28 November 2007
Mengintip Anak-anak Leupung, Aceh Besar
Jazz, Aceh dan Lampu Mati
Group jazz Lou G band menggelar performanya di Gedung Aceh Community Center (ACC) Banda Aceh, NAD Selasa (27/11) malam. Dalam event itu, musisi asal Belanda itu sempat berkolaborasi dengan musisi lokal dan mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Banda Aceh. Sebelum tampil di Banda Aceh, Lou G tampil dalam JakJazz 23-25Nopember lalu. Yang unik, pagelaran itu sempat diwarnai dengan lampu mati beberapa kali.
27 November 2007
Diumpat Lebih Rendah Dari Kotoran, Wartawan Aceh Melawan
Ihwal pelecehan itu terjadi saat ketiga wartawan itu hendak mengonfirmasi laporan Gerakan Antikorupsi Indonesia yang menuding Akmal mengorupsi dana APBD tahun 2007. Gerak Indonesia melaporkan kasus dugaan korupsi itu ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, belum sempat mereka memperoleh keterangan, Bupati Akmal Ibrahim malah mendamprat dengan kata-kata kasar. "Tulis saja semua kalian, jangan cari pembenaran kepada saya," kata Jaka Rasyid menirukan ucapan Akmal di sela-sela jumpa pers di Kantor AJI Banda Aceh, Selasa (27/11) ini. Awalnya, wartawan menilai hal itu gurauan semata dengan menjelaskan maksud kedatangan mereka ke rumah Akmal.
Akmal tidak menghiraukan. Ia malah terus menghardik para wartawan. Puncaknya, Akmal Ibrahim berujar dengan nada tinggi, “Lebih mahal harga tai dengan kalian,” katanya. Penghinaan itu dilakukan secara berulang-ulang di hadapan pendukungnya serta anggota DPRK Abdya, Baihaqi Daud dan Muzakir ND. Beberapa orang yang mendengar menyambut umpatan itu dengan tertawa.
Tiga wartawan memilih pergi dan melaporkan kasus ini ke AJI Banda Aceh dan Polres Persiapan Kabupaten Aceh Barat Daya. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Muhammad Hamzah mengecam tindakan Bupati Akmal Ibrahim yang telah merendahkan dan melecehkan profesi wartawan. “Itu jelas pelecehan, AJI Banda Aceh mendukung upaya Jaka dan kawan-kawan bila ingin menyelesaikan kasus ini sesuai hukum,” katanya.
AJI Banda Aceh mendorong kepada kedua belah pihak untuk menyelesaikan kasus ini secara baik, meski harus menempuh jalur hukum. “AJI Banda Aceh juga Mendesak aparat keamanan untuk menggunakan Undang Undang No 40/1999 tentang Pers dalam menangani kasus pelecehan dan penghinaan wartawan ini, serta mendorong kepada setiap jurnalis di Aceh untuk tetap menjunjung etika jurnalistik dan profesionalitas dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai jurnalis sesuai dengan UU Pers No 40/1999,” kata Hamzah.
Hingga saat ini Bupati Aceh Barat Daya oleh Bupati Abdya Akmal Ibrahim belum mengatakan permintaan maaf kepada wartawan. Dalam tahun 2007 terjadi enam kasus kekerasan pada wartawan di NAD. Yang terakhir pelecehan wartawan oleh pegawai Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, Zainun Yusuf pada wartawan Serambi Indonesia. Kasus itu berakhir damai.
*Keterangan Foto:
Jaka Rasyid, Wartawan Harian Waspada, dalam jumpa pers di kantor AJI Banda Aceh, Selasa (27/11) ini.
Pantai dan Rumah Baru
Proses pembangunan rumah-rumah baru bagi para korban tsunami terus dilakukan. Salah satunya di pantai Seudu, Kecamatan Leupung, Aceh Besar. Meski tetap berada di dekat pantai dan di bawah bukit, rumah-rumah baru korban tsunami hampir usai dibangun. Foto diambil Senin (26/11) ini.
24 November 2007
Debu Banda Aceh
Oh,..Pantai Aceh Besar
menyimpan keindahan. Keseharian masyarakat yang mayoritas menyandarkan hidupnya sebagai nelayan dan petambak itu dilakukan secara alamiah. Bagi nelayan kapal besar misalnya, mempersiapkan kapalnya di pinggiran pantai. Mengecat ulang dinding kapal, membersihkan plangton dan ikan kecil yang menempel di dasar kapal, hingga mempersiapkan bekal saat berlayar esok hari. Jaring yang biasa digunakan pun dicek. Jaring berlubang adalah kesia-siaan, untuk itu perlu dijahit kembali. Sementara nelayan yang menggunakan kapal kecil menservice mesin kapal agar tidak macet saat menerjang ombak. Bagi penduduk perempuan, pagi hari adalah waktu pergi mencari kerang. Kadang di bibir pantai, atau ke sungai yangberbatasan dengan laut. Hingga sore menjelang, mereka pulang membawa kerang dan kembali ke rumah untuk mengurus keluarga. Dan petambak, selain membersihkan tambaknya dari parasit, juga menangkap ikan-ikan kecil yang mati, mengapung di tepian tambak. Sebuah kehidupan sederhana yang mungkin terlupakan.
22 November 2007
Persoalan Terpercik Ke Wajah Bocah Ladong-Lamreh
Kehidupan Rizal dan teman-temannya di Desa Ladong, tidak bisa dilepaskan dari air. Hampir setiap hari, bocah berusia 12 tahun ini selalu menjadikan air sebagai lokasi permainannya. Bila waktu pulang sekolah tiba, Rizal dan Sa’ban adiknya hampir pasti mampir ke sungai kecil yang banyak tersebar di bukit-bukit ladong. Mengalir langsung ke laut. Khususnya berada di dekat SDN Ladong. Kadang, mereka juga ke pantai Ladong yang terletak di bagian selatan desa.
Seperti anak Desa Ladong kebanyakan, Rizal memahami bahwa desa tempatnya tinggal dikenal sebagai desa tempat sumber air berada. “Ada sumber air di bukit sana,” kata Rizal sambil menujuk ke arah bukit di belakang sekolahnya. Di bukit itulah, sumber air bukit Ladong atau Mata Ie Alue Pochik berada. Rizal menceritakan, dirinya dan teman-teman sebayanya pernah mengunjungi tempat itu. “Ada kotak besar warnanya biru,” katanya menceritakan bangunan intake dan reservoir yang ada di bukit itu.
Rizal pun memahami, sebagian dari air yang keluar dari mata air bukit Ladong itu juga yang mengalir ke sungai-sungi kecil, termasuk sungai kecil tempat ia biasa bermain. Karena itulah, hampir semua sungai yang mengalir di Desa Ladong tergolong dangkal. Paling dalam hanya 30 Cm. Karena itu jugalah, anak-anak Desa Ladong senang menjadikan sungai sebagai arena bermain mereka.
Meski paham bahwa sungai kecil itu tidak dalam, namun Rizal dan teman-temannya jarang sekali mandi di sungai. Paling hanya memancing menggunakan gagang kayu yang banyak berserakan di sekitar sungai. Umpannya, cacing tanah yang sebelumnya dicari di tanah liat yang juga tidak jauh dari sungai. “Ikan-ikan ini tidak untuk di makan, tapi untuk dipelihara di rumah,” katanya.
Bocah yang tinggal bersama keluarganya di belakang Masjid Desa Ladong ini mengatakan, dirinya ikut menikmati adanya proyek air bersih yang dibangun oleh Plan Aceh. Sejak air mengalir ke hidran umum, dirinya tidak perlu susah-susah lagi mengambil air bila ingin mandi, wudhu atau mencuci sandal yang kotor oleh lumpur usai bermain. “Nggak perlu susah-susah lagi,” kata Rizal berseri.
Penggemar sepakbola ini mengaku, kenikmatan air yang mengalir di HU yang sempat mereka nikmati setahun lalu, beberapa bulan belakangan ini mulai menghilang. Kalau toh ada air di bak besar berwarna biru yang berjajar di sepanjang jalan raya Ladong-Lamreh itu pun jumlahnya sangat sedikit.
“Kata orang-orang, sedikitnya air karena di banyak orang yang melobangi pipa yang dibangun oleh Plan,” kata Rizal hampir tidak terdengar. Rizal memperkirakan, gara-gara sedikitnya jumlah air itulah yang membuat anak-anak di kawasan sulit air seperti kawasan Krueng Raya (Desa Meunasah Mon, Meunasah Kulam, Meunasah Guede dan Desa Lamreh), tidak bisa menikmati air bersih.
Perkiraan Rizal tidak meleset. Abdullah, anak Desa Maunasah Mon merasakan betapa sulitnya tidak punya air. Remaja yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Krueng Raya ini mengatakan, HU di desanya baru terisi air pada tiga hari terakhir. Selama berbulan-bulan, sama sekali tidak ada air yang bisa dinikmati dari tandon HU itu. “Berbulan-bulan mati, baru tiga hari lalu ada airnya, itupun tak banyak,” kata Abdullah dalam bahasa daerah Aceh.
Sebagai solusi atas hal itu, Abdullah dan keluarganya, termasuk dua adiknya yang masih berusia balita selalu memisahkan kebutuhan air minum dan kebutuhan air untuk mandi dan mencuci peralatan rumah tangga. Bila waktu mandi tiba, Abdullah dan keluarganya bergantian menuju ke kali 500 meter dari rumahnya. “Kalau untuk air minum, kita membeli dari abang becak, Rp.2000/jirigen kalau mandi bisa di sungai,” katanya.
Banyaknya persoalan menyangkut saluran air Ladong-Lamreh pun disadari oleh para guru di Ladong-Lamreh. Namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan para guru untuk mengatasi hal itu. “Karena semua itu urusan orang-orang tua, yang bisa kita lakukan adalah membangun kesadaran kepada generasi muda, seperti siswa-siswa yang ada di SDN Ladong ini,” kata Muhammad Yunus, Guru Agama di SDN Ladong.
Meskipun tidak menjadikan upaya penyadaran tentang air sebagai mata pelajaran utama, namun Yunus menceritakan, hampir setiap hari, pangajar yang kebetulan mengajarkan tentang agama, science dan Pendidikan Pancasila dan Keluarganegaraan (PPKN) akan mengaitkan dengan persoalan air. “Misalnya, kita sedang mengajar agama, maka akan kita sentil perihal air yang merupakan ciptaan Tuhan yang harus dijaga,” kata pengajar agama di sekolah yang dulu pindahan dari kawasan Ujong Kareung, sekitar 1 Km sebelah barat Desa Ladong itu.
Jelas, bentuk pengajaran semacam itu belum cukup. Apalagi, pengajar di SDN Ladong pun tampak tidak memberi contoh yang baik tentang penghematan air. Sebuah kran air yang ada di samping kelas SDN Ladong, rusak dan selalu airnya mengalir terus. Menggenangi lapangan rumput dan sebagian lantai teras di depan kelas.
Tapi, hal itu bukan berarti pengajaran tentang air tidak dilanjutkan. Guru-guru di SDN Ladong memastikan, 133 murid dari kelas 1 hingga kelas 6 yang sekolah di sekolah ini sudah memahami betul apa yang menjadi karakteristik desanya. “Desa yang merupakan pintu air,” kata Nurlia, Wali Kelas II SDN Ladong.
Nurlia cenderung memaklumi bila ditemukan prilaku bocah Ladong yang tidak care dengan air. Lantasan, sejak kecil, anak-anak Ladong hidup di daerah yang memiliki air berlimpah. Bahkan, tidak jarang anak-anak di daerah ini masih sering minum air mentah yang mengalir langsung dari sumbernya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Terutama kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun di lingkungan desa.
“Makanya, perlu ada bantuan dari pihak-pihak seperti NGO yang khusus menangani masalah air untuk terus menerus memberikan pelatihan. Apalagi, anak-anak Ladong sudah memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan air dan minum air mentah,” katanya.
Menumpang Mobil Bak Terbuka
Penumpang yang menumpang di mobil bak terbuka jenis pick up, masih sering terlihat di jalanan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Seperti yang tampak di Desa Ruyung Aceh Besar, pekan lalu. Beberapa siswa Sekolah Dasar (SD) Ruyung menumpang mobil yang kebetulan melintas di jalan raya yang mengubungkan Desa Ruyung dan Desa Berandeh itu.
Menyandarkan Harapan Pada Alue Pochik
Oka Ishak, menggela napas panjang. Laki-laki asal Medan, Sumatera Utara itu seperti membuang beban berat yang selama ini menyesakkan dadanya. “Kita berterimakasih dengan adanya saluran air Ladong-Lamreh ini, tapi bagaimana pun kesadaran masyarakat adalah kunci dari semua persoalan yang membuat saluran ini terus mengucurkan air,” kata Oka Ishak dalam sebuah wawancara.
Oka Ishak adalah Sekretaris Alue Pochik. Sebuah kelompok pemanfaat air di Kecamatan Masjid Raya bentukan Plan Aceh. Kehadiran Alue Pochik di kecamatan pesisir pantai timur Kebupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam ini memang bukan basa-basi. Kelompok yang dalam bahasa Aceh berarti saluran air ini terbentuk karena saluran pipa Ladong-Lamreh sering terganggu.
Tidak hanya itu, Plan Aceh menganggap masyarakat delapan desa, mulai Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Berandeh, Desa Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Desa Lamreh tidak punya “rasa memiliki” atau sense of belonging pada proyek pipa Ladong-Lamreh dan pernak-perniknya. Masih adanya pelubangan ilegal pipa saluran Ladong-Lamreh, rusaknya kran air di hidran umum sampai penggunaan air bersih yang boros dan bukan untuk minum adalah bukti semua gejala tidak adanya sense of belonging.
Karenanya, perlu ada upaya taktis untuk memunculkan sense of belonging. Dengan difasilitasi oleh Plan Aceh, dibuatlah sebuah pertemuan berkala antara masyarakat dan pejabat kecamatan untuk berbicara menyangkut upaya penyerahan pipanisasi Ladong-Lamreh. Seluruh pemimpin desa, mulai Kepala Dusun, Kepala Lorong, Imam Geucik, Geucik, Kepala Mukim dan seluruh pejabat kecamatan diundang untuk itu. Singkat kata, masyarakat sepakat dengan ide pembentukan kelompok pemanfatan air yang disebut Alue Pochik.
Untuk menjaga sistem kerja Alue Pochik, dipilih pengurus yang merupakan tokoh-tokoh yang disegani oleh masyarakat Desa Ladong hingga Desa Lamreh. Sa’ban Siregar warga Krueng Raya dipilih sebagai Ketua, Oka Ishak warga Desa Ladong dipilih sebagai sekretaris dan Erni warga Krueng Raya terpilih sebagai Bendahara. Di atas pengurus, ada dewan pembina yang berisi semua pejabat teras di tingkat desa dan kecamatan. Diharapkan Alue Pochik mampu menjadi solusi tidak lancarnya saluran air Ladong-Lamreh. “Alue Pochik memang dibentuk agar ada jaminan air tetap mengalir, persoalan sementara teratasi,” kata Djuneidi Saripurnawan, Research and Development Coordinator Plan International Aceh.
Meski begitu, Plan Aceh menyadari, peran Alue Pochik belum sepenuhnya maksimal. Buktinya, sejak kelompok itu dibentuk pada awal tahun 2007, sampai sekarang tetap air di pipa Ladong-Lamreh tidak bisa mengalir utuh. Bahkan dibalik itu, Plan Aceh menyimpan kekhawatiran, Alue Pochik akan tergoda untuk mengkomersialisasikan air yang seharusnya bisa dinikmati secara gratis.
