Karena saya adalah
orang yang tidak cukup soleh dalam urusan agama, tulisan ini memang
tidak layak baca. Karena tulisan ini adalah gambaran dari saya,
tentang “beragama” dan “berkafir” di waktu yang sama.
Berbulan lalu, saya memutuskan untuk keluar dari grup Whats App (selanjutnya disebut grup wasap) keluarga besar saya. Pilihan yang sulit. Tapi itu saya rasa jauh lebih baik, ketimbang lebih lama memupuk ketidaknyamanan bagi saya, dan bagi anggota grup lainnya.
Hal pertama yang
saya ingat dari grup wasap itu adalah kehangatan. Bagaimana keluarga
yang anggotanya kini membangun kehidupan di berbagai kota di Indonesia –beberapa
bahkan sempat ke luar negeri-- saling bertukar kabar.
Bercanda, bahkan
saling menggoda, layaknya kehidupan keluarga pada umumnya.
Tapi perlahan-lahan,
semua menjadi berbeda. Ketika bicara soal “agama”. Sialnya,
semua –bila tidak salah ingat-- ketika Pemilihan Presiden 2014
bergulir.
Entah mengapa,
ayat-ayat yang dipenggal seenaknya, dan sesuai dengan pilihan politik
masing-masing mulai bertebaran di grup wasap. Mulai masuk juga
isu-isu yang meragukan keagamaan masing-masing calon.
Dan semuanya
berlanjut, saat tiba momentum peringatan hari raya yang berbeda.
Kalimat “kafir” menjadi hal yang mudah untuk diucapkan.
Saya masih bisa
memahaminya. Bahkan tersirat rasa bangga. Betapa saudara,
pakde-budhe, om-tante yang awalnya apolitis, menjadi melek politik.
Tapi di sisi lain,
ada kekhawatiran, bila politisasi itu mengarah pada agama. Khawatir
bila tidak bisa “menghentikannya”. Menurut saya, itu sangat
berbahaya.
Dan kekhawatiran itu
terbukti. Ketika sebuah tudingan “kafir” pada anggota grup yang
berbeda mulai terlontar.
KAFIR
Saya tidak akan
menjelaskan definisi “kafir” dalam bab ini. Karena definisi itu
menjadi berbeda di jaman ini.
Bagi sebagian orang
–paling tidak itu yang saya rasakan-- “kafir” itu artinya
“berbeda pendapat”. Atau, membela orang-orang “kafir”
lainnya.
Menghormati
perbedaan, juga dinilai “kafir”. Dan yang paling ekstrem, berbeda
pilihan politik, juga “kafir”.
Tentu saja, saya
mengabaikan tudingan-tudingan itu. Argumentasi yang terbagun, dari
satu-dua orang tidak bersambut dengan bantahan dari satu-dua orang
lain.
Meski diam-diam,
banyak juga yang membela, meski melalui “japri” atau jalur
pribadi.
“Kenapa tidak
dikatakan aja di grup?” tanyaku.
“Malas mas, sudah
malas berdebat.” jawabnya.
Mungkin inilah yang
disebut “silent majority” atau mayoritas yang (memilih) diam.
Memilih untuk tidak bersuara, meskipun mereka memiliki argumentasi
berbeda.
Sikap yang berbeda
ditunjukkan oleh kelompok yang kecil, namun berisik. Memilih
teriak-teriak di banyak platform tentang keyakinannya, pilihan
politiknya, dan seterusnya, sembari menyalah-nyalahkan (baca:
mengkafirkan) orang lain.
Sayangnya, kelompok
kecil berisik ini jarang yang memahami soal konsekuensi dan sikap
yang linier atau lurus, dengan sikap yang lain.
Saya akan memberi
contoh sebuah obrolan dalam tema Islam--kebetulan saya beragama
Islam--, dan bila pembaca tidak berkenal, loncati saja tema
ini.
Dalam sebuah diskusi dengan salah satu kawan, Hadis Riwayat Ahmad ini sering dikutip: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
Dalam sebuah diskusi dengan salah satu kawan, Hadis Riwayat Ahmad ini sering dikutip: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
Seperti yang
sudah-sudah, saya tidak cukup ilmu untuk menjelaskan hadis itu secara
panjang lebar. Yang saya tahu, hadis itu sering muncul dalam
peringatan hari raya atau hari besar agama di luar Islam.
Bagi beberapa orang,
hadis ini dimaknai sebagai “larangan” untuk berprilaku,
berpakaian, bahkan mengucapkan “selamat hari raya” pada orang
berbeda agama (1).
Namun ada juga yang
beranggapan, maksud dari hadis itu adalah bila “penyerupaan” itu
masuk ke dalam ritual keagamaan, aktivitas yang terus menerus dan
akhirnya menjadi keyakinan dan mengubah “keimanan”. Artinya, bila
sekedar menghormati dan menyampaikan ucapan selamat, tidak menjadi
masalah (2).
Saya tidak mempersoalkan
dua pendapat itu. Sayangnya, orang-orang yang mempercayai
pendapat pertama cenderung tidak linier dalam bersikap.
Contohnya soal poin
“perilaku”. Bila konsisten dengan pendapat “larangan berprilaku
sama”, maka, sebenarnya, banyak hal-hal lain yang sama dilakukan
oleh orang dari berbagai kelompok agama.
Berkendara, bertelepon genggam, makan pakai sendok-garpu, dan seterusnya. Mengapa hal-hal ini terus mereka lakukan? Apakah mereka tidak “termasuk bagian dari “mereka””?
Berkendara, bertelepon genggam, makan pakai sendok-garpu, dan seterusnya. Mengapa hal-hal ini terus mereka lakukan? Apakah mereka tidak “termasuk bagian dari “mereka””?
Tapi ya
sudahlah.
Saya percaya, definisi itu, tergantung apa yang diyakini, meskipun itu tidak konsisten dilakukan.
Saya percaya, definisi itu, tergantung apa yang diyakini, meskipun itu tidak konsisten dilakukan.
SERUAN KEBAIKAN?
Hal lain yang
belakangan ini semakin terasa, adalah banyaknya meme “seruan
kebaikan” yang beredar. Ajakan-ajakan baik tentang agama, tentu
saja menenteramkan.
Sayangnya, semangat
itu—menurut saya-- dimasuki oleh unsur-unsur yang menafikan pihak
lain. Bahkan, memperuncing berbedaan.
Hal “berbahaya”
lain, adalah menggerus ke-Indonesia-an, dan menggantinya dengan
budaya seberang, yang tentu saja, memiliki potensi perpecahan.
Tokoh-tokoh yang
dikutip di acara itu, berbekal title keagamaan. Sayangnya, jarang
yang menelusuri, siapa mereka sebenarnya. Dari aliran dan kelompok
mana mereka berasal. Dan hal terpenting, apa agenda aliran dan
kelompok-kelompok itu.
Dan dugaan saya,
kelompok-kelompok ini menggunakan nuansa agama untuk menyebarkan
gerakan politik mereka. Dan pada gilirannya, mengikis Indonesia.
Orang boleh tidak
setuju dengan ini, namun ini saya rasakan.
Kembali ke soal grup
wasap, berbagai perbedaan argumentasi dan pemahaman itu, semakin lama
semakin meruncing. Bagi saya, itu tidak sehat bagi saya, maupun
anggota grup yang lain.
Saya memutuskan untuk left group.
Semoga langkah ini baik bagi semua.
Saya memutuskan untuk left group.
Semoga langkah ini baik bagi semua.
ID NUGROHO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar