menyimpan keindahan. Keseharian masyarakat yang mayoritas menyandarkan hidupnya sebagai nelayan dan petambak itu dilakukan secara alamiah. Bagi nelayan kapal besar misalnya, mempersiapkan kapalnya di pinggiran pantai. Mengecat ulang dinding kapal, membersihkan plangton dan ikan kecil yang menempel di dasar kapal, hingga mempersiapkan bekal saat berlayar esok hari. Jaring yang biasa digunakan pun dicek. Jaring berlubang adalah kesia-siaan, untuk itu perlu dijahit kembali. Sementara nelayan yang menggunakan kapal kecil menservice mesin kapal agar tidak macet saat menerjang ombak. Bagi penduduk perempuan, pagi hari adalah waktu pergi mencari kerang. Kadang di bibir pantai, atau ke sungai yangberbatasan dengan laut. Hingga sore menjelang, mereka pulang membawa kerang dan kembali ke rumah untuk mengurus keluarga. Dan petambak, selain membersihkan tambaknya dari parasit, juga menangkap ikan-ikan kecil yang mati, mengapung di tepian tambak. Sebuah kehidupan sederhana yang mungkin terlupakan.
24 November 2007
Oh,..Pantai Aceh Besar
menyimpan keindahan. Keseharian masyarakat yang mayoritas menyandarkan hidupnya sebagai nelayan dan petambak itu dilakukan secara alamiah. Bagi nelayan kapal besar misalnya, mempersiapkan kapalnya di pinggiran pantai. Mengecat ulang dinding kapal, membersihkan plangton dan ikan kecil yang menempel di dasar kapal, hingga mempersiapkan bekal saat berlayar esok hari. Jaring yang biasa digunakan pun dicek. Jaring berlubang adalah kesia-siaan, untuk itu perlu dijahit kembali. Sementara nelayan yang menggunakan kapal kecil menservice mesin kapal agar tidak macet saat menerjang ombak. Bagi penduduk perempuan, pagi hari adalah waktu pergi mencari kerang. Kadang di bibir pantai, atau ke sungai yangberbatasan dengan laut. Hingga sore menjelang, mereka pulang membawa kerang dan kembali ke rumah untuk mengurus keluarga. Dan petambak, selain membersihkan tambaknya dari parasit, juga menangkap ikan-ikan kecil yang mati, mengapung di tepian tambak. Sebuah kehidupan sederhana yang mungkin terlupakan.
22 November 2007
Persoalan Terpercik Ke Wajah Bocah Ladong-Lamreh
Kehidupan Rizal dan teman-temannya di Desa Ladong, tidak bisa dilepaskan dari air. Hampir setiap hari, bocah berusia 12 tahun ini selalu menjadikan air sebagai lokasi permainannya. Bila waktu pulang sekolah tiba, Rizal dan Sa’ban adiknya hampir pasti mampir ke sungai kecil yang banyak tersebar di bukit-bukit ladong. Mengalir langsung ke laut. Khususnya berada di dekat SDN Ladong. Kadang, mereka juga ke pantai Ladong yang terletak di bagian selatan desa.
Seperti anak Desa Ladong kebanyakan, Rizal memahami bahwa desa tempatnya tinggal dikenal sebagai desa tempat sumber air berada. “Ada sumber air di bukit sana,” kata Rizal sambil menujuk ke arah bukit di belakang sekolahnya. Di bukit itulah, sumber air bukit Ladong atau Mata Ie Alue Pochik berada. Rizal menceritakan, dirinya dan teman-teman sebayanya pernah mengunjungi tempat itu. “Ada kotak besar warnanya biru,” katanya menceritakan bangunan intake dan reservoir yang ada di bukit itu.
Rizal pun memahami, sebagian dari air yang keluar dari mata air bukit Ladong itu juga yang mengalir ke sungai-sungi kecil, termasuk sungai kecil tempat ia biasa bermain. Karena itulah, hampir semua sungai yang mengalir di Desa Ladong tergolong dangkal. Paling dalam hanya 30 Cm. Karena itu jugalah, anak-anak Desa Ladong senang menjadikan sungai sebagai arena bermain mereka.
Meski paham bahwa sungai kecil itu tidak dalam, namun Rizal dan teman-temannya jarang sekali mandi di sungai. Paling hanya memancing menggunakan gagang kayu yang banyak berserakan di sekitar sungai. Umpannya, cacing tanah yang sebelumnya dicari di tanah liat yang juga tidak jauh dari sungai. “Ikan-ikan ini tidak untuk di makan, tapi untuk dipelihara di rumah,” katanya.
Bocah yang tinggal bersama keluarganya di belakang Masjid Desa Ladong ini mengatakan, dirinya ikut menikmati adanya proyek air bersih yang dibangun oleh Plan Aceh. Sejak air mengalir ke hidran umum, dirinya tidak perlu susah-susah lagi mengambil air bila ingin mandi, wudhu atau mencuci sandal yang kotor oleh lumpur usai bermain. “Nggak perlu susah-susah lagi,” kata Rizal berseri.
Penggemar sepakbola ini mengaku, kenikmatan air yang mengalir di HU yang sempat mereka nikmati setahun lalu, beberapa bulan belakangan ini mulai menghilang. Kalau toh ada air di bak besar berwarna biru yang berjajar di sepanjang jalan raya Ladong-Lamreh itu pun jumlahnya sangat sedikit.
“Kata orang-orang, sedikitnya air karena di banyak orang yang melobangi pipa yang dibangun oleh Plan,” kata Rizal hampir tidak terdengar. Rizal memperkirakan, gara-gara sedikitnya jumlah air itulah yang membuat anak-anak di kawasan sulit air seperti kawasan Krueng Raya (Desa Meunasah Mon, Meunasah Kulam, Meunasah Guede dan Desa Lamreh), tidak bisa menikmati air bersih.
Perkiraan Rizal tidak meleset. Abdullah, anak Desa Maunasah Mon merasakan betapa sulitnya tidak punya air. Remaja yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) Krueng Raya ini mengatakan, HU di desanya baru terisi air pada tiga hari terakhir. Selama berbulan-bulan, sama sekali tidak ada air yang bisa dinikmati dari tandon HU itu. “Berbulan-bulan mati, baru tiga hari lalu ada airnya, itupun tak banyak,” kata Abdullah dalam bahasa daerah Aceh.
Sebagai solusi atas hal itu, Abdullah dan keluarganya, termasuk dua adiknya yang masih berusia balita selalu memisahkan kebutuhan air minum dan kebutuhan air untuk mandi dan mencuci peralatan rumah tangga. Bila waktu mandi tiba, Abdullah dan keluarganya bergantian menuju ke kali 500 meter dari rumahnya. “Kalau untuk air minum, kita membeli dari abang becak, Rp.2000/jirigen kalau mandi bisa di sungai,” katanya.
Banyaknya persoalan menyangkut saluran air Ladong-Lamreh pun disadari oleh para guru di Ladong-Lamreh. Namun tidak banyak hal yang bisa dilakukan para guru untuk mengatasi hal itu. “Karena semua itu urusan orang-orang tua, yang bisa kita lakukan adalah membangun kesadaran kepada generasi muda, seperti siswa-siswa yang ada di SDN Ladong ini,” kata Muhammad Yunus, Guru Agama di SDN Ladong.
Meskipun tidak menjadikan upaya penyadaran tentang air sebagai mata pelajaran utama, namun Yunus menceritakan, hampir setiap hari, pangajar yang kebetulan mengajarkan tentang agama, science dan Pendidikan Pancasila dan Keluarganegaraan (PPKN) akan mengaitkan dengan persoalan air. “Misalnya, kita sedang mengajar agama, maka akan kita sentil perihal air yang merupakan ciptaan Tuhan yang harus dijaga,” kata pengajar agama di sekolah yang dulu pindahan dari kawasan Ujong Kareung, sekitar 1 Km sebelah barat Desa Ladong itu.
Jelas, bentuk pengajaran semacam itu belum cukup. Apalagi, pengajar di SDN Ladong pun tampak tidak memberi contoh yang baik tentang penghematan air. Sebuah kran air yang ada di samping kelas SDN Ladong, rusak dan selalu airnya mengalir terus. Menggenangi lapangan rumput dan sebagian lantai teras di depan kelas.
Tapi, hal itu bukan berarti pengajaran tentang air tidak dilanjutkan. Guru-guru di SDN Ladong memastikan, 133 murid dari kelas 1 hingga kelas 6 yang sekolah di sekolah ini sudah memahami betul apa yang menjadi karakteristik desanya. “Desa yang merupakan pintu air,” kata Nurlia, Wali Kelas II SDN Ladong.
Nurlia cenderung memaklumi bila ditemukan prilaku bocah Ladong yang tidak care dengan air. Lantasan, sejak kecil, anak-anak Ladong hidup di daerah yang memiliki air berlimpah. Bahkan, tidak jarang anak-anak di daerah ini masih sering minum air mentah yang mengalir langsung dari sumbernya. Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Terutama kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun di lingkungan desa.
“Makanya, perlu ada bantuan dari pihak-pihak seperti NGO yang khusus menangani masalah air untuk terus menerus memberikan pelatihan. Apalagi, anak-anak Ladong sudah memiliki kebiasaan menghambur-hamburkan air dan minum air mentah,” katanya.
Menumpang Mobil Bak Terbuka
Penumpang yang menumpang di mobil bak terbuka jenis pick up, masih sering terlihat di jalanan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Seperti yang tampak di Desa Ruyung Aceh Besar, pekan lalu. Beberapa siswa Sekolah Dasar (SD) Ruyung menumpang mobil yang kebetulan melintas di jalan raya yang mengubungkan Desa Ruyung dan Desa Berandeh itu.
Menyandarkan Harapan Pada Alue Pochik
Oka Ishak, menggela napas panjang. Laki-laki asal Medan, Sumatera Utara itu seperti membuang beban berat yang selama ini menyesakkan dadanya. “Kita berterimakasih dengan adanya saluran air Ladong-Lamreh ini, tapi bagaimana pun kesadaran masyarakat adalah kunci dari semua persoalan yang membuat saluran ini terus mengucurkan air,” kata Oka Ishak dalam sebuah wawancara.
Oka Ishak adalah Sekretaris Alue Pochik. Sebuah kelompok pemanfaat air di Kecamatan Masjid Raya bentukan Plan Aceh. Kehadiran Alue Pochik di kecamatan pesisir pantai timur Kebupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam ini memang bukan basa-basi. Kelompok yang dalam bahasa Aceh berarti saluran air ini terbentuk karena saluran pipa Ladong-Lamreh sering terganggu.
Tidak hanya itu, Plan Aceh menganggap masyarakat delapan desa, mulai Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Berandeh, Desa Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Desa Lamreh tidak punya “rasa memiliki” atau sense of belonging pada proyek pipa Ladong-Lamreh dan pernak-perniknya. Masih adanya pelubangan ilegal pipa saluran Ladong-Lamreh, rusaknya kran air di hidran umum sampai penggunaan air bersih yang boros dan bukan untuk minum adalah bukti semua gejala tidak adanya sense of belonging.
Karenanya, perlu ada upaya taktis untuk memunculkan sense of belonging. Dengan difasilitasi oleh Plan Aceh, dibuatlah sebuah pertemuan berkala antara masyarakat dan pejabat kecamatan untuk berbicara menyangkut upaya penyerahan pipanisasi Ladong-Lamreh. Seluruh pemimpin desa, mulai Kepala Dusun, Kepala Lorong, Imam Geucik, Geucik, Kepala Mukim dan seluruh pejabat kecamatan diundang untuk itu. Singkat kata, masyarakat sepakat dengan ide pembentukan kelompok pemanfatan air yang disebut Alue Pochik.
Untuk menjaga sistem kerja Alue Pochik, dipilih pengurus yang merupakan tokoh-tokoh yang disegani oleh masyarakat Desa Ladong hingga Desa Lamreh. Sa’ban Siregar warga Krueng Raya dipilih sebagai Ketua, Oka Ishak warga Desa Ladong dipilih sebagai sekretaris dan Erni warga Krueng Raya terpilih sebagai Bendahara. Di atas pengurus, ada dewan pembina yang berisi semua pejabat teras di tingkat desa dan kecamatan. Diharapkan Alue Pochik mampu menjadi solusi tidak lancarnya saluran air Ladong-Lamreh. “Alue Pochik memang dibentuk agar ada jaminan air tetap mengalir, persoalan sementara teratasi,” kata Djuneidi Saripurnawan, Research and Development Coordinator Plan International Aceh.
Meski begitu, Plan Aceh menyadari, peran Alue Pochik belum sepenuhnya maksimal. Buktinya, sejak kelompok itu dibentuk pada awal tahun 2007, sampai sekarang tetap air di pipa Ladong-Lamreh tidak bisa mengalir utuh. Bahkan dibalik itu, Plan Aceh menyimpan kekhawatiran, Alue Pochik akan tergoda untuk mengkomersialisasikan air yang seharusnya bisa dinikmati secara gratis.
“Isu komersialisasi air kan sedang marak dibicarakan, bisa-bisa Plan Aceh akan tersandung persoalan ini karena kita yang memfaslitasi terbentuknya Alue Pochik,” kata Djuneidi. Kekhawatiran Plan Aceh memang bukan pendapat pribadi. Hingga saat ini, masih ada penduduk di delapan desa itu yang berpikir Alue Pochik tidak bekerja efektif.
Senada dengan Plan Aceh, Sekretaris Alue Pochik Oka Ishak pun memiliki pemikiran yang tidak jauh berbeda. Menurut Oka, sampai saat ini masih ada sebagian masyarakat yang saling menyalahkan karena alir tidak lancar mengalir. Masyarakat Desa Ladong menyalahkan Krueng Raya (Meunasah Kulam, Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Lamreh) karena dinilai mengurangi jatah mereka, sementara masyarakat Krueng Raya menyalahkan Ladong, karena dinilai menutup saluran.
“Meski begitu, Alue Pochik memilih untuk mendengarkan semua aspirasi itu sembari terus memberikan penjelasan,” kata Oka. Selain itu, Alue Pochik juga melakukan kerja-kerja nyata, seperti penutupan pada pelubangan ilegal. Meski diakui oleh Oka, hal itu belum sepenuhnya membawa hasil. “Kita akan melihat dulu, apakah ada kebocoran lagi. Sampai saat ini, air masih berhenti di perbatasan Krueng Raya,” jelasnya.
Hasil kerja lain Alue Pochik yang bisa dinikmati masyarakat adalah pembuatan sistem “iuran” untuk masyarakat yang memanfaatkan air. Iuran ini digunakan untuk mengisi khas desa perbaikan sumber air bukit Ladong dan membayar Ismail, penjaga mata air. Setiap keluarga diwajibkan membayar Rp.3000,-. Memang, belum semua warga desa Ladong sampai Desa Lamreh bersedia membayar. Dengan alasan ketidaklancaran air.
Alue Pochik juga memiliki agenda jangka panjang yang pelan-pelan sudah mulai dikerjakan. Yakni meteranisasi untuk seluruh keluarga yang tinggal di delapan desa yang dilewati pipa Ladong-Lamreh. Sebagian rumah sudah mendapatkan meteran, namun mayoritas masih belum tersentuh program itu. “Kami sudah memohon ke American Red Cross untuk memberikan akses ke rumah-rumah. Itu baru usulan dan belum realisasi,” kata Oka.
Program lain adalah membuka salah satu hidran umum (HU) sebagai satu-satunya tempat legal untuk mendapatkan air bagi penjual air yang menggunakan becak motor. HU yang akan dibuka untuk umum itu terletak di depan Masjid Ladong. Setiap becak motor yang mengambil air diwajibkan untuk membayar infak ke masjid. Uang infak ini akan digunakan untuk pembiayaan Masjid Ladong yang saat ini masih dalam proses pembangunan.
Karena benyak dan rumitnya pekerjaan, Alue Pochik meminta masyarakat untuk bersabar dan memberi waktu mereka untuk bekerja. “Banyak sekali kerjaan kita, yang terbaru saja adalah persoalan tidak lancarnya air karena banyak angin yang ikut terbawa oleh air, angin itu membuat air kadang keluar, kadang tidak,” kata Oka. Sepertinya pekerjaan rumah Alue Pochik tetap akan bertumpuk-tumpuk.
21 November 2007
Mahasiswa Coba Dobrak Gerbang BRR
20 November 2007
Ismail Sang Penjaga
Usai “terbebas” dari kawat berduri, laki-laki berusia 40 tahun itu melanjutkan perjalanannya melewati kebun kelapa di lereng bukit itu. Goyangan daun kelapa yang tertiup angin Jumat pagi itu seakan mengiringi kaki Ismail yang bergantian menapaki tanah yang basah tersiram hujan malam tadi. Sesekali, bapak dua anak ini melompat kecil. Menghindari batang kelapa yang terlentang. “Sebagian pohon ini harus dipotong, disini akan dibangun perubahan baru untuk korban tsunami oleh NGO Saleum Aceh,” katanya sambil menunjuk dua kendaraan bego yang terparkir di salah satu bagian bukit itu.
Usai sudah pekebunan kelapa, kali ini dataran rumput menjelang. Seberapa tanaman perdu tumbuh di atas hijaunya rerumputan. Di lokasi ini, birunya langit yang berbatasan dengan pantai jelas terlihat di sela-sela ujung pohon kelapa. “Sumber air Ladong atau sumber air Alupoci terletak di sana,” kata Ismail sambil menunjuk ke sebuah bangunan biru yang hampir tertutupi rerimbunan pepohonan. Bagai mendapatkan energi baru, Ismail sedikit mempercepat langkahnya.
Kedatangan laki-laki bertubuh gempal itu mengusik ratusan nyamuk dan membuat binatang penghisap darah itu berterbangan memenuhi udara. Ismail mengibas-ibaskan tangan mengusir nyamuk di depan mukanya. "Sepertinya, karat telah merusak gembok berwarna kuning itu. Saya harus meloncat pagar,” katanya sembari memanjat pagar setinggi 1 meter itu. Dalam sekali dorong, tubuh Ismail pun sudah berada di balik pagar.
Pintu menuju ke sumber air terletak di bagian barat bangunan beton setinggi dua meter dan berwarna biru itu. Begitu pintu besi itu dibuka, terlihat sebuah bak besar berukuran 11 meter yang dibagi dalam dua ruang besar. Tepat dibawah pintu besi, terdapat sua pipa yang mengalirkan air sumber menuju ke reservoir (menampungan sementara). Dari tempat itulah, air akan diteruskan ke Desa Ladong dan Desa Lamreh. “Sudah tiga kali bangunan ini direhabilitasi, pertama oleh rakyat, kedua oleh PDAM dan ketiga oleh Plan Aceh,” kenangnya.
Bagi Ismail, lokasi sumber air dan intake (rumah air) seluas sekitar 24 meter peregi itu adalah wilayah kerjanya. Bangunan berwarna biru yang memiliki pintu besi di bagian baratnya itu adalah ruang kerjanya. Di bangunan inilah, air jernih berdebit 800 liter/menitnya tertampung, untuk kemudian disalurkan di pipa sepanjang 8 Km, dari Desa Ladong ke Desa Lamreh. Sudah menjadi kewajiban laki-laki itu untuk pergi ke lokasi itu untuk membuka kran yang membuat air mengaliri pipa.
Tahun ini adalah tahun kedua bagi Ismail bekerja sebagai penjaga air sumber bukit Ladong. Dirinya dilibatkan pertama kali oleh Plan Aceh dalam program pipanisasi air dari Ladong sampai Lamreh. Saat program itu berjalan tidak banyak penduduk setempat yang terlibat. Ismail adalah salah satu yang terlibat dalam proyek itu. Karena dianggap mampu, laki-laki kelahiran Tapak Tuan Aceh Selatan itu “diangkat” menjadi penjaga air. “Ketika itu, gaji saya Rp.900 ribu,” kenang Ismail.
Ketika Plan Aceh selesai dengan program itu dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui organisasi masyarakat Alupoci, posisi Ismail penjaga air tetap dijabat oleh Ismail. Bedanya, kali ini Ismail tidak lagi digaji oleh Plan Aceh, melainkan oleh masyarakat yang menyisihkan Rp.3000,-/keluarga/bulan untuk biaya air bersih. “Saat ini tanggungjawab saya lebih besar, karena dulu bila air tidak lancar, maka masyarakat akan telp Plan Aceh, kini kalau air tidak lancar, masyarakat langsung protes ke saya, mungkin kalau tidak lancar terus, saya tidak akan digaji,” katanya sambil tersenyum.
Ismail menyadari, kondisi saluran air Ladong-Lamreh belakangan ini tidak terlalu lancar. Air hanya mengalir sampai ke hidran umum (HU) di Krueng Raya. Tepatnya hidran umum kawasan Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Meunasah Kulam. Sementara HU di Desa Lamreh sama-sekali tidak kebagian air. Semua itu, kata Ismail, karena banyaknya pelobangan pipa ilegal. Meski Ismail tidak tahu pasti lokasi tepat kebocoran itu.
Meski begitu, Ismail sadar, banyak orang yang menyalahkan dirinya bila air tidak mengalir. Padahal, dirinya sama sekali tidak tahu menahu akan hal itu. Yang dia tahu hanya menjaga agar air di sumber tetap mengalir, dan kran besar dari reservoir menuju ke pipa Ladong-Lamreh tetap terbuka. “Orang sering menyalahkan saya kalau air tidak mengalir, padahal saya tidak pernah mengutak-atik sumber air ini, mungkin karena mereka tidak tahu,” katanya sembari mengunci gembok pintu besi “ruang kerjanya.” Klik!
Demo Becak Motor Aceh
Maaf, Kami Tidak Sekedar Memberikan Bantuan,..
Sebagai non goverment organisation (NGO), Plan International Aceh memilih untuk tidak sekedar membantu korban tsunami. Berbagai program yang dilakukan berupaya menolong korban yang terpuruk untuk benar-benar bangkit kembali.
Kedatangan Plan Indonesia Aceh ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memang bukan tanpa alasan. “Semua karena respons emergency yang terjadi di Aceh karena tsunami,” kata Djuneidi Saripurnawan Research and Development Coordinator Plan International Aceh. Emergency respons diterjemahkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau basic needs masyarakat yang tiba-tiba hilang terimbas gelombang besar itu.
Karena emergency itulah, pada awal-awalnya, Plan Aceh merasa tidak perlu ada ukuran-ukuran tertentu. Termasuk “target” yang akan diraih dalam kondisi normal. Dengan alasan itu pula, Plan tidak melakukan mekanisme normal semacam survey, diskusi atau apapun untuk mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Data didapatkan dari berbagai sumber yang sebelumnya sudah berada di Aceh. Mulai dari tim United Nation (UN) yang berkolaborasi dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas (BRR) Aceh-Nias, juga yang dari berbagai NGO yang mempublikasikan temuannya.
“Datanya banyak sekali. Plan tidak perlu melakukan survey lagi. Bahkan, kita mengetahui, masyarakat sudah jenuh dengan survey semacam itu,” kata laki-laki yang akrab dipanggil Djuneidi ini. Untuk menentukan kebutuhan lain yang lebih spesifik, Plan Aceh memilih untuk “menanam” orang sukarelawan di setiap wilayah yang dianggap memerlukan penanganan lebih. Sukarelawan yang dipilih adalah orang lokal Aceh, yang bisa bahasa lokal Aceh namun bukan merupakan korban langsung tsunami. Mereka disebut CTA (Comition of Tranformation Agent).
Para sukarelawan ini tinggal dan hidup bersama korban tsunami selama kurang lebih delapan bulan lamanya. Selama itu pula, sukarelawan akan menyerap informasi menyangkut kebutuhan riil korban tsunami. Data dan masukan langsung dari korban itu yang coba direalisasikan dalam bentuk distribusi barang secara langsung ke lokasi-lokasi yang membutuhkan. Mulai kebutuhan barang-barang steril, makanan untuk anak-anak hingga micro nutrient. Melalui cara yang sama, Plan Aceh mengetahui bantuan-bantuan yang sebelumnya sudah diberikan NGO lain, namun sudah dihentikan. Plan Aceh sengaja mengambil alih peran NGO itu, selama korban dinilai masih membutuhkan.
Setiap tiga bulan, Plan Aceh melakukan evaluasi program. Saat itulah diketahui kondisi terbaru di masyakat korban tsunami. “Untuk menentukan efektifitas strategi yang sudah dilakukan serta untuk menjawab pertanyaan: Apakah sudah saatnya berubah? Apa yang perlu diteruskan dan dihentikan?,” kata Djuneidi. Evaluasi itu untuk menghindari munculnya ketergantungan korban pada lembaga. Evaluasi itu penting. Dalam beberapa kasus, Plan Aceh menemukan fenomena respon negatif mengungsi justru karena bantuan yang melimpah dan terus menerus. Misalnya, pengungsi yang enggan pindah ke tempat baru (shelter), karena semua kebutuhan pengungsi sudah dipenuhi saat mereka tinggal di barak-barak pengungsian. Mulai air bersih, pakaian hingga makanan. “Kalau sudah seperti itu, bantuan yang diberikan akan merusak mental mereka,” kata Djuneidi.
Tahun kedua menjelang. Strategi Plan Aceh mulai berubah. Semakin banyaknya bantuan yang diberikan NGO, terutama yang concern di bidangnya, menjadi pertimbangan pertama. Sebut saja bantuan makanan yang diberikan oleh World Food Program. Begitu juga dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti kompor, rak piring plus barang sekunder berupa pakaian anak-anak dan kebutuhan keluarga lain pun berlimpah. Plan Aceh pun menghentikan bantuan jenis itu.
Pertimbangan kedua adalah kondisi pengungsi tsunami yang sudah tidak “tidak bisa berbuat apa-apa”. Hampir semua pengungsi mulai beranjak dari tenda pengungsi, pindah ke shelter (rumah sementara). Muncul pemikiran untuk mengubah bentuk bantuan dari bantuan barang, menjadi bantuan dalam bentuk lain yang mampu membuat pengungsi lebih sustanable.
Pengamatan Plan Aceh pada kondisi itu menyimpulkan, pemenuhan kebutuhan pokok harus bergeser kepada pemenuhan kebutuhan yang bersifat tidak langsung. Sekaligus membantu korban tsunami untuk survive di kemudian hari. Pemikiran itu diperkuat dengan “gejala” yang terlihat. Beberapa pengungsi korban tsunami yang dahulu petani, sudah bisa mengolah tanah. Yang awalnya nelayan, mulai mempersiapkan diri kembali ke laut. “Apalagi di kantong-kantong Plan, belum ada NGO yang bisa mengkreasikan usaha livelihood (Domain Livelihood),” kata Djuneidi. Secara sederhana, program livelihood akan mendorong pengungsi untuk mendapatkan cash money.
Pemilihan calon kader dari kelompok korban tsunami pun coba dilakukan. CTA menilai dan memilih calon kader dari orang-orang yang dianggap cocok sebagai “jangkar” program. Minimal, calon kader terpilih harus mempunyai sejarah melakukan hal yang akan dibantu oleh Plan Aceh. Misalnya dalam program training menjahit. Dipilih calon kader yang punya sejarah menjadi penjahit. Bila ada pengungsi diluar calon kader terpilih tertarik akan itu, tetap diperbolehkan. Namun calon kader yang direkomendasikan oleh CTA menjadi prioritas.
Calon kader ini dimobilisasi di sebuah tempat untuk ditraining. “Tempat di camp tidak memungkinkan untuk pelatihan, apalagi melibatkan banyak kader yang akan menjadi agent of knowledge transfer,” ungkap Djunaedi. Agar tidak memunculkan ketergantungan, dalam training itu Plan Aceh tidak memberikan honor atau uang saku. Hanya ongkos transportasi sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Meski dengan cara yang ketat dan terseleksi, Plan Aceh mengaku masih melakukan kesalahan. Sekitar 30 persen calon kader yang dipilih, adalah calon kader yang salah. Kader yang sudah terpilih itu diberi “tugas” untuk mengumpulkan benefisiaris, berupa kader-kader selanjutnya. Atau sebutan untuk kader lain yang bisa mengambil keuntungan dari pelatihan. Kader lanjutan ini pun diberikan training serupa atau yang lebih advance.
Hasilnya tidak mengecewakan. Saat masuk tahun ketiga, ketika kader dan benefesiaris mulai terbentuk, Plan Aceh menawarkan bantuan modal kerja berbentuk peralatan. Yang memutuskan menjadi penjahit dibelikan mesin jahit. Yang memutuskan membuka usaha bengkel pun difasilitasi dengan peralatan perbengkelan. “Ada juga ibu-ibu yang memutuskan untuk membuat batu bata, ketika itu ada order yang jelas kebutuhan batu bata dari Mercy Corp yang akan akan membuat rumah. Mulai batako, dan coneblock, dll, itu yang kita fasilitasi,” kata Djuneidi.
Tahun kedua Plan Aceh pun “dipaksa” mengubah strategi pada bidang kesehatan (Domain Health). Banyak NGO yang turun dalam program ini, membuat sesak aktivitas di lokasi korban tsunami. Dalam kasus program makanan tambahan (PMT) misalnya. Sampai ada 11 organisasi yang turun tangan. Bahkan, seorang anak pengungsi tsunami bisa ditimbang sampai 11 kali. Padahal, untuk kebutuhan data anak sudah tercatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dimiliki tiap-tiap anak. Plan Aceh bergeser dengan mempersiapkan kader Posyandu. Kader-kader inilah yang nantinya bisa membagi pengetahuan mereka pada ibu-ibu lain.
“Mulai muncul pola training, transfer pengetahuan tentang anak sehat, ASI dll. Kita memilih pengungsi tsunami untuk ditraining,” kata Djunedi. Buah pun dipetik saat tahun ketiga tiba. PMT (progam makanan tambahan) yang awalnya bersandar pada NGO, tidak terlihat lagi. Kader sudah memanage sendiri kebuhannya. Mulai memasak makanan sendiri dengan menggunakan menu sehat yang didapatkan dari hasil home gardening.
Bidang pengajaran (Domain Learn) memiliki strategi serupa. Titik pijaknya adalah memilik kader yang paham konsep Asuhan Dini Tumbuh Kembang Anak (Adituka) pada tingkatan pre school. Kader ini yang akan memberikan pengetahun informal kepada ibu-ibu tentang bagaimana menstimulasi anak-anak melalui Adituka.
Ternyata, daya tahan kader dalam domain ini pun keras teruji. Terjadi seleksi alam, antara kader yang benar-benar ingin menjadi guru, dan kader yang hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Kader yang ingin tetap melanjutkan aktivitas sebagai pengajar, difasilitasi dengan pengembangan SDM sebagai Community Base Organsation (CBO). CBO adalah cikap bakal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan isu lokal plus membuka jaringan international.
Tahun ketiga ini, Plan Aceh mulai mengintervensi “cara” mendidik anak sekolah. Kerja bareng Plan Aceh dan Unicef, guru-guru diperkenalkan cara mendidik yang child friendly melalui training. Termasuk mengubah bentuk gedung sekolah yang dibuat seramah mungkin dengan anak. “Dari lantai yang tidak boleh licin, tangga yang sesuai ukuran anak-anak, sampai kursi dan mabel harus argonomis,” kaya Djuneidi. Pelaksanaan kurikulum versi pemerintah pun didorong untuk lebih membuka ruang pada kebebasan anak untuk berekspresi. Hubungan familier, antara anak dan guru pun coba dibangun melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif Efektif, Kreatif dan menyenangkan).
Strategi yang sedikit berbeda dilakukan dalam Domain Habibat. Tahun kedua adalah tahun dimana Plan Aceh memulai study kelayakan pada sumber air bersih setempat. Di daerah pengungsian Desa Lamreh, Aceh Besar misalnya. Untuk mengatasi kebutuhan air bersih di sana, Plan Aceh menggali informasi yang didapatkan CTA tentang adanya sumber air bersih di bukit Desa Ladong, sekitar 8 Km dari Desa Lamreh. Ketika mendalami informasi itu, Plan menemukan fakta sanya saluran pipa milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar yang dulu menghubungkan sumber air Desa Ladong menuju ke Desa Lamreh.
Di tahun kedua itu, Plan Aceh menurunkan tenaga profesional untuk mengecek segala kebutuhan realisasi program. Mulai meneliti kualitas air, mengukur debit dan kondisi tanah. “Setelah diteliti, secara teknis profesional, air yang keluar dari bukit Ladong memenuhi kelayakan, maka Plan Aceh memropose proyek air Ladong-Lamreh (Domain Habitat),” kata Djuneidi. Dalam program ini dipikirkan bagaimana suply air sustainable. Sayang, dalam perkembangannya, program Ladong-Lamreh terbentur berbagai kendala horisontal yang membuat air tidak lagi mengalir ke Lamreh.
Untuk daerah di Leupeung, Peukan Bada dan Lhok Nga, Plan Aceh coba merealisasikan sumur gali dan sumur bor. Beberapa sumber yang terdeteksi, langsung dieksekusi (dibor). Saat itu diketahui, tidak semua sumber air yang dibor memiliki kualitas baik. Ada juga yang berair payau.
*Teks foto:
Anak-anak SD Negeri Ladong, Aceh Besar sedang bekerja bakti membersihkan lantai yang kotor terkena air hujan.
19 November 2007
Mengaji Di Meunasah Yuk!
16 November 2007
Cerita Air di Bukit Ladong, Aceh Besar
Tidak sulit menemukan sumber air Bukit Ladong. Dari kota Banda Aceh, perjalanan ke bukit Ladong yang terletak di samping jalan raya itu bisa ditempuh melalui jalan darat sejauh 20-an KM. Sesampainya di Kantor Balai Desa Ladong, perjalanan dilanjutkan dengan bejalan kaki ke arah selatan. Menyusuri jalan setapak, menembus perkebunan kelapa dan semak belukar tempat nyamuk bersarang.
Bangunan persegi berwarna biru itu begitu kentara di sela-sela pepohonan yang tumbuh liar di wilayah itu. Di sekelilingnya dibatasi oleh pagar kawat berukuran 1 meter. “Inilah sumber air bukit Ladong yang selama ini menjadi sumber air warga Desa Ladong dan sekitarnya,” kata Ismail, warga Ladong yang dipercaya sebagai penjaga sumber air itu.
Suara gemuruh air menyambut kedatangan siapa saja yang mendekati sumber air bukit Ladong. Melalui pipa berdiameter 15 cm, air berdebit 800 liter/menit itu mengalir deras tiada henti ke tempat penampungan sementara. Ketika sudah penuh, air mengalir ke “rumah air” yang disebut in take, melalui pipa berdiameter 20 cm. In take terletak sejauh 10 meter di bagian bawah sumber air.
Air berhenti beberapa saat di in take, menunggu bangunan itu penuh air, dan kemudian mengalir menuju beberapa tempat yang terhubung dengan saluran pipa lain. Sebagian mengalir melalui pipa hingga ke Desa Lamreh yang berjarak hingga 8 KM, sebagian lain dimanfaatkan untuk irigasi pertanian warga sekitar. “Air yang keluar dari sumber ini begitu banyak, sampai ada yang meluber dan digunakan untuk pertanian atau mandi kerbau,” kata Ismail.
Tidak jelas benar, kapan sumber air ini pertama kali ditemukan. Sebagian besar warga mengetahui, sumber air bukit Ladong sudah ada ketika mereka mendiami kawasan ini. Sudah menjadi kebiasaan, warga Desa Ladong mengambil air di kaki bukit Ladong, dan membawanya ke rumah. Ironisnya, meski memiliki sumber air yang berlimpah, penyebaran air di Desa Ladong tidak merata. Dari empat dusun yang ada di Desa Ladong, air hanya bisa dinikmati oleh 1,5 dusun saja. Sementara 2,5 dusun lainnya harus berusaha keras dengan cara mengangsu atau membeli air. Dua dusun yang tidak beruntung itu, Dusun Indra Patra sampai Ujung Keureng. Di dua dusun itu, sumber ada yang ditemukan berair payau.
Ketika sumber air bukit Ladong itu dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar pada tahun 1980-an, keadaan menjadi sedikit berbeda. Geucik Desa Ladong Hasyim Ismail menceritakan, saat itu sebagian warga Ladong bisa menikmati air langsung dari rumah-rumah. Dengan adanya meteran, sistem pembayaran pun normal. Ketika itu, dibangun dua saluran pipa besi dari Bukit Ladong ke Lamreh, dan Bukit Ladong ke Desa Ruyung. Dua tempat di tepi pantai yang membutuhkan air.
Bahkan, ketika itu diatur pula sistem pembagian waktu pengaliran air. Pukul 07.00-12.00 WIB, air di desa Ladong mengalir ke Ruyung. Setelah itu, pada pukul 12.00-19.00WIB, air mengalir ke kawasan Desa Lamreh Krueng Raya. Ada petugas khusus yang menangani hal itu. “Air yang dikelola PDAM memakai meteran, saat itu tidak ada air yang dibuang dengan sembarangan,” kata Geucik Hasyim Ismail.
Namun, semua berubah ketika konflik GAM dan TNI pecah di Tanah Rencong. Masyarakat mulai terpengaruh. Perlahan-lahan terjadi pembangkangan mulai ada yang enggan membayar biaya PDAM. Bahkan ketika itu, terjadi banyak kebocoran pipa. Entah itu disengaja atau tidak. “Karena konflik meletus itulah, orang PDAM tidak sempat lagi kemari, dan warga pun enggan membayar, air semakin sulit didapat,” kata Geucik Hasyim Ismail.
Karena itulah, sepanjang konflik berjalan, sumber air di Bukit Ladong menjadi tidak terurus. Tidak ada perawatan dan banyak sudetan ilegal di sepanjang pipa. Meski begitu, sumber air bukit Ladong tetap menjadi sandaran warga setempat untuk kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan jirigen, warga mendatangi beberapa sudetan pipa untuk mengambil air dan membawanya pulang. Sementara warga yang lain, memilih untuk membeli air seharga Rp.1000/jirigen.
Kondisi makin parak saat tsunami menghempas 26 Desember 2004 lalu. Air bersih di Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Paya Kameng, Desa Beurandeh, Desa Meunasah Kulam, Desa Meunasah Gede, Desa Meunasah Mon, Desa Ie Seu Um, dan Desa Lamreh didera persoalan air. Ribuan sumur di Kecamatan Masjid Raya pun rusak. Ada yang tertutup tanah yang ambrol karena gempa bumi yang mengiringi datangnya air, ada juga yang kotor karena bercampur dengan air laut yang masuk ke daratan.
Kawasan Krueng Raya atau sekitar Desa Lamreh menjadi kawasan yang paling parah. Sekitar 6808 jiwa terancam kekurangan sir bersih. Saat kondisi sulit itulah, sumber air bukit Ladong kembali menjadi harapan. Kondisi air tetap jernih, meskipun beberapa batu sempat menutupi mata air. “Meski sempat rusak, namun air masih mengalir dari sumber air itu,” Geucik Hasyim Ismail.
Bantuan pun mulai masuk ke Kecamatan Masjid Raya. Berbagai International dan Non-Governmental Organization (INGO/NGO) merealisasikan program bantuannya di daerah pantai utara Nanggroe Aceh Darussalam itu. Plan International Aceh atau Plan Aceh fokus pada pembangunan sistem instalasi air bersih yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber mata air di bukit di Desa Ladong. Organisasi yang dirikan pada 1937 oleh wartawan Inggris John Langdon-Davies dan pekerja sosial Eric Muggeridge ini memasukkan program sistem instalasi air bersih Ladong-Lamreh dalam domain program Habitat. Tandon besar berkapasitas 8000 liter dan dikenal sebagai hidran umum (HU) pun disebar di sepanjang dusun Desa Ladong hingga lokasi pengungsian korban tsunami di Desa Lamreh. Truk-truk berkapasitas sama pun hilir-mudik ke sana ke mari menyupai air bersih ke barak-barak pengungsi korban Tsunami yang sangat membutuhkannya.
Di samping itu, program penggalian dan pipanisasi sepanjang 8 Km pun disiapkan. Pada akhir tahun pertama keterlibatan Plan Aceh membantu korban tsunami Aceh, Plan Aceh berhasil membangun saluran air bersih di delapan desa dari Desa Ladong sampai Desa Lamreh. Untuk beberapa saat, warga korban yang terdampak tsunami di kawasan itu pun tidak khawatir dengan persoalan air bersih.
Sayang, “bulan madu” warga di delapan desa dari desa Ladong hingga desa Lamreh dengan air bersih tidak berjalan lama. Belum setahun berlalu, persoalan mulai muncul. Aksi penyodetan (tapping) pipa air ilegal mulai kembali terjadi. Air yang seharusnya mengalir sampei Krueng Raya pun mancet entah di mana. Beberapa orang mengambil air dari beberapa HU dan menjualnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan sedikit persoalan karena ada sekelompok warga yang tidak setuju terhadap komersialisasi air untuk kepentingan pribadi. Hingga saat ini, air di bukit Ladong belum selesai bercerita.
1. Ismail, sang penjaga sumber air berdiri di depan sumber air Bukit Ladong, Aceh Besar.
2. Anak-anak Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar melintas di depan hidran umum di Desa Ladong, Jumat (16/11). Di belakang mereka terjadi aksi pengambilan air dengan menggunakan mobil tanki.
BERITA UNGGULAN
JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?
Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia.
Postingan Populer
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
Banyak dikunjungi
-
Anggota Komisi III Fraksi PKB DPR RI, Hasbiallah Ilyas meminta Polri mengusut kasus tewasnya Darso warga Kampung Gilisari, Kelurahan Purwosa...
-
Bangun Sejahtera Indonesia Maslahat (BSI Maslahat) Membuatkan Sekolah Darurat Sementara untuk Sekolah Dasar Naglaasih, di Desa Naglasari, Ke...
-
Dilansir melalui Website, Badan Pengusahaan Batam (BP Batam) menggelar rapat koordinasi bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Prata...
-
Akun X @kkpgoid memposting "breaking news!!!" tentang penghentian kegiatan pemagaran laut tanpa izin. #SahabatBahari, hari ini KKP...
-
WORLD RECORD . Ilmuwan asal Surabaya, Muhammad Rizal Faisol berhasil memecahkan rumus Numerical Macrocosmos Magic Square and Numerical Macro...