Lontong balap | |
Sebelumnya, saya tidak pernah merasa, apa yang saya lakukan ini adalah sebuah wisata.
Karena memang setiap hari, menu-menu ini yang menjadi sajian.
Ini bukan soal rasa semata, tapi siraman rohani melalui indra pengecap.
Rawon | |
Benar, foto paling atas itu adalah lontong balap.
Di tempat saya tinggal, lokasi tukang lontong balap (orang Surabaya menyebut "tukang" untuk mengidentifikasi penjual/pelaku bidang tertentu), hanya menyeberang jalan, depan perumahan.
Meski tidak terlalu sering, tapi menyantap lontong balap itu membuat kenyang, dan "segar" (baca: seger).
Coba saja.
Lalu foto kedua, rawon, masakan berwarna hitam karena campuran kluwek (pangium edule).
Secara tampilan, memang gak artistik.
Tapi sekali mencoba, kuah dan daging hitamnya membuat makanan ini terus dicari orang.
Ikan pe | |
Pedas, itu pasti.
Enak, itu jelas. Wkwkwk
Lontong mie | |
Dan lontong mie, ibarat kenangan yang selalu teringiang rasanya.
Seperti namanya, lontong dan mie menjadi menu utama.
Hadirnya petis di dasar piring, menjadi penentu enak atau enak banget.
Soto daging | |
Kalau soto daging, pilihan saya jelas: semua soto daging uenak cuk!
Dah, gitu aja 😝
Sate klopo |
Ini sate seperti laten.
Menyusup di tengah-tengah publik Surabaya.
Dengan menggunakan daging sapi, sate jenis ini menjadi lawan serius sate ayam/kambing madura.
Hadirnya klopo (baca: kelapa) menjadi pembeda, sekaligus penghantar yang cerdas dan berkarakter.
Kupang lontong | |
Kupang.
Ini bukan nama kota di Nusa Tenggara Timur.
Bahannya kupang putih (Potamocorbula fasciata), berdampingan dengan lontong beras dan petis.
Soal rasa, gambarannya seperti seafood asli diolah nelayan.
Paham gak? Semoga gak, biar sampeyan penasaran ☺
*ID Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar