Decee P.W, Banda Aceh
Rencana induk rehabilitasi dan rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mendesak untuk dibuat. Dengan rencana induk itu, sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat program pembangunan. Hal itu dikatakan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, Paskah Suzetta di Banda Aceh, Selasa (3/3) ini. "Aceh perlu percepatan pembangunan dalam lima tahun ini, setelah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR). Untuk itu perlu master plan," kata Paskah.
Paskah mengharapkan master plan yang baru tersebut dapat diluncurkan bersamaan dengan pengesahaan anggaran 2010. Dalam lima tahun ke depan, katanya, merupakan masa yang paling penting untuk memelihara aset-aset yang sudah dibangun BRR dan diserahkan kepada Pemerintah Aceh. Dan semua itu menjadi wilayah kerja bagi Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh-Nias (BKRA-N) dengan dibantu oleh Pemerintah Pusat.
Memelihara aset BRR jelas bukan pekerjaan mudah. Setidaknya, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) membutuhkan dana sebesar Rp1,2 triliun/tahun hal itu. "Gambaran aset yang ada sekitar Rp40 triliun. Katakan saja pemeliharaan sekitar 3-5 persen, berarti setiap tahun harus ada dana sebesar Rp1,2 triliun," kata Paskah Suzetta. Sebelum berakhirnya mandat BRR pada April mendatang, berdasarkan Perpres No.3/2005 tentang pemebntukan BRR, badan yang dipimpin Kuntoro Mangkusubroto itu harus menyelesaikan semua proses administrasi aset yang dibangun termasuk peralihannya.
Selain itu, target pekerjaan 2008 yang belum selesai, harus diselesaikan oleh BRR menjelang berakhirnya masa tugas badan tersebut. Dalam lima tahun ke depan, Pemerintah Pusat akan membiayai pemeliharaan aset dari dana yang bersumber dari APBN maupun donor-donor. Setelah itu Pemerintah Aceh harus melanjutkan pemeliharaannya. Paskah menegaskan, Aceh harus dibangun oleh orang Aceh sendiri dan pada 2009 harus bisa mengambil alih semua pekerjaan yang ditinggalkan BRR. "Untuk membangun Aceh harus oleh putra-putri Aceh sendiri. Saya rasa tidak sulit karena kepercayaan dan dukungan dunia internasional sudah ada," kata Paskah.
Youtube Pilihan Iddaily
03 Maret 2009
01 Maret 2009
Delegasi Parlemen Eropa Memantau Pemilu Aceh
Decee P.W, Banda Aceh
Pemilu di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi perhatian Parlemen Eropa. Delegasi Parlemen Eropa akan berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) guna memantau kemajuan yang dicapai dalam tahapan pemilu di daerah tersebut. Dalam pertemuan dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh di Banda Aceh, Sabtu, Ketua KIP Abd Salam Poroh menjelaskan lima tahapan pemilu yang sudah dijalankan kepada Parlemen Eropa.
"Ada lima tahapan pemilu yang sudah KIP lakukan di antaranya tahapan pertama yaitu pendaftaran pemilih. Untuk Aceh sebanyak 3.003.222 pemilih tetap," kata Abd Salam Poroh. Tahapan kedua yaitu pendaftaran peserta pemilu yaitu 38 partai politik nasional dan enam partai politik lokal serta 29 peserta perorangan untuk memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Tahap ketiga yaitu penetapan jumlah kursi, tahapan pencalonan dengan rincian sebanyak 2.701 orang calon DPR RI, 1.054 untuk DPR Aceh dan 8.786 orang untuk DPR Kabupaten/Kota. Saat ini tahap yang sedang berlangsung yaitu tahapan kampanye tertutup.
Pada pertemuan di Aula KIP Aceh itu, ketua delegasi Parlemen Eropa, Hartmut Nassauer mempertanyakan tentang kendala yang dihadapi KIP dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. "Apa yang menjadi kendala KIP dalam penyelenggaraan pemilu dan bagaimana hubungannya dengan proses perdamaian yang sedang berlangsung," tanya Nassauer.
Wakil Ketua KIP Aceh, Ilham Syahputra mengatakan bahwa ada sedikit gesekan-gesekan antar partai tapi tidak terlalu berdampak pada perdamaian. Selain itu belum ada permasalahan yang diajukan ke pengadilan. Lebih lanjut Ilham mengatakan, untuk mengantisipasi gesekan-gesekan tersebut, KIP berkoordinasi dengan institusi lokal. Selain itu bersama beberapa partai membuat sebuah Forum Komunikasi.
Pemilu di Nanggroe Aceh Darussalam menjadi perhatian Parlemen Eropa. Delegasi Parlemen Eropa akan berada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) guna memantau kemajuan yang dicapai dalam tahapan pemilu di daerah tersebut. Dalam pertemuan dengan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh di Banda Aceh, Sabtu, Ketua KIP Abd Salam Poroh menjelaskan lima tahapan pemilu yang sudah dijalankan kepada Parlemen Eropa.
"Ada lima tahapan pemilu yang sudah KIP lakukan di antaranya tahapan pertama yaitu pendaftaran pemilih. Untuk Aceh sebanyak 3.003.222 pemilih tetap," kata Abd Salam Poroh. Tahapan kedua yaitu pendaftaran peserta pemilu yaitu 38 partai politik nasional dan enam partai politik lokal serta 29 peserta perorangan untuk memperebutkan kursi Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Tahap ketiga yaitu penetapan jumlah kursi, tahapan pencalonan dengan rincian sebanyak 2.701 orang calon DPR RI, 1.054 untuk DPR Aceh dan 8.786 orang untuk DPR Kabupaten/Kota. Saat ini tahap yang sedang berlangsung yaitu tahapan kampanye tertutup.
Pada pertemuan di Aula KIP Aceh itu, ketua delegasi Parlemen Eropa, Hartmut Nassauer mempertanyakan tentang kendala yang dihadapi KIP dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. "Apa yang menjadi kendala KIP dalam penyelenggaraan pemilu dan bagaimana hubungannya dengan proses perdamaian yang sedang berlangsung," tanya Nassauer.
Wakil Ketua KIP Aceh, Ilham Syahputra mengatakan bahwa ada sedikit gesekan-gesekan antar partai tapi tidak terlalu berdampak pada perdamaian. Selain itu belum ada permasalahan yang diajukan ke pengadilan. Lebih lanjut Ilham mengatakan, untuk mengantisipasi gesekan-gesekan tersebut, KIP berkoordinasi dengan institusi lokal. Selain itu bersama beberapa partai membuat sebuah Forum Komunikasi.
21 Desember 2007
Jejak-jejak di Pulau Banyak
Pulau-pulau kecil di Indonesia kembali menjadi isu belakangan ini. Diam-diam, beberapa pulau di kawasan terluar Indonesia ditawarkan kepada orang asing untuk dijual. Dengan alasan keindahan, tidak sedikit orang tertarik untuk membeli pulau-pulau kecil itu. Salah satu pulau yang banyak dilirik adalah Pulau Banyak, Nanggroe Aceh Darussalam.
Pulau Banyak adalah salah satu pulau terluar Nanggroe Aceh Darussalam. Tepatnya wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Dengan boat kecil, Pulau Banyak bisa ditempuh sekitar dua jam perjalanan. Seperti namanya, Pulau Banyak adalah wilayah dengan jumlah pulau berjumlah banyak. Sebelum tsunami menerjang Aceh, jumlah pulau di wilayah itu mencapai 99 pulau. Namun, pasca tsunami, hanya 63 pulau yang tersisa. Yang lain, terendam lautan.
Pulau terbesar adalah Pulau Tuanku, letaknya berada di tengah wilayah Pulau Banyak. Lalu Pulau Bangkaru yang juga pulau terjauh di kawasan itu. Selebihnya pulau-pulau kecil-kecil yang tersebar. Seperti Pulau Balai, Pulau Ujung Batu, Pulau Sawangla dll. Ibukota kecamatan, yang juga memiliki jumlah penduduk terbanyak terdapat di Pulau Balai. Jumlah keseluruhan penduduk di Pulau Banyak mencapai 7000-an jiwa, yang tersebar di tujuh desa.
Pulau Banyak ibarat Indonesia “kecil”. Di sinilah, masa lalu berbaur dengan masa kini Indonesia. Mayoritas penduduknya menjadi nelayan. Menggantungkan hidupnya dari kekayaan alam yang ada di pulau itu. Ikan, karamba, buah kelapa dan terumbu karang. Semuanya diolah menjadi barang-barang yang membuat kehidupan berjalan. “Orang di Pulau Banyak memang terlahir menjadi orang laut,” kata Dahrusyid, Sekretaris Kecamatan Pulau Banyak.
Namun di sisi yang lain, parabola berjejer di mana-mana. Hampir setiap rumah di Pulau Banyak memiliki parabola untuk menangkap siaran televisi nasional dan lokal Aceh. Tanpa parabola, hampir pasti, yang tergambar di televisi hanya kumpulan bintik-bintik tanpa cerita. Jadi jangan heran, berita tentang mode pakaian terbaru dengan gosip artis di Jakarta pun diketahui oleh warga Pulau Banyak.
Termasuk isu kerusakan habitat laut yang ditandai dengan pengrusakan terumbu karang, yang justru menjadi tradisi masyarakat Pulau Banyak. Setiap hari, puluhan nelayan pencari karang memanen terumbu karang di sekitar Pulau Banyak untuk dijual sebagai bahan bangunan. “Di sini nggak ada material bangunan, yang ada hanya terumbu karang, apa lagi yang bisa kita lakukan,” kata Nasrante, mantan Geuchik Pulau Bale.
19 Desember 2007
Pawai Obor
17 Desember 2007
Elang Laut Pulau Banyak, Aceh
Elang Laut Pulau Banyak
Kealamian Pulau Banyak, Nanggroe Aceh Darussalam memungkinkan berbagai binatang hidup berdampingan dengan manusia. Di kepulauan yang dihuni oleh 7000-an jiwa itu, masih banyak burung-burung bersliweran di atas pemukiman warga. Salah satunya, burung Elang Laut yang banyak hidup di pantai Pulau Banyak.
16 Desember 2007
Keindahan Singkil
BRR Singkil Hanya Selesaikan 39 Rumah
Badan Rekonstruksi dan Rehabilitas (BRR) NAD-Nias di Singkil, Aceh Singkil NAD hanya bisa menyelesaikan 39 unit rumah yang seharusnya dibangun untuk korban gempa bumi Nias. Padahal jumlah rumah yang dibutuhkan mencapai 2064 rumah. Penyebab utamanya, kontraktor yang tidak memenuhi target yang sudah disepakati.
Rumah Bantuan Singkil Terendam
15 Desember 2007
1242 Keluarga Korban di Pulau Semeulue Belum Tersentuh Bantuan Rumah
Sejumlah 1242 keluarga korban gempa bumi dan tsunami di Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) belum mendapatkan bantuan rumah. Data mereka bahkan baru saja masuk ke Asisten Perumahan dan Pemukiman (Asperkim). Sementara dari 7746 rumah yang dijatahkan akan dibangun di Pulau Simeulue, baru 3310 saja yang selesai. Paling tidak, ada sekitar 5678 rumah yang dijadwalkan selesai sebelum BRR mengakhiri masa tugasanya pada April 2009.
14 Desember 2007
Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto: Kontraktor Brengsek!
Rumah ke 100-ribu Menandai Akhir Kerja Bristish Red Cross
Peresmian rumah ke 100 ribu di Desa Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya menandari berakhirnya kerja British Red Cross untuk membantu korban tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)-Nias. Dalam kesempatan itu, Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD-Nias Kuntoro Mangunsubroto didampingi Perwakilan British Red Cross Nicholas Young memberikan sertifikat kepada Nasir, 14, salah satu korban tsunami.
Dalam kesempatan itu, Ketua BRR Kuntoro Mangkusubroto sempat mencaci maki kontraktor yang meninggalkan pekerjaannya. Padahal pekerjaan itu sangat dibutuhkan oleh korban tsunami. “Ada rumah yang ditinggalkan kontraktor, ini kelompok brengsek, tidak ada kata kasar lain yang bisa saya ungkapkan,!” kata Kuntoro. Padahal, pada awalnya, para kontraktor itu datang baik-baik ke BRR untuk meminta pekerjaan. Namun, pada akhirnya meninggalkan begitu saja pekerjaannya.
Rata-rata, dari 100 ribu rumah, ada 6 persen yang dibangun oleh kontraktor semacam ini. Ada juga, rumah yang dari luar bagus, tapi ketika di dalam tidak ada kamar mandinya. “Semua hal itu akan menjadi catatan oleh BRR, karena bukan berarti pekerjaan rumah yang belum selesai,” kata Kuntoro.
Kuntoro menjelaskan, saat ini BRR dan NGO sebenarnya sudah membangun paling tidak 110 ribu rumah di NAD dan Pulau Nias. Salah satu organisasi yang berpartisipasi aktif untuk membangun rumah itu adalah British Red Cross. Organisasi inilah yang pertama kali membangun rumah di kawasan yang paling parah dan paling sulit dijangkau. Yakni Pulau Aceh di Kepulauan Aceh. “Saya ingat betul, bagaimana British Red Cross memutuskan untuk membangun di sana,” kata Kuntoro.
Dalam kesempatan itu, perwakilan British Red Cross Nicholas Young mengatakan bahwa British Red Cross senang bisa membantu di NAD dan Nias. Young juga mengharapkan agar korban tsunami di Aceh bisa kembali hidup dengan nyaman dan aman. Serta mampu membangun kembali keluarganya. “Have a great life,” kata Nicholas Young menutup sambutannya.
Wakil Bupati Aceh Jaya, Tengku Zamzami Abd. Rani mengatakan saat ini kondisi di Aceh Jaya masih belum sepenuhnya sulit. Ibaratnya, kata Zamzami, Aceh Jaya seperti bayi yang belajar hidup namun sudah tertimpa musibah. “Untuk itu harus ditolong oleh banyak orang,” kata Zamzami. Dan proses itu harus selesai sebelum BRR berakhir masa tugasnya pada April 2009. “Jangan sampai BRR pergi, kami hanya dapat masalah saja, nyoe keunong bandum ( ini sindiran untuk semua pihak),” kata Zamzami di selingi dalam Bahasa Aceh.
Desa Tanoh Manyang merupakan desa relokasi yang baru saja selesai. Di desa ini direlokasi 138 kepala keluarga yang rumah asalnya dan tanahnya musnah digerus laut. Terhitung ada 128 dari 138 KK yang direlokasi ke Desa Tanoh Manyang merupakan warga yang sebelumnya menempati sebuah pulau kecil, yaitu Lampoh Kawat. Pulau itu kini hilang akibat gelombang tsunami yang menewaskan ratusan warga Aceh. Sementara 10 KK lain berasal dari desa yang tanahnya musnah.
Salah satunya Nisar. Bocah berusia 14 tahun ini dulu merupakan warga Pulau Lampoh Kawat. Ketika tsunami terjadi, seluruh keluarganya hilang tersapu tsunami. Saat ini Nizar tinggal dengan kakak perempuannya. Secara seremonial, Kuntoro menyerahkan sertifikat kepada Nisar. “Saya ucapkan terima kasih kepada BRR yang telah membantu saya, kalau besar saya ingin menjadi gubernur,” katanya.
Teks foto:
Rumah di Desa Tanoh Manyang, Kecamatan Teunom, Aceh Jaya.
Indahnya Pulau Simeulue Nanggroe Aceh Darussalam
Pulau Simeulue, Nanggroe Aceh Darussalam
Ketika tsunami menghempas Pulau Simeulue, 24 Desember lalu, hanya 7 jiwa yang meninggal dunia. Hal itu tergolong fantastis, karena pusat gempa tsunami hanya berjarak 20 Km dari pulau yang memiliki populasi 8200-an jiwa itu. Mengapa jumlah korbannya tergolong kecil? "Karena masyarakat Pulau Simeulue sudah paham dengan tsunami, ketika sudah ada tanda-tanda alam yang menunjukkan akan terjadi tsunami, masyarakat secara naluriah pergi ke bukit yang ada di pulau itu, bahkan, nyanyian ibu yang mengiringi anaknya tidur bercerita tentang cara selamat saat ie beuna atau smong atau tsunami," kata seorang kawan.
Ketika tsunami menghempas Pulau Simeulue, 24 Desember lalu, hanya 7 jiwa yang meninggal dunia. Hal itu tergolong fantastis, karena pusat gempa tsunami hanya berjarak 20 Km dari pulau yang memiliki populasi 8200-an jiwa itu. Mengapa jumlah korbannya tergolong kecil? "Karena masyarakat Pulau Simeulue sudah paham dengan tsunami, ketika sudah ada tanda-tanda alam yang menunjukkan akan terjadi tsunami, masyarakat secara naluriah pergi ke bukit yang ada di pulau itu, bahkan, nyanyian ibu yang mengiringi anaknya tidur bercerita tentang cara selamat saat ie beuna atau smong atau tsunami," kata seorang kawan.
13 Desember 2007
Anak Pantai Mencari Kepiting
12 Desember 2007
Menembus Gerimis
Takut Tsunami Lagi, Tetap Tidak Mau Pergi
Siapapun yang menjadi saksi hidup tsunami, pasti menyimpan ketakutan atas kejadian yang menelan korban ratusan ribu jiwa itu. Anehnya, justru kebanyakan memilih tinggal di tempat yang sama ketika mimpi buruk itu menyapa mereka.
Matahari masih belum lama bersinar, 26 Desember 2004 lalu. Penduduk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun kebanyakan masih belum banyak yang meninggalkan rumah untuk memulai aktivitasnya. Tiba-tiba, bumi gerah dan mulai bergoyang. Menggoyang apapun yang ada di permukaan tanah. Pohon, bangunan, manusia hingga ternak ikut bergetar.
Penduduk bumi Serambi Mekkah yang sadar akan adanya gempa, memilih untuk keluar rumah. Warga yang tinggal di sekitar pantai melihat laut yang tiba-tiba surut, berselimutkan air menghitam di tengah laut. Teriakan mulai terdengar. “Air datang,...air datang,..” teriak orang-orang ketika itu. Kekacauan di pemukiman sekitar pantai tidak terhindarkan. Orang-orang berlarian ke jalanan. Gelombang semakin dekat dan menghempas apapun di sekitarnya.
Termasuk Nurmala, penduduk Desa Lam Geueu, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar yang berjarak 3 Km dari Pantai Ujung Pancu, Peukan Bada. Perempuan yang ketika itu berlari menuju jalan besar bersama suaminya, Nurdin dan dua anaknya Heri dan Risky itu terjengkang ditabrak gelombang air yang tiba-tiba datang ke desanya. Ia bergulung-gulung di jalanan. Dua anak yang ada didekapannya pun lepas entah kemana.
Beruntung, di tengah-tengah gulungan air bercampur barang-barang itu, Nurmala sempat berpegangan di dahan pohon Asam Jawa yang ada di sebelah kanannya. “Untuk beberapa saat, saya ikut saja kemana pohon itu hanyut, yang penting selamat dahulu,” kata Nurmala. Air mengombang-ambingkan dirinya. Sampai kemudian air mendadak tenang, dan surut. Nurmala pun berhasil selamat. “Alhamdulillah, tak lama kemudian saya bertemu dengan seluruh keluarga saya yang juga selamat,” katanya.
Mimpi buruk itu tidak hanya datang saat gelombang menerjang. Usai tsunami, Peukan Bada bagai kota mati. Hampir seluruh bangunan rata dengan tanah, kecuali sebuah masjid bernama Maharaja Ghurah, dan sebuah bangunan rumah. Selebihnya puing-puing, rongsokan mobil, pohon-pohon yang tercerabut dari tanah hingga tiang listrik. Di sela-selanya, mayat manusia bergelimpangan.
Di Desa Meunasah Masjid, Leupung, Aceh Besar yang berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia pun terlebih lagi. Ketika gelombang tsunami terjadi, masyarakat di Desa Mamplam, Desa Meunasah Bak U, Desa Meunasah Masjid, Desa Lam Senia, Desa Pulot hingga Desa Layen harus berjibaku dengan gelombang ganas yang datang dari arah laut.
Jarak dari pantai yang dekat, membuat penduduk tidak punya waktu banyak untuk menyelamatkan. Ribuan orang yang ada di desa ketika itu terseret arus hingga ke jajaran bukit yang ada di belakang desa. Melewati perkebunan dan sawah. “Banyak jenazah penduduk desa yang terseret sampai ke atas bukit sana, menandakan betapa hebat kejadian itu,” kaya Abdul Djalil, Sekretaris Desa Meunasah Masjid.
Lain lagi dengan Eliana, penduduk Naga Umbang Lhok Nga yang berjarak sekitar 5 Km dari bibir pantai ini tidak menyangka gelombang tsunami bisa sampai di kawasan tempat tinggalnya. Apalagi, kawasan tempat tinggal ibu satu anak ini terletak di kaki perbukitan Lhok Nga, Aceh Besar. Namun belum habis keheranannya, didapati kenyataan ayahnya meninggal dunia terseret arus.
Eliana menceritakan, ketika air datang, sang ayah adalah orang terakhir yang keluar dari rumah karena ingin menyelamatkan keponanannya. “Ayah saya tidak bisa menjangkau atap rumah tetangga, padahal seluruh keluarga sudah berada di sana, ayah pun meninggal dunia terseret air,” kenangnya.
Seperti Nurmala, Abdul Djalil, Eliana atau siapapun yang menjadi saksi hidup tsunami NAD-Nias pasti menyimpan ketakutan atas kejadian yang menelan korban ratusan ribu jiwa itu. Bahkan ketika Nurmala menceritakan kembali kejadian itu, kata-katanya tersendat. Meski diselingi tawa kecil. Seperti tidak mempercayai mukzizat hidup yang membuatnya tetap bernapas hingga hari ini.
Namun, ketakutan itu tidak berarti membuat mereka berpindah dari kawasan lama tempat tinggal mereka. Nurmala, Abdul Djalil, Eliana misalnya, tetap memilih berada di desanya. Pekerjaan sebagai nelayan dan kewajiban menjaga desa leluhur, menjadi alasan. Apalagi dalam perkembangannya, pindah tempat tinggal sama halnya berhadapan dengan berbagai “ketidakjelasan” baru. Terutama, “ketidakjelasan” mendapatkan rumah baru.
Keengganan pindah atau relokasi ke tempat baru, di satu sisi membuat upaya pembangunan kembali kawasan lama memerlukan energi ekstra. Hal itu dikatakan oleh House Officer Plan Aceh, Onny Trijunianto. Menurutnya, membersihkan lahan dan menata kembali, perlu langkah-langkah yang tidak gampang. Untuk membangun 61 rumah dari 137 rumah (dibagi dengan ADB) misalnya, Plan Aceh berkonstrasi penuh pada village planning.
“Village planning penting untuk menata dan membangun kembali kawasan yang terkena bencana dengan prinsip militasi kawasan bencana, sekaligus mewujudkan kualitas hidup yang lebih baik,” kata Onny. Village planning untuk lahan seluas 8 Ha itu dimulai dari proses pemetaan tanah. Proses ini dilakukan warga secara partisipatif dengan out put kapling milik warga dan fasilitas desa.
Setelah itu, hasil pemetaan disosialisasikan kepada warga, sekaligus melakukan analisis penggunaan lahan, termasuk kemungkinan bencana terulang. Draft rencana didapat meleluai diskusi dengan masyarakat. Di dalamnya termasuk membicarakan rencana struktur ruang, rencana pemanfaatan ruang, sistem jaringan utititas seperti air, telepon, listrik, air limbang dan pengelolaan sampah. Rencana kepadatan bangunan dan ketinggian bangunan, tidak ketinggalan untuk dibicarakan. “Semua persiapan teknis itu setidaknya memerlukan waktu satu tahun,” kenang Onny.
Hal terpenting dari semua proses itu adalah upaya mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan lebih aman dari bencana. Meskipun pilihan yang terbaik untuk itu adalah relokasi, namun faktanya tidak memungkinan untuk itu. Di lokasi lama itu setidaknya memiliki perlindungan alami maupun bangunan dari gelombang tsunami. “Di dalamnya ada jalur penyelamatan dan tempat aman untuk penyelamatan, termpatnya bisa dibukit-bukit,” katanya.
Onny sadar, tidak semua elemen bisa bisa terpenuhi. Dengan “bahan baku” yang ada itulah, akhirnya diputuskan untuk membangun rumah tipe 36, seperti yang disyaratkan BRR kepada NGO yang akan ikut membantu membangun rumah. Sialnya, hasil pemetaan dan diskusi dengan masyarakat menghasilkan kesimpulan, masyarakat ingin rumah rekonstruksi mereka dibangun tepat di atas rumah mereka yang lama. Hasilnya, rumah baru itu pun tidak bisa tertata rapi.
“Kalau dilihat, rumah di Meunasah Masjid, Leupung terkesan kacau dan tidak tertata, hal itu karena rumah baru dibangun tepat di atas rumah lama,” katanya. Ujung dari hal itu adalah tidak sesuainya “ukuran” modern yang lebih baik. Termasuk adanya bengunan yang child friendly (ramah anak). Seperti tidak adanya ruang yang membuat anak bisa berbas bergerak untuk bermain. Sebagian besar, sempit dan berhimpitan.
Terlebih, adanya ruang anak-anak yang terdiri dalam ruang aktif (ruang terbuka untuk bermain) dan ruang pasif (kawasan untuk duduk-duduk, berinteraksi dengan bercerita dll), dengan dikelilingi tanaman yang mengililingi ruang anak-anak itu. “Bagaimana bisa ada, penataannya seperti desa Meunasah Lama sebelum tsunami,” kata Onny.
10 Desember 2007
Demo Hari HAM di Banda Aceh
Ketika Desa Meunasah Belum Ramah
09 Desember 2007
Banjir Banda Aceh NAD
08 Desember 2007
Cita-cita Melejit Anak Meunasah Masjid
Di sela-sela senyum itu, Elma dan Andi dengan tegas mengatakan cita-citanya. Elma memilih menjadi dokter, sementara Andi mantap berucap ingin tampil sebagai pemain band. Setelah itu, senyum terhapus. Debu yang beterbangan membuatnya menutup mulut dan hidung.
Siang itu, Elma Purwani atau Elma asyik bermain ayunan di depan kios toko milik ibunya, Zuhra. Baju merah putih yang dikenakan anak kelas enam sekolah dasar (SD) itu sedikit lusuh, berpadu dengan jilbab putih yang menguning karena sering digunakan. Begitu juga kaos kaki merah muda yang sedikit ketat kekecilan. Panas yang menyinari siang itu, membuat mata Elma sedikit memicing.
Elma tidak sendirian. Di depannya ada Juliandi Saputra atau akrab dipanggil Aldi. Teman sebaya Elma ini memilih berdiri tak jauh dari gadis itu, sambil menikmati makanan ringan yang dijajakan di kios Zuhra. Bila Elma berseragam merah putih, Aldi yang bersekolah di Madrasah Ibtida’yah Negeri (MIN) Leupung berseragam putih biru. Seperti Elma, seragam Aldi pun lusuh dan kumal. Rambutnya acak-acakan, menutupi sebagian wajah legamnya.
Berbincang dengan Elma dan Andi seperti memasuki dunia anak-anak kebanyakan. Aroma canda dan tawa tidak pernah lepas dari mereka. Meski sesekali dibumbui dengan obrolan “nggak penting” versi anak baru gede (ABG), namun tetap saja tidak menghilangkan keceriaan yang mereka usung. “Kita sih senang di sini,..dekat pantai bisa main-main ke pantai setiap hari,” kata Aldi di sela-sela tawanya.
Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang sepanjang hidupnya hidup “normal”, Elma dan Aldi pernah merasakan betapa dahsyat efek gelombang tsunami. Terutama Aldi yang ketika bencana itu terjadi hidup di Pulut, 2 Km dari Meunasah Masjid, dan berhasil selamat dari amukan air yang tiba-tiba datang menerjang kampunnya.
Aldi menceritakan, mimpi buruknya pada tsunami berawal dari sebuah goncangan keras pada 26 Desember 2004 pagi. Saat itu, kata Aldi, bumi seperti diguncang keras. “Saya yang sedang bermain-main di halaman depan rumah langsung berjongkok takut jatuh,” katanya. Setelah itu, keadaan kembali tenang. Aldi pun tidak berpikir lagi tentang hal itu. Ia kembali melanjutkan permainannya.
Tidak lama berselang, kenang Aldi, terdengar suara gemuruh yang entah berasal dari mana. Beruntung pandangan bocah penggemar musik itu terlempar ke arah pagar. Betapa terkejutnya Aldi, tidak seperti biasanya, di tepian pagar rumahnya sudah mengalir air. Beberapa saat kemudian, air bertambah banyak. “Saya memanggil mamak (ibu) saya, dan mengatakan ada air,..ada air,..” kenang Aldi.
Ayah Aldi yang juga berada di luar segera mengajak Aldi dan ibunya untuk berlari ke atas bukit untuk menyelamatkan diri. Untuk sementara waktu, Aldi tinggal di lereng bukit daerah Pulut. “Saya, bapak dan ibu selamat, tapi abang saya yang tinggal di Meunasah Masjid meninggal dunia karena terseret ombak sampai ke perbukitan di sana,” kata Aldi sambil menunjuk kejajaran bukit yang ada di belakang Meunasah Masjid.
Elma lain lagi. Meski tidak pernah melihat langsung ganasnya tsunami, namun gadis pemalu ini mengerti betul rasanya kehilangan keluarga besar. Setidaknya, 10 orang keluarga dekat Elma meninggal dunia dalam peristiwa tsunami tiga tahun lalu. “Ketika itu saya tinggal di Brawe, Banda Aceh, jadinya saya selamat, tapi banyak saudara saya yang meninggal dunia,” kata Elma. Karena itu, Elma pun tidak kalah ngeri bila mendengar gambaran tsunami yang begitu rupa.
Meski begitu, seperti juga banyak anak sebaya mereka, Elma maupun Aldi mengaku sudah sedikit demi sedikit bisa melupakan kejadian yang membuat air mata penduduk Aceh seakan berlinang tiada henti itu. Diakui, rasa khawatir itu masih bersarang dibenak mereka. “Kini saya tidak sedih lagi, meskipun masih takut kalau ombak kembali besar,” kata Aldi. Elma mengangguk mengiyakan.
Baik Elma maupun Aldi merasakan, hidup di Desa Meunasah Masjid sekarang sudah cukup lumayan. Meskipun bagi Elma, rumah yang dimilikinya belum seperti rumah yang dulu. Terutama rumah yang tidak memiliki banyak ruangan dan jendela. “Rumah saya yang dulu lebih terang, banyak cahaya yang masuk di setiap kamar,” kata Elma yang kini tinggal di rumah rekonstruksi Plan Aceh-Habitat Humanity itu.
Tapi kini, kamar miliknya, sempit dan tidak memiliki banyak cahaya. Bila siang hari, Elma pun terpaksa menggunakan lampu kamar. Bisa di tebak, kamar berkuran 3x3 M itu pun terasa lebih panas. “Kamar itu gelap dan kalau siang, akan bertambah panas,” kata Elma. Asal tahu saja, suhu udara di Aceh bisa mencapai 39 derajat Celcius.
Selain itu, Elma yang gemar bersosok tanam jenis tanaman bunga mengaku hobbynya tidak tersalurkan tanpa adanya pagar yang memisahkan tiap rumah. Setiap bunga yang sudah ditata apik di ruang terbuka di halaman rumah Elma, selalu berakhir tragis. “Kalau nggak mati terinjak-injak, atau mati dimakan oleh kambing yang berkeliaran,” kata Elma.
Belakangan, Elma menemukan cara jitu untuk menghindari hal itu. Yakni dengan membuat rak untuk menempatkan bunga dalam pot-pot yang disediakan. Meski pun dibuat sendiri, namun rak reyot itu untuk sementara bisa menghindarkan bunga dari “ancaman” kambing. “Yah, kalau ada pagar mungkin bisa jauh lebih baik ya,” katanya.
Hal lain yang sepertinya perlu ada di Meunasah Masjid adalah perbaikan jalan. Bila hujan tiba, jalan menuju rumah Elma selalu becek dan tergenang di mana-mana. Hampir pasti, bila hujan tiba, Elma harus mencopot sepatunya untuk menghindarkan dari air kotor yang tergenang. “Lebih baik kaki yang kotor, tapi sepatu tetap bersih, jadi sepatunya dijinjing saja,” katanya.
Aldi memilih tidak banyak berkomentar tentang rumahnya. Laki-laki murah senyum ini menilai, rumah yang sekarang didiaminya sudah “lumayan”. “Memang sudah lumayan, dari pada tidak punya rumah,” katanya. Hanya saja, Aldi membayangkan, bila dirinya beranjak dewasa, maka rumah yang sekarang didiaminya akan sempit. Untuk itu, Aldi menginginkan rumahnya ditingkat dua. Alasannya sederhana. “Saya ingin punya kamar di atas, jadi bisa lihat laut. Kalau suatu saat tsunami lagi, saya bisa selamat,” katanya.
Elma dan Aldi mengakui, hidup di daerah yang pernah tersapu tsunami penuh dengan suka, duka, harapan dan cita-cita. Suka dan duka mungkin sudah terhapus gelombang tsunami, kini waktunya membangun harapan dan cita-cita. “Gini-gini kita juga punya cita-cita tinggi lho,” kata Aldi ceria. Pengemar musik ini mengaku ingin menjadi musisi band. “Aku ingin jadi pemain band!” katanya mantap.
Elma yang mendengar itu sempat terbahak. Aldi tersipu. “Jangan hanya tertawa, katakan cita-citamu,” kata Aldi. Elma hanya menggeleng malu. Aldi yang ganti tertawa. Merasa terpojok, Elma lirih mengatakan cita-citanya. “Kalau bisa, saya ingin melanjutkan sekolah di sekolah kedokteran dan selanjutnya jadi dokter,” kata Elma. Keduanya tertawa. Meski harus kembali menutup mulut dan hidung karena dam truk baru saja lewat dan menerbangkan debu....wusss,...
Siang itu, Elma Purwani atau Elma asyik bermain ayunan di depan kios toko milik ibunya, Zuhra. Baju merah putih yang dikenakan anak kelas enam sekolah dasar (SD) itu sedikit lusuh, berpadu dengan jilbab putih yang menguning karena sering digunakan. Begitu juga kaos kaki merah muda yang sedikit ketat kekecilan. Panas yang menyinari siang itu, membuat mata Elma sedikit memicing.
Elma tidak sendirian. Di depannya ada Juliandi Saputra atau akrab dipanggil Aldi. Teman sebaya Elma ini memilih berdiri tak jauh dari gadis itu, sambil menikmati makanan ringan yang dijajakan di kios Zuhra. Bila Elma berseragam merah putih, Aldi yang bersekolah di Madrasah Ibtida’yah Negeri (MIN) Leupung berseragam putih biru. Seperti Elma, seragam Aldi pun lusuh dan kumal. Rambutnya acak-acakan, menutupi sebagian wajah legamnya.
Berbincang dengan Elma dan Andi seperti memasuki dunia anak-anak kebanyakan. Aroma canda dan tawa tidak pernah lepas dari mereka. Meski sesekali dibumbui dengan obrolan “nggak penting” versi anak baru gede (ABG), namun tetap saja tidak menghilangkan keceriaan yang mereka usung. “Kita sih senang di sini,..dekat pantai bisa main-main ke pantai setiap hari,” kata Aldi di sela-sela tawanya.
Tidak seperti anak-anak kebanyakan yang sepanjang hidupnya hidup “normal”, Elma dan Aldi pernah merasakan betapa dahsyat efek gelombang tsunami. Terutama Aldi yang ketika bencana itu terjadi hidup di Pulut, 2 Km dari Meunasah Masjid, dan berhasil selamat dari amukan air yang tiba-tiba datang menerjang kampunnya.
Aldi menceritakan, mimpi buruknya pada tsunami berawal dari sebuah goncangan keras pada 26 Desember 2004 pagi. Saat itu, kata Aldi, bumi seperti diguncang keras. “Saya yang sedang bermain-main di halaman depan rumah langsung berjongkok takut jatuh,” katanya. Setelah itu, keadaan kembali tenang. Aldi pun tidak berpikir lagi tentang hal itu. Ia kembali melanjutkan permainannya.
Tidak lama berselang, kenang Aldi, terdengar suara gemuruh yang entah berasal dari mana. Beruntung pandangan bocah penggemar musik itu terlempar ke arah pagar. Betapa terkejutnya Aldi, tidak seperti biasanya, di tepian pagar rumahnya sudah mengalir air. Beberapa saat kemudian, air bertambah banyak. “Saya memanggil mamak (ibu) saya, dan mengatakan ada air,..ada air,..” kenang Aldi.
Ayah Aldi yang juga berada di luar segera mengajak Aldi dan ibunya untuk berlari ke atas bukit untuk menyelamatkan diri. Untuk sementara waktu, Aldi tinggal di lereng bukit daerah Pulut. “Saya, bapak dan ibu selamat, tapi abang saya yang tinggal di Meunasah Masjid meninggal dunia karena terseret ombak sampai ke perbukitan di sana,” kata Aldi sambil menunjuk kejajaran bukit yang ada di belakang Meunasah Masjid.
Elma lain lagi. Meski tidak pernah melihat langsung ganasnya tsunami, namun gadis pemalu ini mengerti betul rasanya kehilangan keluarga besar. Setidaknya, 10 orang keluarga dekat Elma meninggal dunia dalam peristiwa tsunami tiga tahun lalu. “Ketika itu saya tinggal di Brawe, Banda Aceh, jadinya saya selamat, tapi banyak saudara saya yang meninggal dunia,” kata Elma. Karena itu, Elma pun tidak kalah ngeri bila mendengar gambaran tsunami yang begitu rupa.
Meski begitu, seperti juga banyak anak sebaya mereka, Elma maupun Aldi mengaku sudah sedikit demi sedikit bisa melupakan kejadian yang membuat air mata penduduk Aceh seakan berlinang tiada henti itu. Diakui, rasa khawatir itu masih bersarang dibenak mereka. “Kini saya tidak sedih lagi, meskipun masih takut kalau ombak kembali besar,” kata Aldi. Elma mengangguk mengiyakan.
Baik Elma maupun Aldi merasakan, hidup di Desa Meunasah Masjid sekarang sudah cukup lumayan. Meskipun bagi Elma, rumah yang dimilikinya belum seperti rumah yang dulu. Terutama rumah yang tidak memiliki banyak ruangan dan jendela. “Rumah saya yang dulu lebih terang, banyak cahaya yang masuk di setiap kamar,” kata Elma yang kini tinggal di rumah rekonstruksi Plan Aceh-Habitat Humanity itu.
Tapi kini, kamar miliknya, sempit dan tidak memiliki banyak cahaya. Bila siang hari, Elma pun terpaksa menggunakan lampu kamar. Bisa di tebak, kamar berkuran 3x3 M itu pun terasa lebih panas. “Kamar itu gelap dan kalau siang, akan bertambah panas,” kata Elma. Asal tahu saja, suhu udara di Aceh bisa mencapai 39 derajat Celcius.
Selain itu, Elma yang gemar bersosok tanam jenis tanaman bunga mengaku hobbynya tidak tersalurkan tanpa adanya pagar yang memisahkan tiap rumah. Setiap bunga yang sudah ditata apik di ruang terbuka di halaman rumah Elma, selalu berakhir tragis. “Kalau nggak mati terinjak-injak, atau mati dimakan oleh kambing yang berkeliaran,” kata Elma.
Belakangan, Elma menemukan cara jitu untuk menghindari hal itu. Yakni dengan membuat rak untuk menempatkan bunga dalam pot-pot yang disediakan. Meski pun dibuat sendiri, namun rak reyot itu untuk sementara bisa menghindarkan bunga dari “ancaman” kambing. “Yah, kalau ada pagar mungkin bisa jauh lebih baik ya,” katanya.
Hal lain yang sepertinya perlu ada di Meunasah Masjid adalah perbaikan jalan. Bila hujan tiba, jalan menuju rumah Elma selalu becek dan tergenang di mana-mana. Hampir pasti, bila hujan tiba, Elma harus mencopot sepatunya untuk menghindarkan dari air kotor yang tergenang. “Lebih baik kaki yang kotor, tapi sepatu tetap bersih, jadi sepatunya dijinjing saja,” katanya.
Aldi memilih tidak banyak berkomentar tentang rumahnya. Laki-laki murah senyum ini menilai, rumah yang sekarang didiaminya sudah “lumayan”. “Memang sudah lumayan, dari pada tidak punya rumah,” katanya. Hanya saja, Aldi membayangkan, bila dirinya beranjak dewasa, maka rumah yang sekarang didiaminya akan sempit. Untuk itu, Aldi menginginkan rumahnya ditingkat dua. Alasannya sederhana. “Saya ingin punya kamar di atas, jadi bisa lihat laut. Kalau suatu saat tsunami lagi, saya bisa selamat,” katanya.
Elma dan Aldi mengakui, hidup di daerah yang pernah tersapu tsunami penuh dengan suka, duka, harapan dan cita-cita. Suka dan duka mungkin sudah terhapus gelombang tsunami, kini waktunya membangun harapan dan cita-cita. “Gini-gini kita juga punya cita-cita tinggi lho,” kata Aldi ceria. Pengemar musik ini mengaku ingin menjadi musisi band. “Aku ingin jadi pemain band!” katanya mantap.
Elma yang mendengar itu sempat terbahak. Aldi tersipu. “Jangan hanya tertawa, katakan cita-citamu,” kata Aldi. Elma hanya menggeleng malu. Aldi yang ganti tertawa. Merasa terpojok, Elma lirih mengatakan cita-citanya. “Kalau bisa, saya ingin melanjutkan sekolah di sekolah kedokteran dan selanjutnya jadi dokter,” kata Elma. Keduanya tertawa. Meski harus kembali menutup mulut dan hidung karena dam truk baru saja lewat dan menerbangkan debu....wusss,...