20 November 2007

Ismail Sang Penjaga

Tangan kiri Ismail menjinjing kawat berduri melintang yang memisahkan areal tempat tinggalnya dengan kebun kepala di bukit Ladong Aceh Besar. Pelan-pelan, kepalanya menunduk, dan menyorongkan seluruh tubuhnya hingga melewati kawat tajam berwarna coklat tua penuh karat itu. “Beginilah kalau ingin ke sumber mata air bukit Ladong, harus berpayah-payah,” kata Ismail sambil terkekeh.

Usai “terbebas” dari kawat berduri, laki-laki berusia 40 tahun itu melanjutkan perjalanannya melewati kebun kelapa di lereng bukit itu. Goyangan daun kelapa yang tertiup angin Jumat pagi itu seakan mengiringi kaki Ismail yang bergantian menapaki tanah yang basah tersiram hujan malam tadi. Sesekali, bapak dua anak ini melompat kecil. Menghindari batang kelapa yang terlentang. “Sebagian pohon ini harus dipotong, disini akan dibangun perubahan baru untuk korban tsunami oleh NGO Saleum Aceh,” katanya sambil menunjuk dua kendaraan bego yang terparkir di salah satu bagian bukit itu.

Usai sudah pekebunan kelapa, kali ini dataran rumput menjelang. Seberapa tanaman perdu tumbuh di atas hijaunya rerumputan. Di lokasi ini, birunya langit yang berbatasan dengan pantai jelas terlihat di sela-sela ujung pohon kelapa. “Sumber air Ladong atau sumber air Alupoci terletak di sana,” kata Ismail sambil menunjuk ke sebuah bangunan biru yang hampir tertutupi rerimbunan pepohonan. Bagai mendapatkan energi baru, Ismail sedikit mempercepat langkahnya.

Kedatangan laki-laki bertubuh gempal itu mengusik ratusan nyamuk dan membuat binatang penghisap darah itu berterbangan memenuhi udara. Ismail mengibas-ibaskan tangan mengusir nyamuk di depan mukanya. "Sepertinya, karat telah merusak gembok berwarna kuning itu. Saya harus meloncat pagar,” katanya sembari memanjat pagar setinggi 1 meter itu. Dalam sekali dorong, tubuh Ismail pun sudah berada di balik pagar.

Pintu menuju ke sumber air terletak di bagian barat bangunan beton setinggi dua meter dan berwarna biru itu. Begitu pintu besi itu dibuka, terlihat sebuah bak besar berukuran 11 meter yang dibagi dalam dua ruang besar. Tepat dibawah pintu besi, terdapat sua pipa yang mengalirkan air sumber menuju ke reservoir (menampungan sementara). Dari tempat itulah, air akan diteruskan ke Desa Ladong dan Desa Lamreh. “Sudah tiga kali bangunan ini direhabilitasi, pertama oleh rakyat, kedua oleh PDAM dan ketiga oleh Plan Aceh,” kenangnya.

Bagi Ismail, lokasi sumber air dan intake (rumah air) seluas sekitar 24 meter peregi itu adalah wilayah kerjanya. Bangunan berwarna biru yang memiliki pintu besi di bagian baratnya itu adalah ruang kerjanya. Di bangunan inilah, air jernih berdebit 800 liter/menitnya tertampung, untuk kemudian disalurkan di pipa sepanjang 8 Km, dari Desa Ladong ke Desa Lamreh. Sudah menjadi kewajiban laki-laki itu untuk pergi ke lokasi itu untuk membuka kran yang membuat air mengaliri pipa.
Tahun ini adalah tahun kedua bagi Ismail bekerja sebagai penjaga air sumber bukit Ladong. Dirinya dilibatkan pertama kali oleh Plan Aceh dalam program pipanisasi air dari Ladong sampai Lamreh. Saat program itu berjalan tidak banyak penduduk setempat yang terlibat. Ismail adalah salah satu yang terlibat dalam proyek itu. Karena dianggap mampu, laki-laki kelahiran Tapak Tuan Aceh Selatan itu “diangkat” menjadi penjaga air. “Ketika itu, gaji saya Rp.900 ribu,” kenang Ismail.

Ketika Plan Aceh selesai dengan program itu dan menyerahkan kembali kepada masyarakat melalui organisasi masyarakat Alupoci, posisi Ismail penjaga air tetap dijabat oleh Ismail. Bedanya, kali ini Ismail tidak lagi digaji oleh Plan Aceh, melainkan oleh masyarakat yang menyisihkan Rp.3000,-/keluarga/bulan untuk biaya air bersih. “Saat ini tanggungjawab saya lebih besar, karena dulu bila air tidak lancar, maka masyarakat akan telp Plan Aceh, kini kalau air tidak lancar, masyarakat langsung protes ke saya, mungkin kalau tidak lancar terus, saya tidak akan digaji,” katanya sambil tersenyum.

Ismail menyadari, kondisi saluran air Ladong-Lamreh belakangan ini tidak terlalu lancar. Air hanya mengalir sampai ke hidran umum (HU) di Krueng Raya. Tepatnya hidran umum kawasan Meunasah Mon, Meunasah Keude dan Meunasah Kulam. Sementara HU di Desa Lamreh sama-sekali tidak kebagian air. Semua itu, kata Ismail, karena banyaknya pelobangan pipa ilegal. Meski Ismail tidak tahu pasti lokasi tepat kebocoran itu.

Meski begitu, Ismail sadar, banyak orang yang menyalahkan dirinya bila air tidak mengalir. Padahal, dirinya sama sekali tidak tahu menahu akan hal itu. Yang dia tahu hanya menjaga agar air di sumber tetap mengalir, dan kran besar dari reservoir menuju ke pipa Ladong-Lamreh tetap terbuka. “Orang sering menyalahkan saya kalau air tidak mengalir, padahal saya tidak pernah mengutak-atik sumber air ini, mungkin karena mereka tidak tahu,” katanya sembari mengunci gembok pintu besi “ruang kerjanya.” Klik!



Demo Becak Motor Aceh


DEMO BECAK ACEH.
Puluhan tukang becak Aceh yang tergabung dalam Forum Becak Bersatu (FBB) menggelar demonstrasi di Banda Aceh NAD, Selasa(20/11). Mereka menuntut dihentikannya iuran Rp.20 ribu yang diwajibkan oleh salah satu organisasi becak.


Maaf, Kami Tidak Sekedar Memberikan Bantuan,..

*Tiga Tahun Perjalanan Plan Aceh

Sebagai non goverment organisation (NGO), Plan International Aceh memilih untuk tidak sekedar membantu korban tsunami. Berbagai program yang dilakukan berupaya menolong korban yang terpuruk untuk benar-benar bangkit kembali.

Kedatangan Plan Indonesia Aceh ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) memang bukan tanpa alasan. “Semua karena respons emergency yang terjadi di Aceh karena tsunami,” kata Djuneidi Saripurnawan Research and Development Coordinator Plan International Aceh. Emergency respons diterjemahkan dengan pemenuhan kebutuhan dasar atau basic needs masyarakat yang tiba-tiba hilang terimbas gelombang besar itu.

Karena emergency itulah, pada awal-awalnya, Plan Aceh merasa tidak perlu ada ukuran-ukuran tertentu. Termasuk “target” yang akan diraih dalam kondisi normal. Dengan alasan itu pula, Plan tidak melakukan mekanisme normal semacam survey, diskusi atau apapun untuk mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat. Data didapatkan dari berbagai sumber yang sebelumnya sudah berada di Aceh. Mulai dari tim United Nation (UN) yang berkolaborasi dengan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas (BRR) Aceh-Nias, juga yang dari berbagai NGO yang mempublikasikan temuannya.

“Datanya banyak sekali. Plan tidak perlu melakukan survey lagi. Bahkan, kita mengetahui, masyarakat sudah jenuh dengan survey semacam itu,” kata laki-laki yang akrab dipanggil Djuneidi ini. Untuk menentukan kebutuhan lain yang lebih spesifik, Plan Aceh memilih untuk “menanam” orang sukarelawan di setiap wilayah yang dianggap memerlukan penanganan lebih. Sukarelawan yang dipilih adalah orang lokal Aceh, yang bisa bahasa lokal Aceh namun bukan merupakan korban langsung tsunami. Mereka disebut CTA (Comition of Tranformation Agent).

Para sukarelawan ini tinggal dan hidup bersama korban tsunami selama kurang lebih delapan bulan lamanya. Selama itu pula, sukarelawan akan menyerap informasi menyangkut kebutuhan riil korban tsunami. Data dan masukan langsung dari korban itu yang coba direalisasikan dalam bentuk distribusi barang secara langsung ke lokasi-lokasi yang membutuhkan. Mulai kebutuhan barang-barang steril, makanan untuk anak-anak hingga micro nutrient. Melalui cara yang sama, Plan Aceh mengetahui bantuan-bantuan yang sebelumnya sudah diberikan NGO lain, namun sudah dihentikan. Plan Aceh sengaja mengambil alih peran NGO itu, selama korban dinilai masih membutuhkan.

Setiap tiga bulan, Plan Aceh melakukan evaluasi program. Saat itulah diketahui kondisi terbaru di masyakat korban tsunami. “Untuk menentukan efektifitas strategi yang sudah dilakukan serta untuk menjawab pertanyaan: Apakah sudah saatnya berubah? Apa yang perlu diteruskan dan dihentikan?,” kata Djuneidi. Evaluasi itu untuk menghindari munculnya ketergantungan korban pada lembaga. Evaluasi itu penting. Dalam beberapa kasus, Plan Aceh menemukan fenomena respon negatif mengungsi justru karena bantuan yang melimpah dan terus menerus. Misalnya, pengungsi yang enggan pindah ke tempat baru (shelter), karena semua kebutuhan pengungsi sudah dipenuhi saat mereka tinggal di barak-barak pengungsian. Mulai air bersih, pakaian hingga makanan. “Kalau sudah seperti itu, bantuan yang diberikan akan merusak mental mereka,” kata Djuneidi.

Tahun kedua menjelang. Strategi Plan Aceh mulai berubah. Semakin banyaknya bantuan yang diberikan NGO, terutama yang concern di bidangnya, menjadi pertimbangan pertama. Sebut saja bantuan makanan yang diberikan oleh World Food Program. Begitu juga dengan barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti kompor, rak piring plus barang sekunder berupa pakaian anak-anak dan kebutuhan keluarga lain pun berlimpah. Plan Aceh pun menghentikan bantuan jenis itu.

Pertimbangan kedua adalah kondisi pengungsi tsunami yang sudah tidak “tidak bisa berbuat apa-apa”. Hampir semua pengungsi mulai beranjak dari tenda pengungsi, pindah ke shelter (rumah sementara). Muncul pemikiran untuk mengubah bentuk bantuan dari bantuan barang, menjadi bantuan dalam bentuk lain yang mampu membuat pengungsi lebih sustanable.

Pengamatan Plan Aceh pada kondisi itu menyimpulkan, pemenuhan kebutuhan pokok harus bergeser kepada pemenuhan kebutuhan yang bersifat tidak langsung. Sekaligus membantu korban tsunami untuk survive di kemudian hari. Pemikiran itu diperkuat dengan “gejala” yang terlihat. Beberapa pengungsi korban tsunami yang dahulu petani, sudah bisa mengolah tanah. Yang awalnya nelayan, mulai mempersiapkan diri kembali ke laut. “Apalagi di kantong-kantong Plan, belum ada NGO yang bisa mengkreasikan usaha livelihood (Domain Livelihood),” kata Djuneidi. Secara sederhana, program livelihood akan mendorong pengungsi untuk mendapatkan cash money.

Pemilihan calon kader dari kelompok korban tsunami pun coba dilakukan. CTA menilai dan memilih calon kader dari orang-orang yang dianggap cocok sebagai “jangkar” program. Minimal, calon kader terpilih harus mempunyai sejarah melakukan hal yang akan dibantu oleh Plan Aceh. Misalnya dalam program training menjahit. Dipilih calon kader yang punya sejarah menjadi penjahit. Bila ada pengungsi diluar calon kader terpilih tertarik akan itu, tetap diperbolehkan. Namun calon kader yang direkomendasikan oleh CTA menjadi prioritas.

Calon kader ini dimobilisasi di sebuah tempat untuk ditraining. “Tempat di camp tidak memungkinkan untuk pelatihan, apalagi melibatkan banyak kader yang akan menjadi agent of knowledge transfer,” ungkap Djunaedi. Agar tidak memunculkan ketergantungan, dalam training itu Plan Aceh tidak memberikan honor atau uang saku. Hanya ongkos transportasi sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Meski dengan cara yang ketat dan terseleksi, Plan Aceh mengaku masih melakukan kesalahan. Sekitar 30 persen calon kader yang dipilih, adalah calon kader yang salah. Kader yang sudah terpilih itu diberi “tugas” untuk mengumpulkan benefisiaris, berupa kader-kader selanjutnya. Atau sebutan untuk kader lain yang bisa mengambil keuntungan dari pelatihan. Kader lanjutan ini pun diberikan training serupa atau yang lebih advance.

Hasilnya tidak mengecewakan. Saat masuk tahun ketiga, ketika kader dan benefesiaris mulai terbentuk, Plan Aceh menawarkan bantuan modal kerja berbentuk peralatan. Yang memutuskan menjadi penjahit dibelikan mesin jahit. Yang memutuskan membuka usaha bengkel pun difasilitasi dengan peralatan perbengkelan. “Ada juga ibu-ibu yang memutuskan untuk membuat batu bata, ketika itu ada order yang jelas kebutuhan batu bata dari Mercy Corp yang akan akan membuat rumah. Mulai batako, dan coneblock, dll, itu yang kita fasilitasi,” kata Djuneidi.

Tahun kedua Plan Aceh pun “dipaksa” mengubah strategi pada bidang kesehatan (Domain Health). Banyak NGO yang turun dalam program ini, membuat sesak aktivitas di lokasi korban tsunami. Dalam kasus program makanan tambahan (PMT) misalnya. Sampai ada 11 organisasi yang turun tangan. Bahkan, seorang anak pengungsi tsunami bisa ditimbang sampai 11 kali. Padahal, untuk kebutuhan data anak sudah tercatat dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang dimiliki tiap-tiap anak. Plan Aceh bergeser dengan mempersiapkan kader Posyandu. Kader-kader inilah yang nantinya bisa membagi pengetahuan mereka pada ibu-ibu lain.

“Mulai muncul pola training, transfer pengetahuan tentang anak sehat, ASI dll. Kita memilih pengungsi tsunami untuk ditraining,” kata Djunedi. Buah pun dipetik saat tahun ketiga tiba. PMT (progam makanan tambahan) yang awalnya bersandar pada NGO, tidak terlihat lagi. Kader sudah memanage sendiri kebuhannya. Mulai memasak makanan sendiri dengan menggunakan menu sehat yang didapatkan dari hasil home gardening.

Bidang pengajaran (Domain Learn) memiliki strategi serupa. Titik pijaknya adalah memilik kader yang paham konsep Asuhan Dini Tumbuh Kembang Anak (Adituka) pada tingkatan pre school. Kader ini yang akan memberikan pengetahun informal kepada ibu-ibu tentang bagaimana menstimulasi anak-anak melalui Adituka.

Ternyata, daya tahan kader dalam domain ini pun keras teruji. Terjadi seleksi alam, antara kader yang benar-benar ingin menjadi guru, dan kader yang hanya mementingkan kepentingan pribadi saja. Kader yang ingin tetap melanjutkan aktivitas sebagai pengajar, difasilitasi dengan pengembangan SDM sebagai Community Base Organsation (CBO). CBO adalah cikap bakal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan isu lokal plus membuka jaringan international.

Tahun ketiga ini, Plan Aceh mulai mengintervensi “cara” mendidik anak sekolah. Kerja bareng Plan Aceh dan Unicef, guru-guru diperkenalkan cara mendidik yang child friendly melalui training. Termasuk mengubah bentuk gedung sekolah yang dibuat seramah mungkin dengan anak. “Dari lantai yang tidak boleh licin, tangga yang sesuai ukuran anak-anak, sampai kursi dan mabel harus argonomis,” kaya Djuneidi. Pelaksanaan kurikulum versi pemerintah pun didorong untuk lebih membuka ruang pada kebebasan anak untuk berekspresi. Hubungan familier, antara anak dan guru pun coba dibangun melalui PAKEM (Pembelajaran Aktif Efektif, Kreatif dan menyenangkan).

Strategi yang sedikit berbeda dilakukan dalam Domain Habibat. Tahun kedua adalah tahun dimana Plan Aceh memulai study kelayakan pada sumber air bersih setempat. Di daerah pengungsian Desa Lamreh, Aceh Besar misalnya. Untuk mengatasi kebutuhan air bersih di sana, Plan Aceh menggali informasi yang didapatkan CTA tentang adanya sumber air bersih di bukit Desa Ladong, sekitar 8 Km dari Desa Lamreh. Ketika mendalami informasi itu, Plan menemukan fakta sanya saluran pipa milik Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar yang dulu menghubungkan sumber air Desa Ladong menuju ke Desa Lamreh.

Di tahun kedua itu, Plan Aceh menurunkan tenaga profesional untuk mengecek segala kebutuhan realisasi program. Mulai meneliti kualitas air, mengukur debit dan kondisi tanah. “Setelah diteliti, secara teknis profesional, air yang keluar dari bukit Ladong memenuhi kelayakan, maka Plan Aceh memropose proyek air Ladong-Lamreh (Domain Habitat),” kata Djuneidi. Dalam program ini dipikirkan bagaimana suply air sustainable. Sayang, dalam perkembangannya, program Ladong-Lamreh terbentur berbagai kendala horisontal yang membuat air tidak lagi mengalir ke Lamreh.

Untuk daerah di Leupeung, Peukan Bada dan Lhok Nga, Plan Aceh coba merealisasikan sumur gali dan sumur bor. Beberapa sumber yang terdeteksi, langsung dieksekusi (dibor). Saat itu diketahui, tidak semua sumber air yang dibor memiliki kualitas baik. Ada juga yang berair payau.

*Teks foto:
Anak-anak SD Negeri Ladong, Aceh Besar sedang bekerja bakti membersihkan lantai yang kotor terkena air hujan.



19 November 2007

Mengaji Di Meunasah Yuk!

Sore hari, adalah waktu mengaji bagi anak-anak di Nanggroe Aceh Darussalam. Seperti Sri Wahyuna dan kawan-kawannya. Bocah asal Desa Ladong, Kabupaten Aceh Besar ini pun mengaji di meunasah desa. Foto diambil, Senin(19/11) ini.


Sri Wahyuna (tengah) bersiap untuk mengaji.


Menyucikan diri dengan air wudhu, sebelum memegang kitab suci.


Agar meunasah tetap suci, sandal harus ditaruh di luar.


Mulai mengaji deh! Yang sudah mahir, mengajari yang masih pemula.


Karena nggak ada tempat, Al Quran sering tidak tertata.


Sttt,..santri laki-laki juga ada lho!


Bye! Sampai jumpa di Nanggroe Aceh Darussalam,..


16 November 2007

Cerita Air di Bukit Ladong, Aceh Besar

Air dari sumber air Bukit Ladong menjadi sandaran hidup ribuan orang di delapan desa Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Sayang, berbagai persoalan membuat air jernih itu menjadi “keruh”.

Sekilas, tidak ada yang istimewa di perbukitan Ladong. Dataran tanah tinggi yang terletak di Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam itu pun mungkin tidak lebih menarik dari pantai yang berjajar, mulai Ujung Batee hingga Ujung Kerueng. Namun, di salah satu bukit itulah terdapat sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


Tidak sulit menemukan sumber air Bukit Ladong. Dari kota Banda Aceh, perjalanan ke bukit Ladong yang terletak di samping jalan raya itu bisa ditempuh melalui jalan darat sejauh 20-an KM. Sesampainya di Kantor Balai Desa Ladong, perjalanan dilanjutkan dengan bejalan kaki ke arah selatan. Menyusuri jalan setapak, menembus perkebunan kelapa dan semak belukar tempat nyamuk bersarang.


Bangunan persegi berwarna biru itu begitu kentara di sela-sela pepohonan yang tumbuh liar di wilayah itu. Di sekelilingnya dibatasi oleh pagar kawat berukuran 1 meter. “Inilah sumber air bukit Ladong yang selama ini menjadi sumber air warga Desa Ladong dan sekitarnya,” kata Ismail, warga Ladong yang dipercaya sebagai penjaga sumber air itu.


Suara gemuruh air menyambut kedatangan siapa saja yang mendekati sumber air bukit Ladong. Melalui pipa berdiameter 15 cm, air berdebit 800 liter/menit itu mengalir deras tiada henti ke tempat penampungan sementara. Ketika sudah penuh, air mengalir ke “rumah air” yang disebut in take, melalui pipa berdiameter 20 cm. In take terletak sejauh 10 meter di bagian bawah sumber air.


Air berhenti beberapa saat di in take, menunggu bangunan itu penuh air, dan kemudian mengalir menuju beberapa tempat yang terhubung dengan saluran pipa lain. Sebagian mengalir melalui pipa hingga ke Desa Lamreh yang berjarak hingga 8 KM, sebagian lain dimanfaatkan untuk irigasi pertanian warga sekitar. “Air yang keluar dari sumber ini begitu banyak, sampai ada yang meluber dan digunakan untuk pertanian atau mandi kerbau,” kata Ismail.

Tidak jelas benar, kapan sumber air ini pertama kali ditemukan. Sebagian besar warga mengetahui, sumber air bukit Ladong sudah ada ketika mereka mendiami kawasan ini. Sudah menjadi kebiasaan, warga Desa Ladong mengambil air di kaki bukit Ladong, dan membawanya ke rumah. Ironisnya, meski memiliki sumber air yang berlimpah, penyebaran air di Desa Ladong tidak merata. Dari empat dusun yang ada di Desa Ladong, air hanya bisa dinikmati oleh 1,5 dusun saja. Sementara 2,5 dusun lainnya harus berusaha keras dengan cara mengangsu atau membeli air. Dua dusun yang tidak beruntung itu, Dusun Indra Patra sampai Ujung Keureng. Di dua dusun itu, sumber ada yang ditemukan berair payau.

Ketika sumber air bukit Ladong itu dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Aceh Besar pada tahun 1980-an, keadaan menjadi sedikit berbeda. Geucik Desa Ladong Hasyim Ismail menceritakan, saat itu sebagian warga Ladong bisa menikmati air langsung dari rumah-rumah. Dengan adanya meteran, sistem pembayaran pun normal. Ketika itu, dibangun dua saluran pipa besi dari Bukit Ladong ke Lamreh, dan Bukit Ladong ke Desa Ruyung. Dua tempat di tepi pantai yang membutuhkan air.

Bahkan, ketika itu diatur pula sistem pembagian waktu pengaliran air. Pukul 07.00-12.00 WIB, air di desa Ladong mengalir ke Ruyung. Setelah itu, pada pukul 12.00-19.00WIB, air mengalir ke kawasan Desa Lamreh Krueng Raya. Ada petugas khusus yang menangani hal itu. “Air yang dikelola PDAM memakai meteran, saat itu tidak ada air yang dibuang dengan sembarangan,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Namun, semua berubah ketika konflik GAM dan TNI pecah di Tanah Rencong. Masyarakat mulai terpengaruh. Perlahan-lahan terjadi pembangkangan mulai ada yang enggan membayar biaya PDAM. Bahkan ketika itu, terjadi banyak kebocoran pipa. Entah itu disengaja atau tidak. “Karena konflik meletus itulah, orang PDAM tidak sempat lagi kemari, dan warga pun enggan membayar, air semakin sulit didapat,” kata Geucik Hasyim Ismail.

Karena itulah, sepanjang konflik berjalan, sumber air di Bukit Ladong menjadi tidak terurus. Tidak ada perawatan dan banyak sudetan ilegal di sepanjang pipa. Meski begitu, sumber air bukit Ladong tetap menjadi sandaran warga setempat untuk kebutuhan air bersih. Dengan menggunakan jirigen, warga mendatangi beberapa sudetan pipa untuk mengambil air dan membawanya pulang. Sementara warga yang lain, memilih untuk membeli air seharga Rp.1000/jirigen.


Kondisi makin parak saat tsunami menghempas 26 Desember 2004 lalu. Air bersih di Desa Ladong, Desa Ruyung, Desa Paya Kameng, Desa Beurandeh, Desa Meunasah Kulam, Desa Meunasah Gede, Desa Meunasah Mon, Desa Ie Seu Um, dan Desa Lamreh didera persoalan air. Ribuan sumur di Kecamatan Masjid Raya pun rusak. Ada yang tertutup tanah yang ambrol karena gempa bumi yang mengiringi datangnya air, ada juga yang kotor karena bercampur dengan air laut yang masuk ke daratan.


Kawasan Krueng Raya atau sekitar Desa Lamreh menjadi kawasan yang paling parah. Sekitar 6808 jiwa terancam kekurangan sir bersih. Saat kondisi sulit itulah, sumber air bukit Ladong kembali menjadi harapan. Kondisi air tetap jernih, meskipun beberapa batu sempat menutupi mata air. “Meski sempat rusak, namun air masih mengalir dari sumber air itu,” Geucik Hasyim Ismail.


Bantuan pun mulai masuk ke Kecamatan Masjid Raya. Berbagai International dan Non-Governmental Organization (INGO/NGO) merealisasikan program bantuannya di daerah pantai utara Nanggroe Aceh Darussalam itu. Plan International Aceh atau Plan Aceh fokus pada pembangunan sistem instalasi air bersih yang berkelanjutan dengan memanfaatkan sumber mata air di bukit di Desa Ladong. Organisasi yang dirikan pada 1937 oleh wartawan Inggris John Langdon-Davies dan pekerja sosial Eric Muggeridge ini memasukkan program sistem instalasi air bersih Ladong-Lamreh dalam domain program Habitat. Tandon besar berkapasitas 8000 liter dan dikenal sebagai hidran umum (HU) pun disebar di sepanjang dusun Desa Ladong hingga lokasi pengungsian korban tsunami di Desa Lamreh. Truk-truk berkapasitas sama pun hilir-mudik ke sana ke mari menyupai air bersih ke barak-barak pengungsi korban Tsunami yang sangat membutuhkannya.


Di samping itu, program penggalian dan pipanisasi sepanjang 8 Km pun disiapkan. Pada akhir tahun pertama keterlibatan Plan Aceh membantu korban tsunami Aceh, Plan Aceh berhasil membangun saluran air bersih di delapan desa dari Desa Ladong sampai Desa Lamreh. Untuk beberapa saat, warga korban yang terdampak tsunami di kawasan itu pun tidak khawatir dengan persoalan air bersih.


Sayang, “bulan madu” warga di delapan desa dari desa Ladong hingga desa Lamreh dengan air bersih tidak berjalan lama. Belum setahun berlalu, persoalan mulai muncul. Aksi penyodetan (tapping) pipa air ilegal mulai kembali terjadi. Air yang seharusnya mengalir sampei Krueng Raya pun mancet entah di mana. Beberapa orang mengambil air dari beberapa HU dan menjualnya untuk kepentingan pribadi. Hal ini menimbulkan sedikit persoalan karena ada sekelompok warga yang tidak setuju terhadap komersialisasi air untuk kepentingan pribadi. Hingga saat ini, air di bukit Ladong belum selesai bercerita.

*Teks foto:

1. Ismail, sang penjaga sumber air berdiri di depan sumber air Bukit Ladong, Aceh Besar.
2. Anak-anak Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar melintas di depan hidran umum di Desa Ladong, Jumat (16/11). Di belakang mereka terjadi aksi pengambilan air dengan menggunakan mobil tanki.



15 November 2007

Genangan di Banda Aceh


GENANGAN. Sistem drainase yang buruk di kota Banda Aceh, membuat kota itu gampang menyusakan genangan air, meski hujan hanya menggusur beberapa menit. Seperti yang terjadi, Kamis (16/11) ini di Simpang Tiga Lam Temen Banda Aceh.


13 November 2007

Kasus Korupsi Harus Menjadi Prioritas Polda Aceh

Kapolda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Irjen. Pol. Rismawan memerintahkan seluruh Kapolres di NAD untuk memprioritaskan kasus korupsi yang ada di wilayah masing-masing. Hingga saat ini ada 14 kasus korupsi yang ditangani Polda NAD. Di antara 14 kasus itu belum ada satu pun tersangka yang ditetapkan. Hal itu dikatakan Kapolda Rismawan, Selasa (13/11) ini di Banda Aceh.

"Ada 14 kasus korupsi yang sekarang ini sedang ditangani Polda NAD, sembilan kasus dari Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias dan lima kasus dari Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh," kata Kapolda Rismawan. Dari semua kasus itu, saat ini sedang dilakukan pemeriksaan intensif. Mulai mengumpulkan bukti hingga memanggil saksi-saksi. "Kasus yang sudah berlanjut seperti di Polwiltabes Banda Aceh dan Aceh Barat," kata Rismawan.

Sepanjang tahun 2007 ini, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Pusat menerima paling tidak 14 kasus korupsi di Provinsi NAD. Keempatbelas kasus itu berasal dari berbagai instansi, mulai setingkat pejabat provinsi, kabupaten hingga lembaga seperti BRR Aceh-Nias. Semuanya dinilai menggunakan dana negara dengan tidak semestinya.

Kapolda NAD mengatakan, nilai rupiah yang dikorupsi dalam masing-masing kasus beragam. Mulai Rp.500 juta hingga milyaran rupiah. "Tapi semua dilakukan oleh perseorangan, tidak mengatasnamakan lembaga tertentu," katanya. Meski tergolong besar, namun hingga saat ini Polda NAD belum menahan atau menentukan satu pun tersangka. "Hanya saksi-saksi, yang tidak menutup kemungkinan saksi-saksi itu akan berubah menjadi tersangka," jelas Rismawan.

Sebaliknya, kalau memang kasus-kasus yang dilaporkan itu tidak memiliki bukti kuat, bukan tidak mungkin kasus-kasus itu akan dihentikan. "Namun, untuk menghentikan, semua komponen akan diundang untuk melihat perkembangan terbaru tentang kasus ini, kalau memang sesuai ketentuan harus dihentikan, maka akan dihentikan," kata RIsmawan.

Hingga saat ini, Polda NAD tidak menemukan indikasi adanya saksi yang mempersulit penyelidikan atau bahkan menghilangkan barang bukti. "Tidak ada yang meninggalkan tempat (NAD), semuanya memberikan data yang kami minta, tIdak ada kesulitan," kata Rismawan. Meski demikian, dirinya tidak memiliki target waktu pengusutan kasus korupsi ini. "TIdak ada target waktu, ada banyak hal yang harus kita tangani, tapi sekali lagi korupsi yang lebih diutamakan. Paling tidak pada akhir tahun ini, sudah ada yang kita sampaikan siapa tersangka dari salah satu kasus itu," janji Rismawan.

Sementara itu Kasat Reskrim Polda Banda Aceh Ari Jauhari mengatakan, dari empat yang ditangani, tiga di antaranya sudah ditingkatkan ke tingkat penyidikan. "Tiga kasus itu oleh BRR, berupa Irigasi di tiga wilayah, dan satu kasus dari Gerak. Di Bireun dan Pidie ada 5 kasus," kata Ari Jauhari.

Untuk masing-masing kasus itu, setidaknya ada 5-17 orang dipanggil sebagai saksi untuk setiap kasus. Di Bireu dabn Pidie, ada 47 saksi yang diperiksa. "Semua masih memanggil saksi-saksi, kita bicara sesuai fakta yudiris. Khusus untuk BRR, hasil sementara kami, ada indikasi korupsi dilakukan para pelaksana di lapangan, dan tidak mengarah kepada Ketua BRR," kata Ari.


12 November 2007

Bantuan Untuk Korban Banjir Aceh

Bantuan Untuk Korban Banjir.
Mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh mengumpulkan bantuan uang untuk korban banjir di beberapa kawasan di NAD. Bantuan itu akan mereka salurkan langsung kepada korban banjir yang saat ini sedang terlunta-lunta karena belum meratanya penanganan.


Kemegahan Yang Memesona





MASJID YANG MEMESONA.
Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh memang memesona. Arsitek bangunannya seperti "oase" yang menawarkan kesejukan di tengah-tengah upaya perbaikan NAD akibat tsunami.
Foto diambil Senin (12/11) siang.


11 November 2007

Buku dan Becak Motor di Aceh

Pameran Buku Terbesar.
Pameran buku terbesar se-Indonesia yang digelar di Universitas Syah Kuala Banda Aceh disambut antusias. Hampir setiap hari, di lokasi yang memejang sekitar 10 ribu judul buku itu dipadati oleh pengunjung. Seperti Minggu (11/11) ini.

Aceh Relief.
Becak motor seperti menjadi kekhasan Nanggoe Aceh Darussalam (NAD). Di wilayah yang terus bergeliat memperbaiki diri setelah dihantam tsunami itu, becak motor tetap eksis. Bersanding dengan kendaraan lain yang mungkin lebih "hebat". Seperti yang terlihat di khawasan Simpang Surabaya, Banda Aceh, Minggu (11/11) ini.


BERITA UNGGULAN

JADI YANG BENAR DIADILI DI MANA NIH?

Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) mendapatkan respon dari Amnesty Internasional Indonesia. 

   

Postingan Populer

Banyak dikunjungi