Khairul Fahmi dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) mencermati kasus penembakan oleh prajurit TNI AL di Tol Tangerang-Merak.
Menurutnya, kasus ini menyisakan sejumlah kejanggalan yang patut dicermati lebih jauh.
Pertama, soal penggunaan dan pemilikan senjata api oleh pelaku.
Penting untuk memastikan apakah senjata api yang digunakan oleh pelaku merupakan senjata dinas atau bukan.
Jika senjata tersebut adalah senjata dinas, maka hal ini memunculkan pertanyaan besar mengenai bagaimana senjata tersebut bisa digunakan di luar tugas resmi.
Prosedur penggunaan senjata dinas biasanya diawasi sangat ketat, termasuk dalam hal amunisi.
Pelaku mestinya menghadapi risiko tinggi jika menggunakan senjata dinas untuk tindakan yang tidak sah.
Namun, jika senjata tersebut ternyata tidak sah atau ilegal, maka pelaku dapat dikenai sanksi berat berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.
Ini juga membuka dugaan lain, yaitu apakah ada potensi pelaku memiliki akses ke jaringan pemasok senjata ilegal, yang tentu harus diselidiki lebih lanjut.
Kedua, TNI AL telah membantah adanya keterlibatan institusional prajuritnya dalam kasus penggelapan mobil ini.
Namun, perlu diungkap dengan bukti kuat apakah pelaku hanya berperan sebagai pembeli kendaraan 'bodong' atau ada kaitan lebih jauh, misalnya sebagai bagian dari jaringan penggelapan.
Jika benar pelaku hanya sebagai pembeli, pertanyaan logisnya adalah: mengapa pelaku sampai menggunakan kekerasan bersenjata?
Sebagai aparat bersenjata, pelaku sebenarnya memiliki posisi yang cukup untuk menekan atau meminta pengembalian uang dari penjual atau penadah jika kendaraan tersebut akhirnya lepas dari tangannya.
Selain itu, sebagai pembeli, pelaku mestinya memahami risiko hukum dari membeli kendaraan hasil penggelapan, termasuk kemungkinan kendaraan disita sewaktu-waktu.
Sikap agresif ini menimbulkan dugaan adanya hubungan yang lebih kompleks antara pelaku dan pihak lain dalam jaringan ini.
Ketiga, penggunaan senjata api untuk menghadapi warga sipil, khususnya dalam konteks penggelapan mobil tersebut, jelas sangat tidak proporsional.
Ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap etika profesi dan disiplin militer.
Langkah ini harus ditelusuri lebih lanjut, apakah dilakukan secara spontan atau merupakan bagian dari tindakan yang sudah direncanakan.
Dari kejanggalan-kejanggalan ini, investigasi mendalam menjadi kunci untuk mengungkap motif sebenarnya, memastikan tidak ada upaya menutup-nutupi, serta menegakkan keadilan.
Komitmen
Agar kasus ini tetap transparan dan mendapatkan kepercayaan masyarakat, langkah pertama yang harus dilakukan adalah investigasi mendalam oleh TNI AL.
Komitmen untuk mengungkap fakta secara menyeluruh sangat penting, dan investigasi internal ini harus dilakukan secara profesional, memastikan bahwa setiap pelanggaran prosedur atau disiplin dapat diungkap dan ditindak sesuai aturan.
Selain itu, penting bagi TNI AL untuk mempublikasikan hasil penyelidikan kepada publik.
Kronologi kejadian, bukti-bukti yang ditemukan, serta hasil investigasi internal harus disampaikan secara terbuka untuk menjawab spekulasi dan dugaan yang mungkin timbul.
Transparansi semacam ini penting untuk menunjukkan bahwa institusi berkomitmen menjaga integritas dan profesionalismenya.
Kasus ini juga menjadi momentum bagi TNI AL untuk mengevaluasi kembali prosedur pengawasan terhadap penggunaan senjata api oleh prajuritnya, baik dalam tugas resmi maupun di luar tugas.
Praktik pengawasan ketat harus diterapkan untuk mencegah penyalahgunaan senjata api di masa mendatang.
Peradilan
Kasus penembakan ini dapat diproses melalui mekanisme acara koneksitas, sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHAP.
Dalam mekanisme ini, pelaku dari peradilan sipil dan militer dapat diadili di pengadilan umum, meskipun keputusan akhir mengenai yurisdiksi berada di tangan Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum.
Meski banyak pihak mendorong agar kasus ini disidangkan di peradilan umum demi menjamin transparansi, penting untuk diingat bahwa peradilan militer juga memiliki kapasitas untuk menangani kasus berat dengan pengawasan ketat.
Hal ini dapat dilihat dalam kasus penembakan Dirut PT Asaba, Budhyarto Angsono, pada 2003 oleh oknum TNI AL.
Dalam kasus tersebut, meskipun disidangkan di peradilan militer, prosesnya berjalan secara transparan dan berhasil mengungkap fakta secara menyeluruh, termasuk motif serta peran masing-masing pelaku.
Pengadilan militer dalam kasus tersebut juga menunjukkan ketegasan dengan menjatuhkan hukuman berat kepada para pelaku, termasuk hukuman mati.
Salah satu pelaku, Letda Syam Ahmad Sanusi, sempat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer, tetapi akhirnya ditembak mati saat melawan dalam upaya penangkapan.
Pelaku lain, Kopda Suud Rusli yang divonis mati oleh Mahkamah Militer, berhasil ditangkap kembali dan hingga kini menunggu eksekusi hukuman mati.
Pengejaran dan penangkapan dramatis saat itu, menunjukkan komitmen aparat untuk menegakkan hukum, meskipun prosesnya penuh risiko.
Kasus tersebut memberikan pelajaran penting bahwa peradilan militer mampu menangani kasus berat dengan baik jika ada komitmen tegas dari institusi TNI untuk memastikan keadilan ditegakkan.
Namun, pengawasan internal yang kuat dan transparansi kepada publik tetap menjadi faktor penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Untuk kasus penembakan di Tol Tangerang-Merak ini, TNI khususnya TNI AL harus menunjukkan komitmen penuh dalam mengungkap fakta dan menindak pelaku, sebagaimana dilakukan dalam kasus 2003.
Jika sidang tetap dilakukan di peradilan militer, prosesnya harus berjalan secara profesional dan transparan, dengan fokus utama pada pengungkapan fakta, termasuk dugaan adanya jaringan beking dalam penggelapan mobil ini.
Hal ini penting agar tidak hanya pelaku, tetapi juga pihak-pihak lain yang terlibat dalam jaringan tersebut dapat terungkap dan diproses sesuai hukum.
*rilis pers
*foto: https://www.scienceabc.com/wp-content/uploads/2015/12/firing-a-bullet.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar