05 Agustus 2021

Berharap dan belajar dari AJI


Artikel ini saya dedikasikan untuk Aliansi Jurnalis Independen atau AJI, organisasi jurnalis tempat saya bernaung selama 21 tahun, yang berulang tahun ke 27 pada 7 Agustus 2021 ini. Tulisan ini berisi penilaian tentang AJI, dari tiga kelompok jurnalis: calon anggota, anggota baru dan deklarator. Semoga bermanfaat.

***

Babak Satu: Tertarik

“Mas Iman, aku sudah selesai.”

Begitulah tulis Sonya Andomo, salah satu jurnalis perempuan di Padang, Sumatera Barat melalui pesan singkat. Pesan itu dikirim pada saya, karena sebelumnya, ia meminta obrolan tentang AJI ditunda, lantaran harus meliput agenda Polri di Padang, awal Agustus ini. Saat liputannya tuntas, calon anggota AJI Padang ini menghubungi saya. 

Sonya Andomo - doc pribadi

Ngobrol soal AJI dengan Sonya, renyah. Menurutnya, organisasi yang dikenal sejak kuliah itu menyimpan banyak hal menarik. “Saya ingin berorganisasi di AJI, karena di dalamnya banyak orang hebat. Dihargai di lapangan,” jelasnya. 

Keinginan itu semakin teguh, saat dirinya pertama kali bersinggungan dengan AJI Padang secara langsung dalam kasus pelecehan yang dialaminya. Sudut pandang pengurus AJI Padang pada kasus itu membuatnya semakin yakin, organisasi yang dipilihnya ini adalah organisasi yang tepat.

“AJI bisa melihat sudut pandang korban, saya sering mengalami pelecehan seksual, baik verbal maupun nonverbal. Di kalangan jurnalis, hal itu sering dibilang bercandaan, tapi AJI Padang yang tegas mengatakan itu pelecehan,” jelasnya.

Semangat untuk mengadvokasi jurnalis itu yang ingin diteruskan Sonya, bila nanti benar-benar diterima menjadi anggota AJI Padang. Bersama Sonya, setidaknya ada tiga jurnalis perempuan lain yang memiliki semangat yang sama sebagai calon anggota.  

Di Cirebon, jurnalis Abdullah Fikri Ashri juga tertarik dengan AJI. Laki-laki yang akrab dipanggil Iki ini adalah calon anggota AJI Bandung. Berbagai pelatihan yang digelar AJI, membuat Iki memiliki kesempatan untuk terus menambah ilmu dan meningkatkan kapasitasnya.

Di tempat ia tinggal saat ini, juga terdapat beberapa organisasi profesi jurnalis. Tapi tidak semua aktif membangun kapasitas jurnalis, seperti yang dilakukan AJI. “Saya ingin membangun AJI Cirebon dan bersama-sama meningkatkan kapasitas jurnalis di sini,” jelasnya.

Abdullah Fikri Ashri-doc pribadi

Sosok anggota AJI menjadi warna yang kental di media tempat Iki bekerja. Melalui orang-orang itulah, diam-diam Iki memahami bagaimana menjadi anggota AJI. Dua nama jurnalis yang terus diingatnya, Wawan ABK dan Aryo Wisanggeni. “Tulisannya ngeri-ngeri,” kata Iki singkat. 

Iki mengenal satu anggota AJI Bandung di Cirebon, yang selama ini menjadi teman diskusi, dan menjadi rujukan tentang berbagai persoalan di dunia jurnalistik, serta liputan harian. Sikapnya tentang independensi jurnalis-seperti soal penolakan pada amplop- tampak jelas, meski tidak menghakimi jurnalis lain yang masih abu-abu dalam persoalan itu. 

Yongki Gigih Prasisko pun memiliki harapan besar pada AJI. Calon AJI Yogyakarta ini menemukan, keilmuan yang didapatkannya saat mempelajari hukum media di kampus, selaras dengan apa yang dilakukan AJI. Yongki mengaku, berinteraksi dengan anggota AJI Yogyakarta membuatnya merasa memiliki kawan yang cocok dengan isu-isu jurnalistik yang digemarinya.

Bambang Muryanto, Shinta Maharani, Mustaqim Ahmad, Aprilia Wayar dan Ade Dani Setiawan, adalah nama-nama yang dikenal Yongki di AJI Yogyakarta. Melalui mereka-mereka inilah Yongki sedikit demi sedikit mengenal AJI. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika AJI dengan cepat merespon isu tentang demokrasi di Daerah Istimewa itu.

“AJI aktif merespon isu-isu yang lagi hangat. Seperti saat Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan aturan tentang demonstrasi, AJI langsung bersikap,” kenangnya.

Informasi yang didapatkan Yongki melalui media sosial AJI Yogyakarta, juga sangat bermanfaat. Melalui media sosial jugalah, laki-laki yang sedang merintis media seni dan budaya ini mengikuti acara AJI. Mulai yang bertema gender, hukum, lingkungan didatanginya. “Saya tahu soal PWI, namun menurut saya tidak sebagus AJI,” jelasnya.


Yongki Gigih Prasisko-doc pribadi

Yongki berharap, di AJI-lah jaringan luas dalam dunia jurnalistik bisa dibangun. Dia membayangkan, organisasi ini menjadi tempat belajar dan berkembang bersama-sama. Terutama, untuk media baru yang dibangunnya, Brikolase.com. 

Dari Makassar, Sulawesi Selatan, Desi Triana Aswan atau Ilul juga mengaku “jatuh cinta” pada AJI. Di AJI Makassar, Ilul adalah anggota baru. Dan menjadi anggota AJI Makassar adalah sesuatu yang tidak dibayangkan sebelumnya. 

“Awalnya, saya sedikit ragu dan memberanikan diri daftar masuk AJI. Karena menurut saya, organisasi ini bergengsi. Di dalamnya banyak jurnalis keren,” kenang Ilul. Dalam bayangannya, jurnalis anggota AJI memiliki pengalaman banyak, independen dan idealis menjaga nilai-nilai.

Sebagai jurnalis baru--Ilul yang baru saja dikaruniai anak pertama saat obrolan ini dilakukan-- merasa cemen jika ikut bergabung. Meski demikian, pada akhir 2020, ia mendapat rekomendasi dari senior AJI dan akhirnya lolos sebagai anggota AJI Makassar. Ilul sangat terkesan ketika pertama kali berhadapan dengan senior AJI Makassar. “Keren.”

Baginya, menjadi anggota AJI adalah kesempatan untuk mendapatkan banyak ilmu, dengan berbagai kegiatan yang digelar di AJI. Seperti, saat dirinya menjadi peserta dalam pemberian materi dasar sebagai anggota AJI. 

Desi Triana Aswan-doc pribadi

Babak Dua: Perbaikan

Apa yang dirasakan Sonya, Iki, Yongki dan Ilul, senada dengan apa yang saya rasakan ketika masuk AJI di tahun 2000. “Jatuh cinta” pada AJI adalah hal utama. Saya masih ingat, alm Hari Nugroho dan pendiri AJI, alm Zed Abidin adalah dua orang yang mewawancarai saya ketika itu. 

Saya kagum pada keduanya, seperti juga kekaguman saya pada anggota AJI yang lain. Di sela-sela wawancara sebagai anggota baru AJI, muncul tekad untuk ikut menjaga dan membangun organisasi ini.

Ikut menjaga dan membangun organisasi juga ada di benak Sonya. Ia menilai, AJI memerlukan perbaikan internal. Rumusannya sederhana, anggota AJI harus bisa merealisasikan apa yang diucapkannya dalam praktik kesehariannya. “Jangan teoritis saja, tapi kenyataan di lapangannya beda,” demikian Sonya.

Apalagi, Sonya merasakan, pandangan miring pada AJI dari orang-orang di luar AJI masih ada hingga saat ini. Salah satu wartawan yang bukan anggota AJI pernah mengatakan padanya, bahwa AJI masih bicara tentang “hal-hal kuno”, tanpa mengetahui realitas di lapangan. Sonya tidak paham maksudnya. Tapi paling tidak, ucapan itu seperti “kode” bahwa ada penilaian berbeda.

Di kota tempatnya tinggal, kehidupan dunia jurnalistik bagai berada di dalam sekat-sekat. Seolah ada konflik, istilah Sonya. AJI harus berani melakukan evaluasi atas kondisi itu. Advokasi pada seluruh media baiknya tetap dilakukan AJI. Bila menemukan media yang tidak profesional, AJI harus berani mengkritisi dan mengevaluasi. “Bila tidak, maka masyarakat tidak lagi percaya pada media,” tegasnya.


Belum lagi masalah menjadi jurnalis perempuan.  Di Padang, bukan perkara yang mudah. Sonya menceritakan, image masyarakat kebanyakan soal perempuan, tidak cocok dengan profesi ini. Tentu Sonya tidak setuju. Ia menemukan figur jurnalis perempuan di AJI yang bisa menjalankan profesinya tanpa meninggalkan tugasnya sebagai perempuan. Febriyanti dan Ocha Mariadi, dua diantaranya. 

“Saya juga suka figur seperti Shinta Maharani, Ketua AJI Yogyakarta. Menurut saya dia jurnalis independen sekali,” katanya.

Iki lain lagi. Ia memandang, AJI bisa menjadi alternatif untuk menghadapi beratnya tantangan dunia jurnalistik di Cirebon. Dalam membuat liputan yang seharusnya berprespektif keberpihakan kepada korban misalnya, belum semua ditemui di media. “Seperti menulis soal keberagaman, soal isu-isu gender, dll, AJI perlu lebih banyak pelatihan untuk memberikan pemahaman ini,” katanya.

Belum lagi masalah suap. Di wilayah tempatnya bertugas, imej wartawan dan amplop masih tidak bisa dipisahkan. Iki dan dua anggota AJI Bandung di Cirebon, plus tiga calon anggota bertekad untuk mengubah hal itu. “Kita coba memperbaiki hal itu. Meskipun kita bukan ahli surga.” 

Harapan untuk memperbaiki AJI juga datang dari Yogyakarta. Meski masih menjadi calon anggota, Yongki mendengar ada ketidakkompakan di AJI. “Saya dengar ada friksi, tapi belum tahu soal apa.” pendeknya. 

Yongki bahkan mendengar, banyak senior-senior anggota AJI yang bagus-bagus, justru belum diakomodir di AJI. Padahal, bila itu dilakukan, maka AJI akan menjadi organisasi yang solid. 

Untuk dirinya, Yongki mengharapkan bisa dilibatkan dalam pembangunan media sosial di AJI. Bila ada program yang membutuhkan orang yang bisa mengelola medsos, untuk mengarahkan ke target yang tepat, Yongki bersedia membantu. “Saya bisa berkonstribusi di sana.” 

Harapan Ilul sederhana, tapi dalam makna. Ia berharap, AJI tetap menjadi organisasi independen yang senantiasa menaungi seluruh anggotanya. Juga, bisa mengawal kebijakan pemerintah, khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan dunia jurnalistik. “Semua itu demi kesejahteraan dan keselamatan para anggotanya,” jelas Ilul.

Babak Tiga: Kesimpulan

AJI Padang, AJI Bandung, AJI Yogyakarta dan AJI Makassar, mungkin juga AJI Kota lainnya patut berbangga. Ada harapan yang luar biasa pada para anggota baru yang direkrutnya. Harapan untuk melanjutkan perjuangan AJI, seperti cita-cita deklarator Sirnagalih AJI di tahun 1994.

Salah satu senior AJI, Ati Nurbaiti mengingatkan pentingnya AJI untuk terus mendorong pers profesional dan independen dalam kondisi yang semakin sulit di masa pandemi. Ati adalah deklarator AJI. Dalam daftar deklarator, nama Ati ada di bawah Fikri Jufri (Jakarta) dan M. Anis (Surabaya), sebagaimana dimuat di buku Bredel 1994.

Kondisi yang makin rumit, saat media-media susah mencari iklan, membuat godaan untuk tidak profesional semakin besar. Kerjasama dengan pemerintah, menjadi salah satu kesempatan. Apalagi di sisi lain, sampai saat ini, media belum benar-benar menemukan bisnis model dari hadirnya jurnalisme multiplatform di masa ini.

Ati Nurbaiti - doc aji

Ada kecenderungan, media mengurangi jumlah jurnalis untuk mengurangi pengeluaran. Jurnalis yang tersisa, diminta untuk membuat berita yang clickbait. “AJI perlu memahami kondisi ini, dan bila memungkinkan, memberikan masukan-masukan serta solusi. Saya pernah dengar ini ketika kampanye (saat Kongres AJI), tapi realisasinya, saya belum tahu,” kata Ati.

Senior lain, Dadang RHS mengingatkan, AJI untuk kembali ke semangat awal sebagai gerakan perlawanan. Dadang juga deklarator Sirnagalih. Di daftar deklarator, namanya diapit Rinny S Doddy (Bandung) dan Rustam Fachri Mandayun (Yogyakarta). Dadang meminta anggota AJI memahami arti kata “aliansi” dan “independen” yang ada di AJI. 

