17 Desember 2007

Elang Laut Pulau Banyak, Aceh


Elang Laut Pulau Banyak
Kealamian Pulau Banyak, Nanggroe Aceh Darussalam memungkinkan berbagai binatang hidup berdampingan dengan manusia. Di kepulauan yang dihuni oleh 7000-an jiwa itu, masih banyak burung-burung bersliweran di atas pemukiman warga. Salah satunya, burung Elang Laut yang banyak hidup di pantai Pulau Banyak.


16 Desember 2007

Keindahan Singkil

Di balik keterbatasan Singkil, Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam, tersimpan keindahan "terperangkap" di sela-selanya. Berikut ini gambaran keindahan yang mungkin terlupakan itu,..







BRR Singkil Hanya Selesaikan 39 Rumah

Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas (BRR) NAD-Nias di Singkil, Aceh Singkil NAD hanya bisa menyelesaikan 39 unit rumah yang seharusnya dibangun untuk korban gempa bumi Nias. Padahal jumlah rumah yang dibutuhkan mencapai 2064 rumah. Penyebab utamanya, kontraktor yang tidak memenuhi target yang sudah disepakati.

Rumah Bantuan Singkil Terendam


Rumah Bantuan Terendam
Rumah bantuan NGO Caritas untuk korban gempa bumi di Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, NAD terendam air. Sejumlah 597 keluarga terpaksa hidup dengan mengunakan perahu. Foto diambil Minggu (16/12) ini.


15 Desember 2007

1242 Keluarga Korban di Pulau Semeulue Belum Tersentuh Bantuan Rumah

Sejumlah 1242 keluarga korban gempa bumi dan tsunami di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) belum mendapatkan bantuan rumah. Data mereka bahkan baru saja masuk ke Asisten Perumahan dan Pemukiman (Asperkim). Sementara dari 7746 rumah yang dijatahkan akan dibangun di Pulau Simeulue, baru 3310 saja yang selesai. Paling tidak, ada sekitar 5678 rumah yang dijadwalkan selesai sebelum BRR mengakhiri masa tugasanya pada April 2009.

14 Desember 2007

Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto: Kontraktor Brengsek!


Rumah ke 100-ribu Menandai Akhir Kerja Bristish Red Cross

Peresmian rumah ke 100 ribu di Desa Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya menandari berakhirnya kerja British Red Cross untuk membantu korban tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias. Dalam kesempatan itu, Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias Kuntoro Mangunsubroto didampingi Perwakilan British Red Cross Nicholas Young memberikan sertifikat kepada Nasir, 14, salah satu korban tsunami.

Dalam kesempatan itu, Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto sempat mencaci maki kontraktor yang meninggalkan pekerjaannya. Padahal pekerjaan itu sangat dibutuhkan oleh korban tsunami. “Ada rumah yang ditinggalkan kontraktor, ini kelompok brengsek, tidak ada kata kasar lain yang bisa saya ungkapkan,!” kata Kuntoro. Padahal, pada awalnya, para kontraktor itu datang baik-baik ke BRR untuk meminta pekerjaan. Namun, pada akhirnya meninggalkan begitu saja pekerjaannya.

Rata-rata, dari 100 ribu rumah, ada 6 persen yang dibangun oleh kontraktor semacam ini. Ada juga, rumah yang dari luar bagus, tapi ketika di dalam tidak ada kamar mandinya. “Semua hal itu akan menjadi catatan oleh BRR, karena bukan berarti pekerjaan rumah yang belum selesai,” kata Kuntoro.

Kuntoro menjelaskan, saat ini BRR dan NGO sebenarnya sudah membangun paling tidak 110 ribu rumah di NAD dan Pulau Nias. Salah satu organisasi yang berpartisipasi aktif untuk membangun rumah itu adalah British Red Cross. Organisasi inilah yang pertama kali membangun rumah di kawasan yang paling parah dan paling sulit dijangkau. Yakni Pulau Aceh di Kepulauan Aceh. “Saya ingat betul, bagaimana British Red Cross memutuskan untuk membangun di sana,” kata Kuntoro.

Dalam kesempatan itu, perwakilan British Red Cross Nicholas Young mengatakan bahwa British Red Cross senang bisa membantu di NAD dan Nias. Young juga mengharapkan agar korban tsunami di Aceh bisa kembali hidup dengan nyaman dan aman. Serta mampu membangun kembali keluarganya. “Have a great life,” kata Nicholas Young menutup sambutannya.

Wakil Bupati Aceh Jaya, Tengku Zamzami Abd. Rani mengatakan saat ini kondisi di Aceh Jaya masih belum sepenuhnya sulit. Ibaratnya, kata Zamzami, Aceh Jaya seperti bayi yang belajar hidup namun sudah tertimpa musibah. “Untuk itu harus ditolong oleh banyak orang,” kata Zamzami. Dan proses itu harus selesai sebelum BRR berakhir masa tugasnya pada April 2009. “Jangan sampai BRR pergi, kami hanya dapat masalah saja, nyoe keunong bandum ( ini sindiran untuk semua pihak),” kata Zamzami di selingi dalam Bahasa Aceh.

Desa Tanoh Manyang merupakan desa relokasi yang baru saja selesai. Di desa ini direlokasi 138 kepala keluarga yang rumah asalnya dan tanahnya musnah digerus laut. Terhitung ada 128 dari 138 KK yang direlokasi ke Desa Tanoh Manyang merupakan warga yang sebelumnya menempati sebuah pulau kecil, yaitu Lampoh Kawat. Pulau itu kini hilang akibat gelombang tsunami yang menewaskan ratusan warga Aceh. Sementara 10 KK lain berasal dari desa yang tanahnya musnah.

Salah satunya Nisar. Bocah berusia 14 tahun ini dulu merupakan warga Pulau Lampoh Kawat. Ketika tsunami terjadi, seluruh keluarganya hilang tersapu tsunami. Saat ini Nizar tinggal dengan kakak perempuannya. Secara seremonial, Kuntoro menyerahkan sertifikat kepada Nisar. “Saya ucapkan terima kasih kepada BRR yang telah membantu saya, kalau besar saya ingin menjadi gubernur,” katanya.

Teks foto:

Rumah di Desa Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya.


Indahnya Pulau Simeulue Nanggroe Aceh Darussalam

Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam

Ketika tsunami menghempas Pulau Simeulue, 24 Desember lalu, hanya 7 jiwa yang meninggal dunia. Hal itu tergolong fantastis, karena pusat gempa tsunami hanya berjarak 20 Km dari pulau yang memiliki populasi 8200-an jiwa itu. Mengapa jumlah korbannya tergolong kecil? "Karena masyarakat Pulau Simeulue sudah paham dengan tsunami, ketika sudah ada tanda-tanda alam yang menunjukkan akan terjadi tsunami, masyarakat secara naluriah pergi ke bukit yang ada di pulau itu, bahkan, nyanyian ibu yang mengiringi anaknya tidur bercerita tentang cara selamat saat ie beuna atau smong atau tsunami," kata seorang kawan.


13 Desember 2007

Anak Pantai Mencari Kepiting

Mencari Kepiting
Mencari kepiting menjadi kebiasaan anak-anak yang mengunjungi Pantai Lhok Nga, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. Di sela-sela karang di pantai itulah, biasanya tersembunyi kepiting-kepiting dan ikan-ikan kecil.


12 Desember 2007

Menembus Gerimis


Menembus Gerimis
Gerimis tidak menghalangi perempuan tua warga Tangse, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam ini untuk melangkah. Payung keci yang dipakainya pun hanya mampu menghindarkan bagian kepala, leher dan sebagian pundaknya dari air hujan. But show must go on, right,..


Takut Tsunami Lagi, Tetap Tidak Mau Pergi


Siapapun yang menjadi saksi hidup tsunami, pasti menyimpan ketakutan atas kejadian yang menelan korban ratusan ribu jiwa itu. Anehnya, justru kebanyakan memilih tinggal di tempat yang sama ketika mimpi buruk itu menyapa mereka.

Matahari masih belum lama bersinar, 26 Desember 2004 lalu. Penduduk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun kebanyakan masih belum banyak yang meninggalkan rumah untuk memulai aktivitasnya. Tiba-tiba, bumi gerah dan mulai bergoyang. Menggoyang apapun yang ada di permukaan tanah. Pohon, bangunan, manusia hingga ternak ikut bergetar.

Penduduk bumi Serambi Mekkah yang sadar akan adanya gempa, memilih untuk keluar rumah. Warga yang tinggal di sekitar pantai melihat laut yang tiba-tiba surut, berselimutkan air menghitam di tengah laut. Teriakan mulai terdengar. “Air datang,...air datang,..” teriak orang-orang ketika itu. Kekacauan di pemukiman sekitar pantai tidak terhindarkan. Orang-orang berlarian ke jalanan. Gelombang semakin dekat dan menghempas apapun di sekitarnya.

Termasuk Nurmala, penduduk Desa Lam Geueu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar yang berjarak 3 Km dari Pantai Ujung Pancu, Peukan Bada. Perempuan yang ketika itu berlari menuju jalan besar bersama suaminya, Nurdin dan dua anaknya Heri dan Risky itu terjengkang ditabrak gelombang air yang tiba-tiba datang ke desanya. Ia bergulung-gulung di jalanan. Dua anak yang ada didekapannya pun lepas entah kemana.

Beruntung, di tengah-tengah gulungan air bercampur barang-barang itu, Nurmala sempat berpegangan di dahan pohon Asam Jawa yang ada di sebelah kanannya. “Untuk beberapa saat, saya ikut saja kemana pohon itu hanyut, yang penting selamat dahulu,” kata Nurmala. Air mengombang-ambingkan dirinya. Sampai kemudian air mendadak tenang, dan surut. Nurmala pun berhasil selamat. “Alhamdulillah, tak lama kemudian saya bertemu dengan seluruh keluarga saya yang juga selamat,” katanya.

Mimpi buruk itu tidak hanya datang saat gelombang menerjang. Usai tsunami, Peukan Bada bagai kota mati. Hampir seluruh bangunan rata dengan tanah, kecuali sebuah masjid bernama Maharaja Ghurah, dan sebuah bangunan rumah. Selebihnya puing-puing, rongsokan mobil, pohon-pohon yang tercerabut dari tanah hingga tiang listrik. Di sela-selanya, mayat manusia bergelimpangan.

Di Desa Meunasah Masjid, Leupung, Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pun terlebih lagi. Ketika gelombang tsunami terjadi, masyarakat di Desa Mamplam, Desa Meunasah Bak U, Desa Meunasah Masjid, Desa Lam Senia, Desa Pulot hingga Desa Layen harus berjibaku dengan gelombang ganas yang datang dari arah laut.

Jarak dari pantai yang dekat, membuat penduduk tidak punya waktu banyak untuk menyelamatkan. Ribuan orang yang ada di desa ketika itu terseret arus hingga ke jajaran bukit yang ada di belakang desa. Melewati perkebunan dan sawah. “Banyak jenazah penduduk desa yang terseret sampai ke atas bukit sana, menandakan betapa hebat kejadian itu,” kaya Abdul Djalil, Sekretaris Desa Meunasah Masjid.

Lain lagi dengan Eliana, penduduk Naga Umbang Lhok Nga yang berjarak sekitar 5 Km dari bibir pantai ini tidak menyangka gelombang tsunami bisa sampai di kawasan tempat tinggalnya. Apalagi, kawasan tempat tinggal ibu satu anak ini terletak di kaki perbukitan Lhok Nga, Aceh Besar. Namun belum habis keheranannya, didapati kenyataan ayahnya meninggal dunia terseret arus.

Eliana menceritakan, ketika air datang, sang ayah adalah orang terakhir yang keluar dari rumah karena ingin menyelamatkan keponanannya. “Ayah saya tidak bisa menjangkau atap rumah tetangga, padahal seluruh keluarga sudah berada di sana, ayah pun meninggal dunia terseret air,” kenangnya.

Seperti Nurmala, Abdul Djalil, Eliana atau siapapun yang menjadi saksi hidup tsunami NAD-Nias pasti menyimpan ketakutan atas kejadian yang menelan korban ratusan ribu jiwa itu. Bahkan ketika Nurmala menceritakan kembali kejadian itu, kata-katanya tersendat. Meski diselingi tawa kecil. Seperti tidak mempercayai mukzizat hidup yang membuatnya tetap bernapas hingga hari ini.

Namun, ketakutan itu tidak berarti membuat mereka berpindah dari kawasan lama tempat tinggal mereka. Nurmala, Abdul Djalil, Eliana misalnya, tetap memilih berada di desanya. Pekerjaan sebagai nelayan dan kewajiban menjaga desa leluhur, menjadi alasan. Apalagi dalam perkembangannya, pindah tempat tinggal sama halnya berhadapan dengan berbagai “ketidakjelasan” baru. Terutama, “ketidakjelasan” mendapatkan rumah baru.

Keengganan pindah atau relokasi ke tempat baru, di satu sisi membuat upaya pembangunan kembali kawasan lama memerlukan energi ekstra. Hal itu dikatakan oleh House Officer Plan Aceh, Onny Trijunianto. Menurutnya, membersihkan lahan dan menata kembali, perlu langkah-langkah yang tidak gampang. Untuk membangun 61 rumah dari 137 rumah (dibagi dengan ADB) misalnya, Plan Aceh berkonstrasi penuh pada village planning.

“Village planning penting untuk menata dan membangun kembali kawasan yang terkena bencana dengan prinsip militasi kawasan bencana, sekaligus mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik,” kata Onny. Village planning untuk lahan seluas 8 Ha itu dimulai dari proses pemetaan tanah. Proses ini dilakukan warga secara partisipatif dengan out put kapling milik warga dan fasilitas desa.

Setelah itu, hasil pemetaan disosialisasikan kepada warga, sekaligus melakukan analisis penggunaan lahan, termasuk kemungkinan bencana terulang. Draft rencana didapat meleluai diskusi dengan masyarakat. Di dalamnya termasuk membicarakan rencana struktur ruang, rencana pemanfaatan ruang, sistem jaringan utititas seperti air, telepon, listrik, air limbang dan pengelolaan sampah. Rencana kepadatan bangunan dan ketinggian bangunan, tidak ketinggalan untuk dibicarakan. “Semua persiapan teknis itu setidaknya memerlukan waktu satu tahun,” kenang Onny.

Hal terpenting dari semua proses itu adalah upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih aman dari bencana. Meskipun pilihan yang terbaik untuk itu adalah relokasi, namun faktanya tidak memungkinan untuk itu. Di lokasi lama itu setidaknya memiliki perlindungan alami maupun bangunan dari gelombang tsunami. “Di dalamnya ada jalur penyelamatan dan tempat aman untuk penyelamatan, termpatnya bisa dibukit-bukit,” katanya.

Onny sadar, tidak semua elemen bisa bisa terpenuhi. Dengan “bahan baku” yang ada itulah, akhirnya diputuskan untuk membangun rumah tipe 36, seperti yang disyaratkan BRR kepada NGO yang akan ikut membantu membangun rumah. Sialnya, hasil pemetaan dan diskusi dengan masyarakat menghasilkan kesimpulan, masyarakat ingin rumah rekonstruksi mereka dibangun tepat di atas rumah mereka yang lama. Hasilnya, rumah baru itu pun tidak bisa tertata rapi.

“Kalau dilihat, rumah di Meunasah Masjid, Leupung terkesan kacau dan tidak tertata, hal itu karena rumah baru dibangun tepat di atas rumah lama,” katanya. Ujung dari hal itu adalah tidak sesuainya “ukuran” modern yang lebih baik. Termasuk adanya bengunan yang child friendly (ramah anak). Seperti tidak adanya ruang yang membuat anak bisa berbas bergerak untuk bermain. Sebagian besar, sempit dan berhimpitan.

Terlebih, adanya ruang anak-anak yang terdiri dalam ruang aktif (ruang terbuka untuk bermain) dan ruang pasif (kawasan untuk duduk-duduk, berinteraksi dengan bercerita dll), dengan dikelilingi tanaman yang mengililingi ruang anak-anak itu. “Bagaimana bisa ada, penataannya seperti desa Meunasah Lama sebelum tsunami,” kata Onny.



BERITA UNGGULAN

JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?

Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia. 

   

Postingan Populer

Banyak dikunjungi