Iman D. Nugroho
Artis Roy Marten divonis tiga tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Jumat (11/04) ini di Surabaya. Roy dianggap bersalah menggunakan dan memiliki zat psikotropika tanpa izin. Vonis itu lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut Roy Marten dengan hukuman penjara 3,5 tahun penjara.
Dalam persidangan yang diketuai oleh Berlin Damanik itu terungkap Roy Marten tidak terbukti bersalah seperti yang dituntutkan dalam dakwaan primer. Yakni bertransaksi atau menjual beli zat psikotropika jenis sabu-sabu. Dari pengakuan delapan saksi di pengadilan membuktikan Roy Marten tidak mengetahui transaksi sabu-sabu. ""Transaksi tidak diketahui oleh terdakwa, dan tidak sesuai dengan dakwaan primer," kata Berlin Damanik.
Namun, melalui keterangan saksi menyebutkan, Roy Marten bersama-sama tiga terdakwa yang lain menggunakan sabu-sabu yang sudah disiapkan oleh terdakwa Fredy Matatullah dan Didik Kesit. Karena itulah, unsur bersekongkol dan bersepakat untuk melakukan perbuatan sesuai dakwaan sekunder, serta unsur menggunakan dan memiliki dinilai majelis hakim sudah terpenuhi.
Yang memberatkan, Roy Marten dianggap melakukan kebohongan publik dan tidak menjaga kepercayaan yang sudah diberikan Badan Narkotika Nasional (BNN). Seperti diberitakan sebelumnya, kedatangan Roy Marten ke Surabaya karena diundang oleh BNN dan Jawa Pos, ketika akan menandatangani MOU Anti Narkoba. "Juga, terdakwa pernah dihukum dalam kasus yang sama," kata Majelis Hakim.
Karena beberapa pertimbangan itu, Roy Marten akhirnya dijatuhi vonis 3 tahun penjara, denda Rp.3 juta dan subsider 3 bulan. "Terdakwa secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur persekongkolan terhadap tindak pidana serta menyimpan, memiliki, atau membawa psikotropika yang melanggar pasal 71 ayat 1 jo pasal 62 ayat 2 UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika," kata Berlin Damanik. Baik Roy, Tim Pembela Hukum dan Jaksa Penuntut Umum mengaku pikir-pikir atas putusan itu.
Lebih jauh Roy mengatakan, putusan atas dirinya terlalu berat. Hukuman tiga tahun sama dengan hukuman pengedar. Padahal, dirinya bukan pengedar. "Tiga tahun terlalu berat, saya bukan pengedar," kata Roy usai pembacaan vonis. Vonis atas dirinya, kata Roy, sudah diputuskan sebelumnya. Sidang Jumat ini, katanya, hanya formalitas belaka.
Meski begitu, kepada The Jakarta Post Roy Marten mengatakan bahwa dirinya akan menjaga trust masyarakat yang belakangan luntur karena tertangkap dua kali. "Trust masyarakat kali ini akan saya jaga, ini serius,..saya tidak akan mengecewakan masyarakat lagi," katanya pada The Jakarta Post usai persidangan.
Dalam persidangan sebelumnya, empat terdakwa lain yang ditangkap bersamaan dengan Roy Marten dihukum 1-5 tahun penjara. Mereka adalah Windasari dengan vonis 1 tahun penjara, Fredy Matatullah dengan vonis 3,5 tahun penjara, Hong Ko Hong alias Hartanto dan Didit Kesit dengan dengan vonis masing-masing 5 tahun penjara.
Youtube Pilihan Iddaily: MBG
11 April 2008
10 April 2008
Penambangan Emas Banyuwangi Berkilau Petaka
Iman D. Nugroho
Matahari mulai condong ke barat, ketika Bejo ditemani istri dan anak keempatnya, menunggu waktu melaut di joglo samping tempat pelelalangan ikan Pantai Puger, Banyuwangi, Rabu (09/04/08) ini. Sesekali, laki-laki 60 tahun itu melemparkan pandangannya ke arah Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah, yang berjarak 5 Km ke arah timur. “Mungkin, inilah saat terakhir Saya melihat Gunung itu, sebentar lagi, gunung itu akan hilang karena ada penambangan emas,” kata Bejo.
Bejo dan 4500 jiwa warga Dusun Pancer adalah pihak yang paling resah dengan rencana penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah Banyuwangi. Aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Indo Multi Niaga (IMN) itu dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi mata pencahariannya sebagai nelayan. ”Kata orang-orang, akan ada pencemaran di laut dan membuat ikan-ikan pergi, lalu bagaimana nasib kami sebagai nelayan?” kata laki-laki yang istri pertamanya tewas saat tsunami menerjang Pantai Pancer pada 1994 ini.
Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, perjalanan aktivitas penambangan emas di Banyuwangi berawal dari rencana lama Hatman Group (HG), PT Hakman Platino Metallindo (HPM) dan Banyuwangi Mineral (BM) yang berencana membuka jalur emas Jember-Banyuwangi pada 1995. BM, juga dua perusahaan lain, PT. Indo Multi Cipta (IMC) dan PT. Indo Multi Niaga (IMN) adalah perusahaan emas milik pengusaha Yusuf Merukh. Merukh juga pemegang 20% saham PT. Newmont Minahasa Raya (NMR).
Karena rencana penambangan di Gunung Baban Silosanen, Jember mendapatkan perlawanan dari aktivis lingkungan, maka rencana penambangan dialihkan ke Banyuwangi. Hal itu bisa dilihat dari Berita Acara Pemeriksaan Lapangan (BAPL) terhadap Kawasan Hutan yang dimohon PT IMN, tertanggal 18 April 2007. Tepatnya pada petak 75, 76, 77 dan 78. Hebatnya, permohonan itu diterima, meskipun Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak pernah mengeluarkan izin tertulis. Dan pada 13 Februari 2007, eksplorasi deposit emas di Gunung Pitu dan Pulau Merah pun mulai dilakukan.
Matahari mulai condong ke barat, ketika Bejo ditemani istri dan anak keempatnya, menunggu waktu melaut di joglo samping tempat pelelalangan ikan Pantai Puger, Banyuwangi, Rabu (09/04/08) ini. Sesekali, laki-laki 60 tahun itu melemparkan pandangannya ke arah Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah, yang berjarak 5 Km ke arah timur. “Mungkin, inilah saat terakhir Saya melihat Gunung itu, sebentar lagi, gunung itu akan hilang karena ada penambangan emas,” kata Bejo.
Bejo dan 4500 jiwa warga Dusun Pancer adalah pihak yang paling resah dengan rencana penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah Banyuwangi. Aktivitas penambangan yang dilakukan oleh PT. Indo Multi Niaga (IMN) itu dikhawatirkan akan membawa dampak buruk bagi mata pencahariannya sebagai nelayan. ”Kata orang-orang, akan ada pencemaran di laut dan membuat ikan-ikan pergi, lalu bagaimana nasib kami sebagai nelayan?” kata laki-laki yang istri pertamanya tewas saat tsunami menerjang Pantai Pancer pada 1994 ini.
Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim, perjalanan aktivitas penambangan emas di Banyuwangi berawal dari rencana lama Hatman Group (HG), PT Hakman Platino Metallindo (HPM) dan Banyuwangi Mineral (BM) yang berencana membuka jalur emas Jember-Banyuwangi pada 1995. BM, juga dua perusahaan lain, PT. Indo Multi Cipta (IMC) dan PT. Indo Multi Niaga (IMN) adalah perusahaan emas milik pengusaha Yusuf Merukh. Merukh juga pemegang 20% saham PT. Newmont Minahasa Raya (NMR).
Karena rencana penambangan di Gunung Baban Silosanen, Jember mendapatkan perlawanan dari aktivis lingkungan, maka rencana penambangan dialihkan ke Banyuwangi. Hal itu bisa dilihat dari Berita Acara Pemeriksaan Lapangan (BAPL) terhadap Kawasan Hutan yang dimohon PT IMN, tertanggal 18 April 2007. Tepatnya pada petak 75, 76, 77 dan 78. Hebatnya, permohonan itu diterima, meskipun Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak pernah mengeluarkan izin tertulis. Dan pada 13 Februari 2007, eksplorasi deposit emas di Gunung Pitu dan Pulau Merah pun mulai dilakukan.
Sisi Keamanan Penambangan Emas (Bagian Ke-2)
Amankah aktivitas penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah? Dalam presentasi PT. Jember Mineral (JM) 29 Agustus 2000 di Jember dan presentasi PT Banyuwangi Mineral 31 Agustus 2000 lalu, dijelaskan adanya menerapkan sistem Submarine Tailing Disposal (STD) dalam pengolahan limbah penambangan. Rencana STD juga dapat dilihat pada analisis dampak lingkungan (Andal) yang telah dibuat PT. IMN. Block tailing direncanakan dibangun di tengah laut yang berdekatan dengan pulau merah.
”Pembuangan limbah model ini dipastikan akan menghancurkan beberapa jenis vegetasi laut di perairan itu sebagaimana tabel di bawah ini,” kata Direktur Walhi Jatim, Ridho Saiful Ashadi.
Pilihan underground mining dengan konsekuensi pembuangan limbah di darat pun tidak memiliki garansi untuk tidak mengalir ke laut. Harus diingat, blok Tumpang Pitu berdempetan dengan laut. Bahkan Pulau Merah dan Pulau Mahkota yang masuk dalam kawasan blok tersebut, justru merupakan pulau kecil yang berada di tengah laut. Pembuangan limbah ke darat bahkan akan mengancam pemukiman dan pertanian penduduk mengingat kawasan limbah tersebut direncanakan berada di kawasan daratan seluas 250 hektar.
Pengamat pertambangan yang juga anggota Forum Komunitasi Pencita Alam, Stevanus Bordonski menegaskan, hampir pasti penambangan deposit emas di Banyuwangi akan menimbulkan malapetaka. Karena memang seperti itulah efek samping yang dihasilkan oleh penambangan. Apalagi aktivitas penambangan di Indonesia selalu mengabaikan fase penting dalam penambangan, yakni study kelayakan. “Study kelayakan penting dilakukan untuk mengetahui kondisi ekologi dan sosial, sebelum, saat pelaksanaan dan sesudah penambangan, ini yang selalu tidak dilakukan secara kontinyu,” katanya pada The Jakarta Post.
Karenanya, penambangan cenderung meninggalkan kerusakan. Apalagi, secara teknis, penambangan tergolong proses yang mengerikan. Diawali dengan pengeboran (drill) dari berbagai sudut, pengeboran vertikal, pengeboran miring hingga pengeboran silang. Tujuan pengeboran tahap awal ini untuk mencari kapasitas deposit objek yang akan ditambang. “Melalui pengeboran tahap satu itu akan diketahui berapa jenis bahan tambang yang ada, berapa banyak dan berapa waktu yang diperlukan untuk menambang,” jelasnya. Bila data sudah didapat, maka dilakukan eksploitasi.
Proses eksploitasi ini tergolong mengerikan. Kecuali eksploitasi Uranium, sejak Perang Dunia II berakhir, tidak ada lagi eksploitasi vertikal dengan menggunakan terowongan (tunnel). Melainkan bentuk eksploitasi terbuka (open mining). Eksploitasi dengan ini secara otomatis akan membuang lapisan tanah yang tidak memiliki kandungan mineral atau over border. Jumlahnya bisa jutaan matrix ton. “Bentuknya seperti obat nyamuk, melingkar ke bawah semakin kecil, seperti yang dilakukan Newmont dan Freeport, tanah yang tidak bermineral akan dibuang ke waste dam,” jelas Stevanus. Jalan melinkar itu digunakan sebagai jalur truk untuk mengangkut soil.
Soil yang dikumpulkan dari lapisan tanah bermineral (deposit), kemudian akan diproses dengan menggunakan mesin canggih. Dalam proses itu, digunakan berbagai bahan berbahaya seperti arsenik, asam sianida, mercury dll. Melalui bahan kimia itu, akan dipisahkan mineral dan serbuk batu. Mineral yang sudah terkumpul akan dibuat konsentrat, sementara serbuk batu akan dibuang. “Jangan lupa, dalam setiap aktivitas penambangan, hasilnya tidak hanya satu jenis mineral saja, misalnya, dalam lapisan tanah itu akan ditemukan pula mineral lain yang bernilai ekonomis, seperti zeng, nikel, barium dan kloroid, semuanya memiliki nilai ekonomis,” jelas Stevanus.
Namun, yang lebih penting dari itu, adalah efek samping dari penambangan, yakni munculnya gas dan elemen berbahaya lain. Nah, hal inilah yang mebuat Stavanus bisa memastikan akan adanya malapetaka pertambangan. “Pasti, akan terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan, bahkan tidak mungkin akan berakibat kematian,” kata Stavanus.
”Pembuangan limbah model ini dipastikan akan menghancurkan beberapa jenis vegetasi laut di perairan itu sebagaimana tabel di bawah ini,” kata Direktur Walhi Jatim, Ridho Saiful Ashadi.
Pilihan underground mining dengan konsekuensi pembuangan limbah di darat pun tidak memiliki garansi untuk tidak mengalir ke laut. Harus diingat, blok Tumpang Pitu berdempetan dengan laut. Bahkan Pulau Merah dan Pulau Mahkota yang masuk dalam kawasan blok tersebut, justru merupakan pulau kecil yang berada di tengah laut. Pembuangan limbah ke darat bahkan akan mengancam pemukiman dan pertanian penduduk mengingat kawasan limbah tersebut direncanakan berada di kawasan daratan seluas 250 hektar.
Pengamat pertambangan yang juga anggota Forum Komunitasi Pencita Alam, Stevanus Bordonski menegaskan, hampir pasti penambangan deposit emas di Banyuwangi akan menimbulkan malapetaka. Karena memang seperti itulah efek samping yang dihasilkan oleh penambangan. Apalagi aktivitas penambangan di Indonesia selalu mengabaikan fase penting dalam penambangan, yakni study kelayakan. “Study kelayakan penting dilakukan untuk mengetahui kondisi ekologi dan sosial, sebelum, saat pelaksanaan dan sesudah penambangan, ini yang selalu tidak dilakukan secara kontinyu,” katanya pada The Jakarta Post.
Karenanya, penambangan cenderung meninggalkan kerusakan. Apalagi, secara teknis, penambangan tergolong proses yang mengerikan. Diawali dengan pengeboran (drill) dari berbagai sudut, pengeboran vertikal, pengeboran miring hingga pengeboran silang. Tujuan pengeboran tahap awal ini untuk mencari kapasitas deposit objek yang akan ditambang. “Melalui pengeboran tahap satu itu akan diketahui berapa jenis bahan tambang yang ada, berapa banyak dan berapa waktu yang diperlukan untuk menambang,” jelasnya. Bila data sudah didapat, maka dilakukan eksploitasi.
Proses eksploitasi ini tergolong mengerikan. Kecuali eksploitasi Uranium, sejak Perang Dunia II berakhir, tidak ada lagi eksploitasi vertikal dengan menggunakan terowongan (tunnel). Melainkan bentuk eksploitasi terbuka (open mining). Eksploitasi dengan ini secara otomatis akan membuang lapisan tanah yang tidak memiliki kandungan mineral atau over border. Jumlahnya bisa jutaan matrix ton. “Bentuknya seperti obat nyamuk, melingkar ke bawah semakin kecil, seperti yang dilakukan Newmont dan Freeport, tanah yang tidak bermineral akan dibuang ke waste dam,” jelas Stevanus. Jalan melinkar itu digunakan sebagai jalur truk untuk mengangkut soil.
Soil yang dikumpulkan dari lapisan tanah bermineral (deposit), kemudian akan diproses dengan menggunakan mesin canggih. Dalam proses itu, digunakan berbagai bahan berbahaya seperti arsenik, asam sianida, mercury dll. Melalui bahan kimia itu, akan dipisahkan mineral dan serbuk batu. Mineral yang sudah terkumpul akan dibuat konsentrat, sementara serbuk batu akan dibuang. “Jangan lupa, dalam setiap aktivitas penambangan, hasilnya tidak hanya satu jenis mineral saja, misalnya, dalam lapisan tanah itu akan ditemukan pula mineral lain yang bernilai ekonomis, seperti zeng, nikel, barium dan kloroid, semuanya memiliki nilai ekonomis,” jelas Stevanus.
Namun, yang lebih penting dari itu, adalah efek samping dari penambangan, yakni munculnya gas dan elemen berbahaya lain. Nah, hal inilah yang mebuat Stavanus bisa memastikan akan adanya malapetaka pertambangan. “Pasti, akan terjadi pencemaran dan kerusakan lingkungan, bahkan tidak mungkin akan berakibat kematian,” kata Stavanus.
Kegelisahan Taman Nasional Meru Betiri (Bagian Ke-3)
Penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah, Banyuwangi menggelisahkan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Sumarsono dari TNMB menjelaskan, secara administratif, penambangan di Banyuwangi sepenuhnya adalah tanggungjawab Perhutani Wilayah Banyuwangi Selatan. Karena secara geografis, posisi penambangan itu berada di dalam kawasan yang menjadi tanggungjawab pengelolaan Perhutani Wilayah Banyuwangi Selatan.
Hanya saja, efek buruk penambangan itu bisa mempengaruhi ekosistem di kawasan yang menjadi tanggung jawab TMNB. “Penambangan itu berada di bawah tanggungjawab Perhutani, tapi efek buruknya ikut pula kami rasakan,” kata Sumarsono pada The Jakarta Post. Posisi penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah berjarak hanya 10 mil dari tiga daerah penting TMNB. Yakni, Pantai Rajekwesi, Teluk Hijau dan Pantai Sukamade. Tiga wilayah itu adalah wilayah konservasi alam yang hingga saat ini tetap dijaga kealamiannya. Terutama Pantai Sukamade, yang merupakan daerah pandaratan penyu. “Pantai Sukamade adalah satu-satunya daerah pendaratan penyu di Samudera Hindia, yang kepemilikannya resmi dimiliki oleh Pemerintah Indonesia,” kata Sumarsono.
Penyu yang juga merupakan hewan yang dilindungi di seluruh dunia, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Sedikit saja ada perubahan ekosistem, maka penyu dipastikan akan meninggalkan daerah pendaratan. “Karena itu, Pantai Sukamade terus dijaga keasliannya, tapi bila limbah pertambangan mencemari Pantai Sukamade, bisa dipastikan tidak ada lagi tempat pendaratan penyu,” katanya. Ironisnya, hingga saat ini, pihak TMNB tidak pernah diajak bicara tentang rencana eksplorasi emas di Banyuwangi. Yang bisa dilakukan TMNB, hanya melaporkan secara berkala perkembangan eksplorasi emas di Banyuwangi kepada Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Hingga saat ini, hasil pengamatan TNMB, perkembangan eksplorasi emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah Banyuwangi sudah masuk ke tahap pengambilan contoh tanah melalui pengeboran dangkal di dua titik. Masing-masing titik memiliki kedalaman hingga 600 meter. Bila sudah dimulai eksploitasi dengan open pit mining (penambangan terbuka), maka TNMB akan menetapkan status “siaga merah” pada eskosistem di sekitar Pantai Sukamade dan sekitarnya. Bila sudah begitu, maka mau tidak mau pengawasan ekosistem di sekitar kawasan TNMB akan dilakukan siang dan malam. “Celakalah ekosistem kita,” katanya.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur memperkirakan, kerusakan ekologi akan menjadi bencana utama. Desa Pesanggaran dan Desa Sumber Agung (dua daerah yang masuk daerah penambangan emas) yang memiliki potensi air tanah dengan kapasitas 15-20 liter perdetik akan berubah. Dan hal itu akan menjadi awal terancam krisis air. Sekaligus berdampak pada hancurnya kedaulatan pangan sektor pertanian seperti; padi, jagung, jeruk, dan palawija. Padahal daerah ini merupakan salah satu lumbung padi Jawa Timur yang menyumbangkan 10 % dari total produksi. Saat ini pun, hal itu bisa dirasakan. Petani yang tinggal disekitar sungai Gangga, Banyuwangi, kini sudah mengeluh kekurangan air akibat air yang mengalir disungai itu dimanfaatkan untuk kepentingan eksplorasi PT. IMN.
Efek kedua adalah konflik sosial. Ini dapat dilihat dari munculnya penolakan nelayan Pancer terkait keberadaan perusahaan emas di dusun Pancer. PT. IMN juga telah mendirikan pos-pos penjagaan (militer) yang cukup ketat di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Mulai dari pintu gerbang gunung tersebut, para pengunjung diharuskan mengisi daftar buku identitas. Pos-pos penjagaan militer juga bertebaran dibanyak sudut, khususnya puncak gunung yang kini sudah rata dan banyak berdiri bangunan dan infra struktur untuk keperluan menuju tahapan eksploitasi. Bahkan lapangan helikopter juga sudah dibangun di puncak gunung. Bukan tidak mungkin kasus Pelanggaran Hamseperti yang terjadi di Papua (160 warga dibunuh sejak tahun 1975 hingga 1997 di sekitar tambang Freeport, akan juga terjadi.
Juga soal kemiskinan, yang menjadi dampak pembuangan tailing dengan model pembuangan ke laut. Berbagai jenis ikan laut dan sungai akan hilang, hingga membuat ribuan nelayan kehilangan mata pencahariannya. Beberapa jenis hewan yang ada di Blok Tumpang Pitu, dipastikan akan musnah. Sebut saja Babi Hutan (Sus vittatus), monyet (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa (Cervus unicolor), Bajing, Landak, dan Musang. Burung Gereja (Passer montanus), Kuntul Cina (Egretta eulophotus), Perkutut (Geopelia striata), Pipit (Lonchura sp), Prenjak (Prinia flaviventris), Sikatan (Cyornis concreta), dan Tekukur (Streptophylia chinensis), Ayam Hutan (Gallus bankiva), dan Camar Laut. Raptor (burung pemangsa). Sekaligus kepunahan reptil seperti Kadal, Biawak, Ular Tanah, Ular Hijau, Ular Air, Kobra dan Katak.
Hanya saja, efek buruk penambangan itu bisa mempengaruhi ekosistem di kawasan yang menjadi tanggung jawab TMNB. “Penambangan itu berada di bawah tanggungjawab Perhutani, tapi efek buruknya ikut pula kami rasakan,” kata Sumarsono pada The Jakarta Post. Posisi penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah berjarak hanya 10 mil dari tiga daerah penting TMNB. Yakni, Pantai Rajekwesi, Teluk Hijau dan Pantai Sukamade. Tiga wilayah itu adalah wilayah konservasi alam yang hingga saat ini tetap dijaga kealamiannya. Terutama Pantai Sukamade, yang merupakan daerah pandaratan penyu. “Pantai Sukamade adalah satu-satunya daerah pendaratan penyu di Samudera Hindia, yang kepemilikannya resmi dimiliki oleh Pemerintah Indonesia,” kata Sumarsono.
Penyu yang juga merupakan hewan yang dilindungi di seluruh dunia, memiliki kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Sedikit saja ada perubahan ekosistem, maka penyu dipastikan akan meninggalkan daerah pendaratan. “Karena itu, Pantai Sukamade terus dijaga keasliannya, tapi bila limbah pertambangan mencemari Pantai Sukamade, bisa dipastikan tidak ada lagi tempat pendaratan penyu,” katanya. Ironisnya, hingga saat ini, pihak TMNB tidak pernah diajak bicara tentang rencana eksplorasi emas di Banyuwangi. Yang bisa dilakukan TMNB, hanya melaporkan secara berkala perkembangan eksplorasi emas di Banyuwangi kepada Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.
Hingga saat ini, hasil pengamatan TNMB, perkembangan eksplorasi emas di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah Banyuwangi sudah masuk ke tahap pengambilan contoh tanah melalui pengeboran dangkal di dua titik. Masing-masing titik memiliki kedalaman hingga 600 meter. Bila sudah dimulai eksploitasi dengan open pit mining (penambangan terbuka), maka TNMB akan menetapkan status “siaga merah” pada eskosistem di sekitar Pantai Sukamade dan sekitarnya. Bila sudah begitu, maka mau tidak mau pengawasan ekosistem di sekitar kawasan TNMB akan dilakukan siang dan malam. “Celakalah ekosistem kita,” katanya.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur memperkirakan, kerusakan ekologi akan menjadi bencana utama. Desa Pesanggaran dan Desa Sumber Agung (dua daerah yang masuk daerah penambangan emas) yang memiliki potensi air tanah dengan kapasitas 15-20 liter perdetik akan berubah. Dan hal itu akan menjadi awal terancam krisis air. Sekaligus berdampak pada hancurnya kedaulatan pangan sektor pertanian seperti; padi, jagung, jeruk, dan palawija. Padahal daerah ini merupakan salah satu lumbung padi Jawa Timur yang menyumbangkan 10 % dari total produksi. Saat ini pun, hal itu bisa dirasakan. Petani yang tinggal disekitar sungai Gangga, Banyuwangi, kini sudah mengeluh kekurangan air akibat air yang mengalir disungai itu dimanfaatkan untuk kepentingan eksplorasi PT. IMN.
Efek kedua adalah konflik sosial. Ini dapat dilihat dari munculnya penolakan nelayan Pancer terkait keberadaan perusahaan emas di dusun Pancer. PT. IMN juga telah mendirikan pos-pos penjagaan (militer) yang cukup ketat di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu. Mulai dari pintu gerbang gunung tersebut, para pengunjung diharuskan mengisi daftar buku identitas. Pos-pos penjagaan militer juga bertebaran dibanyak sudut, khususnya puncak gunung yang kini sudah rata dan banyak berdiri bangunan dan infra struktur untuk keperluan menuju tahapan eksploitasi. Bahkan lapangan helikopter juga sudah dibangun di puncak gunung. Bukan tidak mungkin kasus Pelanggaran Hamseperti yang terjadi di Papua (160 warga dibunuh sejak tahun 1975 hingga 1997 di sekitar tambang Freeport, akan juga terjadi.
Juga soal kemiskinan, yang menjadi dampak pembuangan tailing dengan model pembuangan ke laut. Berbagai jenis ikan laut dan sungai akan hilang, hingga membuat ribuan nelayan kehilangan mata pencahariannya. Beberapa jenis hewan yang ada di Blok Tumpang Pitu, dipastikan akan musnah. Sebut saja Babi Hutan (Sus vittatus), monyet (Macaca fascicularis), Kijang (Muntiacus muntjak), Rusa (Cervus unicolor), Bajing, Landak, dan Musang. Burung Gereja (Passer montanus), Kuntul Cina (Egretta eulophotus), Perkutut (Geopelia striata), Pipit (Lonchura sp), Prenjak (Prinia flaviventris), Sikatan (Cyornis concreta), dan Tekukur (Streptophylia chinensis), Ayam Hutan (Gallus bankiva), dan Camar Laut. Raptor (burung pemangsa). Sekaligus kepunahan reptil seperti Kadal, Biawak, Ular Tanah, Ular Hijau, Ular Air, Kobra dan Katak.
Perlawanan Nelayan Pancer (Bagian ke-4)
Iman D. Nugroho
Pencemaran di laut itu juga yang membuat masyarakat sekitar lokasi penambangan emas bersepakat untuk melawan aktivitas penambangan. Dimotori oleh penduduk Dusun Pancer, yang mayoritas adalah nelayan tradisional, perlawanan itu diawali dengan upaya mengirim surat keberatan kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2007. Namun, hal itu tidak berefek apa-apa. Rencana penambangan pun terus dilakukan hingga masuk ke tahap eksplorasi pada tahun 2008. “Kami tidak tahu, apa yang salah dengan surat itu, yang pasti surat itu diabaikan,” kata Mudasar, Kepala Dusun Pancer pada The Post.
Puncaknya adalah Selasa (08/04/08) kemarin, ketika kemarahan warga Pancer tidak bisa lagi dibendung. Warga yang mendengar akan adanya kunjungan perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke Pantai Pancer, memblokade jalan. Tuntutan mereka hanya satu, yakni kemauan pemerintah untuk mendengar aspirasi mereka. “Kami tidak pernah minta macam-macam, tolong dengarkan aspirasi kami,” ungkap Mudasar yang pada tahun 1994 menjadi korban gelombang tsunami di Banyuwangi ini.
Mudasar menceritakan, beberapa minggu sebelum eksplorasi akan dilakukan, perwakilan PT. IMN menggelar petemuan dengan perwakilan warga. Dalam pertemuan itu, PT. IMN meminta izin akan melakukan kegiatan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah. “Saat itu mereka menjanjikan, proses penambangan akan dilakukan secara tertutup, dan limbahnya akan dikelola sehingga tidak mencemari laut,” kata Mudasar.
Bahkan, PT. IMN juga akan membangun masjid, jalan dan rumah sakit yang Dusun Pancer sebagai bukti keberpihakan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Namun, semuanya seakan berbalik ketika masyarakat mengetahui pernambangan tertutup sudah lama tidak digunakan. “Bahkan melalui VCD yang dibawa oleh teman-teman LSM, kami mengetahui aktivitas penambangan bisa berdampak sangat buruk, tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi manusia, karena itu kami sepakat menolak,” katanya.
Meskipun perlawanan itu begitu keras, namun faktanya, penduduk Pancer tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Mengingat tanah di Dusun Pancer berstatus tanah negara milik Kabupaten Banyuwangi. Artinya, negara berhak menggunakan tanah itu untuk kepentingan apapun. “Kami sadar bila posisi kami lemah, namun bukan berarti keberadaan warga Dusun Pancer diabaikan begitu saja kan,” katanya. Hal itu juga yang sepertinya membuat Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengabaikan aspirasi warga Dusun Pancer.
Mudasar mengingatkan, nelayan yang mencari ikan di Laut Selatan, khususnya di kawasan Pantai Pancer, bukan hanya nelayan Banyuwangi saja. Melainkan, nelayan daerah lain pun melakukan hal yang sama. “Ada ribuan nelayan yang mencari ikan di kawasan laut ini,” katanya. Mudasar tidak bisa membayangkan, bila akhirnya limbah penambangan akan mencemari laut dan membuat ikan-ikan di kawasan itu tercemari logam berat.
Jadi, apakah penambangan emas Banyuwangi masih bisa diteruskan?
Pencemaran di laut itu juga yang membuat masyarakat sekitar lokasi penambangan emas bersepakat untuk melawan aktivitas penambangan. Dimotori oleh penduduk Dusun Pancer, yang mayoritas adalah nelayan tradisional, perlawanan itu diawali dengan upaya mengirim surat keberatan kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2007. Namun, hal itu tidak berefek apa-apa. Rencana penambangan pun terus dilakukan hingga masuk ke tahap eksplorasi pada tahun 2008. “Kami tidak tahu, apa yang salah dengan surat itu, yang pasti surat itu diabaikan,” kata Mudasar, Kepala Dusun Pancer pada The Post.
Puncaknya adalah Selasa (08/04/08) kemarin, ketika kemarahan warga Pancer tidak bisa lagi dibendung. Warga yang mendengar akan adanya kunjungan perwakilan Pemerintah Provinsi Jawa Timur ke Pantai Pancer, memblokade jalan. Tuntutan mereka hanya satu, yakni kemauan pemerintah untuk mendengar aspirasi mereka. “Kami tidak pernah minta macam-macam, tolong dengarkan aspirasi kami,” ungkap Mudasar yang pada tahun 1994 menjadi korban gelombang tsunami di Banyuwangi ini.
Mudasar menceritakan, beberapa minggu sebelum eksplorasi akan dilakukan, perwakilan PT. IMN menggelar petemuan dengan perwakilan warga. Dalam pertemuan itu, PT. IMN meminta izin akan melakukan kegiatan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu dan Pulau Merah. “Saat itu mereka menjanjikan, proses penambangan akan dilakukan secara tertutup, dan limbahnya akan dikelola sehingga tidak mencemari laut,” kata Mudasar.
Bahkan, PT. IMN juga akan membangun masjid, jalan dan rumah sakit yang Dusun Pancer sebagai bukti keberpihakan perusahaan kepada masyarakat sekitar. Namun, semuanya seakan berbalik ketika masyarakat mengetahui pernambangan tertutup sudah lama tidak digunakan. “Bahkan melalui VCD yang dibawa oleh teman-teman LSM, kami mengetahui aktivitas penambangan bisa berdampak sangat buruk, tidak hanya bagi lingkungan, tapi juga bagi manusia, karena itu kami sepakat menolak,” katanya.
Meskipun perlawanan itu begitu keras, namun faktanya, penduduk Pancer tidak memiliki posisi tawar yang kuat. Mengingat tanah di Dusun Pancer berstatus tanah negara milik Kabupaten Banyuwangi. Artinya, negara berhak menggunakan tanah itu untuk kepentingan apapun. “Kami sadar bila posisi kami lemah, namun bukan berarti keberadaan warga Dusun Pancer diabaikan begitu saja kan,” katanya. Hal itu juga yang sepertinya membuat Pemerintah Kabupaten Banyuwangi mengabaikan aspirasi warga Dusun Pancer.
Mudasar mengingatkan, nelayan yang mencari ikan di Laut Selatan, khususnya di kawasan Pantai Pancer, bukan hanya nelayan Banyuwangi saja. Melainkan, nelayan daerah lain pun melakukan hal yang sama. “Ada ribuan nelayan yang mencari ikan di kawasan laut ini,” katanya. Mudasar tidak bisa membayangkan, bila akhirnya limbah penambangan akan mencemari laut dan membuat ikan-ikan di kawasan itu tercemari logam berat.
Jadi, apakah penambangan emas Banyuwangi masih bisa diteruskan?
Melawan Konversi Minyak Tanah Dengan Kompor Solar dan Serbuk Gergaji
Iman D. Nugroho
Ketika masyakat pengguna minyak tanah mengantri untuk mendapatkan minyak tanah yang semakin langka dan melambung harganya, H. Ali Soleh memilih untuk mengutak-atik kompor dagangannya. Satu pertanyaan yang ada dibenaknya, bagaimana kompor minyak tanah bisa terus menyala, dalam kondisi serba sulit seperti sekarang. "Setelah Saya coba, akhirnya Saya menemukan bahwa minyak solar lebih mudah dan murah untuk menggantikan minyak tanah," katanya pada The Jakarta Post. Perlawanan konversi minyak tanah pun dimulai..
H. Ali Soleh bisa jadi adalah salah satu dari jutaan orang di Indonesia yang terimbas naik dan langkanya minya tanah yang belakangan terjadi. Bedanya Haji Ali, tidak hanya pusing karena harga yang melambung, melainkan juga karena semakin sedikit konsumen yang membeli kompor produksinya. "Saya adalah pembuat kompor, sejak minyak tanah gonjang-ganjing, maka omset kompor buatan saya menurun hingga 80 persen," kata Haji Ali. Tidak hanya itu, laki-laki asli Sidoarjo, Jawa Timur ini juga harus memberhentikan 100 orang karyawan pabrik kompor miliknya.
Padahal sebelum gonjang-ganjing minyak tanah ini terjadi, kompor buatan Haji Ali yang dijual Rp.25-35 ribu itu bisa laku hingga 1000 biji/harinya. Sekarang, hanya laku, 250 biji/hari. Kondisi itu membuat bapak tujuh anak ini berpikir keras untuk tetap bertahan. Kuncinya, menurut Haji Ali, adalah mencari sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.
Program pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah dengan gas elpiji, menurut Haji Ali masih belum bisa diterima oleh masyarakat. "Masih banyak orang yang takut menggunakan gas," katanya. Pilihan bakar bakar alternatif itu jatuh pada solar. Bahan bakar minyak yang biasa digunakan untuk menjalankan mesin diesel itu, menurut Haji Ali memiliki karekter yang hampir sama dengan minyak tanah.
Apalagi, dari segi harga, solar relatif lebih murah, meskipun saat ini, harga solar masih lebih tinggi dari minyak gas. "Harga minyak gas sekitar Rp.3500/liter, sementara solar Rp.4300,-, tapi bila subsidi minyak tanah sudah dicabut, maka harga minyak tanah bisa melambung menjadi Rp.8000,-an, sementara harga solar tidak berubah,"katanya. Karena itu, dalam jangka panjang, harga solar masih bisa dijangkau. Haji Ali pun melakukan beberapa percobaan sederhana untuk mengukur kemampuan solar bila digunakan menjadi untuk kompor minyak.
Dalam percobaan itu, Haji Ali menemukan bukti bahwa kompor minyak tanah pun bisa dengan langsung diganti dengan solar. Tidak perlu dimodifikasi ulang. Dalam kondisi normal, solar yang diisikan di kompor minyak bisa menghasilkan api yang hampir sama dengan minyak tanah. "Coba lihat, apinya biru, seperti minyak tanah," kata Haji Ali ketika mencoba kompor solar dihadapan The Post. Panas yang dihasilkan pun relatif sama.
Untuk mendidihkan 5,5 air, kompor solar memerlukan waktu sekitar 30 menit. Waktu yang sama dengan kompor minyak. “Kalau melihat hasilnya, sepertinya panas yang dihasilkan pun tidak berbeda, mengapa tidak menggunakan solar untuk mengganti minyak tanah yang semakin mahal dan langka,” kata Haji Ali. Hanya saja, Haji Ali mengingatkan, tidak mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan solar. Bisa-bisa bisa dituduh menimbun solar. “Katanya kalau beli solar dalam ukuran banyak, akan dituduh menimbun ya, haha,..” celotehnya.
Inovasi Haji Ali tidak benhenti. Suksesnya eksperimen dengan solar, membuat pembuat kompor sejak 1982 itu kembali bereksperimen. Kali ini, serbuk berbaji kayu akan menjadi salah satu obyek percobaan. Ide serbuk gergaji kayu ini memang bukan ide orisinal. “Saya mendengar, sudah banyak orang di daerah Probolinggo, Jawa Timur yang menggunakan sebuk gergaji kayu untuk bahan bakar,” katanya.
Hanya saja, penggunaan serbuk gergaji secara tradisional tidak efektif dan cenderung boros. Secara sederhana, serbuk gergaji itu hanya dibakar saja. Namun, Haji Ali coba memadatkan dan mencetaknya menjadi balok-balok kecil. Dengan kepadatan yang tinggi, maka serbuk gergaji akan menjadi bahan bakar yang berkualitas. “Saya masih pesan serbuk bergaji untuk saya padatkan, bila sudah Saya nilai layak, mungkin akan Saya jual,” katanya.
Menyangkut ide serbuk gergaji ini, Haji Ali menekankan perlunya dilihat jenis kayu yang digunakan. Ada beberapa kayu yang menghasilkan minyak, bila serbuk gergajinya dipadatkan. “Karena itu, serbuk bergaji padat, belum sepenuhnya bisa digunakan, masih saya uji lagi,” jelasnya.
Satu hal yang pantas dipuji adalah, keikhlasan Haji Ali dalam menciptakan ide-ide kratif untuk keluar dari keterpurukan. “Semua masyarakat bisa menggunakan ide Saya ini dengan bebas, bahkan bila akan memproduksi secara massal, silahkan saja, asal bisa memudahkan hidup yang serba susah ini,” katanya. Hebat!
Ketika masyakat pengguna minyak tanah mengantri untuk mendapatkan minyak tanah yang semakin langka dan melambung harganya, H. Ali Soleh memilih untuk mengutak-atik kompor dagangannya. Satu pertanyaan yang ada dibenaknya, bagaimana kompor minyak tanah bisa terus menyala, dalam kondisi serba sulit seperti sekarang. "Setelah Saya coba, akhirnya Saya menemukan bahwa minyak solar lebih mudah dan murah untuk menggantikan minyak tanah," katanya pada The Jakarta Post. Perlawanan konversi minyak tanah pun dimulai..
H. Ali Soleh bisa jadi adalah salah satu dari jutaan orang di Indonesia yang terimbas naik dan langkanya minya tanah yang belakangan terjadi. Bedanya Haji Ali, tidak hanya pusing karena harga yang melambung, melainkan juga karena semakin sedikit konsumen yang membeli kompor produksinya. "Saya adalah pembuat kompor, sejak minyak tanah gonjang-ganjing, maka omset kompor buatan saya menurun hingga 80 persen," kata Haji Ali. Tidak hanya itu, laki-laki asli Sidoarjo, Jawa Timur ini juga harus memberhentikan 100 orang karyawan pabrik kompor miliknya.
Padahal sebelum gonjang-ganjing minyak tanah ini terjadi, kompor buatan Haji Ali yang dijual Rp.25-35 ribu itu bisa laku hingga 1000 biji/harinya. Sekarang, hanya laku, 250 biji/hari. Kondisi itu membuat bapak tujuh anak ini berpikir keras untuk tetap bertahan. Kuncinya, menurut Haji Ali, adalah mencari sumber bahan bakar alternatif pengganti minyak tanah.
Program pemerintah untuk mengkonversi minyak tanah dengan gas elpiji, menurut Haji Ali masih belum bisa diterima oleh masyarakat. "Masih banyak orang yang takut menggunakan gas," katanya. Pilihan bakar bakar alternatif itu jatuh pada solar. Bahan bakar minyak yang biasa digunakan untuk menjalankan mesin diesel itu, menurut Haji Ali memiliki karekter yang hampir sama dengan minyak tanah.
Apalagi, dari segi harga, solar relatif lebih murah, meskipun saat ini, harga solar masih lebih tinggi dari minyak gas. "Harga minyak gas sekitar Rp.3500/liter, sementara solar Rp.4300,-, tapi bila subsidi minyak tanah sudah dicabut, maka harga minyak tanah bisa melambung menjadi Rp.8000,-an, sementara harga solar tidak berubah,"katanya. Karena itu, dalam jangka panjang, harga solar masih bisa dijangkau. Haji Ali pun melakukan beberapa percobaan sederhana untuk mengukur kemampuan solar bila digunakan menjadi untuk kompor minyak.
Dalam percobaan itu, Haji Ali menemukan bukti bahwa kompor minyak tanah pun bisa dengan langsung diganti dengan solar. Tidak perlu dimodifikasi ulang. Dalam kondisi normal, solar yang diisikan di kompor minyak bisa menghasilkan api yang hampir sama dengan minyak tanah. "Coba lihat, apinya biru, seperti minyak tanah," kata Haji Ali ketika mencoba kompor solar dihadapan The Post. Panas yang dihasilkan pun relatif sama.
Untuk mendidihkan 5,5 air, kompor solar memerlukan waktu sekitar 30 menit. Waktu yang sama dengan kompor minyak. “Kalau melihat hasilnya, sepertinya panas yang dihasilkan pun tidak berbeda, mengapa tidak menggunakan solar untuk mengganti minyak tanah yang semakin mahal dan langka,” kata Haji Ali. Hanya saja, Haji Ali mengingatkan, tidak mudah bagi masyarakat untuk mendapatkan solar. Bisa-bisa bisa dituduh menimbun solar. “Katanya kalau beli solar dalam ukuran banyak, akan dituduh menimbun ya, haha,..” celotehnya.
Inovasi Haji Ali tidak benhenti. Suksesnya eksperimen dengan solar, membuat pembuat kompor sejak 1982 itu kembali bereksperimen. Kali ini, serbuk berbaji kayu akan menjadi salah satu obyek percobaan. Ide serbuk gergaji kayu ini memang bukan ide orisinal. “Saya mendengar, sudah banyak orang di daerah Probolinggo, Jawa Timur yang menggunakan sebuk gergaji kayu untuk bahan bakar,” katanya.
Hanya saja, penggunaan serbuk gergaji secara tradisional tidak efektif dan cenderung boros. Secara sederhana, serbuk gergaji itu hanya dibakar saja. Namun, Haji Ali coba memadatkan dan mencetaknya menjadi balok-balok kecil. Dengan kepadatan yang tinggi, maka serbuk gergaji akan menjadi bahan bakar yang berkualitas. “Saya masih pesan serbuk bergaji untuk saya padatkan, bila sudah Saya nilai layak, mungkin akan Saya jual,” katanya.
Menyangkut ide serbuk gergaji ini, Haji Ali menekankan perlunya dilihat jenis kayu yang digunakan. Ada beberapa kayu yang menghasilkan minyak, bila serbuk gergajinya dipadatkan. “Karena itu, serbuk bergaji padat, belum sepenuhnya bisa digunakan, masih saya uji lagi,” jelasnya.
Satu hal yang pantas dipuji adalah, keikhlasan Haji Ali dalam menciptakan ide-ide kratif untuk keluar dari keterpurukan. “Semua masyarakat bisa menggunakan ide Saya ini dengan bebas, bahkan bila akan memproduksi secara massal, silahkan saja, asal bisa memudahkan hidup yang serba susah ini,” katanya. Hebat!
07 April 2008
Usai Gembok Gerbang DPRD Sidoarjo, Tuntutan Korban Lumpur Baru Diperhatikan
Iman D. Nugroho
Aksi tiga desa korban lumpur Lapindo, Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedung Cangkring, Porong Sidoarjo terus berlanjut. Kali ini, demonstrasi dilakukan dengan menggembok pintu gerbang gedung DPRD Sidoarjo, Senin (7/04). Hebatnya, setelah itu, justru tuntutan demonstran untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya lumpur, menemukan harapan.
Aksi itu berlangsung Senin pagi, sekitar pukul 06.30 WIB. Perwakilan tiga desa yang datang sebelum blokade polisi disiapkan itu segera menuju ke teras gedung DPRD Sidoarjo. Beberapa di antara mereka menggembok gerbang gedung Wakil Rakyat itu, dan menyimpan kuncinya. Aksi mereka sempat membuat beberapa polisi kelimpungan, dan melakukan negosiasi.
Warga menolak dan menuntut adanya dialog dengan anggota DPRD Sidoarjo. Bila hal itu tidak dipenuhi, maka warga akan nekad bertahan di dalam gedung. Staff DPRD Sidoarjo yang datang setelah gedung digembok, harus rela menunggu di luar gedung dewan. Polisi yang "kecolongan" pun bernegosiasi dengan demonstran. Di tengan negosiasi itu, pasukan Dalmas Polri bersenjata lengkap datang dan segera membentuk barikade.
Sekitar pukul 09.00 Wib, negosiasi itu membawa hasil, Warga bersedia membuka gembok dan mengizinkan staff DPRD Sidoarjo untuk masuk ke dalam gedung, asalkan ada dialog antara warga dengan wakil rakyat. Tuntutan itu dipenuhi. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham bersedia menemui perwakilan warga.
Dalam dialog itu, warga kembali mengutarakan tuntutan kepada pemerintah untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya Lumpur Lapindo. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham mengatakan bahwa pihaknya tidak dalam kapasitas untuk memenuhi tuntutan warga. Meski begitu, Alham bersedia memfasilitasi kepergian warga ke Jakarta untuk berbicara langsung dengan Pemerintah Pusat.
"Kita akhirnya setuju untuk berangkat ke Jakarta untuk bedialog dengan Panitia Angaran DPR-RI, Menteri Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Menteri Pekerjaan Umum," kata Koordinator Lapangan aksi, Abdul Rokhim. Keberangkatan akan dilakukan Senin sore. Demonstran pun membubarkan diri. "Kalau begini dari kemarin kan nggak perlu susah-susah," kata seorang demonstran sambil berlalu.
Aksi tiga desa korban lumpur Lapindo, Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedung Cangkring, Porong Sidoarjo terus berlanjut. Kali ini, demonstrasi dilakukan dengan menggembok pintu gerbang gedung DPRD Sidoarjo, Senin (7/04). Hebatnya, setelah itu, justru tuntutan demonstran untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya lumpur, menemukan harapan.
Aksi itu berlangsung Senin pagi, sekitar pukul 06.30 WIB. Perwakilan tiga desa yang datang sebelum blokade polisi disiapkan itu segera menuju ke teras gedung DPRD Sidoarjo. Beberapa di antara mereka menggembok gerbang gedung Wakil Rakyat itu, dan menyimpan kuncinya. Aksi mereka sempat membuat beberapa polisi kelimpungan, dan melakukan negosiasi.
Warga menolak dan menuntut adanya dialog dengan anggota DPRD Sidoarjo. Bila hal itu tidak dipenuhi, maka warga akan nekad bertahan di dalam gedung. Staff DPRD Sidoarjo yang datang setelah gedung digembok, harus rela menunggu di luar gedung dewan. Polisi yang "kecolongan" pun bernegosiasi dengan demonstran. Di tengan negosiasi itu, pasukan Dalmas Polri bersenjata lengkap datang dan segera membentuk barikade.
Sekitar pukul 09.00 Wib, negosiasi itu membawa hasil, Warga bersedia membuka gembok dan mengizinkan staff DPRD Sidoarjo untuk masuk ke dalam gedung, asalkan ada dialog antara warga dengan wakil rakyat. Tuntutan itu dipenuhi. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham bersedia menemui perwakilan warga.
Dalam dialog itu, warga kembali mengutarakan tuntutan kepada pemerintah untuk percepatan pembayaran dan penetapan daerah yang masuk dalam zona berbahaya Lumpur Lapindo. Wakil Ketua DPRD Sidoarjo, Djalalludin Alham mengatakan bahwa pihaknya tidak dalam kapasitas untuk memenuhi tuntutan warga. Meski begitu, Alham bersedia memfasilitasi kepergian warga ke Jakarta untuk berbicara langsung dengan Pemerintah Pusat.
"Kita akhirnya setuju untuk berangkat ke Jakarta untuk bedialog dengan Panitia Angaran DPR-RI, Menteri Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Menteri Pekerjaan Umum," kata Koordinator Lapangan aksi, Abdul Rokhim. Keberangkatan akan dilakukan Senin sore. Demonstran pun membubarkan diri. "Kalau begini dari kemarin kan nggak perlu susah-susah," kata seorang demonstran sambil berlalu.
05 April 2008
Mempertajam Fokus Dampak Sosial Dalam AAS 2008
Press Release
Kondisi bangsa sebenarnya dapat terekam dalam berbagai karya jurnalistik yang dihasilkan oleh insan pers di Indonesia. Hal ini terutama terlihat dalam karya-karya jurnalistik investigatif maupun humaniora yang tidak lekang jaman dan selalu menjadi pengingat bagi kita semua mengenai apa yang telah terjadi di tahun-tahun terdahulu.
Melalui payung program Sampoerna untuk Media, ajang kompetisi karya jurnalistik Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) kembali dibuka dan mengajak para jurnalis Indonesia untuk berpartisipasi dalam ajang tahunan ini. Program ini diharapkan dapat turut memotivasi mereka untuk terus menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.
“Kami ingin ajang AAS ini dapat memotivasi para jurnalis untuk terus menghasilkan karya-karya jurnalistik yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Indonesia,” kata Niken Rachmad, Direktur Komunikasi PT HM Sampoerna Tbk. “Kami harap media dapat menyuarakan realita sosial yang ada, sehingga para pembaca juga dapat mengetahui apa yang terjadi dan kemudian tergerak serta bertindak untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih positif.”
Untuk itulah, tahun ini ajang kompetisi jurnalistik bergengsi AAS 2008 mempertajam fokusnya untuk memberikan penghargaan bagi karya-karya jurnalistik terbaik yang berdampak sosial. “Tahun ini, kategori hardnews dan feature yang digunakan dalam ajang AAS sebelumnya, kami pertajam menjadi kategori reportase investigatif dan humaniora,” demikian dikatakan Yosep Adi Prasetyo, salah satu Pendiri Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang juga merupakan anggota dewan juri AAS 2008.
“Kami harap karya-karya yang masuk nantinya dapat merekam kondisi bangsa secara nyata, sehingga memiliki dampak sosial bagi masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi para jurnalis untuk menghasilkan karya yang bisa menjadi patron di tahun penyelenggaraan AAS.”
Dengan perubahan ini, maka dalam AAS 2008, wartawan cetak/online dapat mengirimkan karya mereka dalam kategori reportase investigatif, humaniora, dan foto jurnalistik, di enam bidang: seni dan budaya, olah raga, ekonomi/bisnis, sosial, politik, dan hukum.
Tahun ini, karena banyaknya permintaan, AAS 2008 juga membuka satu kategori baru bagi insan pertelevisian Indonesia, yakni kategori jurnalistik televisi. “Tayangan jurnalistik televisi di sini bisa berupa berita, investigasi, talkshow, feature, atau dokumenter, dan durasinya tidak dibatasi. Bagi kami, yang terpenting adalah tayangan tersebut memiliki kemasan yang menarik, serta memiliki nilai berita dan nilai sosial yang tinggi,” kata Arswendo Atmowiloto, sutradara, produser, dan budayawan yang menjadi anggota dewan juri AAS 2008 untuk kategori televisi.
Dengan masuknya kategori televisi ini, maka terdapat total 19 kategori dalam AAS 2008—18 kategori untuk print/online serta 1 kategori untuk televisi. Ajang AAS yang dimulai pada tahun 2006 ini memang telah merangkak naik menjadi salah satu
ajang kompetisi jurnalistik bergengsi di Indonesia.
Untuk memudahkan komunikasi dan sosialisasi AAS 2008 ini, Panitia juga telah memanfaatkan fasilitas blog khusus yakni: http://anugerahadiwarta.org/. Lewat blog ini, Panitia akan terus memberikan informasi sehubungan dengan AAS 2008, dimana peserta dapat mengajukan pertanyaan atau melihat persyaratan serta ketentuan yang berlaku untuk mengikuti ajang AAS tahun ini. ***
Kondisi bangsa sebenarnya dapat terekam dalam berbagai karya jurnalistik yang dihasilkan oleh insan pers di Indonesia. Hal ini terutama terlihat dalam karya-karya jurnalistik investigatif maupun humaniora yang tidak lekang jaman dan selalu menjadi pengingat bagi kita semua mengenai apa yang telah terjadi di tahun-tahun terdahulu.
Melalui payung program Sampoerna untuk Media, ajang kompetisi karya jurnalistik Anugerah Adiwarta Sampoerna (AAS) kembali dibuka dan mengajak para jurnalis Indonesia untuk berpartisipasi dalam ajang tahunan ini. Program ini diharapkan dapat turut memotivasi mereka untuk terus menghasilkan karya-karya yang berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat banyak.
“Kami ingin ajang AAS ini dapat memotivasi para jurnalis untuk terus menghasilkan karya-karya jurnalistik yang memiliki dampak sosial bagi masyarakat Indonesia,” kata Niken Rachmad, Direktur Komunikasi PT HM Sampoerna Tbk. “Kami harap media dapat menyuarakan realita sosial yang ada, sehingga para pembaca juga dapat mengetahui apa yang terjadi dan kemudian tergerak serta bertindak untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih positif.”
Untuk itulah, tahun ini ajang kompetisi jurnalistik bergengsi AAS 2008 mempertajam fokusnya untuk memberikan penghargaan bagi karya-karya jurnalistik terbaik yang berdampak sosial. “Tahun ini, kategori hardnews dan feature yang digunakan dalam ajang AAS sebelumnya, kami pertajam menjadi kategori reportase investigatif dan humaniora,” demikian dikatakan Yosep Adi Prasetyo, salah satu Pendiri Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang juga merupakan anggota dewan juri AAS 2008.
“Kami harap karya-karya yang masuk nantinya dapat merekam kondisi bangsa secara nyata, sehingga memiliki dampak sosial bagi masyarakat. Ini merupakan tantangan bagi para jurnalis untuk menghasilkan karya yang bisa menjadi patron di tahun penyelenggaraan AAS.”
Dengan perubahan ini, maka dalam AAS 2008, wartawan cetak/online dapat mengirimkan karya mereka dalam kategori reportase investigatif, humaniora, dan foto jurnalistik, di enam bidang: seni dan budaya, olah raga, ekonomi/bisnis, sosial, politik, dan hukum.
Tahun ini, karena banyaknya permintaan, AAS 2008 juga membuka satu kategori baru bagi insan pertelevisian Indonesia, yakni kategori jurnalistik televisi. “Tayangan jurnalistik televisi di sini bisa berupa berita, investigasi, talkshow, feature, atau dokumenter, dan durasinya tidak dibatasi. Bagi kami, yang terpenting adalah tayangan tersebut memiliki kemasan yang menarik, serta memiliki nilai berita dan nilai sosial yang tinggi,” kata Arswendo Atmowiloto, sutradara, produser, dan budayawan yang menjadi anggota dewan juri AAS 2008 untuk kategori televisi.
Dengan masuknya kategori televisi ini, maka terdapat total 19 kategori dalam AAS 2008—18 kategori untuk print/online serta 1 kategori untuk televisi. Ajang AAS yang dimulai pada tahun 2006 ini memang telah merangkak naik menjadi salah satu
ajang kompetisi jurnalistik bergengsi di Indonesia.
Untuk memudahkan komunikasi dan sosialisasi AAS 2008 ini, Panitia juga telah memanfaatkan fasilitas blog khusus yakni: http://anugerahadiwarta.org/. Lewat blog ini, Panitia akan terus memberikan informasi sehubungan dengan AAS 2008, dimana peserta dapat mengajukan pertanyaan atau melihat persyaratan serta ketentuan yang berlaku untuk mengikuti ajang AAS tahun ini. ***
04 April 2008
Mahasiswa: Turunkan Harga Sekarang Juga!
Iman D. Nugroho
Aktivis mahasiswa Surabaya yang tergabung dalam Gerakan Nasional Turunkan Harga menuntut pemerintah untuk segera menurunkan harga barang-barang kebutuhan pokok, dalam demonstrasi Jumat (4/04/08) ini di Surabaya. Demonstran yang merupakan kumpulan Badan Eksekutif Mahasiswa (DEM) universitas di Surabaya itu menganggap pemerintah tidak serius bekerja.
Demonstrasi yang diawali dengan long march itu berlangsung sekitar pukul 13.00 WIB. Sekitar 20-an mahasiswa mengarak spanduk dan aksi teatrikal di sepanjang Jl. Pemuda menuju ke Jl. Gubernur Suryo. Meski hanya dilakukan puluhan mahasiswa, demonstrasi itusempat memacetkan jalan protokol utama Kota Pahlawan, lantaran memakan separuh badan jalan.
"Maafkan bila demonstrasi ini sedikit mengganggu, tapi ini demo rakyat yang semakin sengsara," kata orator mahasiswa di sela-sela demonstrasinya. Beberapa pengguna jalan terlihat menyambut demonstrasi itu dengan lambaian tangan. Ada juga yang menghidupkan klakson dan lampu kota tanda dukungan pada mahasiswa.
Dalam selebaran yang dibagikan, demonstran menyoroti kelangkaan minyak dan naiknya harga kebutuhan pokok. Fenomena itu, menurut mahasiswa adalah bukti tidak adanya perhatian yang serius pemerintah. Bila kondisi ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan terjadi chaos di berbagai tempat, karena masyarakat tidak lagi bisa menahan tekanan yang begitu rupa.
Karena itu, mahasiswa mengajak seluruh elemen masyakat untuk tidak lagi diam, dan ikut bergerak menuntut pemerintah segera memperbaiki kondisi ini. "Kita harus segera bergerak untuk bisa keluar dari kondisi ini," tulis mahasiswa melalui selebaran yang ditandatangani Koordinator Lapangan demonstrasi, Heru Abdullah.
Aktivis mahasiswa Surabaya yang tergabung dalam Gerakan Nasional Turunkan Harga menuntut pemerintah untuk segera menurunkan harga barang-barang kebutuhan pokok, dalam demonstrasi Jumat (4/04/08) ini di Surabaya. Demonstran yang merupakan kumpulan Badan Eksekutif Mahasiswa (DEM) universitas di Surabaya itu menganggap pemerintah tidak serius bekerja.
Demonstrasi yang diawali dengan long march itu berlangsung sekitar pukul 13.00 WIB. Sekitar 20-an mahasiswa mengarak spanduk dan aksi teatrikal di sepanjang Jl. Pemuda menuju ke Jl. Gubernur Suryo. Meski hanya dilakukan puluhan mahasiswa, demonstrasi itusempat memacetkan jalan protokol utama Kota Pahlawan, lantaran memakan separuh badan jalan.
"Maafkan bila demonstrasi ini sedikit mengganggu, tapi ini demo rakyat yang semakin sengsara," kata orator mahasiswa di sela-sela demonstrasinya. Beberapa pengguna jalan terlihat menyambut demonstrasi itu dengan lambaian tangan. Ada juga yang menghidupkan klakson dan lampu kota tanda dukungan pada mahasiswa.
Dalam selebaran yang dibagikan, demonstran menyoroti kelangkaan minyak dan naiknya harga kebutuhan pokok. Fenomena itu, menurut mahasiswa adalah bukti tidak adanya perhatian yang serius pemerintah. Bila kondisi ini tidak segera diatasi, bukan tidak mungkin akan terjadi chaos di berbagai tempat, karena masyarakat tidak lagi bisa menahan tekanan yang begitu rupa.
Karena itu, mahasiswa mengajak seluruh elemen masyakat untuk tidak lagi diam, dan ikut bergerak menuntut pemerintah segera memperbaiki kondisi ini. "Kita harus segera bergerak untuk bisa keluar dari kondisi ini," tulis mahasiswa melalui selebaran yang ditandatangani Koordinator Lapangan demonstrasi, Heru Abdullah.
02 April 2008
Kamis Ini, Gugatan Praperadilan Kapolres Sumenep Digelar
Sidang pertama gugatan pra peradilan antara M. Ikhsan(35) warga Dusun Gili-gili, RT/RW : 01/10, Desa Pajenangger, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Sumenep akan berlangsung Kamis(3/4) besok. Dalam persidangan itu, M. Ikhsan dengan didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mempradilankan Kapolres Sumenep dan Kapolsek Arjasa, dalam perkara penangkapan dan penahanan yang tidak sah (sewenang-wenang).
Dalam press releasenya LBH Surabaya menjelaskan, kasus ini berawal dari penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh delapan anggota Polsek Arjasa kepada M. Ikhsan. Dalam penangkapan tersebut, petugas tidak membawa surat perintah apapun yang dapat menunjukkan bahwa tindakan tersebut berada dalam urusan dinas resmi. Bagi LBH Surabaya, penangkapan sewenang-wenang tersebut tidak lain merupakan penculikan yang dilakukan oleh polisi.
M. Ikhsan yang merasa tidak bersalah, berusaha untuk menyelamatkan diri dengan naik ke atas plafon. Namun apa daya, polisi justru menembak kaki kanan M. Ikhsan. Selanjutnya, polisi justru memaksa istri korban untuk membiayai pengobatan M. Ikhsan, sebesar Rp. 5 juta. Saat ini, M. Ikhsan masih berada dalam Klinik Polres Sumenep dan diletakkan dalam ruang khusus berterali besi dan dijaga selama 24 jam.
Sampai gugatan di daftarkan pada Kamis, 27 Maret 2008, M. Ikhsan, keluarga maupun LBH Surabaya selaku kuasanya, tidak mengetahui tindak pidana apa yang dituduhkan kepada M. Ikhsan, karena Polisi tidak pernah menyerahkan dokumen apapun. Gugatan ini penting sebagai shock therapy bagi Kepolisian secara umum, dan Kepolisian Resort Sumenep pada khususnya. "Agar polisi tidak lagi sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, terlebih dengan menggunakan kekerasan," tulis Athoillah, SH, Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya dalam press releasenya.
Dalam press releasenya LBH Surabaya menjelaskan, kasus ini berawal dari penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh delapan anggota Polsek Arjasa kepada M. Ikhsan. Dalam penangkapan tersebut, petugas tidak membawa surat perintah apapun yang dapat menunjukkan bahwa tindakan tersebut berada dalam urusan dinas resmi. Bagi LBH Surabaya, penangkapan sewenang-wenang tersebut tidak lain merupakan penculikan yang dilakukan oleh polisi.
M. Ikhsan yang merasa tidak bersalah, berusaha untuk menyelamatkan diri dengan naik ke atas plafon. Namun apa daya, polisi justru menembak kaki kanan M. Ikhsan. Selanjutnya, polisi justru memaksa istri korban untuk membiayai pengobatan M. Ikhsan, sebesar Rp. 5 juta. Saat ini, M. Ikhsan masih berada dalam Klinik Polres Sumenep dan diletakkan dalam ruang khusus berterali besi dan dijaga selama 24 jam.
Sampai gugatan di daftarkan pada Kamis, 27 Maret 2008, M. Ikhsan, keluarga maupun LBH Surabaya selaku kuasanya, tidak mengetahui tindak pidana apa yang dituduhkan kepada M. Ikhsan, karena Polisi tidak pernah menyerahkan dokumen apapun. Gugatan ini penting sebagai shock therapy bagi Kepolisian secara umum, dan Kepolisian Resort Sumenep pada khususnya. "Agar polisi tidak lagi sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, terlebih dengan menggunakan kekerasan," tulis Athoillah, SH, Kepala Bidang Operasional LBH Surabaya dalam press releasenya.
BERITA UNGGULAN
JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?
Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia.
Postingan Populer
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
Banyak dikunjungi
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Kencan, bisa dilakukan kapan saja. Dalam Solusi Ibu kali ini, membahas kencan dengan pasangan, di tengah-tengah kehidupan keluarga yang mung...
-
Akun X @kkpgoid memposting "breaking news!!!" tentang penghentian kegiatan pemagaran laut tanpa izin. #SahabatBahari, hari ini KKP...