“Aliansi itu gabungan, lihat pendiri AJI yang merupakan gabungan banyak pihak. Ada Arief Budiman, Christianto Wibisono, dll. Mereka bukan wartawan. Tapi mereka beraliansi di Sirnagalih dan bergerak bersama. Sementara independen itu garis ideologi politik AJI, berpihak pada sikap moral independensi,” kata Dadang.

Semangat “beraliansi”, jelas Ati Nurbaiti, wajib dilakukan AJI saat ini. Dalam bahasa Ati, AJI perlu melakukan kolaborasi dengan berbagai organisasi untuk bergerak bersama mengawal demokrasi. Apalagi, secara jumlah, AJI tergolong kecil. Tanpa kolaborasi, gerakan AJI semakin berat.

Hanya saja, gerakan keluar AJI, seperti yang selama ini dilakukan hendaknya tidak melupakan upaya untuk memperbaiki ke dalam organisasi. Yang ada di depan mata, berpikir tentang kondisi staf AJI, misalnya. Pengamanan kesejahteraan staf AJI penting dipikirkan. Jangan sampai AJI menuntut kesejahteraan tapi justru memeras staf-nya. “AJI harus bisa sustainable tanpa memeras orang dalam pekerjaannya,” kata Ati.

Ati menggambarkan, sejauh pemahamannya, jumlah jurnalis anggota AJI yang berkualitas tergolong banyak. Namun, masih ada juga anggota AJI yang perlu ditingkatkan kualitasnya. Dalam poin ini, Ati mendorong digelarnya banyak pelatihan untuk anggota AJI, di seluruh Indonesia. 

Mantan jurnalis The Jakarta Post ini menilai, AJI saat ini memiliki nilai plus, dengan ditambahnya koordinator wilayah. Harapannya, para koordinator wilayah AJI itu mampu mendorong AJI kota meningkatkan jumlah anggota melalui rekrutmen. 

“Persentase anggota perempuan harus ditambah.” katanya. Sekaligus, mengusahakan menambahan kapasitas AJI kota. AJI nasional harus bisa memetakan, mana AJI kota yang paling butuhkan bantuan, mana yang tidak. Ke depannya, AJI nasional memprioritaskan AJI kota yang membutuhkan.


Dadang RHS (depan)-doc pribadi

Tentang perbaikan internal organisasi AJI, Dadang menilai AJI saat ini berada di titik krusial. Pasca kongres, suka atau tidak ada pembelahan di tubuh organisasi AJI. “Sejak dulu AJI terdiri berbagai faksi (baca: organ), tapi bukan friksi. Karena friksi ujungnya pada pembelahan organisasi,” jelasnya.

Apa pun yang terjadi di kongres terakhir AJI, hingga melahirkan tim Adhoc, harus dihormati dan dipatuhi sebagai keputusan organisasi secara bulat. Termasuk adanya pengakuan pelanggaran dari pelaku. “Artinya ada problem mendasar dalam kongres, baik etik maupun organisatoris. Menurut saya, harus ada koreksi total terhadap hasil kongres,” kata Dadang.

Menuntaskan persoalan kongres terakhir itu akan menjadi dasar kembalinya AJI menjadi organisasi gerakan yang solid ke depan. Soliditas AJI dipertaruhkan. Saat ini dengan adanya hasil adhoc, ada problem legitimasi dalam kepemimpinan organisasi. Jika problem ini tidak diselesaikan, maka dalam tiga tahun ke depan, AJI akan terjebak dalam aktivitas seremonial dan artifisial.

“Ini persoalan organisasi bukan personal, solusinya bukan meminta maaf di grup wasap warung kopi dan mengajak bergandengan tangan. Bukan itu. Tapi berembuk bersama secara terbuka menjelaskan duduk persoalan dan melakukan rekonsiliasi,” jelas Dadang.

Syarat rekonsiliasi adalah pengakuan bersalah secara terbuka, meminta maaf, dan berdamai dengan sejarah.

Ati Nurbaiti-- salah satu anggota Tim Adhoc dan anggota Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) AJI juga mengakui adanya persoalan di dalam AJI. Menurutnya, mengawal hasil adhoc adalah salah satu jalan. Apalagi, jelas Ati, dari reaksi dan masukan AJI kota terlihat, mayoritas tidak bisa menerima kondisi ini. “Ini koreksi sama-sama, MPO akan menjawab masukan AJI kota,” jelasnya. 

Sebagaimana dunia jurnalistik, mengutip Dadang, bila ternyata ada berita yang salah, diakui kesalahannya, minta maaf, dikoreksi, serta diubah menjadi benar. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar