06 Maret 2008

ITS Tebarkan Virus di Enam Kampus

Iman D. Nugroho

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya melalui Center For Enterpreneurship Development (CED) menebar virus. Bukan virus berbahaya sih, melain virus technopreneurship atau wirausahawan bidang teknologi. Keenam kampus yang akan disebari virus itu adalah Universitas Negeri Airlangga (Unair) Surabaya, Universitas Negeri Jember (Unej), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Negeri Brawijaya (Unibraw), Universitas Kristen (UK) Petra dan tentu saja ITS sendiri.

Ketua Technopreneurship CED Ir. Mudji Irmawan mengatakan, upaya ini ditujukan untuk membumikan technoprenuer di kalangan mahasiswa. Tiga tahun silam, saat pertama kali dirintis, technoprenuer ditujukan untuk intern mahasiswa ITS. Tidak sia-sia, sejak saat itu, CED sudah mempunyai beberapa unit usaha yang dikerjakan oleh mahasiswa. "Ada bidang IT, pengolahan tumbuhan, hingga budidaya perikanan," ujarnya.

Para mahasiswa memproduksi mesin dan teknologinya, sementara yang melaksanakan adalah para siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). "Mereka sudah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri,’’ kata Mudji. Hal semacam inilah yang akan ditularkan CED ke kampus lain-lain. "Karena itu, kita sebarkan virus technopreneurship ini ke enam kampus, saya yakin ada gunanya," ujarnya.

Technopreneur juga bisa dilihat sebagai bentuk tanggung jawab institusi terhadap mahasiswanya. Semacam layanan purna jual mahasiswa oleh institusi kampusnya. Selama ini kebanyakan institusi pendidikan lepas tangan dengan produk sarjana yang telah dihasilkan. "Mereka nggak peduli apakah lulusannya itu bekerja, atau tidak. Lepas dari kampus ya sudah lepas begitu saja,’’ kata Direktur CED, Widya Utama.

Dengan program CED, mahasiswa sudah disiapkan sejak dini untuk mampu terjun dan berkembang di dunia usaha. Apalagi potensi mahasiswa untuk menghasilkan teknologi yang layak jual sangat besar. Selama ini, ide pemikiran kreatif mahasiswa masih banyak yang mandeg di tataran skripsi. "Setelah tugas akhir dibukukan ya sudah. Padahal itu bisa jadi uang," terang Widya yang juga dosen mata kuliah Fisika ini.

Widya mencontohkan PR (pekerjaan rumah) para mahasiswa teknik informatika berupa game. Walau sekedar PR, namun game karya mahasiswa ini sangat menarik bagi anak SMA ataupun SMP. "Game yang hanya PR ini kan bisa dijual. Kalau bayar baru bisa download, si mahasiswa pencipta juga mendapatkan royalti setiap karyanya didownload," paparnya.

Dia berharap road show workshop ke enam kampus ini nantinya dapat menjadi jejaring program technopreneurship. "Angan-angan ke depan setiap kampus punya produk hasil karya mahasiswanya sendiri," lanjutnya.

Sebagai langkah pendukung lainnya, dalam waktu dekat ini CED ITS akan meluncurkan situs toko online. Situs ini akan menjembatani penjual dan pembeli dari berbagai tempat. "Namanya masih belum diputuskan," ujarnya. Dan sebagai langkah terobosan baru, pembayaran atas hasil transaksi cukup melalui SMS yang disponsori oleh provider Telkomsel. "Kita akan launching toko online ini 17 Maret mendatang," pungkasnya.

04 Maret 2008

Sebulan Berlalu, Nasib Korban Banjir Situbondo Bertalu-talu

Iman D. Nugroho

Korban banjir bandang di Situbondo, Jawa Timur, menolak rencana pemerintah yang akan merelokasi mereka dari bantaran sungai. Selain daerah relokasi yang jauh dari kota, relokasi juga dinilai sebagai upaya oknum pemerintah untuk ikut "menikmati" dana bantuan yang menjadi hak korban banjir. Tidak adanya titik temu itulah yang membuat korban banjir bandang Situbondo masih terkatung-katung hingga kini.

----------------------------

Tenda biru berukuran 4x4 itu menjadi satu-satunya harapan bagi Suryotomo (59), untuk terhindar dari terik sinar matahari Selasa (04/03/08) ini. Dari bawah tenda, pensiunan pekerja Bank Nasional Indonesia (BNI) ini duduk di atas kloset rusak. Bapak enam anak itu untuk mengawasi lima pekerjanya, mengambili barang-barang di bekas rumah miliknya di Jl. Merpati Situbondo, Jawa Timur.

Sesekali, Suryotomo yang bertongkat penyangga itu harus berjalan tertatih di atas puing-puing rumahnya. Memastikan seluruh barang miliknya sudah diambil. "Kabarnya pemerintah akan melebarkan Sungai Sampeyan hingga 20 meter, jelas itu memakan tanah milik saya, daripada dibuang, lebih baik saya menambil semua barang-barang milik saya yang sebagian besar sudah rusak kena air banjir," katanya pada The Jakarta Post.

Suryotomo adalah salah satu korban banjir bandang yang melanda Kabupaten Situbondo, 8 Februari 2008 lalu. Pada saat itu, sembilan kecamatan di kabupaten ini tergenang oleh banjir. Air yang meluap dari Sungai Sampayen di sebelah selatan pusat kota, mengaliri anak-anak sungai yang juga ikut meluap. Sejumlah 15 orang tewas dalam peristiwa itu.

Kecamatan Kota Situbondo menjadi daerah terparah. Di lokasi yang juga merupakan pusat kota Situbondo ini, 112 rumah hanyut dan hancur terseret air. Sejumlah 703 rumah rusak berat dan tidak bisa ditempati, serta 3284 lainnya rusak ringan. Kondisi parah juga dialami oleh Kecamatan Panji. Sejumlah 62 rumah hanyut, 211 rusak berat dan 609 rusak ringan dan masih bisa ditempati. Ribuan orang mengungsi di jalanan, rumah sanak keluarga atau tempat umum yang lebih aman.

Peristiwa yang hampir sebulan lalu terjadi itu, hingga kini masih menyisakan luka. Bukan luka fisik, namun luka hati karena permintaan korban banjir bandang untuk mendapatkan ganti rugi dari pemerintah tidak dikabulkan. "Pemerintah maunya merelokasi kami di Desa Sliwung Kecamatan Panji, jauh dari sini, jelas kami tidak mau," kata Tolak, warga Kecamatan Kota pada The Post. Desa Sliwung terletak 10 Km dari pusat kota Situbondo. Lokasinya adalah berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso.

Tolak adalah salah satu korban banjir bandang. Rumahnya yang terletak 10 meter dari bibir sungai, hanyut dibawa banjir. Menurut laki-laki yang bekerja sebagai sopir truk ini, keputusan relokasi ke Desa Sliwung seperti membunuh korban banjir bandang pelan-pelan. Karena penduduk yang akan direlokasi itu hampir seluruhnya bekerja di kota. Seperti menjadi tukang becak, pedagang kaki. "Lalu, bagaimana kita bekerja kalau kita tinggal di desa Sliwung," kata Tolak.

Nuryati, korban banjir yang lain mengatakan, karena alasan jauh dan tidak ada pekerjaan itulah, sebagian besar korban banjir meminta pemerintah membatalkan relokasi dan mengganti kerugian dengan sejumlah uang. "Jumlahnya terserah saja, tapi yang pasti layak dan bisa digunakan untuk membangun rumah lagi," kata Nuryati.

Ibu satu anak yang kini tinggal di tenda Jl. Merak ini mengatakan, bila korban banjir mendapatkan uang, maka korban banjir itu sendiri yang akan mengelola uang itu. Apakah mau dipakai membangun rumah lagi atau membuka usaha baru di kota, sepenuhnya menjadi hak korban. "Kalau saya akan membangun rumah di daerah Pantai Patek, karena di sana anak saya sudah beli tanah di sana," katanya.

Suryotomo, korban banjir dari Jl. Merpati Situbondo mencurigai, kengototan pemerintah merelokasi akan memposisikan korban banjir bandang sebagai obyek. Mulai obyek penyunatan dana, sampai obyek kontraktor dalam mengambil keuntungan. "Misalnya kita dapat relokasi rumah seharga Rp.20 juta, maka nilai riil rumah itu akan jauh lebih rendah, karena sudah disunat di sana-sini," kata Suryotomo yang juga pensiunan pegawai BNI ini.

Menanggapi pro-kontra relokasi atau yang cash, Yamin Muazin, Kepala Perlindungan Masyarakat (Linmas)Kabupaten Situbondo, yang juga anggota Satuan Pelaksana Penanganan Bencana (Saklak PB) Situbondo meminta masyarakat untuk berpikir lagi bila akan menolak. Karena semua yang dilakukan pemerintah sepenuhnya untuk kepentingan dan keselamatan masyarakat. "Bertempat tinggal di bantaran kali itu berbahaya, apa tidak lebih baik menerima relokasi," kata Yamin pada The Jakarta Post.

Yamin mengungkapkan, saat ini pihak Satlak PB sedang melakukan kunjungan ke Jember untuk melihat rumah relokasi yang dibangun di Jember. Rumah relokasi Jember itu diperuntukkan bagi korban banjir bandang di Kecamatan Panti, Jember tahun 2006 lalu. "Siapa tahu, setelah melihat rumah yang sudah jadi, maka masyarakat akan mengubah pendapatnya," kata Yamin.

Sementara itu, Selasa (04/03/08) ini, tujuh pengacara dari Tim Kemanusiaan Advokat Ikadin mengajukan gugatan class action pada Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Situbondo, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pengairan Kabupaten Situbondo. Tergugat dianggap lalai dalam mengelola air, hingga menyebabkan terjadinya banjir bandang. Kelalaian itu membuah jatuhnya korban jiwa dan harta benda.

03 Maret 2008

Yustinus Menahan Rasa Nyeri Selama 21 Tahun

Manusia Kutil dari Jawa Timur

Iman D. Nugroho

Untuk menjaga keseimbangan saat berjalan, kepala Yustinus selalu miring ke kiri. Sementara tubuhnya dimiringkan ke kanan. Benjolan sebesar biji alpukat di kiri belakang kepala laki-laki berumur 34 tahun itu, membuatnya berjalan sedikit terseok. "Ya begini ini, yang saya rasakan, benjolan di tubuh saya terus tumbuh entah sampai sebesar apa,..." katanya.

----------------------------

Laki-laki yang oleh media lokal dijuluki sebagai Manusia Kutil itu bernama lengkap Yustinus Cokrohadikusumo. Waktu kecil, meski memiliki "toh" atau tanda lahir di punggung, secara fisik Yustinus tidak berbeda dengan anak kecil kebanyakan. Hanya saja, laki-laki kelahiran 6 Maret 1974 itu sedikit mengalami keterbelakangan mental. Karena itulah, kedua orangtuanya, Yosep Samian (62) dan Maria Sumarni (58) menyekolahkan Yustinus di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bhakti di Malang.

Enam tahun berlalu. Di SLB Bhakti, Yustinus menuntut ilmu hingga lulus Sekolah Dasar. Karena alasan ekonomi, Yustinus memilih keluar dari sekolah dan kembali ke Jember. Yustinus yang berumur 13 tahun tidak menyadari "toh" atau tanda lahir punggungnya bertambah lama bertambah besar. "Tiba-tiba, keluarga sudah mengetahui "toh"itu sudah sebesar bola tenis meja," kata Maria, Senin (03/03/08). Tidak hanya itu, dalam hitungan bulan, muncul bercak-bercak merah yang kemudian menggelembung berisi daging.

Kadang-kadang, gelembung yang tumbuh di sekujur tubuh Yustinus itu terasa nyeri. Sebentar nyeri itu hilang, sebentar kambuh lagi. Begitu seterusnya. Yus hanya bisa mengadukan hal itu kepada kedua orang tuanya. "Kami juga kebingungan, karena tidak ada uang untuk membawanya ke dokter, maka hal itu kita biarkan saja," kata Yosep, sang ayah yang sehari-hari bekerja sebagaui buruh di bengkel motor tidak jauh dari rumahnya. Apalagi, masih ada empat anak lagi yang membutuhkan dana. Nasib Yustinus pun masih terabaikan.

Pertambahan umur membuat Yustinus semakin menderita. Lama kelamaan, daging tumbuh ditubuhnya-yang dalam bahasa medis dikenal sebagai Epidermodysplasia verruciformis atau kutil-semakin banyak saja. Yang paling besar sampai sebesar buah alpukat. Letaknya di punggung bawah dan sebelah kiri belakang kepalanya. "Seperti Anda lihat, inilah bentuknya," kata Maria sembari membantu Yustinus membuka baju dan menyibakkan rambut.

Setahun lalu, kutil utama di bagian punggung sempat lecet dan mengeluarkan darah. Saat itu keluarga membawa Yustinus ke mantri desa. Saat itulah untuk pertama kali Yus mendapatkan pertolongan medis. "Mantri mengatakan, Yustinus harus segera dioperasi, lha uangnya dari mana?" kata Maria.

Kutil yang semakin banyak dan membesar, berpengaruh pada keseimbangan tubuh Yustinus. Bukan sekali dua, laki-laki yang gemar anak kecil ini terjatuh saat berjalan. Bahkan, untuk menghindari seekor kucing yang melintas pun, Yustinus tidak sanggup. "Dengan kondisi semacam itu, mana ada perusahaan yang mau menerimanya sebagai pekerja," kata Maria. Karena itulah, Yustinus memilih mengisi harinya sebagai penjaga toko kelontong milik keluarga. Tokoh itu terletak di bagian depan rumahnya.

Untuk mengurangi penderitaannya dari kutil yang mengganggu, Yustinus melakukan eksperimen penghilangan kutil secara mandiri. Yakni dengan mengikat bagian pangkal kutil dengan karet gelang. Lama kelamaan, kutil itu akan mengering dengan sendirinya. Kalau sudah begitu, Yustinus tinggal menyanyatnya dengan pisau dapur atau gunting. "Hasilnya seperti ini,"kata Yustinus sambil menunjukkan bercak hitam pada kutil yang berhasil "dioperasi".

Meski hidup dalam keterbatasan, fisik maupun mental, Yustinus mengaku tidak malu dengan masyarakat. "Buat apa malu, memang kondisi saya seperti ini," kata Yustinus sambil tersenyum. Bahkan, Yustinus mengaku ingin sembuh dengan operasi. "Kalau ada yang mau membiayai, saya mau dioperasi," katanya. Yustinus bercita-cita ingin bekerja, entah sebagai apa. "Kalau sudah bekerja, nanti menikah, haha,.." katanya diselingi tawa.

Dokter specialis kulit dan kelamin asal Jember, Dr. Johny S. Erlan mengatakan, apa yang diderita Yustinus itu adalah jenis neurofibrimatosis multiple atau jenis tumor jinak. Biasanya penyakit yang tidak bisa disembuhkan ini berhubungan dengan faktor genetika. "Bisanya dioperasi pada kutil yang mengganggu, itupun bisa tumbuh lagi," kata Dr. Johny.

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jember Dr. Olong Fajri Maulana mengatakan, ada baiknya bila Yustinus segera dibawa ke puskesmas terdekat. Memang, puskesmas tidak akan mampu mengobati Yustinus, namun setidaknya Yustinus bisa mendapatkan rujukan ke RS. Dr. Soebandi Jember atau ke RS. Dr. Soetomo Surabaya. "Kalau memang miskin, kan ada kemanisme untuk mendapatkan pengobatan gratis," kata Dr. Olong.

Sayangnya, hingga saat ini Dinas Kesehatan Kabupaten Jember tidak berinisitif mendatangi keluarga Yustinus untuk menjelaskan hal itu. Dengan alasan keterbatasan sumber daya manusia (SDM), Dinas Kesehatan meminta keluarga Yustinus untuk secara mandiri membawa Yustinus ke rumah sakit. "Tenaga dinas kesehatan itu terbatas, ada 2,5 juta penduduk Jember yang kami urus, perlu ada partisipasi aktif bagi masyarakat untuk membawa Yustinus ke puskesmas, baru kemudian ke rumah sakit," katanya.***

28 Februari 2008

DPRD Sidoarjo dan Korban Lumpur Tolak Keputusan Pemerintah

Iman D. Nugroho

Keputusan Pemerintah untuk membayar ganti rugi warga tiga desa baru, Desa Pejarakan, Desa Besuki dan Desa Kedungangkring yang sebelumnya tidak dimasukkan ke peta desa berdampak lumpur Lapindo, ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Seharusnya, pemerintah juga memasukkan dua desa lain, Desa Siring Barat danDesa Mindi, yang juga terkena dampak tidak langsung semburan lumpur Lapindo.

-------------

Ketua Panitian Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Kabupaten SiIdoarjo, Ali Fauzi mengatakan, keputusan pemerintah itu menyakitkan hati korban lumpur yang lain. Bukan tidak mungkin, akan muncul reaksi keras dari masyarakat atas keputusan itu. "Penggantian tiga desa itu menyakitkan, dan akan muncul reaksi keras," kata Ali Fauzi di Sidoarjo, Kamis (28/02/08) ini.

Nasib masyarakat dua desa lain yang belum dimasukkan ke dalam desa berdampak akan semakin terpuruk. Padahal kenyataannya, Desa Siring Barat dan Desa Mindi juga terkena dampak lumpur Lapindo. Selain rusaknya sarana dan prasarana, dua desa itu juga berbahaya sebagai tempat tinggal.

Untuk menghindari hal itu, Jumat ini DPRD Kabupaten Sidoarjo akan melakukan pertemuan dengan perwakilan korban lumpur. DPRD Kabupaten Sidoarjo juga akan mengirim surat ke presiden menyangkut penolakan keputusan itu. "Kami akan berkonsolidasi dengan korban lumpur dan akan segera mengirimkan sikap resmi kami ini ke Presiden RI melalui surat," katanya.

Ali Fauzi mengatakan, seharusnya pemerintah lebih terbuka dan berani mengeluarkan keputusan yang memiliki dampak jangka panjang. Seperti menjelaskan dengan transparan, lokasi-lokasi yang saat ini berbahaya, atau kemungkinan akan terkena dampak lumpur Lapindo. Penjelasan itu penting sebagai upaya antisipasi masyarakat bila suatu saat terjadi hal yang tidak diinginkan.

Ali Mursyid, salah satu penduduk Desa Besuki mengatakan, keputusan pemerintah untuk memasukkan desanya ke dalam desa baru berdampak lumpur Lapindo, adalah sebuah perkembangan yang bagus. Penduduk Besuki, kata Ali, tidak ambil pusing dengan asal dana yang akan digunakan oleh pemerintah untuk membayar ganti rugi. "Apakah dari APBN atau dari Lapindo, yang pasti ganti rugi harus dibayar," kata Ali pada The Jakarta Post.

Kekecewaan tidak terbendung muncul dari penduduk Desa Siring Barat. Penduduk di desa yang berada di samping barat Jl. Raya Porong dan hanya berjarak 1 Km dari pusat semburan lumpur Lapindo itu merasa pemerintah telah memperlakukan mereka dengan tidak adil. "Ini sangat tidak adil, bagaimana pemerintah bisa menilai desa kami tidak pantas diganti, padahal Desa Siring Barat juga berdampak," kata Ahmad, penduduk Desa Siring Barat.

Kamis ini, beberapa penduduk Desa Siring Barat membuktikan betapa berbahayanya tinggal di itu. Mereka menyulut api dari gas yang menyembur di salah satu tempat di desa itu, yang langsung menciptakan api layaknya kompor gas setinggi 30 Cm dari permukaan tanah. "Siapa yang mau tinggal di desa seperti ini," kata Ahmad.

Sementara itu, menanggapi keputusan pemerintah, Abdul Rokhim dari Desa Mindi mengingatkan kembali tentang tiga hal yang menjadi inti persoalan lumpur Lapindo. Yakni adanya pengeboran, lumpur panas dan korban sosial dan lingkungan karena semburan lumpur. "Keputusan pemerintah hendaknya tidak mengingkari tiga fakta tak terbantahkan itu," kata Abdul Rokhim pada The Jakarta Post.

25 Februari 2008

Mengeksplorasi Kejujuran Suku Samin Dalam Bingkai Foto

Iman D. Nugroho

Foto berukuran 16 R dengan bingkai hitam itu menarik perhatian. Apalagi dengan gambar Kartu Tanda Penduduk (KTP) Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah berukuran besar. Apa menariknya sebuah KTP? Bila diamati, kolom agama dalam KTP itu tidak terisi alias kosong. "Karena memang agama kami tidak ada di daftar lima agama yang diakui pemerintah," kata Gun Retno di Surabaya, Senin (25/02/08) ini.

----------------------------

Pameran foto dengan tema kehidupan Suku Samin, digelar di Pusat Kebudayaan Prancis (CCCL) Surabaya, Selasa (26/02/08) hingga Selasa (11/03/08) mendatang. Dalam pameran itu, disuguhkan sisi-sisi kehidupan Suku Samin yang selama ini kurang dikenal oleh masyarakat luas. Kalau toh tahu, masyarakat hanya mengenal stereotipe suku Samin, yang malas dan sulit diajak maju.

Stereotipe itu bawaan dari strategi perlawanan Samin Surantiko, salah satu tokoh masyarakat di daerah perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Saat Belanda berkuasa di Tanah Jawa, Samin Surantiko melakukan perlawanan dengan membangkang. Tokoh berpawakan kurus ini menolak apapun yang diperintahkan Belanda.

Perlawanan itu diikuti oleh masyarakat sekitar Pati, Blora, Kudus dan Bojonegoro. Konon, dengan kemampuan berlogika, masyarakat daerah setempat memiliki strategi untuk membangkang Belanda. Kebiasaan itu terbawa hingga saat ini. Hingga lahirlah stereotipe Suku Samin sebagai komunitas masyarakat yang tidak bisa diajak maju, karena selalu membangkang.

Fotografer asal Surabaya yang juga alumni Universitas Kristen Petra, Peter Dwiyanto gerah dengan hal itu. Berawal dari tugas akhir mantan mahasiswa jurusan Komunikasi Visual ini, Peter memilih suku minoritas sebagai tema. Suku yang dimaksud, adalah Suku Samin. "Saya tinggal di Pati, Kudus dan Blora selama satu bulan untuk mengenal mereka," kata Peter.

Hidup bersama Suku Samin seperti memporak-porandakan stereotipe tentang suku itu. Peter menemukan, suku yang kerap memakai baju hitam dengan penutup kepala batik khas Jawa Tengah itu adalah suku yang menjunjung tinggi kejujuran. Seperti yang termuat dalam 20 Anger-Anger Pratikel atau 20 pantangan suku yang juga disebur Sedulur Sirep itu.

Ke-20 Anger-Anger Pratikel itu adalah drengki (dengki), srei (iri hati), panasten (gampang marah), colong (mencuri), petil (kikir), jumput (ambil sedikit), nemu (menemukan), dagang (berdagang), kulak (kulakan), mblantik (calo), mbakul (berjualan), nganakno duit (rentenir), mbjuk (berbohong), apus (bersiasat), akal (trik), krenah (nasehat buruk) dan ngampungi pernah (tidak membalas budi). "Intinya adalah jujur antara perbuatan dan kelakuan," kata Peter.

Anger-anger Pratikel itulah yang membuat Peter merasa hidup di tengah-tengah Suku Samin sebagai pengalaman tidak terlupakan. Semua hal di kehidupan Suku Samin bersandar pada kejujuran. "Pernah ada peristiwa seorang sedulur lain (sebutan untuk orang di luar Suku Samin) yang uangnya tertinggal di tahun 1980-an, hingga saat ini uangnya masih disimpan," kenang Peter.

Gun Retno, salah satu warga Suku Samin yang hadir di CCCL Surabaya menjelaskan, bagi Sedulur Sirep, kejujuran pitutur (perkataan) dan prilaku (kelakuan), benar-benar dijaga. Apa yang dikatakan, itu juga yang dilakukan. Juga sebaliknya. Kalau dinilai tidak mampu melakukan, warga Suku Samin tidak akan mengatakannya. Karena kebiasan itu, Suku Samin menjadi sosok yang "aneh".

Bapak empat anak itu misalnya. Hingga saat ini, dirinya masih enggan menggunakan bahasa Indonesia. Karena dia menilai, tidak ahli dalam hal itu. "Saya lebih memilih menggunakan bahasa Jawa, karena bahasa ini yang Saya bisa dan saya mengerti, kalau menggunakan bahasa Indonesia, Saya takut salah," katanya dalam bahasa Jawa.

Petani yang gemar menggunakan pakaian hitam-hitam itu menjelaskan, pilihan itu tidak berarti menolak semua hal baru yang diperkenalkan di Suku Samin. Seperti teknologi baru. "Di desa Kami juga ada televisi, ada traktor pembajak sawah dan barang-barang modern lain, tapi semua digunakan seperlunya, tidak perlu berlebihan," katanya, masih dengan bahasa Jawa.

Juga dalam persoalan menuntut ilmu. Warga Suku Samin memilih untuk mengajari anak-anak soal hidup dan kehidupan, hanya dari pengalaman kedua orang tuanya. Anak laki-laki diajari menjadi petani oleh sang ayah, sementara anak perempuan, diajari memasak oleh sang ibu. "Baca tulis tidak termasuk yang diajarkan, tapi kalau anak-anak ingin belajar, bisa belajar dari teman-temannya," katanya. Sikap itu yang membuat warga Suku Samin kebanyakan hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD). Setelah itu, turun ke sawah sebagai petani.

Keteguhan Suku Samin menjaga tradisi kejujuran juga membuat masyarakat Suku Samin merasa "gerah" dengan hadirnya Kartu Tanda Penduduk (KTP). Apalagi di dalamnya berisi beberapa hal yang menurut warga Suku Samin tidak mereka lakukan. Seperti hal agama. Suku Samin menilai agama sebagai jalan hidup.

"Kalau kita mengaku Islam, Kristen atau agama lain, kita harus hidup dengan cara agama itu, nah, agama kita bukan Islam, Kristen atau yang lain, bagaimana?" katanya. Karena itulah, Suku Samin yang beragama Adam, menolak menuliskan nama agama yang "ditawarkan", dan memilih untuk mengosongi kolom itu. "Tapi sepertinya, sekarang tidak bisa lagi, karena kolom agama itu harus diisi, haha,.." katanya.

24 Februari 2008

Pemerintah Tidak Tegas Dalam Kasus Soeharto

Oleh: Iman D. Nugroho

Pemerintah RI di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Yusuf Kalla tidak tegas dalam kasus hukum Alm. Mantan Presiden Soeharto. Selain itu, Pemerintah RI juga cenderung mengabaikan hukum positif Indonesia. Itulah hasil polling terbanyak ID Daily yang digelar di news blog ini.

Polling yang dilaksanakan setelah meninggalnya mantan Presiden Soeharto itu menyebutkan, jumlah suara "pemerintah tidak tegas", mencapai 68 persen lebih. Posisi nomor dua dengan jawaban "Pemerintah mengabaikan hukum", mencapai 50 persen dari keseluruhan suara. Disusul jawaban "Pemerintah tegas" dan "pemerintah menegakkak hukum" dalam posisi dua terbawah.

Agaknya, dari jawaban polling ini, jelas sekali rekomendasi yang diberikan ID Daily berdasarkan suara polling adalah perlunya mendorong kembali ketegasan pemerintah dan mengusut kasus mantan Presiden Soeharto. Bila tidak, maka Pemerintah RI akan terlihat mengabaikan hukum yang disepakati di Indonesia. Sanggupkah SBY-JK melakukannya? Kita tunggu saja.

21 Februari 2008

Apapun Statusnya, Yang Bayar Tetap Minarak Lapindo Jaya

Vice Presiden PT. Minarak Lapindo Jaya, Andi Darussalam Tabusalla meyakinkan, apapun status semburan lumpur Lapindo, tidak akan membawa perubahan dalam sistem pembayaran. Artinya, Minarak Lapindo Jaya, sebagai perusahaan yang dibentuk Lapindo Brantas Inc untuk melakukan proses jual beli kepada korban lumpur, akan tetap membayar uang sisa 80 persen.

------------------------

Hal itu dikatakan Andi Darussalam Tabusalla di Sidoarjo, Kamis (21/02/08) ini. "Saya meyakinkan, apapun statusnya, apakah bencana alam atau yang lain, Minarak Lapindo Jaya akan membayar uang sisa 80 persen kepada korban lumpur," kata Andi. Hal itu juga berarti, tambah Andi, PT. Minarak Lapindo Jaya tidak akan menagihkan seluruh pengeluaran yang sudah dikeluarkan, meski statusnya menjadi bencana alam.

Keraguan tentang pembayaran 80 persen bila status semburan lumpur Lapindo berubah status menjadi bencana alam, sempat mencuat ketika Tim Pengawan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2S) menyatakan luapan lumpur di Porong Sidoarjo itu sebagai bencana alam. Artinya, seluruh pembayaran ganti rugi atas lumpur Lapindo akan ditanggung oleh pemerintah.

Sayangnya, Andi Darusallam tidak mau memberikan jaminan atas statement yang dikatakannya itu. "Insyaallah, Minarak Lapindo Jaya akan tetap membayarkan sisa 80 persen yang sudah kami sepakati, pembayaran akan dilakukan bulan Mei untuk uang persawahan, dan bulan Juni untuk uang pemukiman," tegasnya. Andi juga sekaligus menegaskan, tidak akan ada percepatan pembayaran. Karena dalam perusahaan sudah dijadwalkan tentang sistem pembayaran. "Lagian, uangnya baru ada pada bulan Mei dan Juni," tambah Andi.

Namun, hal itu tidak berarti Minarak Lapindo Jaya juga akan bertanggungjawab bila ada perubahan peta terdampak lumpur Lapindo. Karena menurut Peraturan Presiden (Perpres) no. XIV tentang Badan Pananggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyebutkan, daerah di luar peta berdampak lumpur menjadi tanggungjawab pemerintah yang dananya akan diambilkan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). "Kami taat pada Perpres no.XIV tahun 2007 yang menyebutkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap daerah di luar peta," kata Andi.

Selama ini PT. Minarak Lapindo Jaya sudah menerima 11.598 berkas yang akan diganti. Termasuk 516 berkas sisa masa penanganan oleh Tim Nasional (Timnas) Penanganan Lumpur Lapindo yang berakhir 2007 lalu. "Minarak akan kembali berbicara dengan BPLS untuk klarifikasi berkas dan waktu pembayaran," kata Andi.

20 Februari 2008

Ahli Kembali Menegaskan Lumpur Lapindo Bukan Bencana Alam

Polemik penentuan status semburan Lumpur di Porong, Sidoarjo masih berlanjut. Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi-ESDM Dr. Surono mengatakan semburan lumpur di Porong Sidoarjo tidak akan terjadi bila tidak ada pemicunya. "Memang Sidoarjo adalah ladang mud volcano, tapi bila tidak diutik-utik, tidak seperti ini kejadiannya," kata Surono dalam Seminar Risiko Gempa, Apa yang Bisa Kita Perbuat di gedung Pasca Sarjana ITS, Rabu (20/2/08) ini.

---------------------

Surono yang pernah meneliti beberapa mud volcano di sekitar Bandara Juanda, Surabaya ini mengatakan, gunung lumpur (mud volcano) di sekitar lokasi semburan lumpur Lapindo memiliki skala kecil. "Cuma gundukan kecil kadang ada, lalu menghilang, nanti timbul lagi di tempat lain,’’ katanya. Mud Volcano ini bahkan terbentang hingga ke Pulau Madura sampai area Bledug Kuwu, Purwodadi, Jawa Tengah. Dan sebagaimana karakteristik mud volcano, fenomena alam itu tetap tidak akan menjadi besar bila jika tidak ada pemicunya.

Karena itu, solusi terbaik untuk mengendalikan mud volcano ini adalah dengan melakukan pengendalian lumpur. Menurutnya, meninggikan tanggul terus menerus bukanlah hal yang bijak untuk dilakukan. Sebab, tanggul yang terus ditambah akan menyebabkan deformasi, dan menarik tanah disekitarnya. Beberapa gejala akan hal itu sudah mulai terlihat. Seperti kemunculan bebarapa semburan baru di sekitar Porong, bubble-bubble gas baru, hingga penurunan muka tanah.

Agar hal ini tidak bertambah parah, harus dilakukan pengendalian ketinggian lumpur. ’’Yang terpenting airnya harus dibuang, sehingga ketinggan lumpur bisa dikontrol,’’ lanjutnya. Solusi ini sebenarnya sudah sering diungkapkan. Termasuk pembuangan air lumpur ke laut. Namun, lebih banyak mendapatkan tentangan ketimbang dukungan. Padahal, menurutnya, berdasarkan kajian, air yang terdapat di lumpur Porong ini sama sekali tidak mengandung bahan kimia yang berbahaya.

’’Itu aslinya juga endapan dari air laut yang berumur ribuan tahun. Jadi kalau dikembalikan lagi ke laut kan ya nggak apa-apa, sama-sama air lautnya,’’ungkapnya. Terlalu banyaknya muatan politis dalam penanganan kasus ini membuat lumpur lapindo tak segera terselesaikan.
Padahal, jika ditilik dari lamanya lumpur tersebut akan terus menyembur, Surono angkat tangan. ’’Lihat saja Bledug Kuwu, itu sudah berlangsung selama ribuan tahun. Saya nggak tahu pasti sampai kapan lumpur Lapindo itu akan seperti ini,’’terangnya.

Demo Korban Lumpur Berlanjut

Setelah sehari penuh memblokade jalan dan rel kereta api Selasa kemarin, Rabu (20/02/08) ini masyarakat korban lumpur dari lima desa di Porong Sidoarjo melanjutkan demonstrasinya. Bedanya, dalam demonstrasi kali ini, masyarakat hanya menggelar poster dan berorasi di Jalan Raya Porong. Tuntutan mereka tidak berubah, menolak status bencana alam, percepatan membayar 80 persen uang sisa, dan perubahan peta berdampak lumpur Lapindo.

-----------------------

Demonstrasi Rabu ini berlangsung di seberang tanggul di Desa Siring. Sekitar 200 meter dari pusat semburan lumpur Lapindo di Desa Siring Sidoarjo. Sejak pagi, sekitar 300 massa dari perwakilan lima desa itu secara bergantian melakukan orasi dan ceramah agama. "Sekali lagi kita buktikan kepada pemerintah, kalau kita masih punya kekuatan untuk mengajukan tuntutan pembayaran uang sisa 80 persen dan memasukkan desa kita dalam peta desa berdampak lumpur, juga menolak status bencana lumpur Lapindo sebagai bencana nasional," kata salah satu orator.

Ibu-ibu dan anak-anak kecil menjadi bagian paling banyak dalam demonstrasi kali ini. Kebanyakan, mereka adalah ibu-ibu yang sudah tidak merasa aman tinggal di rumah yang semakin lama semakin dekat dengan lumpur. Mereka memilih mengungsi ke rumah kerabat, atau memutuskan untuk meninggalkan rumah dan tinggal di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong Sidoarjo.

Luthfi Abdillah, salah satu tokoh masyarakat Siring Barat yang ketika itu hadir dalam demonstrasi mengatakan, semangat untuk melanjutkan demonstrasi kali ini datang dari ketidakjelasan sikap pemerintah. Apalagi, dalam Rapat Paripurna DPR-RI Selasa kemarin tidak menghasilkan keputusan yang memihak korban lumpur Lapindo. "Kita akan tetap menuntut pemerintah untuk mengabulkan permintaan kami yang sengsara karena lumpur Lapindo," kata Luthfi Abdillah pada The Jakarta Post.

Lebih jauh Luthfi mengatakan, hingga saat ini perwakilan lima desa sedang melakukan pertemuan dengan beberapa menteri di Jakarta. Luthfi berharap, melalui dialog itu pemerintah bisa mengetahui dengan pasti kondisi di Porong dan tidak ikut terjebak dalam logika Lapindo yang menilai semburan lumpur sebagai kejadian alam. "Ini bukan kejadian alam, untuk itu sangat tidak benar bila status semburan lumpur diubah menjadi bencana alam," katanya.

Sementara itu, di sepanjang tanggul di sekitar semburan lumpur, mulai dibangun pondasi tanggul permanen. Yakni dengan membangun pondasi dari batu kali yang ditata di pinggir tanggul di sepanjang Jalan Raya Porong. Pada tahap awal, pondasi setinggi lima meter itu awal itu dibangun sepanjang 325 M. Setelah pondasi terbangun, proses selanjutnya akan ditimbun dengan tanah padat.

100 Perusahaan Terima Jamsostek Award

Sejumlah 100 perusahaan di Jawa Timur menerima Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) Award 2008. Keseratus perusahaan dari berbagai usaha itu dianggap tertib melaksanakan administrasi, membayar iuran dan pelaporan data upah buruh. Pemberian award ini diharapkan menjadi pemicu perusahaan lain yang belum membekali buruhnya dengan asuransi seperti Jamsostek.

----------------------

Pemberian Jamsostek Award itu berlangsung Selasa (19/02/08) malam ini di Surabaya. Gubernur Jawa Timur Imam Utomo menyerahkan award itu secara langsung kepada perwakilan 100 perusahaan. "Saya berharap pemberian Jamsostek Award 2008 ini bisa ditiru perusahaan lain dan bisa melaksanakan hal serupa," kata Imam Utomo dalam sambutannya.

Data yang dimiliki Jamsostek Jawa Timur hingga tahun 2007 ini ada 10.386 perusahaan di Jawa Timur yang sudah terdaftar sebagai peserta Jamsostek. Dari jumlah itu, ada 928.438 buruh yang tercatat sebagai anggota Jamsostek. Meski begitu, Jamsostek Jawa Timur mengakui, tidak semua perusahaan melaksanakan program sesuai ketentuan.

Ke-100 perusahaan penerima Jamsostek Award inilah yang selama ini tertib memenuhi kewajibannya. Di antara ke-100 perusahaan itu terdapat nama PT. Garuda Food, PT. Yamaha Musical Product Indonesia, PT. HM. Sampoerna dan PT. Tjiwi Kimia TBK. Juga terdapat perusahaan PDAM Kota Kediri, PDAM Koabupaten Blitar dan PDAM Sumber Pocong Bangkalan, Madura.

Gubernur Imam Utomo mengatakan, diberikannya Jamsostek Award untuk perusahaan di Jawa Timur ini sangat membanggakan. Mengingat perekonomian di Jawa Timur sempat terseok karena efek semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. "Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur hanya 6,2 persen saja pada tahun 2007, karena efek semburan lumpur Lapindo," kata Imam Utomo.

Apalagi, jalan di Raya Porong yang merupakan jalur utama perekonomian di Jawa Timur sering kali terganggu oleh efek semburan lumpur. Seperti yang terjadi Selasa siang, ketika warga lima desa di Porong menggelar demonstrasi dengan memblokade jalan raya dan rel kereta api. Karena itu, dalam waktu dekat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur akan membuat jalan tol baru yang menghindari lokasi lumpur Lapindo.

"Saat ini sedang dilakukan proses pembebasan tanah, dari tol Km 18 membelok ke kanan menghindari lokasi lumpur dan kembali keluar dari exit Gempol," kata Imam Utomo. Namun, hal itu bukan hal mudah. Masyarakat yang lokasi tempat tinggalnya masuk ke jalur tol baru, mematok harga yang sama seperti harga ganti rugi warga korban lumpur Lapindo. Sekitar Rp.1-1,5 juta/meter2.

Kakanwil Jamsostek Jawa Timur, Cipto Rahardi mengatakan, pemberian award ini adalah awal dari upaya Jamsostek yang akan terus berkelanjutan. Setelah ini, Jamsostek memprioritaskan sosialisasi program Jamsostek ke perusahaan-perusahaan yang belum mendaftarkan buruhnya sebagai peserta jamsostek.

"Perusahaan yang belum mendaftarkan diri sebagai anggota Jamsostek akan dilaporkan ke Disnaker," kata Cipto Rahardi. Hal itu sangat beralasan, mengingat dalam UU no.3 tahun 1992 tentang Jamsostek mensyaratkan kewajiban untuk mendaftarkan perusahaan dan buruhnya dalam program Jamsostek.

Adji Pamungkas, Direktur PT. Terminal Petikemas Surabaya mengatakan, meski pihaknya senang mendapatkan award, namun penghargaan yang diterimanya ini bukanlah hal terpenting untuk memenuhi hak buruh mendapatkan Jamsostek. "Yang lebih penting dilakukan Jamsostek adalah sosialisasi terus menerus kepada perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya," kata Adji Pamungkas pada The Jakarta Post.

Apalagi, penghargaan semacam Jamsostek Award ini tidak memiliki kriteria penilaian yang jelas dan transparan. Yang disebutkan adalah tertib administrasi, tertib membayar iuran dan tertib melaporkan data upah buruh. Dan itu semua adalah kewajiban yang tidak perlu diberikan award atasnya. Dan tentu saja, transparansi penggunaan dana Jamsostek yang notabena menggunakan uang anggotanya.

BERITA UNGGULAN

JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?

Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia. 

   

Postingan Populer

Banyak dikunjungi