“Isu komersialisasi air kan sedang marak dibicarakan, bisa-bisa Plan Aceh akan tersandung persoalan ini karena kita yang memfaslitasi terbentuknya Alue Pochik,” kata Djuneidi. Kekhawatiran Plan Aceh memang bukan pendapat pribadi. Hingga saat ini, masih ada penduduk di delapan desa itu yang berpikir Alue Pochik tidak bekerja efektif.
Senada dengan Plan Aceh, Sekretaris Alue Pochik Oka Ishak pun memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda. Menurut Oka, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang saling menyalahkan karena alir tidak lancar mengalir. Masyarakat Desa Ladong menyalahkan Krueng Raya (Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Lamreh) karena dinilai mengurangi jatah mereka, sementara masyarakat Krueng Raya menyalahkan Ladong, karena dinilai menutup saluran.
“Meski begitu, Alue Pochik memilih untuk mendengarkan semua aspirasi itu sembari terus memberikan penjelasan,” kata Oka. Selain itu, Alue Pochik juga melakukan kerja-kerja nyata, seperti penutupan pada pelubangan ilegal. Meski diakui oleh Oka, hal itu belum sepenuhnya membawa hasil. “Kita akan melihat dulu, apakah ada kebocoran lagi. Sampai saat ini, air masih berhenti di perbatasan Krueng Raya,” jelasnya.
Hasil kerja lain Alue Pochik yang bisa dinikmati masyarakat adalah pembuatan sistem “iuran” untuk masyarakat yang memanfaatkan air. Iuran ini digunakan untuk mengisi khas desa perbaikan sumber air bukit Ladong dan membayar Ismail, penjaga mata air. Setiap keluarga diwajibkan membayar Rp.3000,-. Memang, belum semua warga desa Ladong sampai Desa Lamreh bersedia membayar. Dengan alasan ketidaklancaran air.
Alue Pochik juga memiliki agenda jangka panjang yang pelan-pelan sudah mulai dikerjakan. Yakni meteranisasi untuk seluruh keluarga yang tinggal di delapan desa yang dilewati pipa Ladong-Lamreh. Sebagian rumah sudah mendapatkan meteran, namun mayoritas masih belum tersentuh program itu. “Kami sudah memohon ke American Red Cross untuk memberikan akses ke rumah-rumah. Itu baru usulan dan belum realisasi,” kata Oka.
Program lain adalah membuka salah satu hidran umum (HU) sebagai satu-satunya tempat legal untuk mendapatkan air bagi penjual air yang menggunakan becak motor. HU yang akan dibuka untuk umum itu terletak di depan Masjid Ladong. Setiap becak motor yang mengambil air diwajibkan untuk membayar infak ke masjid. Uang infak ini akan digunakan untuk pembiayaan Masjid Ladong yang saat ini masih dalam proses pembangunan.
Karena benyak dan rumitnya pekerjaan, Alue Pochik meminta masyarakat untuk bersabar dan memberi waktu mereka untuk bekerja. “Banyak sekali kerjaan kita, yang terbaru saja adalah persoalan tidak lancarnya air karena banyak angin yang ikut terbawa oleh air, angin itu membuat air kadang keluar, kadang tidak,” kata Oka. Sepertinya pekerjaan rumah Alue Pochik tetap akan bertumpuk-tumpuk.
21 November 2007
Mahasiswa Coba Dobrak Gerbang BRR
BERITA UNGGULAN
JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?
Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia.
Postingan Populer
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Akun X @kkpgoid memposting "breaking news!!!" tentang penghentian kegiatan pemagaran laut tanpa izin. #SahabatBahari, hari ini KKP...
Banyak dikunjungi
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Akun X @kkpgoid memposting "breaking news!!!" tentang penghentian kegiatan pemagaran laut tanpa izin. #SahabatBahari, hari ini KKP...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Kura-kura Dijual Bebas. Kura-kura Brazil atau Red Ear Slider menjadi salah satu jenis kura-kura yang sering diperdagangkan. Seperti yang t...