10 Desember 2007

Demo Hari HAM di Banda Aceh


DEMO HARI HAM
Aktivis dari berbagai organisasi di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) menggelar demonstrasi hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia di Banda Aceh, Senin (10/11) malam. Dalam demonstrasi itu mereka membawa obor sebagai simbol menyalanya HAM di NAD.


Ketika Desa Meunasah Belum Ramah


Sejak keluarga Unonen membeli VCD player dan televisi, dua anak mereka betah di rumah. Setiap hari, film-film VCD menjadi santapan mereka. “Saya lebih suka anak-anak saya nonton VCD di rumah, dari pada main-main di jalan, karena di sini tidak ada tempat untuk bermain,” kata Unonen. Hmm,..

09 Desember 2007

Banjir Banda Aceh NAD


BANDA ACEH BANJIR
Sebagian wilayah kota Banda Aceh direndam banjir, Minggu (9/12) ini. Meski tidak membuat aktivitas kota lumpuh, namun banjir yang disebabkan oleh hujan yang mengguyur di sepanjang Sabtu kemarin itu membuat warga mengevakuasi barang-barangnya ke tempat yang lebih aman.


08 Desember 2007

Cita-cita Melejit Anak Meunasah Masjid

Di sela-sela senyum itu, Elma dan Andi dengan tegas mengatakan cita-citanya. Elma memilih menjadi dokter, sementara Andi mantap berucap ingin tampil sebagai pemain band. Setelah itu, senyum terhapus. Debu yang beterbangan membuatnya menutup mulut dan hidung.

Siang itu, Elma Purwani atau Elma asyik bermain ayunan di depan kios toko milik ibunya, Zuhra. Baju merah putih yang dikenakan anak kelas enam sekolah dasar (SD) itu sedikit lusuh, berpadu dengan jilbab putih yang menguning karena sering digunakan. Begitu juga kaos kaki merah muda yang sedikit ketat kekecilan. Panas yang menyinari siang itu, membuat mata Elma sedikit memicing.

Elma tidak sendirian. Di depannya ada Juliandi Saputra atau akrab dipanggil Aldi. Teman sebaya Elma ini memilih berdiri tak jauh dari gadis itu, sambil menikmati makanan ringan yang dijajakan di kios Zuhra. Bila Elma berseragam merah putih, Aldi yang bersekolah di Madrasah Ibtida’yah Negeri (MIN) Leupung berseragam putih biru. Seperti Elma, seragam Aldi pun lusuh dan kumal. Rambutnya acak-acakan, menutupi sebagian wajah legamnya.

Berbincang dengan Elma dan Andi seperti memasuki dunia anak-anak kebanyakan. Aroma canda dan tawa tidak pernah lepas dari mereka. Meski sesekali dibumbui dengan obrolan “nggak penting” versi anak baru gede (ABG), namun tetap saja tidak menghilangkan keceriaan yang mereka usung. “Kita sih senang di sini,..dekat pantai bisa main-main ke pantai setiap hari,” kata Aldi di sela-sela tawanya.

Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang sepanjang hidupnya hidup “normal”, Elma dan Aldi pernah merasakan betapa dahsyat efek gelombang tsunami. Terutama Aldi yang ketika bencana itu terjadi hidup di Pulut, 2 Km dari Meunasah Masjid, dan berhasil selamat dari amukan air yang tiba-tiba datang menerjang kampunnya.

Aldi menceritakan, mimpi buruknya pada tsunami berawal dari sebuah goncangan keras pada 26 Desember 2004 pagi. Saat itu, kata Aldi, bumi seperti diguncang keras. “Saya yang sedang bermain-main di halaman depan rumah langsung berjongkok takut jatuh,” katanya. Setelah itu, keadaan kembali tenang. Aldi pun tidak berpikir lagi tentang hal itu. Ia kembali melanjutkan permainannya.

Tidak lama berselang, kenang Aldi, terdengar suara gemuruh yang entah berasal dari mana. Beruntung pandangan bocah penggemar musik itu terlempar ke arah pagar. Betapa terkejutnya Aldi, tidak seperti biasanya, di tepian pagar rumahnya sudah mengalir air. Beberapa saat kemudian, air bertambah banyak. “Saya memanggil mamak (ibu) saya, dan mengatakan ada air,..ada air,..” kenang Aldi.

Ayah Aldi yang juga berada di luar segera mengajak Aldi dan ibunya untuk berlari ke atas bukit untuk menyelamatkan diri. Untuk sementara waktu, Aldi tinggal di lereng bukit daerah Pulut. “Saya, bapak dan ibu selamat, tapi abang saya yang tinggal di Meunasah Masjid meninggal dunia karena terseret ombak sampai ke perbukitan di sana,” kata Aldi sambil menunjuk kejajaran bukit yang ada di belakang Meunasah Masjid.


Elma lain lagi. Meski tidak pernah melihat langsung ganasnya tsunami, namun gadis pemalu ini mengerti betul rasanya kehilangan keluarga besar. Setidaknya, 10 orang keluarga dekat Elma meninggal dunia dalam peristiwa tsunami tiga tahun lalu. “Ketika itu saya tinggal di Brawe, Banda Aceh, jadinya saya selamat, tapi banyak saudara saya yang meninggal dunia,” kata Elma. Karena itu, Elma pun tidak kalah ngeri bila mendengar gambaran tsunami yang begitu rupa.

Meski begitu, seperti juga banyak anak sebaya mereka, Elma maupun Aldi mengaku sudah sedikit demi sedikit bisa melupakan kejadian yang membuat air mata penduduk Aceh seakan berlinang tiada henti itu. Diakui, rasa khawatir itu masih bersarang dibenak mereka. “Kini saya tidak sedih lagi, meskipun masih takut kalau ombak kembali besar,” kata Aldi. Elma mengangguk mengiyakan.

Baik Elma maupun Aldi merasakan, hidup di Desa Meunasah Masjid sekarang sudah cukup lumayan. Meskipun bagi Elma, rumah yang dimilikinya belum seperti rumah yang dulu. Terutama rumah yang tidak memiliki banyak ruangan dan jendela. “Rumah saya yang dulu lebih terang, banyak cahaya yang masuk di setiap kamar,” kata Elma yang kini tinggal di rumah rekonstruksi Plan Aceh-Habitat Humanity itu.

Tapi kini, kamar miliknya, sempit dan tidak memiliki banyak cahaya. Bila siang hari, Elma pun terpaksa menggunakan lampu kamar. Bisa di tebak, kamar berkuran 3x3 M itu pun terasa lebih panas. “Kamar itu gelap dan kalau siang, akan bertambah panas,” kata Elma. Asal tahu saja, suhu udara di Aceh bisa mencapai 39 derajat Celcius.

Selain itu, Elma yang gemar bersosok tanam jenis tanaman bunga mengaku hobbynya tidak tersalurkan tanpa adanya pagar yang memisahkan tiap rumah. Setiap bunga yang sudah ditata apik di ruang terbuka di halaman rumah Elma, selalu berakhir tragis. “Kalau nggak mati terinjak-injak, atau mati dimakan oleh kambing yang berkeliaran,” kata Elma.

Belakangan, Elma menemukan cara jitu untuk menghindari hal itu. Yakni dengan membuat rak untuk menempatkan bunga dalam pot-pot yang disediakan. Meski pun dibuat sendiri, namun rak reyot itu untuk sementara bisa menghindarkan bunga dari “ancaman” kambing. “Yah, kalau ada pagar mungkin bisa jauh lebih baik ya,” katanya.

Hal lain yang sepertinya perlu ada di Meunasah Masjid adalah perbaikan jalan. Bila hujan tiba, jalan menuju rumah Elma selalu becek dan tergenang di mana-mana. Hampir pasti, bila hujan tiba, Elma harus mencopot sepatunya untuk menghindarkan dari air kotor yang tergenang. “Lebih baik kaki yang kotor, tapi sepatu tetap bersih, jadi sepatunya dijinjing saja,” katanya.

Aldi memilih tidak banyak berkomentar tentang rumahnya. Laki-laki murah senyum ini menilai, rumah yang sekarang didiaminya sudah “lumayan”. “Memang sudah lumayan, dari pada tidak punya rumah,” katanya. Hanya saja, Aldi membayangkan, bila dirinya beranjak dewasa, maka rumah yang sekarang didiaminya akan sempit. Untuk itu, Aldi menginginkan rumahnya ditingkat dua. Alasannya sederhana. “Saya ingin punya kamar di atas, jadi bisa lihat laut. Kalau suatu saat tsunami lagi, saya bisa selamat,” katanya.

Elma dan Aldi mengakui, hidup di daerah yang pernah tersapu tsunami penuh dengan suka, duka, harapan dan cita-cita. Suka dan duka mungkin sudah terhapus gelombang tsunami, kini waktunya membangun harapan dan cita-cita. “Gini-gini kita juga punya cita-cita tinggi lho,” kata Aldi ceria. Pengemar musik ini mengaku ingin menjadi musisi band. “Aku ingin jadi pemain band!” katanya mantap.

Elma yang mendengar itu sempat terbahak. Aldi tersipu. “Jangan hanya tertawa, katakan cita-citamu,” kata Aldi. Elma hanya menggeleng malu. Aldi yang ganti tertawa. Merasa terpojok, Elma lirih mengatakan cita-citanya. “Kalau bisa, saya ingin melanjutkan sekolah di sekolah kedokteran dan selanjutnya jadi dokter,” kata Elma. Keduanya tertawa. Meski harus kembali menutup mulut dan hidung karena dam truk baru saja lewat dan menerbangkan debu....wusss,...



07 Desember 2007

Ada Harapan di Sela-sela Debu Rumah Leupung

Meski hanya sesaat, debu yang beterbangan usai dam truk melintas di jalan darurat menuju Desa Meunasah Masjid, membuat jalan itu tak layak lagi dilewati. Butiran kecil kecoklatan itu membuat gelap suasana. Di balik pekatnya debu di jalanan itulah, rumah relokasi Leupung berada. Rumah yang menjadi sadaran hidup korban tsunami.

Jemari Zuhra menari di antara dan barang dagangannya. Sesekali, mulutnya meniupi debu-debu yang menempel di etelase kaca kiosnya. Setiap hari, tak terhitung lagi berapa kali perempuan beranak dua itu harus membersihkan debu dari barang dagangan yang di jual di kios jajanan dan voucer pulsa isi ulang tepi jalan Desa Meunasah Masjid. Di samping Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. “Debu di sini banyak sekali,” kata Zahra.

Zuhra adalah salah satu penghuni rumah rekonstruksi di Desa Meunasah Masjid, Leupung. Bersama Elma Purwani dan suami barunya, perempuan berusia 47 tahun itu menempati rumah yang dibangun oleh Plan Aceh. Ketika tsunami menerjang, 10 orang anggota keluarga Zuhra meninggal dunia atau hilang entah kemana. “Saya memutuskan untuk tetap tinggal di sini, karena inilah tempat tinggal kami,” kata Zahra.

Kecamatan Leupung, tepatnya di Desa Maunasah Masjid adalah salah satu daerah parah ketika tsunami menerjang Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias, 26 Desember 2004 lalu. Dari seluruh Kecamatan Leupung yang memiliki populasi sekitar 10 ribu jiwa, yang selamat hanya sekitar 700-an orang. Di Desa Meunasah Masjid, hanya puluhan yang tersisa.

Meskipun letaknya hanya 15 Km dari Ibu Kota NAD Banda Aceh, namun tidak gampang menuju daerah ini. Terutama ketika melewati jalan darurat yang dibangun di atas lahan perkebunan yang penuh debu, terjal dan bergelombang. Kendaraan roda empat yang melintasi jalan itu, membuat debu itu menari-nari menutupi pandangan. Penduduk bersepeda motor, mau tidak mau harus berhenti sejenak untuk membiarkan debu-debu itu pergi tertiup angin.

Kehidupan di Desa Maunasah Masjid, Leupung mulai menggeliat. Rumah-rumah yang dibangun berbagai NGO seperti Plan Aceh, Muslim Aid, Habitat Humanity, Oxfam sejumlah 97 unit mulai ditempati. Sementara 85 unit milik Asean Development Bank (ADB) belum usai dibangun. Rencananya, rumah BRR juga akan dibangun di lokasi yang sama.

Beberapa toko, warung dan puskesmas desa pun pelan-pelan mulai beroperasi. Plus beroperasinya sekolah tingkat TK milik USAID dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Leupung. Meskipun jumlah murid sangat sedikit. Lantaran jumlah anak usia sekolah yang masih tersisa hanya puluhan orang. Di samping itu, beberapa penduduk pun mulai berbenah dengan membuka usaha di rumah.

Meski keadaan cenderung lebih “tertata” dari pada keadaan sebelum tsunami menerjang, namun keadaan saat ini jauh berbeda. Terutama dengan tidak hadirnya orang-orang terdekat yang menjadi korban gelombang ganas itu. Barunah misalnya. Perempuan yang suaminya meninggal dunia karena tsunami itu sebelumnya tinggal di Meunasah Masjid dengan 89 orang keluarga besar.

Ketika tsunami menerjang, 80 orang keluarga Barunah menjadi korban. “Tinggal sembilan orang yang selamat, hanya saya perempuannya,” kata Barunah yang ketika kejadian itu terjadi sedang tidak berada di Leupung. Kini, Barunah mendiami sendiri rumah baru di Meunasah Masjid. “Biar saya tetap di sini, di tanah milik keluarga saya,” kata Barunah yang kini menjanda.

Meski begitu, Barunah yang juga saudara perempuan dari Samidan, Guechik Meunasah Masjid itu tetap bersyukur. Tetangga rumah yang kebanyakan juga merupakan korban selamat tsunami sudah seperti saudara dekat. “Semua yang ada di sini sudah seperti saudara sendiri, masing-masing saling membantu satu sama lain, alhamdulillah,” katanya.

Keluarga Ja’far pun sama. Laki-laki 42 tahun yang dulu berprofesi sebagai pengemudi labi-labi (angkot) ini adalah salah satu korban selamat tsunami. Istri dan keluarga Ja’far yang lain ikut menjadi korban derasnya gelombang dari laut Samudra Hindia itu. Kini Ja’far melanjutkan hidupnya sebagai sopir truk untuk mengangkut material pembangunan jalan di sekitar Leupung.

Berbeda dengan Barunnah, Ja’far memilih untuk kembali membangun keluarga dengan menikahi Yusnaini. Keduanya tinggal di rumah rekonstruksi yang dibangun Plan Aceh di Meunasah Masjid. “Ya,.. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit kami sudah menata kehidupan kami, mungkin ini sudah digariskan dan harus kita jalani,” kata Ja’far.

Plus Minus Rumah Baru

Bagi keluarga yang tersisa pasca tsunami, hidup di tanah leluhur dengan kondisi yang sama sekali baru, bukanlah hal yang mudah. Perlu adaptasi yang cukup lama untuk bisa memahami semua hal yang “tersaji” di depan mata. “Rumah baru” adalah salah satunya. Puluhan unit rumah yang dibangun di Meunasah Masjid berasal dari beberapa penyandang dana yang berbeda. Dengan bentuk dan jenis yang berbeda-beda pula. Meskipun ukurannya relatif sama, type 36.

“Masing-masing rumah memiliki karakter yang berbeda, tergantung siapa yang membangun,” kata Ja’far. Misalnya rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity. Dari sisi fisik, bangunannya tergolong sama, dengan ruang utama, kamar mandi dan teras depan dan belakang. Hanya saja, Plan Aceh-Habitat menambah tegel keramik sebagai pemanis bagian dalam. Sementara rumah milik ADB mempunyai kerangka atap dari besi baja yang kuat.

Dibandingkan seluruh rumah yang sudah dibangun, rumah milik Muslim Aid dan Oxfam dinilai lebih layak. Meskipun lantai tidak dilapisi keramik, namun Muslim Aid dan Oxfam memberikan fasilitas lain berupa kompas gas plus tabung gasnya, furniture, ranjang dan lemari kayu. BRR pernah membangun rumah di areal yang sama, namun tidak sesuai dengan spek yang diharap masyarakat. Terutama soal pondasi dan dinding dari batako. Karena itu masyarakat menghancurkan bangunan itu. Mereka menginginkan bangunan rumah yang lebih layak.

Bagi keluarga yang baru saja dirundung kesusahan dan kehilangan seluruh harta benda karena tsunami, fasilitas rumah dan furniture yang diberikan oleh Muslim Aid dan Oxfam dianggap paling “masuk akal”. Hal itu yang dikatakan oleh keluarga Anwar dan Salimah. “Kami tidak memiliki apapun setelah tsunami, rumah yang kami dapat juga tidak ada isinya, akhirnya kami harus berpikir untuk memenuhi kebutuhan lainnya,” kata Anwar yang kini menghuni rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity.

Anwar dan Salimah tidak sendirian. Mereka tinggal bersama dua anak yang masih bayi dan balita. Sasabila, 2, 5 tahun dan Maulana, 7 bulan. Hidup bersama dua anak kecil dalam kondisi rumah memang bukan hal yang mudah. Apalagi rumah milik Plan Aceh-Habitat Humanity tidak dilengkapi pula dengan dapur. Salimah, sang ibu kesulitan untuk menyiapkan makan dan membuat susu untuk dua anaknya. “Terpaksa semua kami lakukan di ruang tamu,” kata Salimah yang ketika tsunami menerjang, 14 keluarganya meninggal dunia atau hilang.

Perihal kebutuhan dapur juga dirasakan oleh keluarga Zafrizal dan Unonen. Keluarga yang memiliki dua anak yang kini bersekolah di TK milik USAID itu terpaksa menambahkan sendiri bagian dapur miliknya dengan papan bekas bangunan yang tidak terpakai. “Dapur memang kebutuhan yang harus ada, maka kami mencoba membuatnya sendiri meski secara sederhana,” kata Zafrizal.

Hasilnya tidak mengecewakan. Dalam sebuah kunjungan ke rumah Zafrizal dan Unonen, sekilas rumah itu memang terlihat tidak rapi lantaran banyak mainan anak-anak yang berserakan. Namun hal itu tetap tidak menghilangkan peran peruntukan tiap ruang. Baju-baju bersih misalnya, tertata di tiap kamar yang ada. Juga peralatan dapur dan cuci baju kotor, semuanya ada di bagian belakang rumah. Begitu juga dengan buku-buku pelajaran anak-anak yang tertata di pojokan ruang tamu.

Masukan menarik datang dari keluarga Ja’far dan Yusnaini. Keluarga ini mepersoalkan jumlah ruangan milik Plan Aceh-Habitat Humanity yang hanya dibagi dalam tiga ruangan. Ruang tamu, satu kamar tidur dan satu kamar mandi. Sementara, satu kamar lagi hanya disekat dengan menggunakan teriplek kayu. Kondisi ini menyulitkan bagi keluarga yang mempunyai anak baru gede (ABG) yang jelas membutuhkan ruangan pribadi.

Karena alasan itulah, keluarga Ja’far dan Yusnaini memilih untuk tidak menempatkan anak semata wayangnya, Isra ke rumah orang tua Yusnaini di Selimum, Kecamatan Lembah Seulawah Kabupaten Aceh Besar. “Di sana banyak teman dan banyak ruangan yang bisa ditempati, mungkin kalau sudah lulus SD bisa kembali ke Meunasah Masjid,” kata Yusnaini.

Rumah Ja’far dan Yusnaini tergolong unik. Selain tampak rapi dengan furniture yang bagus, rumah itu juga memiliki beberapa bangunan tambahan. Seperti dapur dan ruang cuci baju dan cuci piring di luar rumah bagian belakang. Sementara kebun belakang rumah ditanami dengan ketela pohon. “Ketela pohon itu sengaja kami tanami, selain untuk kami gunakan hasilnya, juga untuk hiasan mata, hijau-hijauan lah,” katanya.

Saluran Pembuangan dan Meunasah

Hal lain yang menjadi problem dalam persoalan rumah di Desa Meunasah Masjid, Kecamatan Leupung adalah tidak adanya saluran pembuangan air kotor. Agaknya, hal ini menjadi persoalan laten yang dikemudian hari akan memunculkan persoalan baru. Dalam pengamatan, hampir semua penghuni perumahan baru di Meunasah Madjid, membuang saluran air kotornya di halaman bagian belakang rumah. Tidak mengherankan bila banyak sekali genangan air kotor atau tanah basah bekas buangan air kotor.

Sekretaris Desa Meunasah Masjid Abdul Jalil menyadari hal itu. Menurut laki-laki yang kini berjualan voucer telepon seluler di rumahnya ini, hal saluran air kotor sudah sering dibicarakan oleh masyarakat sekitar. “Sering sekali kita bicara soal saluran pembuangan itu, mulai got sampai saluran pembuangan dari air cucian piring dan baju, namun sampai sekarang tidak ada solusi soal itu,” katanya.

Masyarakat ingin membangun sendiri saluran itu, namun terbentur dengan adanya biaya yang harus dikeluarkan. Kalaupun bisa dibuat dengan seadanya, malah khawatir akan mmunculkan problem baru, karena masyarakat tidak mengetahui rencana utuh pembangunan di kawasan itu. “Kami kawatir, kalau saluran itu diserahkan ke masyarakat tanpa kita tahu rencana pembangunannya, akan malah merepotkan,” katanya. “Karena itu, sampai saat ini kami memilih untuk membuangnya di tanah saja,”

Meunasah atau masjid kecil (mushola) juga masih menjadi impian. Biasanya, bagi masyarakat di NAD, keberadaan meunasah adalah bagian yang tidak terpisahkan. Namun di Desa Meunasah Masjid, justru tidak memiliki meunasah. Yang ada hanya meunasah sementara yang terletak di samping Polsek Leupung yang ada di pinggir jalan utama di pinggir desa.

“Mungkin NGO dan BRR lupa mengagendakan pembangunan meunasah di desa Meunasah Masjid, kita sangat membutuhkan meunasah. Masa’ Desa Meunasah Masjid tidak memiliki meunasah?” kata Abdul Jalil. Benar juga ya...



06 Desember 2007

Motor Naik Becak Motor

Motor Naik Becak Motor
Ada masalah dengan sepeda motor? Becak motor di NAD agaknya menjadi solusi untuk itu. Seperti yang terjadi di Teunom, Aceh Barat. Becak motor di wilayah itu digunakan untuk beragam keperluan. Salah satunya mengangkut motor yang sedang "sakit". Plus mengangkut yang lainnya.


03 Desember 2007

Problem Tercecer Menjelang Tiga Tahun Tsunami


Berbagai pekerjaan rumah belum terselesaikan di kawasan terparah tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Tepatnya di kawasan pantai barat. Mulai Banda Aceh, Calang hingga Meulaboh. Ribuan rumah untuk korban tsunami yang sudah terbangun pun belum cukup. Belum lagi masalah infrastruktur seperti jalan, jembatan hingga fasilitas air bersih.

Aceh Perangi Ilegal Logging


Ilegal Logging.
Langkah Pemerintah NAD untuk menghentikan Ilegal Logging di kawasan hutan NAD agaknya masih menemui banyak kendala. Di beberapa hutan masih tampak adanya aksi pengambilan kayu secara ilegal. Seperti yang tampak pada gambar, truk berwarna hijau terparkir di jalan tepi hutan perbatasan Aceh Jaya dan Aceh Barat, Sabtu (1/12). Di dalamnya terdapat kayu gelondongan yang baru saja diambil dari hutan kawasan itu.


01 Desember 2007

Kebakaran Truk Tanki di Meulaboh


KEBAKARAN TRUK
Sebuah truk tanki pengangkut bahan bakan solar terbakar di Meulaboh, Sabtu (1/12) ini. Dalam kebakaran yang disebabkan oleh percikan api dari tukang tambal ban itu membuat satu truk yang kebetulan parkir di belakang truk tanki itu ikut terbakar. Seorang terluka dalam peristiwa ini.


30 November 2007

Karena Hidrocephalus, Zulaika bisa buta atau gila


Zulaika hanya bisa menyandarkan kepalanya di dada ibunya, Syarifah, 40, Jumat (30/11) sore itu. Bayi berusia 11 bulan itu tidak mampu lagi menyangga kepalanya yang membesar, melebihi besar tubuhnya. Sesekali bola matanya bergerak-gerak melihat sekelilingnya. Meski pun mata kecil itu lebih sering memandang ke atas, karena urat matanya tertarik kepala yang makin membesar karena hidrocephalus.

Di antara bertumpuk-tumpuk permasalahan yang dihadapi korban selamat tsunami Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), apa yang dialami Zulaika memang tergolong kecil. Problem itu tidak akan membuat program rekonstruksi dan rehabilitasi NAD-Nias yang sedang ditangani oleh BRR terhambat. Namun bagi keluarga Bukhari dan Zulaika, apa yang dialami putri satu-satunya itu bagaikan tersapu gelombang tsunami untuk kedua kalinya. "Ini anak saya satu-satunya, sakit sejak dalam kandungan,.." kata Syarifah tertahan.

Warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat NAD itu adalah dua dari ribuan korban tsunami di Aceh Barat. Ketika gelombang itu menghajar desanya 26 Desember 2004 lalu, Syarifah kehilangan suami pertamanya. Di hari yang sama, Bukhari pun kehilangan istri pertamanya. "Mereka meninggal dunia dalam peristiwa itu," kenang Syarifah. Nasib mepertemukan Bukhari dan Syarifah dalam sebuah hubungan keluarga baru.

Dalam perkawinan keduanya itu, Bukhari-Syarifah dikarunia satu orang anak. Namun, belum hilang kesedihan karena tsunami, kebahagiaan itu pun terkurangi saat mereka tahu anak semata wayangnya menderita hidrocephalus. "Sejak dalam kandungan, dokter sudah menyatakan ada cairan dalam jumlah besar di kepala anak saya," kata Syarifah. Namun karena begitu sayang pasangan itu kepada anak-anak, keduanya memutuskan untuk tetap menjaga bayi dikandungannya. Rencananya, mereka akan mengobati bayi itu begitu lahir ke dunia.

Setelah sembilan bulan mengandung, bayi yang kemudian diberinama Zulaika itu pun lahir. Rencana mengobati bayi perempuan berkulit putih itu pun dilakukan. Bersamaan dengan pengobatan Bukhari karena terlalu banyak meminum air laut, saat gelombang tsunami menggulungnya. Namun dokter memvonis lain. "Kata dokter, kalau cairan di kepala Zulaika diambil, anak saya bisa buta atau gila," kata Syarifah. Mendung pun kembali memayungi keluarga itu.

Dengan berbagai pertimbangan, Bukhari dan Syarifah memutuskan untuk menyelamatkan Zulaika dengan tidak mengoperasinya. Syarifah lebih memilih Zulaika memiliki kepala besar, dari pada hidup dalam kegelapan karena buta atau gila. "Saya memutuskan untuk tidak mengoperasinya," katanya.

Ironisnya, ketika Zulaika menderita hidrocephalus, ayahnya Bukhari pun menderita berbagai komplikasi. Mulai kencing manis, darah tinggi hingga sakit paru-paru karena terlalu banyak meminum air laut saat tsunami. Bukhari pun memutuskan berhenti bekerja sebagai pekerja serabutan yang selama ini dilakukannya.

Hari berganti. Kepala Zulaika pun semakin membesar. Awalnya, besar kepala bayi itu tidak kentara, namun lama-kelamaan kepala itu pun lebih besar dari tubuhnya. Tak banyak yang bisa dilakukan bayi itu. Bila terbangun dari tidur, Syarifah hanya mampu menggendongnya. Membekap bagian kepala di dadanya. Zulaika pun tak banyak bergerak. Kepalanya menatap ke satu arah. Hanya matanya yang melirik ke sana-kemari.

Bukhari, Syarifah dan Zulaika kini tinggal di rumah jatah korban tsunami yang dibangun oleh salah satu NGO asing di tepi pantai Suak Puntong. Sambil berharap penyakit Zulaika akan sembuh. Entah bagaimana caranya.

Teks foto:
Salah satu korban tsunami, Syarifah (40). warga Desa Suak Puntong, Kecamatan Sama Tiga, Aceh Barat sedang menggendong anaknya, Zualika (11 bulan) yang menderita hidrochepalus (kepala membesar karena cairan). Hingga saat ini Zukaika belum mendapatkan pertolongan.



BERITA UNGGULAN

JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?

Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia. 

   

Postingan Populer

Banyak dikunjungi