Iman D. Nugroho
Keberadaan aliran sesat hendaknya disikapi lebih arif. Cara penyelesaian yang ditawarkan untuk aliran yang yang dianggap sesat itu adalah diajak berdialog atau dibiarkan saja. Hal itu yang "ditawarkan" netter pengakses ID Daily dalam polling bertema: Aliran yang dianggap sesat atau menyimpang, banyak ditemukan di Indonesia. Bagaimana cara "menyelesaikan"-nya?
Dalam polling yang dilakukan selama satu bulan itu, pilihan "Dibiarkan saja" dan "Diajak berdialog", sama-sama mendapatkan 6 (35%) dari 17 (100%) suara. Sementara 3 (17%) suara mengusulkan agar aliran sesat itu dilaporkan polisi. Sisanya, atau 3(17%) mengusulkan penyelesaian dengan cara lain.
Polling ini berangkat dari kasus aliran Ahmadiyah. Aliran yang menganut ajaran Mizra Ghulam Ahmad itu menjadi bahan pembicaraan karena akan dibubarkan oleh pemerintah. Ahmadiyah dianggap menyimpang karena dianggap menempatkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi setelah Nabi Islam terakhir, Muhammad SAW.
Dalam polling selanjutnya, ID Daily menjadikan kasus penyerangan Front Pembela Islam (FPI) pada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monumen Nasional (Monas), Minggu (1/5/08) lalu. Bagaimana Penyelesaian Kasus Penyerangan Oleh FPI? Berikan suara anda di Polling ID Daily!
Youtube Pilihan Iddaily: MBG
03 Juni 2008
02 Juni 2008
Jejak-jejak Putra Sang Fajar yang Menghilang
Nama besar Proklamator RI Ir. Soekarno tidak bisa dilepaskan dari Jawa Timur. Provinsi tempat Ia lahir, kenal dengan dunia politik untuk pertama kali, dan sekaligus menjadi tempatnya bersemayam ini menyimpan banyak kenangan atas Soekarno. Berikut ini penelusuran Iman D. Nugroho di beberapa lokasi yang pernah ditinggali sosok yang mendapatkan julukan Putra Sang Fajar itu.
Sekilas, rumah di Jl. Pandean IV no. 48 Surabaya itu memang tidak istimewa. Ruang tamunya berbatasan langsung dengan gang seluas empat meter. Tembok depannya kusam, cat mengelupas di beberapa bagian. Rembesan air menciptakan bekas di plafon, berpadu dengan kusen pintu dan jendela yang berbeda warna. Namun, rumah berukuran 18x7 meter itulah disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Proklamator RI Soekarno pada 6 Juni 1901.
Lokasi kelahiran Soekarno di Jl. Pandean Surabaya memang bukan hal baru. Setidaknya, dua buku biografi terkemuka tentang Soekarno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adam dan Putra Sang Fajar karangan Shohirin menyebut Surabaya sebagai tempat kelahiran tokoh yang pada awalnya bernama Koesno itu, dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.
“Buku itu hadir saat Soekarno masih hidup, dan Soekarno tidak membantahnya, bisa jadi hal itu adalah kebenaran,” kata Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar. Ketidakjelasan masyarakat pada tempat lahir Soekarno dikarenakan Soekarno tidak lama tinggal di Surabaya. Pada usia 2 tahun, Koesno mengikuti kepindahan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ke Mojokerto.
Tidak pasti benar lokasi rumah ke-2 ini. Hanya disebutkan, rumah Koesno seringkali terkena banjir bandang dari Sungai Brantas yang melintas di Mojokerto. Besar kemungkinan, rumah itu berada di bantaran Sungai Brantas. Saat itu, Koesno kecil sering sakit-sakitan. Kebudayaan Jawa menyebutkan, salah satu upaya penyembuhan yang bisa dilakukan pada Koesno kecil adalah dengan ditirah atau dititipkan.
Rumah sang kakek Raden Hardjodikromo di Tulungagung menjadi pilihan. Di rumah yang terletak di kawasan Kepatihan Tulungagung (kini Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung) itulah Koesno kecil mendapatkan perawatan. Yakni dengan pengobatan tradisional tirah Jawa. Caranya, Raden Hardjodikromo tidur di lantai, sementara Koesno di atas ranjang.
Hal itu dilakukan tiap malam. Hingga akhirnya Hardjodikromo mendapatkan wangsit untuk mengubah nama Koesno dengan nama Karno atau Soekarno. Sejak saat itu, kondisi Soekarno kecil mulai membaik, dan bersekolah di Inlander School hingga umur 11 tahun. Europe Lagere School (ELS) di Mojokerto menjadi pilihan Soekarno kemudian. Empat tahun kemudian, atau pada 1915, Soekarno yang sudah beranjak dewasa melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya.
Saat itulah, Soekarno berkenalan dengan Haji Oemar Said Tokroaminoto (HOS) Tjokroaminoto, bapak kos yang juga ketua Syarikat Islam (SI). Tjokroaminoto memperkenalkan Soekarno dengan wacana-wacana kebangsaan dan semangat perlawanan kepada penjajah Belanda. Semaun, Moeso, Darsono dan Alimin yang juga menuntut ilmu di HBS menjadi teman diskusi. Hingga tahun 1926, Soekarno melanjutkan pendidikannya di sekolah teknis THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi), cikal bakal Institut Teknologi Bandung-ITB dan lulus tahun 1926, serta berkiprah di dunia politik nasional.
Jejak-jejak Soekarno di Jawa Timur memang tidak sebanding dengan kiprah politik setelah dia dewasa, hingga menjadi Presiden Pertama RI 1945-1966. Ketika kecil, Koesno atau Soekarno memang bukan “siapa-siapa”. Hanya anak kecil biasa yang sakit-sakitan. Bahkan, kelahiran Soekarno di Surabaya pun tidak banyak yang tahu. “Kalau tidak salah lahirnya di Blitarkan?” tanya Ashari, 75. Ashari adalah penduduk asli Jl. Pandean, Surabaya. Kepada The Jakarta Post ia mengaku pernah mendapatkan cerita dari Ibunya, Almarhum Asyiah tentang sosok Soekarno. “Seingat saya, memang ibu pernah bercerita tentang Bung Karno, dulu dia tinggal di Pandean bersama Ibu Inggit (istri ke-2 Soekarno),” katanya.
Saat Soekarno tinggal di Pandean, kenang Ashari, tetangga bagian depan ditempati sebagai sekretariat Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI adalah organisasi pemuda di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno. Berbagai aktivitas politik dilakukan di tempat itu. “Sejauh itu yang saya ingat, soal kelahiran Bung Karno, saya sama sekali tidak mengetahui,” kata Ashari yang tinggal enam rumah di sebelah timur tempat kelahiran Soekarno itu.
Cerita tentang Soekarno itu berhenti, saat Aisyiah meninggal dunia. Apalagi, ketika rumah kelahiran Soekarno itu dijual. Saat ini, rumah itu milik Jamila, yang merupakan “tangan ke empat”. Perempuan yang tinggal bersama suami dan kakaknya itu sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dengan Soekarno. Saat The Post mengunjungi rumah itu, Jamila sedang tidak ada di rumah.
Tempat kos Soekarno saat bersekolah di HBS yang juga (HOS) Tjokroaminoto masih berdiri di Jl. Peneleh gang VII Surabaya. Rumah sederhana berbentuk joglo khas Jawa Timur itu saat ini dikelola oleh Pemkot Surabaya dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Warna dinding, tembok dan pagar yang masih bagus menandakan rumah tempat Soekarno mengenal politik untuk pertama kalinya itu masih dijaga.
Jejak Soekarno juga “menghilang” di Mojokerto, yang berjarak sekitar 30 Km dari Surabaya. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu lokasi tempat tinggal Soekarno di daerah yang dikenal sebagai lokasi Kerajaan Majapahit itu. Yang masih tersisa hanya tempat tinggal ke-3 Soekarno di Tulungagung, rumah Raden Hardjodikromo.
Rumah yang kini terletak di Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung itu kosong, tidak berpenghuni. Penduduk sekitar rumah itu mengenal rumah itu sebagai rumah Eyang Hardjo. “Itu memang rumah eyang (Hardjo-RED), yang juga kakek Bung Karno,” kata Joko, penduduk setempat. Joko mengingat, rumah itu sudah lama kosong dan dalam kondisi dijual. “Kata orang-orang, keluarga eyang sudah tidak ada,” kata Joko pada The Post.
Selain rumah, yang masih tersisa dari jejak Soekarno di Tulungagung adalah makam Raden Hardjodikromo di pemakaman Kepatihan, 1 Km dari rumahnya. Di makam itu, Raden Hardjodikromo “berkumpul” dengan kerabatnya, dalam satu komplek makam berjumlah 14 buah. “Makam ini jarang sekali dikunjungi, hanya beberapa tahun lalu saja keluarga Soekarno datang untuk berziarah,” kata Sabar, juru kunci makam Raden Hardjodikromo.
Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar mengatakan, rasa memiliki Soekarnolah yang membuat “jejak-jejak” Proklamator itu masih dirasakan kental di Jawa Timur. Meskipun secara fisik, terkadang rumah, sekolah atau tempat-tempat yang pernah didiami Soekarno tidak lagi ada, namun semangat tokoh kelahiran 6 Juni itu masih terasa.
Salah satu contohnya adalah Istana Gebang di Blitar. Menurut sejarahnya, Soekarno tidak pernah lama tinggal di rumah itu. “Memang, kedua orang tua Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tinggal di situ, namun, Soekarno tidak,” katanya. Rumah yang kemudian dihuni oleh Soekarmini, kakak Soekarno, itu diidentikkan dengan sosok Bung Karno. Pada bulan Juni, Kota Blitar selalu semarak dengan acara Haul (Hari Ulang Tahun) Soekarno. Istana Gebang menjadi sentra kegiatan.
Di Istana Gebanglah, pernah-pernik berbau Soekarno disimpan. Mulai foto Soekarno dengan ayah-ibu dan kakaknya, foto semasa muda, patung hingga kamar yang lengkap dengan perabotan asli milik bapak delapan anak itu. Karena alasan itu jugalah, banyak pihak “berteriak”, ketika Istana Gebang berencana dijual.
Padahal, kata Budi, kota yang membesarkan Soekarno itu adalah Surabaya dan Bandung. Di Surabayalah, Soekarno mulai berpolitik. Dan di Bandung, sosok yang dikenal memiliki sembilan istri itu mematangkan pengetahuan politik dan mulai membangun jaringan bersama kaum seperjuangan lainnya. Pada akhirnya, mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927, merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 dan bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. “Bung Karno kembali “tinggal” di Blitar, usai meninggal dunia 21 Juni 1970,” kata Budi (***).
Sekilas, rumah di Jl. Pandean IV no. 48 Surabaya itu memang tidak istimewa. Ruang tamunya berbatasan langsung dengan gang seluas empat meter. Tembok depannya kusam, cat mengelupas di beberapa bagian. Rembesan air menciptakan bekas di plafon, berpadu dengan kusen pintu dan jendela yang berbeda warna. Namun, rumah berukuran 18x7 meter itulah disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Proklamator RI Soekarno pada 6 Juni 1901.
Lokasi kelahiran Soekarno di Jl. Pandean Surabaya memang bukan hal baru. Setidaknya, dua buku biografi terkemuka tentang Soekarno Penyambung Lidah Rakyat karangan Cindy Adam dan Putra Sang Fajar karangan Shohirin menyebut Surabaya sebagai tempat kelahiran tokoh yang pada awalnya bernama Koesno itu, dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai.
“Buku itu hadir saat Soekarno masih hidup, dan Soekarno tidak membantahnya, bisa jadi hal itu adalah kebenaran,” kata Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar. Ketidakjelasan masyarakat pada tempat lahir Soekarno dikarenakan Soekarno tidak lama tinggal di Surabaya. Pada usia 2 tahun, Koesno mengikuti kepindahan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai ke Mojokerto.
Tidak pasti benar lokasi rumah ke-2 ini. Hanya disebutkan, rumah Koesno seringkali terkena banjir bandang dari Sungai Brantas yang melintas di Mojokerto. Besar kemungkinan, rumah itu berada di bantaran Sungai Brantas. Saat itu, Koesno kecil sering sakit-sakitan. Kebudayaan Jawa menyebutkan, salah satu upaya penyembuhan yang bisa dilakukan pada Koesno kecil adalah dengan ditirah atau dititipkan.
Rumah sang kakek Raden Hardjodikromo di Tulungagung menjadi pilihan. Di rumah yang terletak di kawasan Kepatihan Tulungagung (kini Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung) itulah Koesno kecil mendapatkan perawatan. Yakni dengan pengobatan tradisional tirah Jawa. Caranya, Raden Hardjodikromo tidur di lantai, sementara Koesno di atas ranjang.
Hal itu dilakukan tiap malam. Hingga akhirnya Hardjodikromo mendapatkan wangsit untuk mengubah nama Koesno dengan nama Karno atau Soekarno. Sejak saat itu, kondisi Soekarno kecil mulai membaik, dan bersekolah di Inlander School hingga umur 11 tahun. Europe Lagere School (ELS) di Mojokerto menjadi pilihan Soekarno kemudian. Empat tahun kemudian, atau pada 1915, Soekarno yang sudah beranjak dewasa melanjutkan pendidikan di Hoogere Burger School (HBS) di Surabaya.
Saat itulah, Soekarno berkenalan dengan Haji Oemar Said Tokroaminoto (HOS) Tjokroaminoto, bapak kos yang juga ketua Syarikat Islam (SI). Tjokroaminoto memperkenalkan Soekarno dengan wacana-wacana kebangsaan dan semangat perlawanan kepada penjajah Belanda. Semaun, Moeso, Darsono dan Alimin yang juga menuntut ilmu di HBS menjadi teman diskusi. Hingga tahun 1926, Soekarno melanjutkan pendidikannya di sekolah teknis THS (Technische Hoogeschool atau sekolah Tekhnik Tinggi), cikal bakal Institut Teknologi Bandung-ITB dan lulus tahun 1926, serta berkiprah di dunia politik nasional.
Jejak-jejak Soekarno di Jawa Timur memang tidak sebanding dengan kiprah politik setelah dia dewasa, hingga menjadi Presiden Pertama RI 1945-1966. Ketika kecil, Koesno atau Soekarno memang bukan “siapa-siapa”. Hanya anak kecil biasa yang sakit-sakitan. Bahkan, kelahiran Soekarno di Surabaya pun tidak banyak yang tahu. “Kalau tidak salah lahirnya di Blitarkan?” tanya Ashari, 75. Ashari adalah penduduk asli Jl. Pandean, Surabaya. Kepada The Jakarta Post ia mengaku pernah mendapatkan cerita dari Ibunya, Almarhum Asyiah tentang sosok Soekarno. “Seingat saya, memang ibu pernah bercerita tentang Bung Karno, dulu dia tinggal di Pandean bersama Ibu Inggit (istri ke-2 Soekarno),” katanya.
Saat Soekarno tinggal di Pandean, kenang Ashari, tetangga bagian depan ditempati sebagai sekretariat Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). KBI adalah organisasi pemuda di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI), partai politik yang didirikan Soekarno. Berbagai aktivitas politik dilakukan di tempat itu. “Sejauh itu yang saya ingat, soal kelahiran Bung Karno, saya sama sekali tidak mengetahui,” kata Ashari yang tinggal enam rumah di sebelah timur tempat kelahiran Soekarno itu.
Cerita tentang Soekarno itu berhenti, saat Aisyiah meninggal dunia. Apalagi, ketika rumah kelahiran Soekarno itu dijual. Saat ini, rumah itu milik Jamila, yang merupakan “tangan ke empat”. Perempuan yang tinggal bersama suami dan kakaknya itu sama sekali tidak memiliki hubungan saudara dengan Soekarno. Saat The Post mengunjungi rumah itu, Jamila sedang tidak ada di rumah.
Tempat kos Soekarno saat bersekolah di HBS yang juga (HOS) Tjokroaminoto masih berdiri di Jl. Peneleh gang VII Surabaya. Rumah sederhana berbentuk joglo khas Jawa Timur itu saat ini dikelola oleh Pemkot Surabaya dan ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Warna dinding, tembok dan pagar yang masih bagus menandakan rumah tempat Soekarno mengenal politik untuk pertama kalinya itu masih dijaga.
Jejak Soekarno juga “menghilang” di Mojokerto, yang berjarak sekitar 30 Km dari Surabaya. Hingga saat ini, tidak ada yang tahu lokasi tempat tinggal Soekarno di daerah yang dikenal sebagai lokasi Kerajaan Majapahit itu. Yang masih tersisa hanya tempat tinggal ke-3 Soekarno di Tulungagung, rumah Raden Hardjodikromo.
Rumah yang kini terletak di Jl. Mayjend Surapto, Kota Tulungagung itu kosong, tidak berpenghuni. Penduduk sekitar rumah itu mengenal rumah itu sebagai rumah Eyang Hardjo. “Itu memang rumah eyang (Hardjo-RED), yang juga kakek Bung Karno,” kata Joko, penduduk setempat. Joko mengingat, rumah itu sudah lama kosong dan dalam kondisi dijual. “Kata orang-orang, keluarga eyang sudah tidak ada,” kata Joko pada The Post.
Selain rumah, yang masih tersisa dari jejak Soekarno di Tulungagung adalah makam Raden Hardjodikromo di pemakaman Kepatihan, 1 Km dari rumahnya. Di makam itu, Raden Hardjodikromo “berkumpul” dengan kerabatnya, dalam satu komplek makam berjumlah 14 buah. “Makam ini jarang sekali dikunjungi, hanya beberapa tahun lalu saja keluarga Soekarno datang untuk berziarah,” kata Sabar, juru kunci makam Raden Hardjodikromo.
Budi Kastowo, Penjaga Museum dan Perpustakaan Soekarno di Blitar mengatakan, rasa memiliki Soekarnolah yang membuat “jejak-jejak” Proklamator itu masih dirasakan kental di Jawa Timur. Meskipun secara fisik, terkadang rumah, sekolah atau tempat-tempat yang pernah didiami Soekarno tidak lagi ada, namun semangat tokoh kelahiran 6 Juni itu masih terasa.
Salah satu contohnya adalah Istana Gebang di Blitar. Menurut sejarahnya, Soekarno tidak pernah lama tinggal di rumah itu. “Memang, kedua orang tua Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tinggal di situ, namun, Soekarno tidak,” katanya. Rumah yang kemudian dihuni oleh Soekarmini, kakak Soekarno, itu diidentikkan dengan sosok Bung Karno. Pada bulan Juni, Kota Blitar selalu semarak dengan acara Haul (Hari Ulang Tahun) Soekarno. Istana Gebang menjadi sentra kegiatan.
Di Istana Gebanglah, pernah-pernik berbau Soekarno disimpan. Mulai foto Soekarno dengan ayah-ibu dan kakaknya, foto semasa muda, patung hingga kamar yang lengkap dengan perabotan asli milik bapak delapan anak itu. Karena alasan itu jugalah, banyak pihak “berteriak”, ketika Istana Gebang berencana dijual.
Padahal, kata Budi, kota yang membesarkan Soekarno itu adalah Surabaya dan Bandung. Di Surabayalah, Soekarno mulai berpolitik. Dan di Bandung, sosok yang dikenal memiliki sembilan istri itu mematangkan pengetahuan politik dan mulai membangun jaringan bersama kaum seperjuangan lainnya. Pada akhirnya, mendirikan PNI (Partai Nasional Indonesia) pada 4 Juli 1927, merumuskan Pancasila pada 1 Juni 1945 dan bersama Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. “Bung Karno kembali “tinggal” di Blitar, usai meninggal dunia 21 Juni 1970,” kata Budi (***).
29 Mei 2008
Maulid Hijau, Sebuah Perlawanan “Fatwa” Kacau
Iman D. Nugroho
Usulan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang pada acara Maulid Hijau mendapatkan perlawanan warga Desa Tegal Randu, Lumajang. Selama tiga hari, acara itu tetap digelar. “Kami hanya menjalankan budaya, kalau MUI Lumajang tetap menfatwa sesat, kami siap melawan apapun yang terjadi,” kata Yunus Afrianto, Lurah Tegal Randu.
“Biarkan kami tetap melaksanakan acara Maulid Hijau ini dan kami siap dengan siksa neraka.” Ucapan ini adalah ucapan besar, ucapan kecongkakan yang belum pernah kita dengar walaupun dari mahluk paling congkak sekalipun semacam Iblis Laknatulloh atau Fir’aun Latnatulloh.
Kalimat bernada kecaman terhadap acara Maulid Hijau itu termuat di selebaran masjid Al I’tisham terbitan Lembaga Da’wah An Nasshirus Sunnah Lumajang. Entah mengapa, selebaran itu menyebar saat Sholat Jumat dilaksanakan di masjid-masjid di Lumajang, Jawa Timur. “Kita tahu siapa yang menyebarkan, biar sajalah, yang penting kita melaksanakan Maulid Hijau dengan niat yang baik,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pemrakarsa Maulid Hijau pada The Jakarta Post.
Maulid Hijau adalah sebuah acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di samping danau Klakah (Ranu Klakah), Desa Tegal Randu, Kabupaten Lumajang. Acara yang sudah dilaksanakan selama tiga kali ini pada dasarnya adalah menggabungkan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan penghijauan di sekitar danau.
Acara yang merupakan budaya turun menurun di Tegal Randu ini, sejak setahun lalu menjadi pembicaraan. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lumajang mengusulkan kepada MUI Jawa Timur agar mengelarkan fatwa atas acara itu. MUI Lumajang menganggap acara itu sesat. Poin kesesatan yang ada di acara itu terletak pada prosesi larung sesaji di tengah danau.
“Memang sudah ada surat usulan untuk menyatakan Maulid Hijau sebagai ajaran sesat, karena acara itu menggabungkan yang benar (pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad) dengan yang tidak benar (Larung sesaji,” kata Ketua MUI Jawa Timur, Abdushomad Bukhori pada The Jakarta Post. Abdushomad menganggap, Maulid Hijau tidak perlu diteruskan.
Penilaian MUI Lumajang atas Maulid Hijau dianggap angin lalu oleh Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) selaku panitia pelaksana. PRM menganggap, MUI Lumajang telah menilai dengan keliru pelaksanaan acara itu. “Kalau MUI Lumajang mau memperhatikan, rangkaian acara Maulid Hijau dikemas secara Islami. Larung, hanya budaya masyarakat setempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran sesat,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pihak penyelenggara.
Karenanya, pada Jumat-Minggu (23-25/05/08) lalu, acara Maulid Hijau tetap digelar. Seperti acara-acara di daerah berbasis Islam di Jawa Timur, Maulid Hijau pun digelar dengan berbagai kesenian rakyat berbasis keislaman. Seperti lomba Sholawat, lomba Qiro’atil Quran, lomba Tadarus, lomba Adzan hingga lomba balita sehat. Hari kedua, dilaksanakan Isighosah Kubro dan lomba Nasyid. Di puncak acara digelar Yasinan dengan mengundang kyai setempat.
Yang membuat acara ini berbeda, di sela-sela acara, dilaksanakan aksi penanaman benih pohon di sekitar danau. Benih itu diharapkan menjadi penguat tanah di sekitar Ranu Klakah yang belakangan mulai tergerus oleh aksi penebangan pohon. “Coba Anda, mana di antara rangkaian acara ini yang mengandung kesesatan,” kata Aak.
Karena keyakinan itu juga, masyarakat Tegal Randu kekeh membela acara yang dinilai bisa meningkatkan keimanan kepada Islam, sekaligus menambah semarak potensi wisata Danau (Ranu) Klakah itu. Sasmitho, 80, salah satu sesepuh Desa Tegal Randu menganggap usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu sebagai sebuah kebodohan. “Kalau tidak bodoh, tidak mungkin seperti itu, ini adalah cara budaya dalam kemasan Islam,” kata Sasmitho dalam bahasa Madura.
Sasmitho menjelaskan, sejak dirinya masih muda, acara semacam Maulid Hijau sudah dilaksanakan. Dengan nama yang berbeda tentunya. Namun intinya tetap sama, mendoakan kelahiran Nabi Muhammad. “Kami di Tegal Randu semuanya orang Islam, dan kami melaksanakan Maulid Nabi Muhammad juga dengan cara Islam, mengapa harus dilarang, apa MUI Lumajang menganggap kami sedesa ini sebagai orang yang sesat?” katanya.
Seluruh masyarakat Desa Tegal Randu siap melawan MUI Lumajang bila memang MUI Lumajang bersikukuh melarang acara ini. Penegasan itu dikatakan Lurah Tegal Randu Yunus Afrianto. Yunus yang juga guru tari di Tegal Randu menyiapkan pemuda-pemudi setempat untuk ikut berlaga di acara itu. “Ini acara dari rakyat dan untuk rakyat, mengapa harus dilarang,” kata Yunus.
Ironisnya, usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu berbuah buruk bagi Maulid Hijau. Beberapa pengisi acara yang dijadwalkan hadir memeriahkan, membatalkan diri pada detik-detik terakhir. Begitu juga dengan peserta lomba Hadrah. Dari 21 peserta, hanya 4 peserta yang bisa tampil. Yang lebih parah, jumlah stan bazaar yang disediakan panitia, kosong di beberapa tempat. Tidak ada pedagang yang bersedia mengisi.
“Sponsor pun tidak ada yang berani berpartisipasi, mereka juga ikut takut karena usulan fatwa sesat itu, kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya membawa kerusakan di muka bumi?” kata Aak Abdulah Al Kudus.
Usulan fatwa sesat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Lumajang pada acara Maulid Hijau mendapatkan perlawanan warga Desa Tegal Randu, Lumajang. Selama tiga hari, acara itu tetap digelar. “Kami hanya menjalankan budaya, kalau MUI Lumajang tetap menfatwa sesat, kami siap melawan apapun yang terjadi,” kata Yunus Afrianto, Lurah Tegal Randu.
“Biarkan kami tetap melaksanakan acara Maulid Hijau ini dan kami siap dengan siksa neraka.” Ucapan ini adalah ucapan besar, ucapan kecongkakan yang belum pernah kita dengar walaupun dari mahluk paling congkak sekalipun semacam Iblis Laknatulloh atau Fir’aun Latnatulloh.
Kalimat bernada kecaman terhadap acara Maulid Hijau itu termuat di selebaran masjid Al I’tisham terbitan Lembaga Da’wah An Nasshirus Sunnah Lumajang. Entah mengapa, selebaran itu menyebar saat Sholat Jumat dilaksanakan di masjid-masjid di Lumajang, Jawa Timur. “Kita tahu siapa yang menyebarkan, biar sajalah, yang penting kita melaksanakan Maulid Hijau dengan niat yang baik,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pemrakarsa Maulid Hijau pada The Jakarta Post.
Maulid Hijau adalah sebuah acara Maulid Nabi Muhammad SAW yang dilaksanakan di samping danau Klakah (Ranu Klakah), Desa Tegal Randu, Kabupaten Lumajang. Acara yang sudah dilaksanakan selama tiga kali ini pada dasarnya adalah menggabungkan perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dengan penghijauan di sekitar danau.
Acara yang merupakan budaya turun menurun di Tegal Randu ini, sejak setahun lalu menjadi pembicaraan. Pasalnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Lumajang mengusulkan kepada MUI Jawa Timur agar mengelarkan fatwa atas acara itu. MUI Lumajang menganggap acara itu sesat. Poin kesesatan yang ada di acara itu terletak pada prosesi larung sesaji di tengah danau.
“Memang sudah ada surat usulan untuk menyatakan Maulid Hijau sebagai ajaran sesat, karena acara itu menggabungkan yang benar (pelaksanaan Maulid Nabi Muhammad) dengan yang tidak benar (Larung sesaji,” kata Ketua MUI Jawa Timur, Abdushomad Bukhori pada The Jakarta Post. Abdushomad menganggap, Maulid Hijau tidak perlu diteruskan.
Penilaian MUI Lumajang atas Maulid Hijau dianggap angin lalu oleh Perguruan Rakyat Merdeka (PRM) selaku panitia pelaksana. PRM menganggap, MUI Lumajang telah menilai dengan keliru pelaksanaan acara itu. “Kalau MUI Lumajang mau memperhatikan, rangkaian acara Maulid Hijau dikemas secara Islami. Larung, hanya budaya masyarakat setempat, sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran sesat,” kata Aak Abdulah Al Kudus, pihak penyelenggara.
Karenanya, pada Jumat-Minggu (23-25/05/08) lalu, acara Maulid Hijau tetap digelar. Seperti acara-acara di daerah berbasis Islam di Jawa Timur, Maulid Hijau pun digelar dengan berbagai kesenian rakyat berbasis keislaman. Seperti lomba Sholawat, lomba Qiro’atil Quran, lomba Tadarus, lomba Adzan hingga lomba balita sehat. Hari kedua, dilaksanakan Isighosah Kubro dan lomba Nasyid. Di puncak acara digelar Yasinan dengan mengundang kyai setempat.
Yang membuat acara ini berbeda, di sela-sela acara, dilaksanakan aksi penanaman benih pohon di sekitar danau. Benih itu diharapkan menjadi penguat tanah di sekitar Ranu Klakah yang belakangan mulai tergerus oleh aksi penebangan pohon. “Coba Anda, mana di antara rangkaian acara ini yang mengandung kesesatan,” kata Aak.
Karena keyakinan itu juga, masyarakat Tegal Randu kekeh membela acara yang dinilai bisa meningkatkan keimanan kepada Islam, sekaligus menambah semarak potensi wisata Danau (Ranu) Klakah itu. Sasmitho, 80, salah satu sesepuh Desa Tegal Randu menganggap usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu sebagai sebuah kebodohan. “Kalau tidak bodoh, tidak mungkin seperti itu, ini adalah cara budaya dalam kemasan Islam,” kata Sasmitho dalam bahasa Madura.
Sasmitho menjelaskan, sejak dirinya masih muda, acara semacam Maulid Hijau sudah dilaksanakan. Dengan nama yang berbeda tentunya. Namun intinya tetap sama, mendoakan kelahiran Nabi Muhammad. “Kami di Tegal Randu semuanya orang Islam, dan kami melaksanakan Maulid Nabi Muhammad juga dengan cara Islam, mengapa harus dilarang, apa MUI Lumajang menganggap kami sedesa ini sebagai orang yang sesat?” katanya.
Seluruh masyarakat Desa Tegal Randu siap melawan MUI Lumajang bila memang MUI Lumajang bersikukuh melarang acara ini. Penegasan itu dikatakan Lurah Tegal Randu Yunus Afrianto. Yunus yang juga guru tari di Tegal Randu menyiapkan pemuda-pemudi setempat untuk ikut berlaga di acara itu. “Ini acara dari rakyat dan untuk rakyat, mengapa harus dilarang,” kata Yunus.
Ironisnya, usulan fatwa sesat MUI Lumajang itu berbuah buruk bagi Maulid Hijau. Beberapa pengisi acara yang dijadwalkan hadir memeriahkan, membatalkan diri pada detik-detik terakhir. Begitu juga dengan peserta lomba Hadrah. Dari 21 peserta, hanya 4 peserta yang bisa tampil. Yang lebih parah, jumlah stan bazaar yang disediakan panitia, kosong di beberapa tempat. Tidak ada pedagang yang bersedia mengisi.
“Sponsor pun tidak ada yang berani berpartisipasi, mereka juga ikut takut karena usulan fatwa sesat itu, kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya membawa kerusakan di muka bumi?” kata Aak Abdulah Al Kudus.
Korban Penyerangan Polisi Masih Dirawat di RS
Iman D. Nugroho
Korban kekerasan polisi dalam demonstrasi menolak kenaikan BBM di Surabaya, Sabtu (24/5/08) lalu, hingga Kamis (29/05/08) ini masih dirawat di rumah sakit. Luka-luka bakar di tubuhnya tidak kunjung sembuh. Bahkan, semakin parah karena terus mengeluarkan air.
Salah satu korban yang terluka itu adalah Muhammad Darwis, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS). Darwis yang saat ini dirawat di Rumah Sakit Haji Surabaya Paviliun 206 itu masih mendapatkan perawatan intensif. Berdasarkan informasi dari pihak keluarga, luka di tubuh mahasiswa semester II jurusan jurnalistik itu semakin parah.
Rencana pulang pada Sabtu (31/05/08) besok terpaksa dibatalkan, lantaran dokter melihat luka-luka di tubuhnya tidak kunjung membaik. Darwis terluka bakar di bagian punggung bawah hingga ke bagian pantat kanan. Tangan kirinya dan dua lututnya juga melepuh karena panas.
Pada saat kejadian, Darwis terdorong polisi yang akan menangkap pelaku pembakaran poster SBY-JK. Sialnya, Darwis menuju ke arah poster yang saat itu terbakar. Posisi Darwis saat kejadian tidak memungkinkan bagi pemuda asal Ambon itu untuk menghindar. Darwis terduduk dengan tangan kiri berada di kobaran api. Polisi yang terus merangsesk maju, membuat Darwis semakin lama berada di kobaran api. Api segera memanaskan baju dan membuat kulitnya melepuh.
Dalam kejadian Sabtu lalu, 28 mahasiswa terluka, 4 lainnya ditangkap. Hingga Kamis ini,masih ada dua mahasiswa yang dirawat di rumah sakit karena terbakar. Demonstran dari Front Pembela Rakyat akan memejahijaukan kasus ini. Dan menuntut polisi yang melakukan penyerangan segera ditangkap.***
Korban kekerasan polisi dalam demonstrasi menolak kenaikan BBM di Surabaya, Sabtu (24/5/08) lalu, hingga Kamis (29/05/08) ini masih dirawat di rumah sakit. Luka-luka bakar di tubuhnya tidak kunjung sembuh. Bahkan, semakin parah karena terus mengeluarkan air.
Salah satu korban yang terluka itu adalah Muhammad Darwis, mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya (STIKOSA-AWS). Darwis yang saat ini dirawat di Rumah Sakit Haji Surabaya Paviliun 206 itu masih mendapatkan perawatan intensif. Berdasarkan informasi dari pihak keluarga, luka di tubuh mahasiswa semester II jurusan jurnalistik itu semakin parah.
Rencana pulang pada Sabtu (31/05/08) besok terpaksa dibatalkan, lantaran dokter melihat luka-luka di tubuhnya tidak kunjung membaik. Darwis terluka bakar di bagian punggung bawah hingga ke bagian pantat kanan. Tangan kirinya dan dua lututnya juga melepuh karena panas.
Pada saat kejadian, Darwis terdorong polisi yang akan menangkap pelaku pembakaran poster SBY-JK. Sialnya, Darwis menuju ke arah poster yang saat itu terbakar. Posisi Darwis saat kejadian tidak memungkinkan bagi pemuda asal Ambon itu untuk menghindar. Darwis terduduk dengan tangan kiri berada di kobaran api. Polisi yang terus merangsesk maju, membuat Darwis semakin lama berada di kobaran api. Api segera memanaskan baju dan membuat kulitnya melepuh.
Dalam kejadian Sabtu lalu, 28 mahasiswa terluka, 4 lainnya ditangkap. Hingga Kamis ini,masih ada dua mahasiswa yang dirawat di rumah sakit karena terbakar. Demonstran dari Front Pembela Rakyat akan memejahijaukan kasus ini. Dan menuntut polisi yang melakukan penyerangan segera ditangkap.***
Surabaya Semakin Seksi Untuk Dunia Bisnis
Iman D. Nugroho
Julukan sebagai Kota Metropolitan ke-2 setelah DKI Jakarta, tidak disia-siakan oleh Surabaya. Usia 715 tahun seperti mendorong pengelola kota semakin mempercepat laju pembangunan. Meski sempat menuai kritik, pertumbuhan property, mall, dan hotel semakin tampak di mana-mana. Sebuah upaya menyalip Jakarta?
DKI Jakarta sepertinya harus bersiap siaga. Keelokan Ibu Kota Indonesia dengan problematikanya itu, sebentar lagi akan “tersaingi” dengan Surabaya, kota terbesar ke-2 di Indonesia. Betapa tidak, di kota berpenduduk 2,7 juta jiwa lebih ini pembangunan seakan berpacu. Mall-mall baru, apartemen dan perumahan mewah plus, sarana dan prasarana menjamur di mana-mana.
Dunia bisnis menjadi ukuran utama. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, kota yang mendeklarasikan diri sebagai kota perdagangan ini mau tidak mau mempertajam strategi pembangunan dunia bisnis dengan membentuk Centra Bisnis Distrik (CBD) pada tahun 2000. Ada tujuh CBD dengan karakteristik yang berbeda pula. Mereka tersebar di beberapa daerah, Mulai Kembang Jepun yang merupakan kawasan perdagangan tertua di Surabaya hingga Ngagel, lokasi relokasi daerah industri.
“Regulasi itu memang tidak bisa ditolak, karena kota ini sedang melesat menuju kota yang lebih modern,” kata Wakil Walikota Surabaya Arief Affandi pada The Jakarta Post. Di dalam CDB itu berdapat berbagai pusat kegiatan bisnis. Mulai pusat perbelanjaan, pasar, perbankan, perkantoran modern dan pusat aktivitas bisnis lain. Tidak hanya itu, CBD juga berkolaborasi dengan beberapa pasar yang dikelola secara mandiri.
Seperti Pasar Atum, Pasar Turi, Pasar Keputran, Pasar Pabean dan Pasar Genteng. Tentu saja juga ada mall dan pusat perbelanjaan yang sekaligus menjadi ikon kota Surabaya. Sebut saja Surabaya Plasa, Mal Galaxy, Mal Surabaya, Tunjungan Plasa, Maspion Square, Jembatan Merah Plasa dan Plasa Marina. Juga ada Pakuwon Supermall, Trade Center Pakuwon, Sungkono Trade CenterRoyal Plasa dan City of Tomorrow. “Beberapa pembangunan sentra bisnis lain sudah menunggu, Saya berharap masyarakat bisa memanfaatkan hal itu,” kata Arief Affandi.
Dunia perhotelan pun menjadi item yang tidak bisa dipisahkan dengan Surabaya. Di kota berjuluk Kota Pahlawan ini ada 136 hotel dengan 7261 kamar dengan berbagai kelas, mulai kelas Bintang V berkelas internasional sampai hotel kelas Melati 1. Sebut saja Hotel Majapahit, Hyatt Regency Surabaya, Patra Surabaya Hilton, Shangri-La, Garden Palace, Sheraton Surabaya dan J.W. Marriot.
Sementara hotel Bintang 4 terwakili dengan Surabaya Plaza Hotel, Novotel, Somerset dan Hotel Ibis. Pada 26 Februari 2008, Hotel Mercure Grand Mirama juga ikut menyemarakkan bisnis perhotelan di Surabaya. Hotel di bawah manajemen Acor ini menempati bekas Hotel Mirama yang sudah tidak lagi beroperasi. General Manajer Mercure Neil Gow mengatakan, pilihan untuk Membangun hotel di Surabaya adalah banyaknya permintaan yang selalu melebihi jumlah kamar hotel.
“Hal itu berarti masih ada kemungkinan bisnis hotel di Surabaya akan berkembang pesat,” kata Neil pada The Post. Dugaan itu tidak meleset. Dari setahun lebih beroperasi jumlah tamu yang menginap di Hotel Mercure Grand Mirama lebih dari 80 persen. Neil bahkan memastikan, dibanding tiga hotel bintang 4 lainnya, hotelnya tergolong lebih unggul dibidang occupancy. “Sejauh yang kami tahu, kami masih leading dibandingkan hotel bitang 4 lainnya,” katanya.
Meski tergolong maju, namun secara geografis, hotel di Surabaya masih tersentral di Surabaya Pusat. Namun, perhotelan tetap menjadi ladang menyerapan sumber daya manusia (SDM) yang baik. Dalam catatan Badan Pusat Statistik Kota Surabaya tahun 2006, bisnis perhotelan di Surabaya menyerap 8130 tenaga kerja.
Selain bisnis property, bisnis perumahan dan apartemen juga menunjukkan tren meningkat di Surabaya. Beberapa perumahan kelas atas yang ada di Surabaya menunjukkan peningkatan penjualan. Sebut saja Wisata Bukit, Araya Bumi Mega, Taman Dayu dan Perumahan Pakuwon. Masing-masing memiliki trens penjualan di atas 30 persen. Hal senada juga terjadi di bisnis apartemen.
Gaya hidup masyarakat Surabaya yang hampir sama dengan Jakarta membuat bisnis apartemen juga bergairah. Apalagi, dengan keterbatasan lahan untuk pembangunan rumah namun di sisi yang lain, kebutuhan untuk tetap tinggal di sekitar perkotaan. “Karena dia faktor itulah Pakuwon Groups berani membangun apartemen di Surabaya,” kata Sugema Nagasakti, Promotion Manager Pakuwon Groups pada The Jakarta Post. Perusahaan tempatnya bekerja memiliki dua kompleks apartemen, Grande Water Palace dan East Cost Residence.
Sugema menjelaskan, di Grande Water Palace yang memiliki 2000 unit apartemen di enam tower, hampir seluruhnya sudah terjual. Meskipun harga masing-masing unitnya tergolong tinggi, sekitar Rp.400 juta. “Bisa dibilang, sudah 90 persen dari seluruh unit terjual dan diserahterimakan pada September 2008 mendatang,” katanya.
Karena kondisi itulah, tidak berlebihan bila kemudian agen property ternama seperti Century 21 Indonesia membuka 12 kantor cabangnya di Surabaya. Berdasarkan informasi yang dimiliki The Jakata Post, penjualan property di Surabaya memiliki nilai yang hampir sama dengan Jabodetabek. Besar kemungkinan, nilai penjualan itu akan melambung tinggi melebihi Jabodetabek.
Persoalan gaya hidup itu juga yang membuat bisnis tempat hiburan dan international fashion brands di Surabaya ikut menanjak. Sebut saja café, karaoke, dan diskotik dengan berbagai kelas. Terletak di pusat kota, ada 10 kafe kelas atas yang menjadi pilihan. Begitu juga dengan 13 diskotik yang setiap malam menyajikan hiburan kaum perkotaan.
Begitulah, Surabaya memang sedang melesat. Dengan visi pembangunan yang Cerdas dan Peduli, Surabaya dalam bidang bisnis, Surabaya berusaha untuk meningkatkan akselerasi pertumbuhan arus perdagangan barang dan jasa dalam skala regional maupun internasional. Tentu saja dengan memadukan
wilayah wilayah perkotaan Surabaya (Greater Surabaya) dalam suatu sistem tata ruang yang terintegrasi didukung infrastruktur, sistem transportasi dan sistem Teknologi Informasi yang memadai. Tak heran bila Surabaya semakin seksi untuk dunia bisnis.
Julukan sebagai Kota Metropolitan ke-2 setelah DKI Jakarta, tidak disia-siakan oleh Surabaya. Usia 715 tahun seperti mendorong pengelola kota semakin mempercepat laju pembangunan. Meski sempat menuai kritik, pertumbuhan property, mall, dan hotel semakin tampak di mana-mana. Sebuah upaya menyalip Jakarta?
DKI Jakarta sepertinya harus bersiap siaga. Keelokan Ibu Kota Indonesia dengan problematikanya itu, sebentar lagi akan “tersaingi” dengan Surabaya, kota terbesar ke-2 di Indonesia. Betapa tidak, di kota berpenduduk 2,7 juta jiwa lebih ini pembangunan seakan berpacu. Mall-mall baru, apartemen dan perumahan mewah plus, sarana dan prasarana menjamur di mana-mana.
Dunia bisnis menjadi ukuran utama. Seiring bertambahnya jumlah penduduk, kota yang mendeklarasikan diri sebagai kota perdagangan ini mau tidak mau mempertajam strategi pembangunan dunia bisnis dengan membentuk Centra Bisnis Distrik (CBD) pada tahun 2000. Ada tujuh CBD dengan karakteristik yang berbeda pula. Mereka tersebar di beberapa daerah, Mulai Kembang Jepun yang merupakan kawasan perdagangan tertua di Surabaya hingga Ngagel, lokasi relokasi daerah industri.
“Regulasi itu memang tidak bisa ditolak, karena kota ini sedang melesat menuju kota yang lebih modern,” kata Wakil Walikota Surabaya Arief Affandi pada The Jakarta Post. Di dalam CDB itu berdapat berbagai pusat kegiatan bisnis. Mulai pusat perbelanjaan, pasar, perbankan, perkantoran modern dan pusat aktivitas bisnis lain. Tidak hanya itu, CBD juga berkolaborasi dengan beberapa pasar yang dikelola secara mandiri.
Seperti Pasar Atum, Pasar Turi, Pasar Keputran, Pasar Pabean dan Pasar Genteng. Tentu saja juga ada mall dan pusat perbelanjaan yang sekaligus menjadi ikon kota Surabaya. Sebut saja Surabaya Plasa, Mal Galaxy, Mal Surabaya, Tunjungan Plasa, Maspion Square, Jembatan Merah Plasa dan Plasa Marina. Juga ada Pakuwon Supermall, Trade Center Pakuwon, Sungkono Trade CenterRoyal Plasa dan City of Tomorrow. “Beberapa pembangunan sentra bisnis lain sudah menunggu, Saya berharap masyarakat bisa memanfaatkan hal itu,” kata Arief Affandi.
Dunia perhotelan pun menjadi item yang tidak bisa dipisahkan dengan Surabaya. Di kota berjuluk Kota Pahlawan ini ada 136 hotel dengan 7261 kamar dengan berbagai kelas, mulai kelas Bintang V berkelas internasional sampai hotel kelas Melati 1. Sebut saja Hotel Majapahit, Hyatt Regency Surabaya, Patra Surabaya Hilton, Shangri-La, Garden Palace, Sheraton Surabaya dan J.W. Marriot.
Sementara hotel Bintang 4 terwakili dengan Surabaya Plaza Hotel, Novotel, Somerset dan Hotel Ibis. Pada 26 Februari 2008, Hotel Mercure Grand Mirama juga ikut menyemarakkan bisnis perhotelan di Surabaya. Hotel di bawah manajemen Acor ini menempati bekas Hotel Mirama yang sudah tidak lagi beroperasi. General Manajer Mercure Neil Gow mengatakan, pilihan untuk Membangun hotel di Surabaya adalah banyaknya permintaan yang selalu melebihi jumlah kamar hotel.
“Hal itu berarti masih ada kemungkinan bisnis hotel di Surabaya akan berkembang pesat,” kata Neil pada The Post. Dugaan itu tidak meleset. Dari setahun lebih beroperasi jumlah tamu yang menginap di Hotel Mercure Grand Mirama lebih dari 80 persen. Neil bahkan memastikan, dibanding tiga hotel bintang 4 lainnya, hotelnya tergolong lebih unggul dibidang occupancy. “Sejauh yang kami tahu, kami masih leading dibandingkan hotel bitang 4 lainnya,” katanya.
Meski tergolong maju, namun secara geografis, hotel di Surabaya masih tersentral di Surabaya Pusat. Namun, perhotelan tetap menjadi ladang menyerapan sumber daya manusia (SDM) yang baik. Dalam catatan Badan Pusat Statistik Kota Surabaya tahun 2006, bisnis perhotelan di Surabaya menyerap 8130 tenaga kerja.
Selain bisnis property, bisnis perumahan dan apartemen juga menunjukkan tren meningkat di Surabaya. Beberapa perumahan kelas atas yang ada di Surabaya menunjukkan peningkatan penjualan. Sebut saja Wisata Bukit, Araya Bumi Mega, Taman Dayu dan Perumahan Pakuwon. Masing-masing memiliki trens penjualan di atas 30 persen. Hal senada juga terjadi di bisnis apartemen.
Gaya hidup masyarakat Surabaya yang hampir sama dengan Jakarta membuat bisnis apartemen juga bergairah. Apalagi, dengan keterbatasan lahan untuk pembangunan rumah namun di sisi yang lain, kebutuhan untuk tetap tinggal di sekitar perkotaan. “Karena dia faktor itulah Pakuwon Groups berani membangun apartemen di Surabaya,” kata Sugema Nagasakti, Promotion Manager Pakuwon Groups pada The Jakarta Post. Perusahaan tempatnya bekerja memiliki dua kompleks apartemen, Grande Water Palace dan East Cost Residence.
Sugema menjelaskan, di Grande Water Palace yang memiliki 2000 unit apartemen di enam tower, hampir seluruhnya sudah terjual. Meskipun harga masing-masing unitnya tergolong tinggi, sekitar Rp.400 juta. “Bisa dibilang, sudah 90 persen dari seluruh unit terjual dan diserahterimakan pada September 2008 mendatang,” katanya.
Karena kondisi itulah, tidak berlebihan bila kemudian agen property ternama seperti Century 21 Indonesia membuka 12 kantor cabangnya di Surabaya. Berdasarkan informasi yang dimiliki The Jakata Post, penjualan property di Surabaya memiliki nilai yang hampir sama dengan Jabodetabek. Besar kemungkinan, nilai penjualan itu akan melambung tinggi melebihi Jabodetabek.
Persoalan gaya hidup itu juga yang membuat bisnis tempat hiburan dan international fashion brands di Surabaya ikut menanjak. Sebut saja café, karaoke, dan diskotik dengan berbagai kelas. Terletak di pusat kota, ada 10 kafe kelas atas yang menjadi pilihan. Begitu juga dengan 13 diskotik yang setiap malam menyajikan hiburan kaum perkotaan.
Begitulah, Surabaya memang sedang melesat. Dengan visi pembangunan yang Cerdas dan Peduli, Surabaya dalam bidang bisnis, Surabaya berusaha untuk meningkatkan akselerasi pertumbuhan arus perdagangan barang dan jasa dalam skala regional maupun internasional. Tentu saja dengan memadukan
wilayah wilayah perkotaan Surabaya (Greater Surabaya) dalam suatu sistem tata ruang yang terintegrasi didukung infrastruktur, sistem transportasi dan sistem Teknologi Informasi yang memadai. Tak heran bila Surabaya semakin seksi untuk dunia bisnis.
19 Mei 2008
Keep The Traditions with Pranatacara
Iman D. Nugroho
There are many ways to keeps traditions. One of it is learn pranatacara. In entire Java, there is only one school; 2nd Trenggalek Senior High School has used it as an extracurricular. That’s why, students of Trenggalek used Javanese language proudly.
"Suwah rep data pitana hananging pundita sasana rinengga engkang dinten menika kagirangaken minangka papan mugiharjosuta."
That “weird” sentence said by Nuraini, student of 2nd Trenggalek Senior High School. Not like others Javanese words, what Nuraini’s said isn’t usual words. “We call it kromo inggil, the highest level of Javanese language,” Nuraini said.
Usually, that kind of language was used by special person in highest level of Javanese cultures. Like members or Javanese Kingdom in Jogjakarta. So, why young people like Nuraini, who is also not a member of Javanese Kingdom used it? “Because I love it, I have learned it from my school’s extracurricular called pranatacara, and I found it such as interested language,” he said.
Pranatacara is Javanese technical term for master of ceremony activities. Javanese usually used pranatacara for a Javanese wedding ceremony. Unfortunately there’s not many Javanese understood pranatacara. Mostly Javanese people have chosen modern kind of wedding ceremony which more simple. Without used pranatacara of course. Because of it, pranatacara which also part of Javanese culture was gone slowly.
That’s why 2nd Trenggalek Senior High School, specially the Head Master Sugeng Winarno have an idea to teach pranatacara for his students. “I have invited Indonesian Brotherhood of Culture People (Permadani) of Jogjakarta to came here and teach my student about pranatacara,” he said.
Start in September 2007, in every Sunday, pranatacara has taught to 80 students and 10 teachers. They were taught renggeping wicoro(how to speaks), kapranacaran(how to manage a ceremony), toto kromo(high level Javanese rules), siker setanan, padhuwungan (Javanese language knowledge), ngadat toto coro Jowo (learn Javanese cultures), and many more.
“Actually, pranatacara is not a new things for us, but we almost never used it anymore, that’s why we often laugh when Permadani teach us for a first time,” Sugeng said. The most difficult thing of pranatacara’s is learned how to speak kromo inggil and Javanese literature. Students must memorize it and practice in front of their class.
Nuraini is the best pranatacara’s student. He got highest scores on a pranatacara’s test. “Well, I don’t know why, maybe because I was very interested, so easy for me to do it,” Nuraini said. Javanese language is not new things for him. He used it on his daily conversation. “Even I’m not expert on it, but I usually used it at home, especially with my family,” he said.
Sadly, became the best pranatacara put him on a difficult situation. His friends often used Javanese for a joke. Nuraini’s friends more interest to modern Indonesian slank language. “Not like me, my friends used Jakartans dialog, so that why they made kromo inggil as joke, but honestly, I don’t care about it,” he said.
Febri Yogawati, another pranatacara student saw pranatacara as a deep meaning language. When she was thought it for a first time, she was amazed. “Especially when I was learned about Javanese literature, I was found many philosophies sentence hided on it,” she said. That’s why Febri have planned to learn more about Javanese literature in a college after graduate from senior high school.
Febri said it’s important for students to learn more about local cultures. By it student can understand more about their local wisdom, which also have a deep meaning. “It’s very useful for us, we can see our life deeper,” she said. The pranatacara’s student has graduate on May 10.
There are many ways to keeps traditions. One of it is learn pranatacara. In entire Java, there is only one school; 2nd Trenggalek Senior High School has used it as an extracurricular. That’s why, students of Trenggalek used Javanese language proudly.
"Suwah rep data pitana hananging pundita sasana rinengga engkang dinten menika kagirangaken minangka papan mugiharjosuta."
That “weird” sentence said by Nuraini, student of 2nd Trenggalek Senior High School. Not like others Javanese words, what Nuraini’s said isn’t usual words. “We call it kromo inggil, the highest level of Javanese language,” Nuraini said.
Usually, that kind of language was used by special person in highest level of Javanese cultures. Like members or Javanese Kingdom in Jogjakarta. So, why young people like Nuraini, who is also not a member of Javanese Kingdom used it? “Because I love it, I have learned it from my school’s extracurricular called pranatacara, and I found it such as interested language,” he said.
Pranatacara is Javanese technical term for master of ceremony activities. Javanese usually used pranatacara for a Javanese wedding ceremony. Unfortunately there’s not many Javanese understood pranatacara. Mostly Javanese people have chosen modern kind of wedding ceremony which more simple. Without used pranatacara of course. Because of it, pranatacara which also part of Javanese culture was gone slowly.
That’s why 2nd Trenggalek Senior High School, specially the Head Master Sugeng Winarno have an idea to teach pranatacara for his students. “I have invited Indonesian Brotherhood of Culture People (Permadani) of Jogjakarta to came here and teach my student about pranatacara,” he said.
Start in September 2007, in every Sunday, pranatacara has taught to 80 students and 10 teachers. They were taught renggeping wicoro(how to speaks), kapranacaran(how to manage a ceremony), toto kromo(high level Javanese rules), siker setanan, padhuwungan (Javanese language knowledge), ngadat toto coro Jowo (learn Javanese cultures), and many more.
“Actually, pranatacara is not a new things for us, but we almost never used it anymore, that’s why we often laugh when Permadani teach us for a first time,” Sugeng said. The most difficult thing of pranatacara’s is learned how to speak kromo inggil and Javanese literature. Students must memorize it and practice in front of their class.
Nuraini is the best pranatacara’s student. He got highest scores on a pranatacara’s test. “Well, I don’t know why, maybe because I was very interested, so easy for me to do it,” Nuraini said. Javanese language is not new things for him. He used it on his daily conversation. “Even I’m not expert on it, but I usually used it at home, especially with my family,” he said.
Sadly, became the best pranatacara put him on a difficult situation. His friends often used Javanese for a joke. Nuraini’s friends more interest to modern Indonesian slank language. “Not like me, my friends used Jakartans dialog, so that why they made kromo inggil as joke, but honestly, I don’t care about it,” he said.
Febri Yogawati, another pranatacara student saw pranatacara as a deep meaning language. When she was thought it for a first time, she was amazed. “Especially when I was learned about Javanese literature, I was found many philosophies sentence hided on it,” she said. That’s why Febri have planned to learn more about Javanese literature in a college after graduate from senior high school.
Febri said it’s important for students to learn more about local cultures. By it student can understand more about their local wisdom, which also have a deep meaning. “It’s very useful for us, we can see our life deeper,” she said. The pranatacara’s student has graduate on May 10.
15 Mei 2008
ITS Maritime Challenge Team Join International Atlantic Challenge 2008
Iman D Nugroho
The Sepuluh November Institute of Technology (ITS) of Surabaya's prepares team to join international maritime game called International Atlantic Challenge (IAC) in Jakobstad City of Finland on July 27 until August 3. The Team which called ITS Maritime Challenge (IMC) will use 12 meters boat which originally design by them selves.
IAC is an international experiential education organization operating in many nations. Atlantic Challenge International programs practice, share, and encourage the rise of the skills of the sea including boat building, sailing, rowing, and seamanship. Its activities bring youth together with the intent of fostering cultural and global understanding.
The “roots” of the Atlantic Challenge movement come from the teachings of Kurt Hahn (1886-1974), one of the twentieth century’s greatest educators. Hahn firmly believed in the value of experiential education and that self discovery comes through challenge. David Byatt, Atlantic Challenge International Trustee from the UK, had the good fortune to be educated by Hahn in the late 40’s, and to teach at Hahn’s school, Gordonstoun, for over twenty years. David has this to say about Kurt Hahn:
Hahn felt that the way to satisfy this desire for a challenge and to meet it in a harmless and formative way was to send young people out into the hills and onto the sea so that they might be challenged by the forces of nature and learn to meet with them and treat them with respect. In so doing they would learn about themselves and their fellows at the same time.
Although Hahn himself was not a recreational sailor, he understood what experience at sea could do for those who ventured forth, and who are challenged and developed as a result. To preserve the spirit, Atlantic Challenge International sponsors a friendly contest of seamanship in Bay gigs, held in a different host country. Lance Lee (USA) and Bernard Cadoret (France) initiated Atlantic Challenge in 1986, when gigs from these two countries competed under the statue of liberty. Over 12 nations and 55 Bay gigs have been built worldwide.
ITS IMC which all around with 17 college students, 13 men and 4 women, has officially launched this Wednesday, May 14 by ITS Vice Chairman, Prof Dr Ir. Suasmoro DEA. He hopes IMC will struggle hard to reach the best position on that event. ”I give my trust to this team, I knew that they have prepared everything and will never give up even they facing very bad situation,” he said.
By joined in this event, Suasmoro said, is not only continuing ITS tradition to be Indonesian representation team on international events, but also train their soft skill. Hopefully, students especially members of IMC can get many advantages from it. “For example, the IMC can build connection with students around the world, its very useful for their futures,” he said.
Team adviser Dhaniel M. Rosyid said IMC can be student’s leadership and teamwork training arena, two most important elements in student’s future. Otherwise, Dhaniel hopes IMC can be one of ITS’s achievements and makes this country proud with it. On 2004, ITS team became a winner for the same even which held in France. Unfortunately on IAC 2006 in Genoa, Italy, ITS team only got fourth place of 14 participants from 14 countries.
Much hope means hard work for IMC. The team which built in November 2006 used tide selections to found 17 IMC members from 77 applicants. After they were trained for eight months, finally IMC announced 17 best students to join IMC in Jakobstad, Finland. “After we were chose, we must get involve in our two different training programs, “sea training” and “land training”,” Fadwi Mukti Wibowo, IMC Team Coordinator said.
They were taught many things on that training season. On “Sea training” for example, IMC members have to learn how to use oar, ride a sailboat, sea navigation and many thing which useful on sea. “Land training” focus on physic and rope skills. “Its very hard training, but it will very useful for us,” Fadwi said. He wishes his team can reach The Spirit of Atlantic Challenge Award, the “roll trophy” of IAC (piala bergilir).
For reach their dreams, IMC have to try harder. When 17 best students chosen, they faced hard train. Such as ride a sailboat in three different weathers, rainy, summer and windy, which might happen in Finland. “We were trained in a maximum hot weather or sail the boat through two meters wave,” Fadwi said.
Beside prepared their physic, IMC have rebuilt and repaired their sailboat. Learn from previous team, which got broke pole, they designed stronger pole and sail to keep work even wind blows fast. The team have remade their oar too. They use lighter and stronger woods with wider point. “We combine jati and pinus tree woods which will produce more power but less energy,” he said.
Now, the 11,29 meters long and 6 meters high sailboat is ready to use. Shipping through Helskinsky to Finland, IMC’s sailboat called MERDEKA, scheduling arrives on Jakobstaad on July 15. “We’ll try to show the world that we are really-really come from maritime country,” he said. Not only that, IMC have plan to show their art talent by perform Karawitan or Javanese music, Reyog Ponorogo and Malang Mask dance.
The Sepuluh November Institute of Technology (ITS) of Surabaya's prepares team to join international maritime game called International Atlantic Challenge (IAC) in Jakobstad City of Finland on July 27 until August 3. The Team which called ITS Maritime Challenge (IMC) will use 12 meters boat which originally design by them selves.
IAC is an international experiential education organization operating in many nations. Atlantic Challenge International programs practice, share, and encourage the rise of the skills of the sea including boat building, sailing, rowing, and seamanship. Its activities bring youth together with the intent of fostering cultural and global understanding.
The “roots” of the Atlantic Challenge movement come from the teachings of Kurt Hahn (1886-1974), one of the twentieth century’s greatest educators. Hahn firmly believed in the value of experiential education and that self discovery comes through challenge. David Byatt, Atlantic Challenge International Trustee from the UK, had the good fortune to be educated by Hahn in the late 40’s, and to teach at Hahn’s school, Gordonstoun, for over twenty years. David has this to say about Kurt Hahn:
Hahn felt that the way to satisfy this desire for a challenge and to meet it in a harmless and formative way was to send young people out into the hills and onto the sea so that they might be challenged by the forces of nature and learn to meet with them and treat them with respect. In so doing they would learn about themselves and their fellows at the same time.
Although Hahn himself was not a recreational sailor, he understood what experience at sea could do for those who ventured forth, and who are challenged and developed as a result. To preserve the spirit, Atlantic Challenge International sponsors a friendly contest of seamanship in Bay gigs, held in a different host country. Lance Lee (USA) and Bernard Cadoret (France) initiated Atlantic Challenge in 1986, when gigs from these two countries competed under the statue of liberty. Over 12 nations and 55 Bay gigs have been built worldwide.
ITS IMC which all around with 17 college students, 13 men and 4 women, has officially launched this Wednesday, May 14 by ITS Vice Chairman, Prof Dr Ir. Suasmoro DEA. He hopes IMC will struggle hard to reach the best position on that event. ”I give my trust to this team, I knew that they have prepared everything and will never give up even they facing very bad situation,” he said.
By joined in this event, Suasmoro said, is not only continuing ITS tradition to be Indonesian representation team on international events, but also train their soft skill. Hopefully, students especially members of IMC can get many advantages from it. “For example, the IMC can build connection with students around the world, its very useful for their futures,” he said.
Team adviser Dhaniel M. Rosyid said IMC can be student’s leadership and teamwork training arena, two most important elements in student’s future. Otherwise, Dhaniel hopes IMC can be one of ITS’s achievements and makes this country proud with it. On 2004, ITS team became a winner for the same even which held in France. Unfortunately on IAC 2006 in Genoa, Italy, ITS team only got fourth place of 14 participants from 14 countries.
Much hope means hard work for IMC. The team which built in November 2006 used tide selections to found 17 IMC members from 77 applicants. After they were trained for eight months, finally IMC announced 17 best students to join IMC in Jakobstad, Finland. “After we were chose, we must get involve in our two different training programs, “sea training” and “land training”,” Fadwi Mukti Wibowo, IMC Team Coordinator said.
They were taught many things on that training season. On “Sea training” for example, IMC members have to learn how to use oar, ride a sailboat, sea navigation and many thing which useful on sea. “Land training” focus on physic and rope skills. “Its very hard training, but it will very useful for us,” Fadwi said. He wishes his team can reach The Spirit of Atlantic Challenge Award, the “roll trophy” of IAC (piala bergilir).
For reach their dreams, IMC have to try harder. When 17 best students chosen, they faced hard train. Such as ride a sailboat in three different weathers, rainy, summer and windy, which might happen in Finland. “We were trained in a maximum hot weather or sail the boat through two meters wave,” Fadwi said.
Beside prepared their physic, IMC have rebuilt and repaired their sailboat. Learn from previous team, which got broke pole, they designed stronger pole and sail to keep work even wind blows fast. The team have remade their oar too. They use lighter and stronger woods with wider point. “We combine jati and pinus tree woods which will produce more power but less energy,” he said.
Now, the 11,29 meters long and 6 meters high sailboat is ready to use. Shipping through Helskinsky to Finland, IMC’s sailboat called MERDEKA, scheduling arrives on Jakobstaad on July 15. “We’ll try to show the world that we are really-really come from maritime country,” he said. Not only that, IMC have plan to show their art talent by perform Karawitan or Javanese music, Reyog Ponorogo and Malang Mask dance.
12 Mei 2008
Student Protest on National Education Day
Iman D. Nugroho
The commemoration of National Education Day in Airlangga University of Surabaya on Monday (12/05), with President Susilo Bambang Yudhoyono as a keynote speaker, was colored with students demonstration. The protesters demand President SBY to step down, because he cant solve many problems in Indonesia.
The rally initially was peaceful with thousands of students from 24 student groups in Surabaya. Carried a groups flags and posters, students start a demonstration at Manyar Kertoarjo Street, about 1 Km from "C" Campus of Airlangga University, also guarded by hundred policemen. The officer builded a police lines to make protesters stay in demonstration area.
During the protesters statement, President SBY is unsuccessfull president. Goverment cant solve many problems in Indonesia. Such as foodstuff and kerosene price increase, bad nutrition, problem of outsourching workers, high cost educations and more. "Thats why we demand SBY to stepdown, now!" said protester.
At the same times, on celebration National Education Day in Airlangga University, President SBY has recieved by the documents of solution of Airlangga University Student Council (BEM). President SBY gives his award for the document which shows how the nation can solve issues. Like preparing human and nature resource for people, law inforcement in a corruption case (BLBI), free health and education, control foodstuff price, energi management, birocratics reform, erased mafia of court and environment issues.
President SBY says that goverment will evaluaete mining contracs with brings a demerit for Indonesian people. Mean while, regarding of coruption issue, the president explain that goverment shows their comitment to ecadicate corruption. He hopes indonesian people will support goverment's good will.
After delivering his speach, President SBY accompanied by saverals ministers visited Suramadu Bridge using Indonesian Navy Ship KRI Dr.Soeharso and visited Rumah Pintar Dolpin at East Indonesia Navy Base (Armatim) Complex.
The commemoration of National Education Day in Airlangga University of Surabaya on Monday (12/05), with President Susilo Bambang Yudhoyono as a keynote speaker, was colored with students demonstration. The protesters demand President SBY to step down, because he cant solve many problems in Indonesia.
The rally initially was peaceful with thousands of students from 24 student groups in Surabaya. Carried a groups flags and posters, students start a demonstration at Manyar Kertoarjo Street, about 1 Km from "C" Campus of Airlangga University, also guarded by hundred policemen. The officer builded a police lines to make protesters stay in demonstration area.
During the protesters statement, President SBY is unsuccessfull president. Goverment cant solve many problems in Indonesia. Such as foodstuff and kerosene price increase, bad nutrition, problem of outsourching workers, high cost educations and more. "Thats why we demand SBY to stepdown, now!" said protester.
At the same times, on celebration National Education Day in Airlangga University, President SBY has recieved by the documents of solution of Airlangga University Student Council (BEM). President SBY gives his award for the document which shows how the nation can solve issues. Like preparing human and nature resource for people, law inforcement in a corruption case (BLBI), free health and education, control foodstuff price, energi management, birocratics reform, erased mafia of court and environment issues.
President SBY says that goverment will evaluaete mining contracs with brings a demerit for Indonesian people. Mean while, regarding of coruption issue, the president explain that goverment shows their comitment to ecadicate corruption. He hopes indonesian people will support goverment's good will.
After delivering his speach, President SBY accompanied by saverals ministers visited Suramadu Bridge using Indonesian Navy Ship KRI Dr.Soeharso and visited Rumah Pintar Dolpin at East Indonesia Navy Base (Armatim) Complex.
09 Mei 2008
Jurnalis Tempo Situbondo Diintimidasi
Press Release
Upaya intimidasi dan pemaksaan terhadap jurnalis terjadi di Situbondo-Jawa Timur, kamis (9/05) siang kemarin. Kasus itu menimpa Kukuh Setyono, Koresponden TEMPO untuk wilayah Situbondo dan Banyuwangi. Kukuh diintimidasi, dipaksa bahkan sempat dibawa ke Mapolres Jember oleh staf Dispendiknas Situbondo, karena tidak bersedia membocorkan narasumbernya terkait berita yang dibutnya dalam Koran Tempo, rabu (7/05) tentang jawaban ujian nasional yang bocor kepada siswa peserta Ujian nasional di SMPN I banyuglugur Situbondo.
Intimidasi dan pemaksaan pertama terjadi pukul 10.30 wib di ruang kerja kepala Dispendiknas Situbondo. Saat itu, setelah Dispendiknas Situbondo melakukan konferensi pers menanggapi berita bocornya jawaban soal Ujian Nasional dengan sejumlah wartawan Situbondo, Kukuh dipanggil secara khusus ke ruang kerja Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman. Selain Kepala Disperndiknas, dalam ruangan itu Kukuh dihadapi oleh sejumlah staf dispendiknas Situbondo, Panitia Unas, Tim Pemantau Independent (TPI) provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Situbondo , serta anggota Mapolres Situbondo. Semuanya berjumlah lebih 10 orang. Dalam ruangan itu, Kukuh dipaksa untuk memberitahukan siapa narasumber yang memberikan informasi.
Malahan, dalam kesempatan itu Kukuh diminta menghadirkan nara sumbernya hari itu juga oleh pimpinan dan staf Dispendiknas dan anggota TPI. Namun Kukuh tetap bersikukuh untuk tidak memberitahukan narasumbernya. Hingga sekitar 40 menit kemudian, Kukuh tetap tidak mau mengungkapkan narasumbernya. Akhirnya para pejabat itu menyimpulkan bahwa informasi dalam pemberitaan Koran Tempo edisi rabu (07/05) tentang kebocoran jawaban soal Unas di SMPN I Situbondo dianggap berita bohong dan tidak terbukti kebenarannya. Mereka juga menganggap bahwa Kukuh yang tidak bisa menunjukkan Kartu Pers dari tempatnya bekerja yakni PT. Tempo Inti Media, (karena memang masih dalam masih baru sekitar 2 bulan bekerja) tidak bisa dianggap sebagai jurnalis atau wartawan yang benar-benar bekerja dengan baik dalam melakukan tugas jurnalistik.
Setelah pertemuan itu dianggap selesai, Kukuh kembali melakukan tugas jurnalistik. Namun ketiak dia membuat dan mengirim berita kepada redaksi Tempo News Room (TNR), dia mendapat telepon dan sms berisi undangan bertemu dengan Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok. Kukuh akhirnya menyanggupi dan bersedia bertemu pukul 16.00 wib.
Pertemuan tersebut berlangsung di restoran ayam goreng Pemuda di kawasan Kota Situbondo. Dalam pertemuan itu, Dwi Totok mengaku sengaja ingin berbicara secara pribadi dengan Kukuh. Namun kenyataannya, Dwi totok baru dating ke restoran itu pukul 18.30 wib.
Dalam pertemuan 'empat mata' itu, Dwi kembali meminta Kukuh untuk memberitahukan
Siapa saja narasumbernya dan bukti-bukti bocoran jawaban soal Unas yang diperolehnya dalam proses reportase yang telah dilakuka Kukuh. Bahkan Dwi juga sempat mengeluarkan kata-kata ancaman, "Jika ada tidak mau memberikan keterangan siapa nara sumber berita yang anda buat, secara kekeluargaan, maka kami akan menempuh jalur hukum. Apakah anda sudah siap?.
Dwi juga menyatakan bahwa dirinya meragukan indentitas kewartawanan Kukuh karena tidak bisa menunjukan kartu pers maupun surat tugas. Dia juga menganggap Kukuh sebagai wartawan Tempo, yang tidak berperasaan dan sangat tega. "Anda tidak punya perasaan dan tega, dengan membiarkan nara sumber anda (siswa) mengalami tekanan psikologis dan kemungkinan besar jenjang akademis jika dia diperiksa oleh kepolisian. Anda hebat! ,".
Namun Kukuh tetap pada pendiriannya. Dia tetap tidak bersedia memberikan data dan nama-nama narasumbernya. Dwi kembali melontarkan kata-kata bernada intimidasi dan ancaman kepada Kukuh.
Mendapat ancaman, Kukuh menantang Dwi Totok untuk menyelesaikan kasus itu secara hokum. Apalagi, Kukuh sudah mendapatkan jaminan bahwa dari nara sumber dan keluarganya, bahwa mereka siap dengan segala konsenkuensi, jika memang ada proses hukum dari Dispendiknas Situbondo. Dia pun bersedia mengalah, dengan menuruti ajakan dan tantangan Dwi Totok yang hendak melaporkan kasus tersebut dan meneruskannnya secara hokum ke Mapolres Situbondo.
Akhirnya, pukul 19.15 WIB, Kukuh dan Dwi bersepakat bahwa malam itu juga mereka berdua akan menghadap Kabag Bina Mitra Polres Situbondo, Kompol Taufik Rakhman di Malpolres Situbondo. Mereka lantas bersama-sama menuju ke Polres Situbondo dan menunggu sekitar setengah jam lebih untuk menemui Taufik yang ternyata tidak ada di tempat.
Selama menunggu tersebut, permintaan untuk mengungkapkan nama siapa nara sumber berita tetap dilontarkan oleh Dwi Totok. Bahkan pernyataan "tidak punya perasaan dan sangat tega" terus dikatakan berulang-ulang oleh Dwi Totok.
Sekitar 1 jam kemudian, dua orang koresponden TV One, Samsul Choirie dan Suyanto mendatangi Mapolres Situbondo. Mereka lantas membawa Kukuh pergi dari tempat itu dan meninggalkan Dwi Totok. Saat itu, Dwi totok masih sempat meminta kedua koresponden TV One untuk memberikan rekaman gambar dan nama-nama narasumber kasus bocornya jawaban soal Unas itu (selain Kukuh, korsponden TV One juga sempat melakukan reportase kasus itu dan menemui narasumber yang sama dengan yang ditemui Kukuh). Namun para koresponden TV One itu juga menolak tegas permintaan Dwi dan meminta Dwi melakukan upaya hukum secara pribadi maupun institusi Dispendiknas Situbondo, jika memang menginginkan rekaman wawancara dengan nara sumber dan menganggap liputan kasus itu tidak benar.
Menyikapi sikap tindakan Kepala dan anggota staf Dispendiknas Situbondo itu, Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Kota Jember menyatakan sikap:
1. Mengutuk dengan tegas segala bentuk aksi ancaman, intimidasi dan pemaksaan yang yang telah dilakukan secara bersama-sama dan secara pribadi oleh Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman, Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok, serta para stafnya kepada Kukuh Setyono. Karena
Bagaiamanpun, sikap dan tindakan mereka itu merupakan ancaman bagi jurnalis/wartawan yang merupakan ancaman bagi kebebasan pers yang juga berarti ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
2. Mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus bocornya jawaban soal Ujian Nasional di SMPN I Banyuglugur-Situbondo, dan di sekolah lain di wilayah Situbondo.
3. Mendesak kepada Bupati Situbondo, Kepala Dinas Pendiikan Nasional Propinsi Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur dan Menteri Pendidikan Nasional RI, untuk memberikan sanksi tegas kepada Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Situbondo, Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok dan sejumlah stafnya yang telah melakukan tindakan tidak terpuji dengan mengintimidasi dan memaksa jurnalis TEMPO Kukuh Setyono.
4. Mendesak Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman dan Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok untuk meminta maaf secara terbuka kepada jurnalis/wartawan yang telah mereka intimidasi dan kepada publik secara luas melalui media massa.
5.Menyerukan kepada segenap jurnalis/wartawan dan elemen pro demokrasi untuk merapatkan barisan melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis/wartawan.
6. Meminta aparat pemerintah di Situbondo mulai dari tingkat Bupati, Ketua DPRD, kepala dinas/badan hingga aparat desa dan tokoh masyarakat untuk memahami profesi jurnalistik, serta turut memberikan perlindungan kepada jurnalis yang sedang bertugas. Bagi pihak yang tidak puas dengan pemberitaan pers, dapat menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau melaporkan media/wartawan kepada Dewan Pers, Sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Jember, 09 Mei 2008
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jember
Ketua,
Mahbub Djunaidy
Koordinator Divisi Advokasi,
M Dawud
Tembusan
1. Menteri Pendidikan Nasional
2. Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur
3. Bupati Situbondo
4. Kapolres Situbondo
5. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo
6. Tempo Biro Jawa Timur
7. Media massa
Upaya intimidasi dan pemaksaan terhadap jurnalis terjadi di Situbondo-Jawa Timur, kamis (9/05) siang kemarin. Kasus itu menimpa Kukuh Setyono, Koresponden TEMPO untuk wilayah Situbondo dan Banyuwangi. Kukuh diintimidasi, dipaksa bahkan sempat dibawa ke Mapolres Jember oleh staf Dispendiknas Situbondo, karena tidak bersedia membocorkan narasumbernya terkait berita yang dibutnya dalam Koran Tempo, rabu (7/05) tentang jawaban ujian nasional yang bocor kepada siswa peserta Ujian nasional di SMPN I banyuglugur Situbondo.
Intimidasi dan pemaksaan pertama terjadi pukul 10.30 wib di ruang kerja kepala Dispendiknas Situbondo. Saat itu, setelah Dispendiknas Situbondo melakukan konferensi pers menanggapi berita bocornya jawaban soal Ujian Nasional dengan sejumlah wartawan Situbondo, Kukuh dipanggil secara khusus ke ruang kerja Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman. Selain Kepala Disperndiknas, dalam ruangan itu Kukuh dihadapi oleh sejumlah staf dispendiknas Situbondo, Panitia Unas, Tim Pemantau Independent (TPI) provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Situbondo , serta anggota Mapolres Situbondo. Semuanya berjumlah lebih 10 orang. Dalam ruangan itu, Kukuh dipaksa untuk memberitahukan siapa narasumber yang memberikan informasi.
Malahan, dalam kesempatan itu Kukuh diminta menghadirkan nara sumbernya hari itu juga oleh pimpinan dan staf Dispendiknas dan anggota TPI. Namun Kukuh tetap bersikukuh untuk tidak memberitahukan narasumbernya. Hingga sekitar 40 menit kemudian, Kukuh tetap tidak mau mengungkapkan narasumbernya. Akhirnya para pejabat itu menyimpulkan bahwa informasi dalam pemberitaan Koran Tempo edisi rabu (07/05) tentang kebocoran jawaban soal Unas di SMPN I Situbondo dianggap berita bohong dan tidak terbukti kebenarannya. Mereka juga menganggap bahwa Kukuh yang tidak bisa menunjukkan Kartu Pers dari tempatnya bekerja yakni PT. Tempo Inti Media, (karena memang masih dalam masih baru sekitar 2 bulan bekerja) tidak bisa dianggap sebagai jurnalis atau wartawan yang benar-benar bekerja dengan baik dalam melakukan tugas jurnalistik.
Setelah pertemuan itu dianggap selesai, Kukuh kembali melakukan tugas jurnalistik. Namun ketiak dia membuat dan mengirim berita kepada redaksi Tempo News Room (TNR), dia mendapat telepon dan sms berisi undangan bertemu dengan Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok. Kukuh akhirnya menyanggupi dan bersedia bertemu pukul 16.00 wib.
Pertemuan tersebut berlangsung di restoran ayam goreng Pemuda di kawasan Kota Situbondo. Dalam pertemuan itu, Dwi Totok mengaku sengaja ingin berbicara secara pribadi dengan Kukuh. Namun kenyataannya, Dwi totok baru dating ke restoran itu pukul 18.30 wib.
Dalam pertemuan 'empat mata' itu, Dwi kembali meminta Kukuh untuk memberitahukan
Siapa saja narasumbernya dan bukti-bukti bocoran jawaban soal Unas yang diperolehnya dalam proses reportase yang telah dilakuka Kukuh. Bahkan Dwi juga sempat mengeluarkan kata-kata ancaman, "Jika ada tidak mau memberikan keterangan siapa nara sumber berita yang anda buat, secara kekeluargaan, maka kami akan menempuh jalur hukum. Apakah anda sudah siap?.
Dwi juga menyatakan bahwa dirinya meragukan indentitas kewartawanan Kukuh karena tidak bisa menunjukan kartu pers maupun surat tugas. Dia juga menganggap Kukuh sebagai wartawan Tempo, yang tidak berperasaan dan sangat tega. "Anda tidak punya perasaan dan tega, dengan membiarkan nara sumber anda (siswa) mengalami tekanan psikologis dan kemungkinan besar jenjang akademis jika dia diperiksa oleh kepolisian. Anda hebat! ,".
Namun Kukuh tetap pada pendiriannya. Dia tetap tidak bersedia memberikan data dan nama-nama narasumbernya. Dwi kembali melontarkan kata-kata bernada intimidasi dan ancaman kepada Kukuh.
Mendapat ancaman, Kukuh menantang Dwi Totok untuk menyelesaikan kasus itu secara hokum. Apalagi, Kukuh sudah mendapatkan jaminan bahwa dari nara sumber dan keluarganya, bahwa mereka siap dengan segala konsenkuensi, jika memang ada proses hukum dari Dispendiknas Situbondo. Dia pun bersedia mengalah, dengan menuruti ajakan dan tantangan Dwi Totok yang hendak melaporkan kasus tersebut dan meneruskannnya secara hokum ke Mapolres Situbondo.
Akhirnya, pukul 19.15 WIB, Kukuh dan Dwi bersepakat bahwa malam itu juga mereka berdua akan menghadap Kabag Bina Mitra Polres Situbondo, Kompol Taufik Rakhman di Malpolres Situbondo. Mereka lantas bersama-sama menuju ke Polres Situbondo dan menunggu sekitar setengah jam lebih untuk menemui Taufik yang ternyata tidak ada di tempat.
Selama menunggu tersebut, permintaan untuk mengungkapkan nama siapa nara sumber berita tetap dilontarkan oleh Dwi Totok. Bahkan pernyataan "tidak punya perasaan dan sangat tega" terus dikatakan berulang-ulang oleh Dwi Totok.
Sekitar 1 jam kemudian, dua orang koresponden TV One, Samsul Choirie dan Suyanto mendatangi Mapolres Situbondo. Mereka lantas membawa Kukuh pergi dari tempat itu dan meninggalkan Dwi Totok. Saat itu, Dwi totok masih sempat meminta kedua koresponden TV One untuk memberikan rekaman gambar dan nama-nama narasumber kasus bocornya jawaban soal Unas itu (selain Kukuh, korsponden TV One juga sempat melakukan reportase kasus itu dan menemui narasumber yang sama dengan yang ditemui Kukuh). Namun para koresponden TV One itu juga menolak tegas permintaan Dwi dan meminta Dwi melakukan upaya hukum secara pribadi maupun institusi Dispendiknas Situbondo, jika memang menginginkan rekaman wawancara dengan nara sumber dan menganggap liputan kasus itu tidak benar.
Menyikapi sikap tindakan Kepala dan anggota staf Dispendiknas Situbondo itu, Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) Kota Jember menyatakan sikap:
1. Mengutuk dengan tegas segala bentuk aksi ancaman, intimidasi dan pemaksaan yang yang telah dilakukan secara bersama-sama dan secara pribadi oleh Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman, Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok, serta para stafnya kepada Kukuh Setyono. Karena
Bagaiamanpun, sikap dan tindakan mereka itu merupakan ancaman bagi jurnalis/wartawan yang merupakan ancaman bagi kebebasan pers yang juga berarti ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia.
2. Mendesak aparat kepolisian mengusut tuntas kasus bocornya jawaban soal Ujian Nasional di SMPN I Banyuglugur-Situbondo, dan di sekolah lain di wilayah Situbondo.
3. Mendesak kepada Bupati Situbondo, Kepala Dinas Pendiikan Nasional Propinsi Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur dan Menteri Pendidikan Nasional RI, untuk memberikan sanksi tegas kepada Kepala Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Situbondo, Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok dan sejumlah stafnya yang telah melakukan tindakan tidak terpuji dengan mengintimidasi dan memaksa jurnalis TEMPO Kukuh Setyono.
4. Mendesak Kepala Dispendiknas Situbondo, Drs. Fathor Rohman dan Kepala Bidang (Kabid) Sarana dan Prasana Dispendiknas Situbondo, Dwi Totok untuk meminta maaf secara terbuka kepada jurnalis/wartawan yang telah mereka intimidasi dan kepada publik secara luas melalui media massa.
5.Menyerukan kepada segenap jurnalis/wartawan dan elemen pro demokrasi untuk merapatkan barisan melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis/wartawan.
6. Meminta aparat pemerintah di Situbondo mulai dari tingkat Bupati, Ketua DPRD, kepala dinas/badan hingga aparat desa dan tokoh masyarakat untuk memahami profesi jurnalistik, serta turut memberikan perlindungan kepada jurnalis yang sedang bertugas. Bagi pihak yang tidak puas dengan pemberitaan pers, dapat menggunakan hak jawab, hak koreksi, atau melaporkan media/wartawan kepada Dewan Pers, Sebagaimana diatur dalam UU Pers Nomor 40 Tahun 1999.
Jember, 09 Mei 2008
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jember
Ketua,
Mahbub Djunaidy
Koordinator Divisi Advokasi,
M Dawud
Tembusan
1. Menteri Pendidikan Nasional
2. Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur
3. Bupati Situbondo
4. Kapolres Situbondo
5. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Situbondo
6. Tempo Biro Jawa Timur
7. Media massa
05 Mei 2008
Wisata Berbahaya di Kubah Lava
Iman D. Nugroho
Ribuan ton batu yang menyembul di puncak Gunung Kelud itu masih terus mengeluarkan asap putih. Di sekitar bebatuan "segar" dari perut bumi itu, bau belerang sesekali menyengat. Menyesakkan dada siapa pun yang menghirupnya. Meski begitu, fenomena alam itu juga yang menjadi magnet wisatawan untuk datang. Menyaksikan kubah lava di wilayah berbahaya.
Tikungan terakhir sebelum tangga menurun menuju danau kawah Gunung Kelud, hampir pasti menjadi tempat pengunjung wisata alam Gunung Kelud berhenti sejenak. Di tempat inilah, kubah lava baru gunung setinggi 1731 di atas permukaan laut (Dpl) itu mulai terlihat. Menjulang ke atas, hampir sejajar dengan puncak-puncak lain yang ada di sekitarnya.
Kemunculan kubah lava Gunung Kelud terjadi akhir Oktober lalu. Ketika itu, Gunung yang berada di tiba kabupaten di Jawa Timur ini, Kediri, Blitar dan Malang tiba-tiba mengalami peningkatan aktivitas. Gempa tektonik dan tremor sahut menyahut. Air danau kawah yang biasanya tenang, pun ketika itu bagai mendidih. Gelembung-gelembung udara menari di permukaannya.
Masyarakat yang tinggal di desa lereng gunung pun diungsikan. Ada yang panik mencari tempat yang aman, ada pula bertahan di kediamannya, karena percaya tanda-tanda alam belum menunjukkan Gunung Kelud akan meletus. Apapun itu, saat itu pihak vulkanologi menyatakan jarak aman di areal gunung adalah di luar diameter 10 Km dari puncak gunung.
Waktu juga yang membuktikan. Red light vulkanolog benar terbukti. Peningkatan aktivitas adalah awal dari erupsi evosif atau keluarnya material dari dalam perut bumi secara berlahan-lahan. "Ada dua jenis ledakan, erupsi eksplosif atau terdorongnya material ke udara, dan erupsi evosif atau terdorongnya material ke permukaan bumi dengan pelan, yang terjadi di Gunung Kelud tahun 2008 adalah erupsi evosif," kata Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud pada The Jakarta Post.
Dalam sejarahnya, Gunung Kelud sudah meletus sembilan kali mengalami peningkatan status. Letusan pertama yang tercatat terjadi antara pada tahun 1000-1864. Jumlah korban yang paling banyak terjadi pada 20 Mei 1919 dengan korban meninggal berjumlah sekitar 5160 jiwa. Dan pada 24 April 1956, korban meninggal berjumlah 210 jiwa. Letusan tahun 1990 membuat 34 orang berkalang tanah.
Selama delapan bulan erupsi evosif membuat danau kawah yang terbentuk di tahun 1920 di puncak Gunung Kelud lenyap. Digantikan gundukan material dari perut bumi setinggi 250 meter dari dasar danau. Material yang keluar itu adalah batu-batuan padat bercampur berbagai mineral dan gas alam. Hassium (Hs) adalah has paling berbahaya yang sering keluar, setelah itu baru Sulfur atau belerang (S).
Berbahayakah Gunung Kelud sekarang? "Berbahaya," kata Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud pada The Jakarta Post. Tingkatan berbahaya yang paling utama kata Choirul adalah gas yang kemungkinan akan keluar dari dalam perut bumi. "Hassium adalah gas berbahaya, seperti gas yang lain, bisa terhirup manusia bisa menyebabkan kematian," katanya.
Gas jenis ini memiliki berat jenis lebih tinggi dari oksigen (O2). Karenanya, Hassium selalu berada paling tinggi 1 M di atas tanah, dan cenderung mengalir ke lembah atau tempat yang lebih rendah. "Karena itulah, sangat berbahaya bila ada anak kecil atau orang yang memiliki tinggi kurang dari 1 meter di sekitar lokasi," kata Choirul.
Hal lain yang tidak kalah berbahayanya adalah runtuhan kubah lava atau tanah di sekitar kubah lava. Reruntuhan yang juga membawa material batu bervolume besar itu, bisa membawa celaka. "Karena alasan itulah, volkanologi meminta Dinas Pariwisata untuk menutup areal wisata Gunung Kelud," kata Choirul.
Bentuk dari penutupan itu adalah dipasangnya pagar besi dan kawat berduri setinggi 2,5 M di jalan masuk 1 Km sebelum kawasan puncak gunung. Setiap harinya, pagar berwarna cokelat itu digembok. Siapapun, kecuali petugas, tidak diperkenankan masuk ke lokasi puncak Gunung Kelud. "Semua demi keamanan, jarak 1 Km kami anggap cukup aman, angin dan sinar matahari bisa menyapu gas pada jarak itu," kata Choirul.
Sejak adanya pagar, jumlah wisatawan menurun drastis. Toko sauvenir dan penjual makanan di gerbang pendakian pun tutup karena tidak boleh lagi berjualan dengan alasan keamanan. Sebagian memilih membuka usaha di tempat lain, sebagian lagi membuka warung sederhana di samping pagar pembatas. "Karena di sana (lokasi gerbang pendakian) tidak boleh berjualan, saya dan empat teman lain membuka warung di sini saja," kata perempuan penjual makanan yang akrab dipanggil Bu Tomo ini.
Ironisnya, status "waspada" dengan berbagai kemungkinan membahayakan yang dilekatkan pada Gunung Kelud tidak membuat tempat wisata alam itu berhenti berdetak. "Siapapun tidak boleh ke puncak Kelud, tapi kalau mau naik terus ke puncaknya, bisa lewat jalan itu," kata tukang parkir dadakan yang membuka usahanya tepat di samping pagar pembatas, Minggu (04/05/08).
"Jalan" yang dimaksud adalah tangga tanah seluas sekitar 50 Cm yang sengaja dibuat di sisi kanan pagar. Tangga tanah dengan batang-batang Ketela Pohon sebagai pegangannya itu menuju ke balik pagar, dan langsung berlanjut ke jalan utama menuju ke tempat wisata puncak Gunung Kelud. Dari pagar menuju ke gerbang pendakian berjarak sekitar 800 meter.
Setelah itu dilanjutkan dengan menelusuri terowongan yang dibuat membelah salah satu puncak Gunung Kelud. Meski sambil menggerutu mencaci maki pagar pembatas, melalui "jalan" itu juga pengunjung mendekat ke arah kubah lava. Yang menarik, saat The Post mengunjungi tempat itu mendapati pagar pembatas itu tidak benar-benar "tidak bisa dibuka,".
Sebuah mobil berplat merah yang penuh oleh penumpang berbagai usia, melenggang begitu sana melalui pagar pembatas. Setelah seorang penjaga membukakan pintu tentunya. Begitu juga dengan mobil patroli polisi yang siang itu ditumpangi oleh sebuah keluarga.
Kislan salah satu pengunjung Gunung Kelud yang Minggu ini datang bersama anak laki-lakinya. Lurah di sebuah desa wilayah Kabupaten Jombang Jawa Timur ini mengaku datang karena diajak Medi Kresno Utomo, 10, anaknya. Kislan mengatakan, dirinya sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi Gunung Kelud yang berbahaya.
"Anak saya saja tidak takut, saya juga tidak takut," katanya. Mislan dan Medi mengaku sudah mendekat ke kubah lava. Kislan tidak sendirian. Dalam pengamatan The Post, beberapa pengunjung yang sudah berkeluarga, selalu mengajak serta anak-anaknya. "Nggak takut kok, cuma ingin tahu saja," kata seorang laki-laki sambil berlalu. Dia datang bersama istri dan dua anaknya yang masih berumur 3 tahun.
Tidak sedikit di antara pengunjung yang nekat mendekat, menuruni anak tangga sejauh 200-an meter, hingga berjarak beberapa meter ke kubah lava. Pengunjung yang masih berpikir tentang keselamatan, berhenti di ujung tangga, dan menyaksikan kubah lava itu dari lokasi itu. Meskipun ujung tangga juga bukan jarak yang aman.
Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud hanya bisa mengelus dada ketika diriya mengetahui prilaku pengunjung Gunung Kelud yang nekat menerobos pagar pembatas. Choirul becerita, tidak sedikit orang yang muntah-muntah karena menghirup zat berbahaya yang keluar dari perut bumi di puncak Gunung Kelud. "Kami kan cuma mengingatkan, kalau ada apa-apa kami tidak bertanggungjawab lagi," katanya.
Ribuan ton batu yang menyembul di puncak Gunung Kelud itu masih terus mengeluarkan asap putih. Di sekitar bebatuan "segar" dari perut bumi itu, bau belerang sesekali menyengat. Menyesakkan dada siapa pun yang menghirupnya. Meski begitu, fenomena alam itu juga yang menjadi magnet wisatawan untuk datang. Menyaksikan kubah lava di wilayah berbahaya.
Tikungan terakhir sebelum tangga menurun menuju danau kawah Gunung Kelud, hampir pasti menjadi tempat pengunjung wisata alam Gunung Kelud berhenti sejenak. Di tempat inilah, kubah lava baru gunung setinggi 1731 di atas permukaan laut (Dpl) itu mulai terlihat. Menjulang ke atas, hampir sejajar dengan puncak-puncak lain yang ada di sekitarnya.
Kemunculan kubah lava Gunung Kelud terjadi akhir Oktober lalu. Ketika itu, Gunung yang berada di tiba kabupaten di Jawa Timur ini, Kediri, Blitar dan Malang tiba-tiba mengalami peningkatan aktivitas. Gempa tektonik dan tremor sahut menyahut. Air danau kawah yang biasanya tenang, pun ketika itu bagai mendidih. Gelembung-gelembung udara menari di permukaannya.
Masyarakat yang tinggal di desa lereng gunung pun diungsikan. Ada yang panik mencari tempat yang aman, ada pula bertahan di kediamannya, karena percaya tanda-tanda alam belum menunjukkan Gunung Kelud akan meletus. Apapun itu, saat itu pihak vulkanologi menyatakan jarak aman di areal gunung adalah di luar diameter 10 Km dari puncak gunung.
Waktu juga yang membuktikan. Red light vulkanolog benar terbukti. Peningkatan aktivitas adalah awal dari erupsi evosif atau keluarnya material dari dalam perut bumi secara berlahan-lahan. "Ada dua jenis ledakan, erupsi eksplosif atau terdorongnya material ke udara, dan erupsi evosif atau terdorongnya material ke permukaan bumi dengan pelan, yang terjadi di Gunung Kelud tahun 2008 adalah erupsi evosif," kata Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud pada The Jakarta Post.
Dalam sejarahnya, Gunung Kelud sudah meletus sembilan kali mengalami peningkatan status. Letusan pertama yang tercatat terjadi antara pada tahun 1000-1864. Jumlah korban yang paling banyak terjadi pada 20 Mei 1919 dengan korban meninggal berjumlah sekitar 5160 jiwa. Dan pada 24 April 1956, korban meninggal berjumlah 210 jiwa. Letusan tahun 1990 membuat 34 orang berkalang tanah.
Selama delapan bulan erupsi evosif membuat danau kawah yang terbentuk di tahun 1920 di puncak Gunung Kelud lenyap. Digantikan gundukan material dari perut bumi setinggi 250 meter dari dasar danau. Material yang keluar itu adalah batu-batuan padat bercampur berbagai mineral dan gas alam. Hassium (Hs) adalah has paling berbahaya yang sering keluar, setelah itu baru Sulfur atau belerang (S).
Berbahayakah Gunung Kelud sekarang? "Berbahaya," kata Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud pada The Jakarta Post. Tingkatan berbahaya yang paling utama kata Choirul adalah gas yang kemungkinan akan keluar dari dalam perut bumi. "Hassium adalah gas berbahaya, seperti gas yang lain, bisa terhirup manusia bisa menyebabkan kematian," katanya.
Gas jenis ini memiliki berat jenis lebih tinggi dari oksigen (O2). Karenanya, Hassium selalu berada paling tinggi 1 M di atas tanah, dan cenderung mengalir ke lembah atau tempat yang lebih rendah. "Karena itulah, sangat berbahaya bila ada anak kecil atau orang yang memiliki tinggi kurang dari 1 meter di sekitar lokasi," kata Choirul.
Hal lain yang tidak kalah berbahayanya adalah runtuhan kubah lava atau tanah di sekitar kubah lava. Reruntuhan yang juga membawa material batu bervolume besar itu, bisa membawa celaka. "Karena alasan itulah, volkanologi meminta Dinas Pariwisata untuk menutup areal wisata Gunung Kelud," kata Choirul.
Bentuk dari penutupan itu adalah dipasangnya pagar besi dan kawat berduri setinggi 2,5 M di jalan masuk 1 Km sebelum kawasan puncak gunung. Setiap harinya, pagar berwarna cokelat itu digembok. Siapapun, kecuali petugas, tidak diperkenankan masuk ke lokasi puncak Gunung Kelud. "Semua demi keamanan, jarak 1 Km kami anggap cukup aman, angin dan sinar matahari bisa menyapu gas pada jarak itu," kata Choirul.
Sejak adanya pagar, jumlah wisatawan menurun drastis. Toko sauvenir dan penjual makanan di gerbang pendakian pun tutup karena tidak boleh lagi berjualan dengan alasan keamanan. Sebagian memilih membuka usaha di tempat lain, sebagian lagi membuka warung sederhana di samping pagar pembatas. "Karena di sana (lokasi gerbang pendakian) tidak boleh berjualan, saya dan empat teman lain membuka warung di sini saja," kata perempuan penjual makanan yang akrab dipanggil Bu Tomo ini.
Ironisnya, status "waspada" dengan berbagai kemungkinan membahayakan yang dilekatkan pada Gunung Kelud tidak membuat tempat wisata alam itu berhenti berdetak. "Siapapun tidak boleh ke puncak Kelud, tapi kalau mau naik terus ke puncaknya, bisa lewat jalan itu," kata tukang parkir dadakan yang membuka usahanya tepat di samping pagar pembatas, Minggu (04/05/08).
"Jalan" yang dimaksud adalah tangga tanah seluas sekitar 50 Cm yang sengaja dibuat di sisi kanan pagar. Tangga tanah dengan batang-batang Ketela Pohon sebagai pegangannya itu menuju ke balik pagar, dan langsung berlanjut ke jalan utama menuju ke tempat wisata puncak Gunung Kelud. Dari pagar menuju ke gerbang pendakian berjarak sekitar 800 meter.
Setelah itu dilanjutkan dengan menelusuri terowongan yang dibuat membelah salah satu puncak Gunung Kelud. Meski sambil menggerutu mencaci maki pagar pembatas, melalui "jalan" itu juga pengunjung mendekat ke arah kubah lava. Yang menarik, saat The Post mengunjungi tempat itu mendapati pagar pembatas itu tidak benar-benar "tidak bisa dibuka,".
Sebuah mobil berplat merah yang penuh oleh penumpang berbagai usia, melenggang begitu sana melalui pagar pembatas. Setelah seorang penjaga membukakan pintu tentunya. Begitu juga dengan mobil patroli polisi yang siang itu ditumpangi oleh sebuah keluarga.
Kislan salah satu pengunjung Gunung Kelud yang Minggu ini datang bersama anak laki-lakinya. Lurah di sebuah desa wilayah Kabupaten Jombang Jawa Timur ini mengaku datang karena diajak Medi Kresno Utomo, 10, anaknya. Kislan mengatakan, dirinya sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi Gunung Kelud yang berbahaya.
"Anak saya saja tidak takut, saya juga tidak takut," katanya. Mislan dan Medi mengaku sudah mendekat ke kubah lava. Kislan tidak sendirian. Dalam pengamatan The Post, beberapa pengunjung yang sudah berkeluarga, selalu mengajak serta anak-anaknya. "Nggak takut kok, cuma ingin tahu saja," kata seorang laki-laki sambil berlalu. Dia datang bersama istri dan dua anaknya yang masih berumur 3 tahun.
Tidak sedikit di antara pengunjung yang nekat mendekat, menuruni anak tangga sejauh 200-an meter, hingga berjarak beberapa meter ke kubah lava. Pengunjung yang masih berpikir tentang keselamatan, berhenti di ujung tangga, dan menyaksikan kubah lava itu dari lokasi itu. Meskipun ujung tangga juga bukan jarak yang aman.
Choirul Huda, kepala Pos Pemantauan Gunung Kelud hanya bisa mengelus dada ketika diriya mengetahui prilaku pengunjung Gunung Kelud yang nekat menerobos pagar pembatas. Choirul becerita, tidak sedikit orang yang muntah-muntah karena menghirup zat berbahaya yang keluar dari perut bumi di puncak Gunung Kelud. "Kami kan cuma mengingatkan, kalau ada apa-apa kami tidak bertanggungjawab lagi," katanya.
BERITA UNGGULAN
JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?
Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia.
Postingan Populer
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
Banyak dikunjungi
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Akun X @kkpgoid memposting "breaking news!!!" tentang penghentian kegiatan pemagaran laut tanpa izin. #SahabatBahari, hari ini KKP...
-
Kencan, bisa dilakukan kapan saja. Dalam Solusi Ibu kali ini, membahas kencan dengan pasangan, di tengah-tengah kehidupan keluarga yang mung...