Youtube Pilihan Iddaily: Daredevil
14 Desember 2007
Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto: Kontraktor Brengsek!
Rumah ke 100-ribu Menandai Akhir Kerja Bristish Red Cross
Peresmian rumah ke 100 ribu di Desa Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya menandari berakhirnya kerja British Red Cross untuk membantu korban tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias. Dalam kesempatan itu, Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias Kuntoro Mangunsubroto didampingi Perwakilan British Red Cross Nicholas Young memberikan sertifikat kepada Nasir, 14, salah satu korban tsunami.
Dalam kesempatan itu, Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto sempat mencaci maki kontraktor yang meninggalkan pekerjaannya. Padahal pekerjaan itu sangat dibutuhkan oleh korban tsunami. “Ada rumah yang ditinggalkan kontraktor, ini kelompok brengsek, tidak ada kata kasar lain yang bisa saya ungkapkan,!” kata Kuntoro. Padahal, pada awalnya, para kontraktor itu datang baik-baik ke BRR untuk meminta pekerjaan. Namun, pada akhirnya meninggalkan begitu saja pekerjaannya.
Rata-rata, dari 100 ribu rumah, ada 6 persen yang dibangun oleh kontraktor semacam ini. Ada juga, rumah yang dari luar bagus, tapi ketika di dalam tidak ada kamar mandinya. “Semua hal itu akan menjadi catatan oleh BRR, karena bukan berarti pekerjaan rumah yang belum selesai,” kata Kuntoro.
Kuntoro menjelaskan, saat ini BRR dan NGO sebenarnya sudah membangun paling tidak 110 ribu rumah di NAD dan Pulau Nias. Salah satu organisasi yang berpartisipasi aktif untuk membangun rumah itu adalah British Red Cross. Organisasi inilah yang pertama kali membangun rumah di kawasan yang paling parah dan paling sulit dijangkau. Yakni Pulau Aceh di Kepulauan Aceh. “Saya ingat betul, bagaimana British Red Cross memutuskan untuk membangun di sana,” kata Kuntoro.
Dalam kesempatan itu, perwakilan British Red Cross Nicholas Young mengatakan bahwa British Red Cross senang bisa membantu di NAD dan Nias. Young juga mengharapkan agar korban tsunami di Aceh bisa kembali hidup dengan nyaman dan aman. Serta mampu membangun kembali keluarganya. “Have a great life,” kata Nicholas Young menutup sambutannya.
Wakil Bupati Aceh Jaya, Tengku Zamzami Abd. Rani mengatakan saat ini kondisi di Aceh Jaya masih belum sepenuhnya sulit. Ibaratnya, kata Zamzami, Aceh Jaya seperti bayi yang belajar hidup namun sudah tertimpa musibah. “Untuk itu harus ditolong oleh banyak orang,” kata Zamzami. Dan proses itu harus selesai sebelum BRR berakhir masa tugasnya pada April 2009. “Jangan sampai BRR pergi, kami hanya dapat masalah saja, nyoe keunong bandum ( ini sindiran untuk semua pihak),” kata Zamzami di selingi dalam Bahasa Aceh.
Desa Tanoh Manyang merupakan desa relokasi yang baru saja selesai. Di desa ini direlokasi 138 kepala keluarga yang rumah asalnya dan tanahnya musnah digerus laut. Terhitung ada 128 dari 138 KK yang direlokasi ke Desa Tanoh Manyang merupakan warga yang sebelumnya menempati sebuah pulau kecil, yaitu Lampoh Kawat. Pulau itu kini hilang akibat gelombang tsunami yang menewaskan ratusan warga Aceh. Sementara 10 KK lain berasal dari desa yang tanahnya musnah.
Salah satunya Nisar. Bocah berusia 14 tahun ini dulu merupakan warga Pulau Lampoh Kawat. Ketika tsunami terjadi, seluruh keluarganya hilang tersapu tsunami. Saat ini Nizar tinggal dengan kakak perempuannya. Secara seremonial, Kuntoro menyerahkan sertifikat kepada Nisar. “Saya ucapkan terima kasih kepada BRR yang telah membantu saya, kalau besar saya ingin menjadi gubernur,” katanya.
Teks foto:
Rumah di Desa Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya.
Indahnya Pulau Simeulue Nanggroe Aceh Darussalam
Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam
Ketika tsunami menghempas Pulau Simeulue, 24 Desember lalu, hanya 7 jiwa yang meninggal dunia. Hal itu tergolong fantastis, karena pusat gempa tsunami hanya berjarak 20 Km dari pulau yang memiliki populasi 8200-an jiwa itu. Mengapa jumlah korbannya tergolong kecil? "Karena masyarakat Pulau Simeulue sudah paham dengan tsunami, ketika sudah ada tanda-tanda alam yang menunjukkan akan terjadi tsunami, masyarakat secara naluriah pergi ke bukit yang ada di pulau itu, bahkan, nyanyian ibu yang mengiringi anaknya tidur bercerita tentang cara selamat saat ie beuna atau smong atau tsunami," kata seorang kawan.
Ketika tsunami menghempas Pulau Simeulue, 24 Desember lalu, hanya 7 jiwa yang meninggal dunia. Hal itu tergolong fantastis, karena pusat gempa tsunami hanya berjarak 20 Km dari pulau yang memiliki populasi 8200-an jiwa itu. Mengapa jumlah korbannya tergolong kecil? "Karena masyarakat Pulau Simeulue sudah paham dengan tsunami, ketika sudah ada tanda-tanda alam yang menunjukkan akan terjadi tsunami, masyarakat secara naluriah pergi ke bukit yang ada di pulau itu, bahkan, nyanyian ibu yang mengiringi anaknya tidur bercerita tentang cara selamat saat ie beuna atau smong atau tsunami," kata seorang kawan.
13 Desember 2007
Anak Pantai Mencari Kepiting
12 Desember 2007
Menembus Gerimis
Takut Tsunami Lagi, Tetap Tidak Mau Pergi
Siapapun yang menjadi saksi hidup tsunami, pasti menyimpan ketakutan atas kejadian yang menelan korban ratusan ribu jiwa itu. Anehnya, justru kebanyakan memilih tinggal di tempat yang sama ketika mimpi buruk itu menyapa mereka.
Matahari masih belum lama bersinar, 26 Desember 2004 lalu. Penduduk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun kebanyakan masih belum banyak yang meninggalkan rumah untuk memulai aktivitasnya. Tiba-tiba, bumi gerah dan mulai bergoyang. Menggoyang apapun yang ada di permukaan tanah. Pohon, bangunan, manusia hingga ternak ikut bergetar.
Penduduk bumi Serambi Mekkah yang sadar akan adanya gempa, memilih untuk keluar rumah. Warga yang tinggal di sekitar pantai melihat laut yang tiba-tiba surut, berselimutkan air menghitam di tengah laut. Teriakan mulai terdengar. “Air datang,...air datang,..” teriak orang-orang ketika itu. Kekacauan di pemukiman sekitar pantai tidak terhindarkan. Orang-orang berlarian ke jalanan. Gelombang semakin dekat dan menghempas apapun di sekitarnya.
Termasuk Nurmala, penduduk Desa Lam Geueu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar yang berjarak 3 Km dari Pantai Ujung Pancu, Peukan Bada. Perempuan yang ketika itu berlari menuju jalan besar bersama suaminya, Nurdin dan dua anaknya Heri dan Risky itu terjengkang ditabrak gelombang air yang tiba-tiba datang ke desanya. Ia bergulung-gulung di jalanan. Dua anak yang ada didekapannya pun lepas entah kemana.
Beruntung, di tengah-tengah gulungan air bercampur barang-barang itu, Nurmala sempat berpegangan di dahan pohon Asam Jawa yang ada di sebelah kanannya. “Untuk beberapa saat, saya ikut saja kemana pohon itu hanyut, yang penting selamat dahulu,” kata Nurmala. Air mengombang-ambingkan dirinya. Sampai kemudian air mendadak tenang, dan surut. Nurmala pun berhasil selamat. “Alhamdulillah, tak lama kemudian saya bertemu dengan seluruh keluarga saya yang juga selamat,” katanya.
Mimpi buruk itu tidak hanya datang saat gelombang menerjang. Usai tsunami, Peukan Bada bagai kota mati. Hampir seluruh bangunan rata dengan tanah, kecuali sebuah masjid bernama Maharaja Ghurah, dan sebuah bangunan rumah. Selebihnya puing-puing, rongsokan mobil, pohon-pohon yang tercerabut dari tanah hingga tiang listrik. Di sela-selanya, mayat manusia bergelimpangan.
Di Desa Meunasah Masjid, Leupung, Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pun terlebih lagi. Ketika gelombang tsunami terjadi, masyarakat di Desa Mamplam, Desa Meunasah Bak U, Desa Meunasah Masjid, Desa Lam Senia, Desa Pulot hingga Desa Layen harus berjibaku dengan gelombang ganas yang datang dari arah laut.
Jarak dari pantai yang dekat, membuat penduduk tidak punya waktu banyak untuk menyelamatkan. Ribuan orang yang ada di desa ketika itu terseret arus hingga ke jajaran bukit yang ada di belakang desa. Melewati perkebunan dan sawah. “Banyak jenazah penduduk desa yang terseret sampai ke atas bukit sana, menandakan betapa hebat kejadian itu,” kaya Abdul Djalil, Sekretaris Desa Meunasah Masjid.
Lain lagi dengan Eliana, penduduk Naga Umbang Lhok Nga yang berjarak sekitar 5 Km dari bibir pantai ini tidak menyangka gelombang tsunami bisa sampai di kawasan tempat tinggalnya. Apalagi, kawasan tempat tinggal ibu satu anak ini terletak di kaki perbukitan Lhok Nga, Aceh Besar. Namun belum habis keheranannya, didapati kenyataan ayahnya meninggal dunia terseret arus.
Eliana menceritakan, ketika air datang, sang ayah adalah orang terakhir yang keluar dari rumah karena ingin menyelamatkan keponanannya. “Ayah saya tidak bisa menjangkau atap rumah tetangga, padahal seluruh keluarga sudah berada di sana, ayah pun meninggal dunia terseret air,” kenangnya.
Seperti Nurmala, Abdul Djalil, Eliana atau siapapun yang menjadi saksi hidup tsunami NAD-Nias pasti menyimpan ketakutan atas kejadian yang menelan korban ratusan ribu jiwa itu. Bahkan ketika Nurmala menceritakan kembali kejadian itu, kata-katanya tersendat. Meski diselingi tawa kecil. Seperti tidak mempercayai mukzizat hidup yang membuatnya tetap bernapas hingga hari ini.
Namun, ketakutan itu tidak berarti membuat mereka berpindah dari kawasan lama tempat tinggal mereka. Nurmala, Abdul Djalil, Eliana misalnya, tetap memilih berada di desanya. Pekerjaan sebagai nelayan dan kewajiban menjaga desa leluhur, menjadi alasan. Apalagi dalam perkembangannya, pindah tempat tinggal sama halnya berhadapan dengan berbagai “ketidakjelasan” baru. Terutama, “ketidakjelasan” mendapatkan rumah baru.
Keengganan pindah atau relokasi ke tempat baru, di satu sisi membuat upaya pembangunan kembali kawasan lama memerlukan energi ekstra. Hal itu dikatakan oleh House Officer Plan Aceh, Onny Trijunianto. Menurutnya, membersihkan lahan dan menata kembali, perlu langkah-langkah yang tidak gampang. Untuk membangun 61 rumah dari 137 rumah (dibagi dengan ADB) misalnya, Plan Aceh berkonstrasi penuh pada village planning.
“Village planning penting untuk menata dan membangun kembali kawasan yang terkena bencana dengan prinsip militasi kawasan bencana, sekaligus mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik,” kata Onny. Village planning untuk lahan seluas 8 Ha itu dimulai dari proses pemetaan tanah. Proses ini dilakukan warga secara partisipatif dengan out put kapling milik warga dan fasilitas desa.
Setelah itu, hasil pemetaan disosialisasikan kepada warga, sekaligus melakukan analisis penggunaan lahan, termasuk kemungkinan bencana terulang. Draft rencana didapat meleluai diskusi dengan masyarakat. Di dalamnya termasuk membicarakan rencana struktur ruang, rencana pemanfaatan ruang, sistem jaringan utititas seperti air, telepon, listrik, air limbang dan pengelolaan sampah. Rencana kepadatan bangunan dan ketinggian bangunan, tidak ketinggalan untuk dibicarakan. “Semua persiapan teknis itu setidaknya memerlukan waktu satu tahun,” kenang Onny.
Hal terpenting dari semua proses itu adalah upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih aman dari bencana. Meskipun pilihan yang terbaik untuk itu adalah relokasi, namun faktanya tidak memungkinan untuk itu. Di lokasi lama itu setidaknya memiliki perlindungan alami maupun bangunan dari gelombang tsunami. “Di dalamnya ada jalur penyelamatan dan tempat aman untuk penyelamatan, termpatnya bisa dibukit-bukit,” katanya.
Onny sadar, tidak semua elemen bisa bisa terpenuhi. Dengan “bahan baku” yang ada itulah, akhirnya diputuskan untuk membangun rumah tipe 36, seperti yang disyaratkan BRR kepada NGO yang akan ikut membantu membangun rumah. Sialnya, hasil pemetaan dan diskusi dengan masyarakat menghasilkan kesimpulan, masyarakat ingin rumah rekonstruksi mereka dibangun tepat di atas rumah mereka yang lama. Hasilnya, rumah baru itu pun tidak bisa tertata rapi.
“Kalau dilihat, rumah di Meunasah Masjid, Leupung terkesan kacau dan tidak tertata, hal itu karena rumah baru dibangun tepat di atas rumah lama,” katanya. Ujung dari hal itu adalah tidak sesuainya “ukuran” modern yang lebih baik. Termasuk adanya bengunan yang child friendly (ramah anak). Seperti tidak adanya ruang yang membuat anak bisa berbas bergerak untuk bermain. Sebagian besar, sempit dan berhimpitan.
Terlebih, adanya ruang anak-anak yang terdiri dalam ruang aktif (ruang terbuka untuk bermain) dan ruang pasif (kawasan untuk duduk-duduk, berinteraksi dengan bercerita dll), dengan dikelilingi tanaman yang mengililingi ruang anak-anak itu. “Bagaimana bisa ada, penataannya seperti desa Meunasah Lama sebelum tsunami,” kata Onny.
10 Desember 2007
Demo Hari HAM di Banda Aceh
Ketika Desa Meunasah Belum Ramah
09 Desember 2007
Banjir Banda Aceh NAD
08 Desember 2007
Cita-cita Melejit Anak Meunasah Masjid
Di sela-sela senyum itu, Elma dan Andi dengan tegas mengatakan cita-citanya. Elma memilih menjadi dokter, sementara Andi mantap berucap ingin tampil sebagai pemain band. Setelah itu, senyum terhapus. Debu yang beterbangan membuatnya menutup mulut dan hidung.
Siang itu, Elma Purwani atau Elma asyik bermain ayunan di depan kios toko milik ibunya, Zuhra. Baju merah putih yang dikenakan anak kelas enam sekolah dasar (SD) itu sedikit lusuh, berpadu dengan jilbab putih yang menguning karena sering digunakan. Begitu juga kaos kaki merah muda yang sedikit ketat kekecilan. Panas yang menyinari siang itu, membuat mata Elma sedikit memicing.
Elma tidak sendirian. Di depannya ada Juliandi Saputra atau akrab dipanggil Aldi. Teman sebaya Elma ini memilih berdiri tak jauh dari gadis itu, sambil menikmati makanan ringan yang dijajakan di kios Zuhra. Bila Elma berseragam merah putih, Aldi yang bersekolah di Madrasah Ibtida’yah Negeri (MIN) Leupung berseragam putih biru. Seperti Elma, seragam Aldi pun lusuh dan kumal. Rambutnya acak-acakan, menutupi sebagian wajah legamnya.
Berbincang dengan Elma dan Andi seperti memasuki dunia anak-anak kebanyakan. Aroma canda dan tawa tidak pernah lepas dari mereka. Meski sesekali dibumbui dengan obrolan “nggak penting” versi anak baru gede (ABG), namun tetap saja tidak menghilangkan keceriaan yang mereka usung. “Kita sih senang di sini,..dekat pantai bisa main-main ke pantai setiap hari,” kata Aldi di sela-sela tawanya.
Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang sepanjang hidupnya hidup “normal”, Elma dan Aldi pernah merasakan betapa dahsyat efek gelombang tsunami. Terutama Aldi yang ketika bencana itu terjadi hidup di Pulut, 2 Km dari Meunasah Masjid, dan berhasil selamat dari amukan air yang tiba-tiba datang menerjang kampunnya.
Aldi menceritakan, mimpi buruknya pada tsunami berawal dari sebuah goncangan keras pada 26 Desember 2004 pagi. Saat itu, kata Aldi, bumi seperti diguncang keras. “Saya yang sedang bermain-main di halaman depan rumah langsung berjongkok takut jatuh,” katanya. Setelah itu, keadaan kembali tenang. Aldi pun tidak berpikir lagi tentang hal itu. Ia kembali melanjutkan permainannya.
Tidak lama berselang, kenang Aldi, terdengar suara gemuruh yang entah berasal dari mana. Beruntung pandangan bocah penggemar musik itu terlempar ke arah pagar. Betapa terkejutnya Aldi, tidak seperti biasanya, di tepian pagar rumahnya sudah mengalir air. Beberapa saat kemudian, air bertambah banyak. “Saya memanggil mamak (ibu) saya, dan mengatakan ada air,..ada air,..” kenang Aldi.
Ayah Aldi yang juga berada di luar segera mengajak Aldi dan ibunya untuk berlari ke atas bukit untuk menyelamatkan diri. Untuk sementara waktu, Aldi tinggal di lereng bukit daerah Pulut. “Saya, bapak dan ibu selamat, tapi abang saya yang tinggal di Meunasah Masjid meninggal dunia karena terseret ombak sampai ke perbukitan di sana,” kata Aldi sambil menunjuk kejajaran bukit yang ada di belakang Meunasah Masjid.
Elma lain lagi. Meski tidak pernah melihat langsung ganasnya tsunami, namun gadis pemalu ini mengerti betul rasanya kehilangan keluarga besar. Setidaknya, 10 orang keluarga dekat Elma meninggal dunia dalam peristiwa tsunami tiga tahun lalu. “Ketika itu saya tinggal di Brawe, Banda Aceh, jadinya saya selamat, tapi banyak saudara saya yang meninggal dunia,” kata Elma. Karena itu, Elma pun tidak kalah ngeri bila mendengar gambaran tsunami yang begitu rupa.
Meski begitu, seperti juga banyak anak sebaya mereka, Elma maupun Aldi mengaku sudah sedikit demi sedikit bisa melupakan kejadian yang membuat air mata penduduk Aceh seakan berlinang tiada henti itu. Diakui, rasa khawatir itu masih bersarang dibenak mereka. “Kini saya tidak sedih lagi, meskipun masih takut kalau ombak kembali besar,” kata Aldi. Elma mengangguk mengiyakan.
Baik Elma maupun Aldi merasakan, hidup di Desa Meunasah Masjid sekarang sudah cukup lumayan. Meskipun bagi Elma, rumah yang dimilikinya belum seperti rumah yang dulu. Terutama rumah yang tidak memiliki banyak ruangan dan jendela. “Rumah saya yang dulu lebih terang, banyak cahaya yang masuk di setiap kamar,” kata Elma yang kini tinggal di rumah rekonstruksi Plan Aceh-Habitat Humanity itu.
Tapi kini, kamar miliknya, sempit dan tidak memiliki banyak cahaya. Bila siang hari, Elma pun terpaksa menggunakan lampu kamar. Bisa di tebak, kamar berkuran 3x3 M itu pun terasa lebih panas. “Kamar itu gelap dan kalau siang, akan bertambah panas,” kata Elma. Asal tahu saja, suhu udara di Aceh bisa mencapai 39 derajat Celcius.
Selain itu, Elma yang gemar bersosok tanam jenis tanaman bunga mengaku hobbynya tidak tersalurkan tanpa adanya pagar yang memisahkan tiap rumah. Setiap bunga yang sudah ditata apik di ruang terbuka di halaman rumah Elma, selalu berakhir tragis. “Kalau nggak mati terinjak-injak, atau mati dimakan oleh kambing yang berkeliaran,” kata Elma.
Belakangan, Elma menemukan cara jitu untuk menghindari hal itu. Yakni dengan membuat rak untuk menempatkan bunga dalam pot-pot yang disediakan. Meski pun dibuat sendiri, namun rak reyot itu untuk sementara bisa menghindarkan bunga dari “ancaman” kambing. “Yah, kalau ada pagar mungkin bisa jauh lebih baik ya,” katanya.
Hal lain yang sepertinya perlu ada di Meunasah Masjid adalah perbaikan jalan. Bila hujan tiba, jalan menuju rumah Elma selalu becek dan tergenang di mana-mana. Hampir pasti, bila hujan tiba, Elma harus mencopot sepatunya untuk menghindarkan dari air kotor yang tergenang. “Lebih baik kaki yang kotor, tapi sepatu tetap bersih, jadi sepatunya dijinjing saja,” katanya.
Aldi memilih tidak banyak berkomentar tentang rumahnya. Laki-laki murah senyum ini menilai, rumah yang sekarang didiaminya sudah “lumayan”. “Memang sudah lumayan, dari pada tidak punya rumah,” katanya. Hanya saja, Aldi membayangkan, bila dirinya beranjak dewasa, maka rumah yang sekarang didiaminya akan sempit. Untuk itu, Aldi menginginkan rumahnya ditingkat dua. Alasannya sederhana. “Saya ingin punya kamar di atas, jadi bisa lihat laut. Kalau suatu saat tsunami lagi, saya bisa selamat,” katanya.
Elma dan Aldi mengakui, hidup di daerah yang pernah tersapu tsunami penuh dengan suka, duka, harapan dan cita-cita. Suka dan duka mungkin sudah terhapus gelombang tsunami, kini waktunya membangun harapan dan cita-cita. “Gini-gini kita juga punya cita-cita tinggi lho,” kata Aldi ceria. Pengemar musik ini mengaku ingin menjadi musisi band. “Aku ingin jadi pemain band!” katanya mantap.
Elma yang mendengar itu sempat terbahak. Aldi tersipu. “Jangan hanya tertawa, katakan cita-citamu,” kata Aldi. Elma hanya menggeleng malu. Aldi yang ganti tertawa. Merasa terpojok, Elma lirih mengatakan cita-citanya. “Kalau bisa, saya ingin melanjutkan sekolah di sekolah kedokteran dan selanjutnya jadi dokter,” kata Elma. Keduanya tertawa. Meski harus kembali menutup mulut dan hidung karena dam truk baru saja lewat dan menerbangkan debu....wusss,...
Siang itu, Elma Purwani atau Elma asyik bermain ayunan di depan kios toko milik ibunya, Zuhra. Baju merah putih yang dikenakan anak kelas enam sekolah dasar (SD) itu sedikit lusuh, berpadu dengan jilbab putih yang menguning karena sering digunakan. Begitu juga kaos kaki merah muda yang sedikit ketat kekecilan. Panas yang menyinari siang itu, membuat mata Elma sedikit memicing.
Elma tidak sendirian. Di depannya ada Juliandi Saputra atau akrab dipanggil Aldi. Teman sebaya Elma ini memilih berdiri tak jauh dari gadis itu, sambil menikmati makanan ringan yang dijajakan di kios Zuhra. Bila Elma berseragam merah putih, Aldi yang bersekolah di Madrasah Ibtida’yah Negeri (MIN) Leupung berseragam putih biru. Seperti Elma, seragam Aldi pun lusuh dan kumal. Rambutnya acak-acakan, menutupi sebagian wajah legamnya.
Berbincang dengan Elma dan Andi seperti memasuki dunia anak-anak kebanyakan. Aroma canda dan tawa tidak pernah lepas dari mereka. Meski sesekali dibumbui dengan obrolan “nggak penting” versi anak baru gede (ABG), namun tetap saja tidak menghilangkan keceriaan yang mereka usung. “Kita sih senang di sini,..dekat pantai bisa main-main ke pantai setiap hari,” kata Aldi di sela-sela tawanya.
Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang sepanjang hidupnya hidup “normal”, Elma dan Aldi pernah merasakan betapa dahsyat efek gelombang tsunami. Terutama Aldi yang ketika bencana itu terjadi hidup di Pulut, 2 Km dari Meunasah Masjid, dan berhasil selamat dari amukan air yang tiba-tiba datang menerjang kampunnya.
Aldi menceritakan, mimpi buruknya pada tsunami berawal dari sebuah goncangan keras pada 26 Desember 2004 pagi. Saat itu, kata Aldi, bumi seperti diguncang keras. “Saya yang sedang bermain-main di halaman depan rumah langsung berjongkok takut jatuh,” katanya. Setelah itu, keadaan kembali tenang. Aldi pun tidak berpikir lagi tentang hal itu. Ia kembali melanjutkan permainannya.
Tidak lama berselang, kenang Aldi, terdengar suara gemuruh yang entah berasal dari mana. Beruntung pandangan bocah penggemar musik itu terlempar ke arah pagar. Betapa terkejutnya Aldi, tidak seperti biasanya, di tepian pagar rumahnya sudah mengalir air. Beberapa saat kemudian, air bertambah banyak. “Saya memanggil mamak (ibu) saya, dan mengatakan ada air,..ada air,..” kenang Aldi.
Ayah Aldi yang juga berada di luar segera mengajak Aldi dan ibunya untuk berlari ke atas bukit untuk menyelamatkan diri. Untuk sementara waktu, Aldi tinggal di lereng bukit daerah Pulut. “Saya, bapak dan ibu selamat, tapi abang saya yang tinggal di Meunasah Masjid meninggal dunia karena terseret ombak sampai ke perbukitan di sana,” kata Aldi sambil menunjuk kejajaran bukit yang ada di belakang Meunasah Masjid.
Elma lain lagi. Meski tidak pernah melihat langsung ganasnya tsunami, namun gadis pemalu ini mengerti betul rasanya kehilangan keluarga besar. Setidaknya, 10 orang keluarga dekat Elma meninggal dunia dalam peristiwa tsunami tiga tahun lalu. “Ketika itu saya tinggal di Brawe, Banda Aceh, jadinya saya selamat, tapi banyak saudara saya yang meninggal dunia,” kata Elma. Karena itu, Elma pun tidak kalah ngeri bila mendengar gambaran tsunami yang begitu rupa.
Meski begitu, seperti juga banyak anak sebaya mereka, Elma maupun Aldi mengaku sudah sedikit demi sedikit bisa melupakan kejadian yang membuat air mata penduduk Aceh seakan berlinang tiada henti itu. Diakui, rasa khawatir itu masih bersarang dibenak mereka. “Kini saya tidak sedih lagi, meskipun masih takut kalau ombak kembali besar,” kata Aldi. Elma mengangguk mengiyakan.
Baik Elma maupun Aldi merasakan, hidup di Desa Meunasah Masjid sekarang sudah cukup lumayan. Meskipun bagi Elma, rumah yang dimilikinya belum seperti rumah yang dulu. Terutama rumah yang tidak memiliki banyak ruangan dan jendela. “Rumah saya yang dulu lebih terang, banyak cahaya yang masuk di setiap kamar,” kata Elma yang kini tinggal di rumah rekonstruksi Plan Aceh-Habitat Humanity itu.
Tapi kini, kamar miliknya, sempit dan tidak memiliki banyak cahaya. Bila siang hari, Elma pun terpaksa menggunakan lampu kamar. Bisa di tebak, kamar berkuran 3x3 M itu pun terasa lebih panas. “Kamar itu gelap dan kalau siang, akan bertambah panas,” kata Elma. Asal tahu saja, suhu udara di Aceh bisa mencapai 39 derajat Celcius.
Selain itu, Elma yang gemar bersosok tanam jenis tanaman bunga mengaku hobbynya tidak tersalurkan tanpa adanya pagar yang memisahkan tiap rumah. Setiap bunga yang sudah ditata apik di ruang terbuka di halaman rumah Elma, selalu berakhir tragis. “Kalau nggak mati terinjak-injak, atau mati dimakan oleh kambing yang berkeliaran,” kata Elma.
Belakangan, Elma menemukan cara jitu untuk menghindari hal itu. Yakni dengan membuat rak untuk menempatkan bunga dalam pot-pot yang disediakan. Meski pun dibuat sendiri, namun rak reyot itu untuk sementara bisa menghindarkan bunga dari “ancaman” kambing. “Yah, kalau ada pagar mungkin bisa jauh lebih baik ya,” katanya.
Hal lain yang sepertinya perlu ada di Meunasah Masjid adalah perbaikan jalan. Bila hujan tiba, jalan menuju rumah Elma selalu becek dan tergenang di mana-mana. Hampir pasti, bila hujan tiba, Elma harus mencopot sepatunya untuk menghindarkan dari air kotor yang tergenang. “Lebih baik kaki yang kotor, tapi sepatu tetap bersih, jadi sepatunya dijinjing saja,” katanya.
Aldi memilih tidak banyak berkomentar tentang rumahnya. Laki-laki murah senyum ini menilai, rumah yang sekarang didiaminya sudah “lumayan”. “Memang sudah lumayan, dari pada tidak punya rumah,” katanya. Hanya saja, Aldi membayangkan, bila dirinya beranjak dewasa, maka rumah yang sekarang didiaminya akan sempit. Untuk itu, Aldi menginginkan rumahnya ditingkat dua. Alasannya sederhana. “Saya ingin punya kamar di atas, jadi bisa lihat laut. Kalau suatu saat tsunami lagi, saya bisa selamat,” katanya.
Elma dan Aldi mengakui, hidup di daerah yang pernah tersapu tsunami penuh dengan suka, duka, harapan dan cita-cita. Suka dan duka mungkin sudah terhapus gelombang tsunami, kini waktunya membangun harapan dan cita-cita. “Gini-gini kita juga punya cita-cita tinggi lho,” kata Aldi ceria. Pengemar musik ini mengaku ingin menjadi musisi band. “Aku ingin jadi pemain band!” katanya mantap.
Elma yang mendengar itu sempat terbahak. Aldi tersipu. “Jangan hanya tertawa, katakan cita-citamu,” kata Aldi. Elma hanya menggeleng malu. Aldi yang ganti tertawa. Merasa terpojok, Elma lirih mengatakan cita-citanya. “Kalau bisa, saya ingin melanjutkan sekolah di sekolah kedokteran dan selanjutnya jadi dokter,” kata Elma. Keduanya tertawa. Meski harus kembali menutup mulut dan hidung karena dam truk baru saja lewat dan menerbangkan debu....wusss,...
07 Desember 2007
Ada Harapan di Sela-sela Debu Rumah Leupung
Meski hanya sesaat, debu yang beterbangan usai dam truk melintas di jalan darurat menuju Desa Meunasah Masjid, membuat jalan itu tak layak lagi dilewati. Butiran kecil kecoklatan itu membuat gelap suasana. Di balik pekatnya debu di jalanan itulah, rumah relokasi Leupung berada. Rumah yang menjadi sadaran hidup korban tsunami.
Jemari Zuhra menari di antara dan barang dagangannya. Sesekali, mulutnya meniupi debu-debu yang menempel di etelase kaca kiosnya. Setiap hari, tak terhitung lagi berapa kali perempuan beranak dua itu harus membersihkan debu dari barang dagangan yang di jual di kios jajanan dan voucer pulsa isi ulang tepi jalan Desa Meunasah Masjid. Di samping Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. “Debu di sini banyak sekali,” kata Zahra.
Zuhra adalah salah satu penghuni rumah rekonstruksi di Desa Meunasah Masjid, Leupung. Bersama Elma Purwani dan suami barunya, perempuan berusia 47 tahun itu menempati rumah yang dibangun oleh Plan Aceh. Ketika tsunami menerjang, 10 orang anggota keluarga Zuhra meninggal dunia atau hilang entah kemana. “Saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini, karena inilah tempat tinggal kami,” kata Zahra.
Kecamatan Leupung, tepatnya di Desa Maunasah Masjid adalah salah satu daerah parah ketika tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias, 26 Desember 2004 lalu. Dari seluruh Kecamatan Leupung yang memiliki populasi sekitar 10 ribu jiwa, yang selamat hanya sekitar 700-an orang. Di Desa Meunasah Masjid, hanya puluhan yang tersisa.
Meskipun letaknya hanya 15 Km dari Ibu Kota NAD Banda Aceh, namun tidak gampang menuju daerah ini. Terutama ketika melewati jalan darurat yang dibangun di atas lahan perkebunan yang penuh debu, terjal dan bergelombang. Kendaraan roda empat yang melintasi jalan itu, membuat debu itu menari-nari menutupi pandangan. Penduduk bersepeda motor, mau tidak mau harus berhenti sejenak untuk membiarkan debu-debu itu pergi tertiup angin.
Kehidupan di Desa Maunasah Masjid, Leupung mulai menggeliat. Rumah-rumah yang dibangun berbagai NGO seperti Plan Aceh, Muslim Aid, Habitat Humanity, Oxfam sejumlah 97 unit mulai ditempati. Sementara 85 unit milik Asean Development Bank (ADB) belum usai dibangun. Rencananya, rumah BRR juga akan dibangun di lokasi yang sama.
Beberapa toko, warung dan puskesmas desa pun pelan-pelan mulai beroperasi. Plus beroperasinya sekolah tingkat TK milik USAID dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. Meskipun jumlah murid sangat sedikit. Lantaran jumlah anak usia sekolah yang masih tersisa hanya puluhan orang. Di samping itu, beberapa penduduk pun mulai berbenah dengan membuka usaha di rumah.
Meski keadaan cenderung lebih “tertata” dari pada keadaan sebelum tsunami menerjang, namun keadaan saat ini jauh berbeda. Terutama dengan tidak hadirnya orang-orang terdekat yang menjadi korban gelombang ganas itu. Barunah misalnya. Perempuan yang suaminya meninggal dunia karena tsunami itu sebelumnya tinggal di Meunasah Masjid dengan 89 orang keluarga besar.
Ketika tsunami menerjang, 80 orang keluarga Barunah menjadi korban. “Tinggal sembilan orang yang selamat, hanya saya perempuannya,” kata Barunah yang ketika kejadian itu terjadi sedang tidak berada di Leupung. Kini, Barunah mendiami sendiri rumah baru di Meunasah Masjid. “Biar saya tetap di sini, di tanah milik keluarga saya,” kata Barunah yang kini menjanda.
Meski begitu, Barunah yang juga saudara perempuan dari Samidan, Guechik Meunasah Masjid itu tetap bersyukur. Tetangga rumah yang kebanyakan juga merupakan korban selamat tsunami sudah seperti saudara dekat. “Semua yang ada di sini sudah seperti saudara sendiri, masing-masing saling membantu satu sama lain, alhamdulillah,” katanya.
Keluarga Ja’far pun sama. Laki-laki 42 tahun yang dulu berprofesi sebagai pengemudi labi-labi (angkot) ini adalah salah satu korban selamat tsunami. Istri dan keluarga Ja’far yang lain ikut menjadi korban derasnya gelombang dari laut Samudra Hindia itu. Kini Ja’far melanjutkan hidupnya sebagai sopir truk untuk mengangkut material pembangunan jalan di sekitar Leupung.
Berbeda dengan Barunnah, Ja’far memilih untuk kembali membangun keluarga dengan menikahi Yusnaini. Keduanya tinggal di rumah rekonstruksi yang dibangun Plan Aceh di Meunasah Masjid. “Ya,.. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit kami sudah menata kehidupan kami, mungkin ini sudah digariskan dan harus kita jalani,” kata Ja’far.
Plus Minus Rumah Baru
Bagi keluarga yang tersisa pasca tsunami, hidup di tanah leluhur dengan kondisi yang sama sekali baru, bukanlah hal yang mudah. Perlu adaptasi yang cukup lama untuk bisa memahami semua hal yang “tersaji” di depan mata. “Rumah baru” adalah salah satunya. Puluhan unit rumah yang dibangun di Meunasah Masjid berasal dari beberapa penyandang dana yang berbeda. Dengan bentuk dan jenis yang berbeda-beda pula. Meskipun ukurannya relatif sama, type 36.
“Masing-masing rumah memiliki karakter yang berbeda, tergantung siapa yang membangun,” kata Ja’far. Misalnya rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity. Dari sisi fisik, bangunannya tergolong sama, dengan ruang utama, kamar mandi dan teras depan dan belakang. Hanya saja, Plan Aceh-Habitat menambah tegel keramik sebagai pemanis bagian dalam. Sementara rumah milik ADB mempunyai kerangka atap dari besi baja yang kuat.
Dibandingkan seluruh rumah yang sudah dibangun, rumah milik Muslim Aid dan Oxfam dinilai lebih layak. Meskipun lantai tidak dilapisi keramik, namun Muslim Aid dan Oxfam memberikan fasilitas lain berupa kompas gas plus tabung gasnya, furniture, ranjang dan lemari kayu. BRR pernah membangun rumah di areal yang sama, namun tidak sesuai dengan spek yang diharap masyarakat. Terutama soal pondasi dan dinding dari batako. Karena itu masyarakat menghancurkan bangunan itu. Mereka menginginkan bangunan rumah yang lebih layak.
Bagi keluarga yang baru saja dirundung kesusahan dan kehilangan seluruh harta benda karena tsunami, fasilitas rumah dan furniture yang diberikan oleh Muslim Aid dan Oxfam dianggap paling “masuk akal”. Hal itu yang dikatakan oleh keluarga Anwar dan Salimah. “Kami tidak memiliki apapun setelah tsunami, rumah yang kami dapat juga tidak ada isinya, akhirnya kami harus berpikir untuk memenuhi kebutuhan lainnya,” kata Anwar yang kini menghuni rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity.
Anwar dan Salimah tidak sendirian. Mereka tinggal bersama dua anak yang masih bayi dan balita. Sasabila, 2, 5 tahun dan Maulana, 7 bulan. Hidup bersama dua anak kecil dalam kondisi rumah memang bukan hal yang mudah. Apalagi rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity tidak dilengkapi pula dengan dapur. Salimah, sang ibu kesulitan untuk menyiapkan makan dan membuat susu untuk dua anaknya. “Terpaksa semua kami lakukan di ruang tamu,” kata Salimah yang ketika tsunami menerjang, 14 keluarganya meninggal dunia atau hilang.
Perihal kebutuhan dapur juga dirasakan oleh keluarga Zafrizal dan Unonen. Keluarga yang memiliki dua anak yang kini bersekolah di TK milik USAID itu terpaksa menambahkan sendiri bagian dapur miliknya dengan papan bekas bangunan yang tidak terpakai. “Dapur memang kebutuhan yang harus ada, maka kami mencoba membuatnya sendiri meski secara sederhana,” kata Zafrizal.
Hasilnya tidak mengecewakan. Dalam sebuah kunjungan ke rumah Zafrizal dan Unonen, sekilas rumah itu memang terlihat tidak rapi lantaran banyak mainan anak-anak yang berserakan. Namun hal itu tetap tidak menghilangkan peran peruntukan tiap ruang. Baju-baju bersih misalnya, tertata di tiap kamar yang ada. Juga peralatan dapur dan cuci baju kotor, semuanya ada di bagian belakang rumah. Begitu juga dengan buku-buku pelajaran anak-anak yang tertata di pojokan ruang tamu.
Masukan menarik datang dari keluarga Ja’far dan Yusnaini. Keluarga ini mepersoalkan jumlah ruangan milik Plan Aceh-Habitat Humanity yang hanya dibagi dalam tiga ruangan. Ruang tamu, satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Sementara, satu kamar lagi hanya disekat dengan menggunakan teriplek kayu. Kondisi ini menyulitkan bagi keluarga yang mempunyai anak baru gede (ABG) yang jelas membutuhkan ruangan pribadi.
Karena alasan itulah, keluarga Ja’far dan Yusnaini memilih untuk tidak menempatkan anak semata wayangnya, Isra ke rumah orang tua Yusnaini di Selimum, Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. “Di sana banyak teman dan banyak ruangan yang bisa ditempati, mungkin kalau sudah lulus SD bisa kembali ke Meunasah Masjid,” kata Yusnaini.
Rumah Ja’far dan Yusnaini tergolong unik. Selain tampak rapi dengan furniture yang bagus, rumah itu juga memiliki beberapa bangunan tambahan. Seperti dapur dan ruang cuci baju dan cuci piring di luar rumah bagian belakang. Sementara kebun belakang rumah ditanami dengan ketela pohon. “Ketela pohon itu sengaja kami tanami, selain untuk kami gunakan hasilnya, juga untuk hiasan mata, hijau-hijauan lah,” katanya.
Saluran Pembuangan dan Meunasah
Hal lain yang menjadi problem dalam persoalan rumah di Desa Meunasah Masjid, Kecamatan Leupung adalah tidak adanya saluran pembuangan air kotor. Agaknya, hal ini menjadi persoalan laten yang dikemudian hari akan memunculkan persoalan baru. Dalam pengamatan, hampir semua penghuni perumahan baru di Meunasah Madjid, membuang saluran air kotornya di halaman bagian belakang rumah. Tidak mengherankan bila banyak sekali genangan air kotor atau tanah basah bekas buangan air kotor.
Sekretaris Desa Meunasah Masjid Abdul Jalil menyadari hal itu. Menurut laki-laki yang kini berjualan voucer telepon seluler di rumahnya ini, hal saluran air kotor sudah sering dibicarakan oleh masyarakat sekitar. “Sering sekali kita bicara soal saluran pembuangan itu, mulai got sampai saluran pembuangan dari air cucian piring dan baju, namun sampai sekarang tidak ada solusi soal itu,” katanya.
Masyarakat ingin membangun sendiri saluran itu, namun terbentur dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan. Kalaupun bisa dibuat dengan seadanya, malah khawatir akan mmunculkan problem baru, karena masyarakat tidak mengetahui rencana utuh pembangunan di kawasan itu. “Kami kawatir, kalau saluran itu diserahkan ke masyarakat tanpa kita tahu rencana pembangunannya, akan malah merepotkan,” katanya. “Karena itu, sampai saat ini kami memilih untuk membuangnya di tanah saja,”
Meunasah atau masjid kecil (mushola) juga masih menjadi impian. Biasanya, bagi masyarakat di NAD, keberadaan meunasah adalah bagian yang tidak terpisahkan. Namun di Desa Meunasah Masjid, justru tidak memiliki meunasah. Yang ada hanya meunasah sementara yang terletak di samping Polsek Leupung yang ada di pinggir jalan utama di pinggir desa.
“Mungkin NGO dan BRR lupa mengagendakan pembangunan meunasah di desa Meunasah Masjid, kita sangat membutuhkan meunasah. Masa’ Desa Meunasah Masjid tidak memiliki meunasah?” kata Abdul Jalil. Benar juga ya...
Jemari Zuhra menari di antara dan barang dagangannya. Sesekali, mulutnya meniupi debu-debu yang menempel di etelase kaca kiosnya. Setiap hari, tak terhitung lagi berapa kali perempuan beranak dua itu harus membersihkan debu dari barang dagangan yang di jual di kios jajanan dan voucer pulsa isi ulang tepi jalan Desa Meunasah Masjid. Di samping Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. “Debu di sini banyak sekali,” kata Zahra.
Zuhra adalah salah satu penghuni rumah rekonstruksi di Desa Meunasah Masjid, Leupung. Bersama Elma Purwani dan suami barunya, perempuan berusia 47 tahun itu menempati rumah yang dibangun oleh Plan Aceh. Ketika tsunami menerjang, 10 orang anggota keluarga Zuhra meninggal dunia atau hilang entah kemana. “Saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini, karena inilah tempat tinggal kami,” kata Zahra.
Kecamatan Leupung, tepatnya di Desa Maunasah Masjid adalah salah satu daerah parah ketika tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias, 26 Desember 2004 lalu. Dari seluruh Kecamatan Leupung yang memiliki populasi sekitar 10 ribu jiwa, yang selamat hanya sekitar 700-an orang. Di Desa Meunasah Masjid, hanya puluhan yang tersisa.
Meskipun letaknya hanya 15 Km dari Ibu Kota NAD Banda Aceh, namun tidak gampang menuju daerah ini. Terutama ketika melewati jalan darurat yang dibangun di atas lahan perkebunan yang penuh debu, terjal dan bergelombang. Kendaraan roda empat yang melintasi jalan itu, membuat debu itu menari-nari menutupi pandangan. Penduduk bersepeda motor, mau tidak mau harus berhenti sejenak untuk membiarkan debu-debu itu pergi tertiup angin.
Kehidupan di Desa Maunasah Masjid, Leupung mulai menggeliat. Rumah-rumah yang dibangun berbagai NGO seperti Plan Aceh, Muslim Aid, Habitat Humanity, Oxfam sejumlah 97 unit mulai ditempati. Sementara 85 unit milik Asean Development Bank (ADB) belum usai dibangun. Rencananya, rumah BRR juga akan dibangun di lokasi yang sama.
Beberapa toko, warung dan puskesmas desa pun pelan-pelan mulai beroperasi. Plus beroperasinya sekolah tingkat TK milik USAID dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. Meskipun jumlah murid sangat sedikit. Lantaran jumlah anak usia sekolah yang masih tersisa hanya puluhan orang. Di samping itu, beberapa penduduk pun mulai berbenah dengan membuka usaha di rumah.
Meski keadaan cenderung lebih “tertata” dari pada keadaan sebelum tsunami menerjang, namun keadaan saat ini jauh berbeda. Terutama dengan tidak hadirnya orang-orang terdekat yang menjadi korban gelombang ganas itu. Barunah misalnya. Perempuan yang suaminya meninggal dunia karena tsunami itu sebelumnya tinggal di Meunasah Masjid dengan 89 orang keluarga besar.
Ketika tsunami menerjang, 80 orang keluarga Barunah menjadi korban. “Tinggal sembilan orang yang selamat, hanya saya perempuannya,” kata Barunah yang ketika kejadian itu terjadi sedang tidak berada di Leupung. Kini, Barunah mendiami sendiri rumah baru di Meunasah Masjid. “Biar saya tetap di sini, di tanah milik keluarga saya,” kata Barunah yang kini menjanda.
Meski begitu, Barunah yang juga saudara perempuan dari Samidan, Guechik Meunasah Masjid itu tetap bersyukur. Tetangga rumah yang kebanyakan juga merupakan korban selamat tsunami sudah seperti saudara dekat. “Semua yang ada di sini sudah seperti saudara sendiri, masing-masing saling membantu satu sama lain, alhamdulillah,” katanya.
Keluarga Ja’far pun sama. Laki-laki 42 tahun yang dulu berprofesi sebagai pengemudi labi-labi (angkot) ini adalah salah satu korban selamat tsunami. Istri dan keluarga Ja’far yang lain ikut menjadi korban derasnya gelombang dari laut Samudra Hindia itu. Kini Ja’far melanjutkan hidupnya sebagai sopir truk untuk mengangkut material pembangunan jalan di sekitar Leupung.
Berbeda dengan Barunnah, Ja’far memilih untuk kembali membangun keluarga dengan menikahi Yusnaini. Keduanya tinggal di rumah rekonstruksi yang dibangun Plan Aceh di Meunasah Masjid. “Ya,.. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit kami sudah menata kehidupan kami, mungkin ini sudah digariskan dan harus kita jalani,” kata Ja’far.
Plus Minus Rumah Baru
Bagi keluarga yang tersisa pasca tsunami, hidup di tanah leluhur dengan kondisi yang sama sekali baru, bukanlah hal yang mudah. Perlu adaptasi yang cukup lama untuk bisa memahami semua hal yang “tersaji” di depan mata. “Rumah baru” adalah salah satunya. Puluhan unit rumah yang dibangun di Meunasah Masjid berasal dari beberapa penyandang dana yang berbeda. Dengan bentuk dan jenis yang berbeda-beda pula. Meskipun ukurannya relatif sama, type 36.
“Masing-masing rumah memiliki karakter yang berbeda, tergantung siapa yang membangun,” kata Ja’far. Misalnya rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity. Dari sisi fisik, bangunannya tergolong sama, dengan ruang utama, kamar mandi dan teras depan dan belakang. Hanya saja, Plan Aceh-Habitat menambah tegel keramik sebagai pemanis bagian dalam. Sementara rumah milik ADB mempunyai kerangka atap dari besi baja yang kuat.
Dibandingkan seluruh rumah yang sudah dibangun, rumah milik Muslim Aid dan Oxfam dinilai lebih layak. Meskipun lantai tidak dilapisi keramik, namun Muslim Aid dan Oxfam memberikan fasilitas lain berupa kompas gas plus tabung gasnya, furniture, ranjang dan lemari kayu. BRR pernah membangun rumah di areal yang sama, namun tidak sesuai dengan spek yang diharap masyarakat. Terutama soal pondasi dan dinding dari batako. Karena itu masyarakat menghancurkan bangunan itu. Mereka menginginkan bangunan rumah yang lebih layak.
Bagi keluarga yang baru saja dirundung kesusahan dan kehilangan seluruh harta benda karena tsunami, fasilitas rumah dan furniture yang diberikan oleh Muslim Aid dan Oxfam dianggap paling “masuk akal”. Hal itu yang dikatakan oleh keluarga Anwar dan Salimah. “Kami tidak memiliki apapun setelah tsunami, rumah yang kami dapat juga tidak ada isinya, akhirnya kami harus berpikir untuk memenuhi kebutuhan lainnya,” kata Anwar yang kini menghuni rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity.
Anwar dan Salimah tidak sendirian. Mereka tinggal bersama dua anak yang masih bayi dan balita. Sasabila, 2, 5 tahun dan Maulana, 7 bulan. Hidup bersama dua anak kecil dalam kondisi rumah memang bukan hal yang mudah. Apalagi rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity tidak dilengkapi pula dengan dapur. Salimah, sang ibu kesulitan untuk menyiapkan makan dan membuat susu untuk dua anaknya. “Terpaksa semua kami lakukan di ruang tamu,” kata Salimah yang ketika tsunami menerjang, 14 keluarganya meninggal dunia atau hilang.
Perihal kebutuhan dapur juga dirasakan oleh keluarga Zafrizal dan Unonen. Keluarga yang memiliki dua anak yang kini bersekolah di TK milik USAID itu terpaksa menambahkan sendiri bagian dapur miliknya dengan papan bekas bangunan yang tidak terpakai. “Dapur memang kebutuhan yang harus ada, maka kami mencoba membuatnya sendiri meski secara sederhana,” kata Zafrizal.
Hasilnya tidak mengecewakan. Dalam sebuah kunjungan ke rumah Zafrizal dan Unonen, sekilas rumah itu memang terlihat tidak rapi lantaran banyak mainan anak-anak yang berserakan. Namun hal itu tetap tidak menghilangkan peran peruntukan tiap ruang. Baju-baju bersih misalnya, tertata di tiap kamar yang ada. Juga peralatan dapur dan cuci baju kotor, semuanya ada di bagian belakang rumah. Begitu juga dengan buku-buku pelajaran anak-anak yang tertata di pojokan ruang tamu.
Masukan menarik datang dari keluarga Ja’far dan Yusnaini. Keluarga ini mepersoalkan jumlah ruangan milik Plan Aceh-Habitat Humanity yang hanya dibagi dalam tiga ruangan. Ruang tamu, satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Sementara, satu kamar lagi hanya disekat dengan menggunakan teriplek kayu. Kondisi ini menyulitkan bagi keluarga yang mempunyai anak baru gede (ABG) yang jelas membutuhkan ruangan pribadi.
Karena alasan itulah, keluarga Ja’far dan Yusnaini memilih untuk tidak menempatkan anak semata wayangnya, Isra ke rumah orang tua Yusnaini di Selimum, Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. “Di sana banyak teman dan banyak ruangan yang bisa ditempati, mungkin kalau sudah lulus SD bisa kembali ke Meunasah Masjid,” kata Yusnaini.
Rumah Ja’far dan Yusnaini tergolong unik. Selain tampak rapi dengan furniture yang bagus, rumah itu juga memiliki beberapa bangunan tambahan. Seperti dapur dan ruang cuci baju dan cuci piring di luar rumah bagian belakang. Sementara kebun belakang rumah ditanami dengan ketela pohon. “Ketela pohon itu sengaja kami tanami, selain untuk kami gunakan hasilnya, juga untuk hiasan mata, hijau-hijauan lah,” katanya.
Saluran Pembuangan dan Meunasah
Hal lain yang menjadi problem dalam persoalan rumah di Desa Meunasah Masjid, Kecamatan Leupung adalah tidak adanya saluran pembuangan air kotor. Agaknya, hal ini menjadi persoalan laten yang dikemudian hari akan memunculkan persoalan baru. Dalam pengamatan, hampir semua penghuni perumahan baru di Meunasah Madjid, membuang saluran air kotornya di halaman bagian belakang rumah. Tidak mengherankan bila banyak sekali genangan air kotor atau tanah basah bekas buangan air kotor.
Sekretaris Desa Meunasah Masjid Abdul Jalil menyadari hal itu. Menurut laki-laki yang kini berjualan voucer telepon seluler di rumahnya ini, hal saluran air kotor sudah sering dibicarakan oleh masyarakat sekitar. “Sering sekali kita bicara soal saluran pembuangan itu, mulai got sampai saluran pembuangan dari air cucian piring dan baju, namun sampai sekarang tidak ada solusi soal itu,” katanya.
Masyarakat ingin membangun sendiri saluran itu, namun terbentur dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan. Kalaupun bisa dibuat dengan seadanya, malah khawatir akan mmunculkan problem baru, karena masyarakat tidak mengetahui rencana utuh pembangunan di kawasan itu. “Kami kawatir, kalau saluran itu diserahkan ke masyarakat tanpa kita tahu rencana pembangunannya, akan malah merepotkan,” katanya. “Karena itu, sampai saat ini kami memilih untuk membuangnya di tanah saja,”
Meunasah atau masjid kecil (mushola) juga masih menjadi impian. Biasanya, bagi masyarakat di NAD, keberadaan meunasah adalah bagian yang tidak terpisahkan. Namun di Desa Meunasah Masjid, justru tidak memiliki meunasah. Yang ada hanya meunasah sementara yang terletak di samping Polsek Leupung yang ada di pinggir jalan utama di pinggir desa.
“Mungkin NGO dan BRR lupa mengagendakan pembangunan meunasah di desa Meunasah Masjid, kita sangat membutuhkan meunasah. Masa’ Desa Meunasah Masjid tidak memiliki meunasah?” kata Abdul Jalil. Benar juga ya...
BERITA UNGGULAN
JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?
Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia.
Postingan Populer
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
Banyak dikunjungi
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Akun X @kkpgoid memposting "breaking news!!!" tentang penghentian kegiatan pemagaran laut tanpa izin. #SahabatBahari, hari ini KKP...
-
WORLD RECORD . Ilmuwan asal Surabaya, Muhammad Rizal Faisol berhasil memecahkan rumus Numerical Macrocosmos Magic Square and Numerical Macro...