani bencana tsnami, ITS juga menawarkan kolaborasi penelitian dengan NOAA untuk mengatasi kerusakan alam lainnya seperti kerusakan pada laut yang juga bisa menyebabkan atau memicu terjadinya bencana.

HUMAS-ITS, 15 Juli 2008

14 Juli 2008

Harga BBM dan Ombak Tinggi Pukul Nelayan Banyuwangi

Iman D. Nugroho

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan tingginya ombak belakangan ini adalah pukulan telak bagi nelayan di Pelabuhan Muncar. Banyuwangi. Keengganan nelayan melaut karena menghemat BBM dan menghindari ombak tinggi, membuat pasokan ikan menipis. Akibatnya, harga ikan pun melambung tinggi.


Minimnya pasokan ikan itu mulai terasa sejak dua minggu lalu. Beberapa jenis ikan, seperti Ikan Lemuru, Ikan Tongkol dan Ikan Layang yang menjadi andalan nelayan di Pelabuhan Muncar, Banyuwangi perlahan-lahan menghilang di pasaran setempat. Kalau toh ada, harganya jauh melambung tinggi. “Sejak dua minggu lalu, stok ikan mulai menipis, banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut,” kata Syaiful Johan, pengepul ikan di Muncar Banyuwangi pada The Jakarta Post.

Bagi pengecer ikan, sedikitnya pasokan ikan adalah “mimpi buruk”. Jumaiyah adalah salah satunya. Perempuan pedagang ikan eceran di Pasar Ikan Muncar ini mengatakan barang dagangannya banyak yang tidak terjual lantaran harganya terlalu tinggi. “Ikan tongkol yang biasanya Rp.6 ribu/Kg, saat ini bisa mencapai Rp.9 ribu/Kg, tidak banyak orang yang membeli ikan dengan harga setinggi itu,” katanya.

Kabupaten Banyuwangi terletak 239 Km sebelah timur Surabaya. Di kabupaten ini terdapat Pelabuhan Ketapang yang merupakan pintu masuk menuju Pulau Bali dengan menggunakan kapal feri. Selain bertani, penduduk Kabupaten Banyuwangi hidup sebagai nelayan. Terutama penduduk yang menepat di sekitar pantai yang terbentang di bagian timur dan selatan kabupaten ini. Pelabuhan pendaratan ikan Muncar, yang terletak di Kecamatan Muncar, adalah salah satu pelabuhan ikan terbesar di Jawa Timur.

Di Kecamatan Muncar inilah terdapat puluhan pabrik pengolahan ikan. Selain dijual di pasaran, ikan yang ditangkap juga diolah menjadi produk sarden, sosis ikan, daging burger ikan, dan fish finger. Kebanyakan, produk hasil olahan dari Muncar dieksport ke Hongkong, Singapura bahkan sampai Belanda. Hasil pengolahan sampingan lain adalah minyak ikan. Penduduk setempat memanfaatkan minyak ikan untuk dijual atau diolah kembali.

Kenaikan harga BBM yang ditetapkan pemerintah awal tahun ini membuat nelayan Muncar kelimpungan. Hasil tangkapan ikan tidak sebanding dengan harga solar yang melambung. “Seringkali, ikan yang ditangkap hanya pas untuk mengganti ongkos solar, sama sekali tidak sebanding,” kata Subairi, salah satu nelayan. Tak heran bila banyak nelayan yang memilih untuk tidak melaut karena itu. Tak sedikit yang menjual kapanya dan beralih ke bisnis lain. “Kapal yang saya miliki sudah saya jual, sekarang saya membuka warung,” kata Subairi.

Warga Muncar yang memilih untuk tetap menjadi nelayan, memilih waktu yang tepat untuk melaut. Bila dirasa ombak terlalu besar, nelayan memilih untuk tetap di darat. Pekan lalu, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Surabaya merilis besarnya ombak di Samudera Hindia. Menurut BMG, tinggi gelombang di lautan Nusa Tenggara Barat mencapai 2 hingga 5 meter dengan kecepatan angin 45-60 Km/jamnya. Kondisi yang sangat membahayakan bagi nelayan. BMG menghimbau nelayan untuk tidak melaut dahulu.

Memang, nelayan Muncar tidak mengetahui himbauan BMG, namun, nelayan memiliki “rambu-rambu” tersendiri. “Biasanya, kalau menjelang pertengahan bulan, mulai tanggal 12-17, banyak nelayan yang tidak melaut, pada tanggal itulah ombak sedang besar,” kata Subaeri. Di darat, nelayan memilih untuk memperbaiki kapal atau memeriksa jaring. “Dulunya sih, nelayan Muncar tidak takut ombak besar, kita terjang saja. Tapi belakangan, saat harga BBM melambung, nelayan jadi mikir-mikir, untung tidak banyak, nyawa taruhannya,” kata Subairi. Apalagi, daerah pencarian ikan nelayan Muncar hingga ke perairan Nusa Tenggara Barat, bahkan sampai ke Samudera Hindia, perbatasan dengan Australia.

Hal lain yang bisa dilakukan nelayan adalah pilih-pilih jenis ikan yang diperkirakan memiliki nilai jual tinggi. Menangkap Ikan Hiu adalah salah satu pilihan. Harga jual Ikan Hiu relatif tidak berubah. Pengepul ikan Syaiful Johan mengatakan, harga jual satu ekor ikan hiu dengan siripnya berkisar Rp.20 Ribu/Kg. Untuk harga seperti itu, seekor ikan hiu memiliki panjang kurang lebih 1,5M dengan sirip sepanjang 30-40 Cm. Berat totalnya sekitar 1 kwintal. “Meski tidak banyak namun nelayan sering menjual ikan hiu yang ditangkapnya,” kata Syaiful.

Di pasaran, harga jual sirip hiu masih tergolong tinggi. Sirip Hiu Hitam misalnya, masih bisa dijual dengan harga Rp1.2 juta/Kg. Jenis Hiu Kikir ditawarkan Rp. 500 ribuan/Kg, sementara sirip Hiu Putih dipatok harga hingga Rp.1.5 juta/Kg. Hiu jenis Kupu-kupu dan Hiu Karet dijual Rp. 700 ribu/Kg. “Namun, jumlah-nya tidak banyak, karena nelayan memang jarang melaut,” kata Syaiful.

11 Juli 2008

BUMN Masih Belum Mampu Mengatasi Alutsista TNI

Iman D. Nugroho

Kebutuhan alat utama sistem pertahanan (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih belum bisa terpenuhi oleh Badan Usaha Milk Negara (BUMN) nasional sebagai produsen alutsista. Kualitas, harga dan waktu pembuatan, menjadi tiga titik lemah BUMN dalam memenuhi kebutuhan alutsista. Belum lagi soal minimnya dana dan regulasi pemerintah yang membuat alutsista terpuruk.


Hal itu yang menjadi inti pembicaraan dalam Forum Triwulan Penentu Kebijakan Pengguna dan Produsen Bidang Alutsista di PT. PAL Surabaya, Jumat (11/07/08) ini. Hadir dalam forum itu Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan dan Keamanan Syafrie Syamsuddin, jajaran logistik TNI AL, AU dan AD dan direktur BUMN produsen alutsista. Seperti PT. Pindad, PT. Dirgantara Indonesia (DI), PT.PAL dan PT. Dahana. Juga perwakilan departeman terkait, seperti Departemen Keuangan, Bapenas, Menteri Negara BUMN dll.

Masukan dari TNI-AU misalnya menilai PT. Dirgantara Indonesia belum bisa memenuhi permintaan TNI-AU untuk pembuatan pesawat. Sementara TNI-AL meminta PT.PAL untuk segera memenuhi peralatan pembuatan kapal selam yang sangat dibutuhkan AL. Sementara TNI-AD meminta PT. PINDAD segera membuat kebutuhan amunisi kaliber besar, seperti yang dibutuhkan meriam.

Meski demikian, TNI tetap mengharapkan BUMN mampu mengejar semua ketertinggalan itu dan menjadi andalan TNI dalam pemenuhan alutsista. Bila perlu harus pula didorong adanya transfer teknologi dari negara maju untuk kebutuhan produksi alat tempur dalam negeti. “Kita harus terus memperbaiki diri dan jangan tergoda dengan teknologi yang ditawarkan oleh barat, ambil teknologinya,” kata Marsekal Muda TNI Amirullah Amin, Asrenum Panglima TNI dalam forum itu.

DR. Ir. Muhammad Said Didu, Sekretaris Kementerian BUMN mengatakan, tidak maksimalnya pemenuhan alutsista oleh BUMN disebabkan karena kondisi BUMN nasional memang tidak sepenuhnya “sehat”. Naik turunnya kondisi itu seperti terlihat di PT. DI dan PT. PAL. “Saat PT. DI mulai sehat, gantian PT. PAL yang kena sakit flu,” kata Said. Karena itulah, perlu dipikirkan untuk menyusun holding BUMN Pertahanan. BUMN Pertahanan yang dimaksud adalah satu lembaga yang menaungi semua BUMN yang merupakan produsen alutsista.

Data yang dilansir Bapenas dalam forum itu menyebutkan, setidaknya akan dikucurkan dana sebesar USD. 200 juta kepada PT. Pindad dan PT. DI untuk beberapa program alutsista seperti pengadaan panser dan pesawat terbang. Sedangkan pada tahun 2010, akan segera dianggarkan USD. 40 juta- 3 miliar untuk pemenuhan alutsista yang lain. “Pemerintah juga akan memberikan pinjaman, dan akan segera ditandatangani oleh Presiden SBY,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI . Namun perlu diingat, pinjaman dalam negeri dibatasi oleh tahun anggaran dan kemampuan negara.

Sementara PT.PAL saat ini tengah menyelesaikan 2 unit kapal landing plat form (LPD) pesanan TNI-AL. Meski demikian, Direktur Utama PT PAL Indonesia Ir Adwin Suryohadiprojo mengatakan, meski PT.PAL sudah terbukti mampu membuat kapal perang pesanan TNI, namun untuk pemesanan kapal perang jenis kapal selam, masih belum mampu dilakukan. “Kalau ada pemesanan kapal selam, mungkin akan dibuat di dok lain dengan berkolaborasi antara PT.PAL dan perusahaan lain,” kata Adwin.

PT.PAL berhasil memproduksi berbagai jenis kapal perang, seperti kapal patroli cepat dan korvet yang dilengkapi oleh berbagai fasilitas tempur modern. PT.PAL juga berhasil melakukan overhaul kapal selam KRI Cekra dan KRI Nanggala milik TNI-AL. Menjawab pertanyaan wartawan, Adwin menegaskan perihal penundaan program Korvert Nasional yang dulu pernah dicanangkan. Semua dikarenakan persoalan dana yang minim. “Saat ini ada program baru yang dibuat di PT.PAL, program itu segera dilakukan,“ katanya tanpa mendiskripsikan apa program baru itu.

Ada tiga keputusan penting dalam forum kali ini. Yang pertama adalah perlu terus diperhatikan kualitas, harga dan waktu pembuatan alutsista. Baik yang sudah maupun yang akan diproduksi. Kedua, TNI sebagai pengguna harus mengajukan kebutuhan sesuai yang ditetapkan, sehingga bisa dipahami. “Keputusan ketiga adalah proses pengadaan tidak usah memperhatikan counter trade dari luar negeri, dan straight pada kemandirian nasional dan mendorong transfer teknologi kepada Indonesia,” kata Eril Herliyanto dari Direktorat Jenderal Perencanaan Pertahanan TNI.

Satu hal yang patut dicermati adalah posisi BUMN Indonesia sebagai produsen alutsista yang cukup kompetitif. Salah satu contohnya adalah amunisi jenis APR 6x6 produksi PT. Pindad. Dengan kemampuan dan mutu yang tidak jauh beda dengan BAP buatan Prancis, namun APR 6x6 memiliki harga yang jauh lebih murah Rp.3 miliar.

Sekjen Departeman Pertahanan (Dephan) Syafrie Sjamsuddin meminta TNI dan BUMN atau pihak yang terkait dengan alutsista untuk mengawal kemandirian bangsa dalam pemenuhan alutsista. “Semua ada tahapannya, yang pasti untuk kemandian bangsa dalam alutsista,” kata Syafrie.

09 Juli 2008

Bila Calon Gubernur Peduli "Bungkus"

Iman D. Nugroho

Penampilan, bagi pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur adalah hal yang penting. Melalui penampilanlah, kandidat bisa meyakinkan masyarakat bahwa mereka layak dipilih. Hal itulah yang dibaca Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Henry Subiyakto dari cara kandidat gubernur-wakil gubernur Jawa Timur yang akan berlaga dalam pemilihan gubernur Jawa Timur 23 Juli mendatang. “Mereka masih memenuhi keinginan masyarakat, yang hanya mementingkan “bungkus”, tanpa memperdulikan isi,” kata Henry Subiyakto pada The Jakarta Post.


Henry mencontohkan, hampir semua kandidat tiba-tiba saja menunjukkan betapa dekatnya mereka dengan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan underbow-nya. Calon No.1, Khofifah Indar Parawansa-Mujiono (KAJI) yang kemana-mana selalu didampingi istri Hasyim Musyadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Begitu juga Calon No.3 Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) yang kemana-mana tidak pernah lepas “mengabarkan” Ali Maschan Moesa adalah mantan ketua Pengurus Wilayah NU (PWNU).

Apalagi Calon No.4 Ahmady-Suhartono (ACHSAN) yang mengusung nama KH. Abdurahman Wahid atau Gusdur. “Kalau Syaifullah Yusuf (pasangan Calon No.5, Soekarwo-KARSA-RED), menunjukkan identitas sebagai ketua Ansor dan menyebut diri sebagau Gus (anak kyai-RED) Ipul,” kata Henry. Senada, Calon No.3 Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) menunjukkan identitas nasionalis dan pro wong cilik kemana pun mereka pergi. “Pertanyaan saya, apakah mereka akan terus seperti itu, atau akan berubah setelah mereka jadi gubernur,” kata Henry.

Apapun hasil akhirnya, Henry menilai, apa yang dilakukan kandidat itu sah-sah saja. Apalagi, cagub-cawagub itu menyadari, sebagian besar pemilih di Jawa Timur masih lebih mementingkan pencitraan “bungkus”, dari pada isi kampanyenya. Maka, para kandidat akan menciptakan “bungkus” sebaik-baiknya, daripada pemikiran yang bisa terurai melalui debat. “Kandidat lebih mementingkan iklan, ketimbang debat, ironisnya, masyarakat menyukai hal itu,” katanya.

Karena urusan “bungkus” itulah, salah satu “orang dalam” kandidat Khofifah Indar Parawansa sampai harus mati-matian mengubah sosok Khofifah melalui busana. Sumber The Jakarta Post menyebutkan, Khofifah sampai harus membeli puluhan jilbab dengan warna cerah dan minim motif untuk mengesankan kesederhanaan. Cara memakai jilbabnya pun berubah. Tidak ada lagi jilbab yang terjuntai di dada (khas NU), berganti dengan yang lebih modis. Tanpa meninggalkan kesan NU, yang ditandai dengan tekukan di sekitar sudut mata.

“Awalnya, ada salah satu pengusaha media yang mengatakan pada kami (Tim Kampanye KAJI) untuk membuat Khofifah marketable, akhirnya perubahan pun dilakukan,” kata sumber The Post. Tidak hanya itu, tim KAJI pun meminta salah satu fotografer terkemuka asal Jakarta untuk memotret Khofifah dan Mujiono. Awalnya, Khofifah sempat merasa kagok. “Ternyata Saya cantik juga ya,” kata Khofifah seperti ditirukan sumber The Post.

Tim Kampanye KAJI juga secara khusus menyiapkan tenaga untuk mengatur bahasa tubuh kandidat yang diusung 12 partai. Semisal, selalu mengingatkan Khofifah untuk menegakkan dagunya. Baik saat di event resmi, depan podium maupun di atas panggung.
Calon KARSA, yang menempatkan kumis sebagai salah satu tagline, “Coblos Brengose,” bahkan melarang dua kandidat, Soekarwo-Syafullah Yusuf untuk memotong kumis mereka. “Kebetulan dua calon kami punya kumis, akhirnya kami menjadikan kumis mereka sebagai cara untuk mempermudah memperkenalkan diri,” kata Mashuri, salah satu anggota Tim KARSA, ada The Post.

Dan hal itu sudah terpikir sejak dua tahun lalu, ketika pasangan KARSA mulai muncul ke permukaan. Soekarwo menamakan dirinya sebagai Pakde (Paman) Karwo. Pakde, dalam struktur Jawa memiliki peran lebih tinggi dari bapak. Pakde, dianggap lebih tua dan bisa mewakili peran bapak. “Makanya, kami menamakan Soekarwo sebagai Pakde Karwo, Pakdenya masyarakat Jawa Timur,” katanya.

Pasangan Soenarjo-Ali Maschan Moesa (SALAM) lain lagi. Mereka menampatkan baju batik, sebagai kekhasan pasangan itu. Pasangan yang diusung Partai Golkar ini selalu memakai batik dalam gambar-gambar poster yang dipasang dirempatan-perempatan jalan di Surabaya. Tidak hanya itu, Ali Maschan Moesa, yang ketika menjadi ketua PWNU terbiasa caplas-ceplos dalam berbicara, saat menjadi cawagub pun terlihat lebih tertata. “Ah, kami hanya ingin berhati-hati dalam berbicara, karena apa yang SALAM bicarakan adalah persoalan riil,” kata Ali Maschan Moesa pada The Post.

Henry Subiyakto menilai, apa yang dilakukan kandidat cagub dan cawagub adalah hal yang biasa. Meskipun hal itu merupakan salah satu bentuk pemenuhan high content culture yang sampai saat ini masih menjadi budaya masyarakat. Untuk itu merketing politik betul-betul “dimainkan”. “Hasilnya, orang lebih mementingkan tayangan iklan, dari pada debat kandidat,” katanya.

Bahkan, ada kecenderungan, kandidat yang jago dalam berdebat akan dijuluki dengan berbagai macam julukan negatif. Mulai omong doang, no action talk only (NATO) dll. “Padahal, kalau orang tahu, banyak iklan yang manipulatif,”katanya. Karena itulah, Henry meminta masyarakat untuk lebih cerdas dalam memilih kandidat mendatang. “Lihat dan cermati pelaksanaan debat, nilai isi perdebatannya, jangan cuma melihat poster dan iklannya,” kata Henry.

Yang paling parah dari budaya “bungkus” itu, kata Henry adalah bagaimana para kandidat itu terkesan tidak percaya diri dengan kapasitasnya. Bentuk rasa tidak percaya diri itu adalah dengan memasang gambar tokoh nasional sebagai background dalam setiap poster atau spanduk.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, dua pasangan yang selalu menempatkan tokoh politik nasional dalam spanduknya adalah pasangan Soetjipto-Ridwan Hisjam (SR) dan Achmady-Suhartono (ACHSAN). SR, selalu menempatkan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri dalam spanduknya. Sementara ACHSAN menempatkan Gus Dur sebagai background.

BERITA UNGGULAN

JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?

Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia. 

   

Postingan Populer

Banyak dikunjungi