20 Januari 2017

"INDAHNYA" BERAGAMA DAN BERKAFIR DI JAMAN INI


Karena saya adalah orang yang tidak cukup soleh dalam urusan agama, tulisan ini memang tidak layak baca. Karena tulisan ini adalah gambaran dari saya, tentang “beragama” dan “berkafir” di waktu yang sama.

Berbulan lalu, saya memutuskan untuk keluar dari grup Whats App (selanjutnya disebut grup wasap) keluarga besar saya. Pilihan yang sulit. Tapi itu saya rasa jauh lebih baik, ketimbang lebih lama memupuk ketidaknyamanan bagi saya, dan bagi anggota grup lainnya.

Hal pertama yang saya ingat dari grup wasap itu adalah kehangatan. Bagaimana keluarga yang anggotanya kini membangun kehidupan di berbagai kota di Indonesia –beberapa bahkan sempat ke luar negeri-- saling bertukar kabar.

Bercanda, bahkan saling menggoda, layaknya kehidupan keluarga pada umumnya.

Tapi perlahan-lahan, semua menjadi berbeda. Ketika bicara soal “agama”. Sialnya, semua –bila tidak salah ingat-- ketika Pemilihan Presiden 2014 bergulir.

Entah mengapa, ayat-ayat yang dipenggal seenaknya, dan sesuai dengan pilihan politik masing-masing mulai bertebaran di grup wasap. Mulai masuk juga isu-isu yang meragukan keagamaan masing-masing calon.

Dan semuanya berlanjut, saat tiba momentum peringatan hari raya yang berbeda. Kalimat “kafir” menjadi hal yang mudah untuk diucapkan.

Saya masih bisa memahaminya. Bahkan tersirat rasa bangga. Betapa saudara, pakde-budhe, om-tante yang awalnya apolitis, menjadi melek politik.

Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran, bila politisasi itu mengarah pada agama. Khawatir bila tidak bisa “menghentikannya”. Menurut saya, itu sangat berbahaya.

Dan kekhawatiran itu terbukti. Ketika sebuah tudingan “kafir” pada anggota grup yang berbeda mulai terlontar.

KAFIR

Saya tidak akan menjelaskan definisi “kafir” dalam bab ini. Karena definisi itu menjadi berbeda di jaman ini.

Bagi sebagian orang –paling tidak itu yang saya rasakan-- “kafir” itu artinya “berbeda pendapat”. Atau, membela orang-orang “kafir” lainnya.

Menghormati perbedaan, juga dinilai “kafir”. Dan yang paling ekstrem, berbeda pilihan politik, juga “kafir”.

Tentu saja, saya mengabaikan tudingan-tudingan itu. Argumentasi yang terbagun, dari satu-dua orang tidak bersambut dengan bantahan dari satu-dua orang lain.

Meski diam-diam, banyak juga yang membela, meski melalui “japri” atau jalur pribadi.

“Kenapa tidak dikatakan aja di grup?” tanyaku.

“Malas mas, sudah malas berdebat.” jawabnya.

Mungkin inilah yang disebut “silent majority” atau mayoritas yang (memilih) diam. Memilih untuk tidak bersuara, meskipun mereka memiliki argumentasi berbeda.

Sikap yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok yang kecil, namun berisik. Memilih teriak-teriak di banyak platform tentang keyakinannya, pilihan politiknya, dan seterusnya, sembari menyalah-nyalahkan (baca: mengkafirkan) orang lain.

Sayangnya, kelompok kecil berisik ini jarang yang memahami soal konsekuensi dan sikap yang linier atau lurus, dengan sikap yang lain.

Saya akan memberi contoh sebuah obrolan dalam tema Islam--kebetulan saya beragama Islam--, dan bila pembaca tidak berkenal, loncati saja tema ini.

Dalam sebuah diskusi dengan salah satu kawan, Hadis Riwayat Ahmad ini sering dikutip: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”

Seperti yang sudah-sudah, saya tidak cukup ilmu untuk menjelaskan hadis itu secara panjang lebar. Yang saya tahu, hadis itu sering muncul dalam peringatan hari raya atau hari besar agama di luar Islam.

Bagi beberapa orang, hadis ini dimaknai sebagai “larangan” untuk berprilaku, berpakaian, bahkan mengucapkan “selamat hari raya” pada orang berbeda agama (1).

Namun ada juga yang beranggapan, maksud dari hadis itu adalah bila “penyerupaan” itu masuk ke dalam ritual keagamaan, aktivitas yang terus menerus dan akhirnya menjadi keyakinan dan mengubah “keimanan”. Artinya, bila sekedar menghormati dan menyampaikan ucapan selamat, tidak menjadi masalah (2).

Saya tidak mempersoalkan dua pendapat itu. Sayangnya, orang-orang yang mempercayai pendapat pertama cenderung tidak linier dalam bersikap.

Contohnya soal poin “perilaku”. Bila konsisten dengan pendapat “larangan berprilaku sama”, maka, sebenarnya, banyak hal-hal lain yang sama dilakukan oleh orang dari berbagai kelompok agama.

Berkendara, bertelepon genggam, makan pakai sendok-garpu, dan seterusnya. Mengapa hal-hal ini terus mereka lakukan? Apakah mereka tidak “termasuk bagian dari “mereka””?

Tapi ya sudahlah.

Saya percaya, definisi itu, tergantung apa yang diyakini, meskipun itu tidak konsisten dilakukan.

SERUAN KEBAIKAN?

Hal lain yang belakangan ini semakin terasa, adalah banyaknya meme “seruan kebaikan” yang beredar. Ajakan-ajakan baik tentang agama, tentu saja menenteramkan.

Sayangnya, semangat itu—menurut saya-- dimasuki oleh unsur-unsur yang menafikan pihak lain. Bahkan, memperuncing berbedaan.

Hal “berbahaya” lain, adalah menggerus ke-Indonesia-an, dan menggantinya dengan budaya seberang, yang tentu saja, memiliki potensi perpecahan.

Tokoh-tokoh yang dikutip di acara itu, berbekal title keagamaan. Sayangnya, jarang yang menelusuri, siapa mereka sebenarnya. Dari aliran dan kelompok mana mereka berasal. Dan hal terpenting, apa agenda aliran dan kelompok-kelompok itu.

Dan dugaan saya, kelompok-kelompok ini menggunakan nuansa agama untuk menyebarkan gerakan politik mereka. Dan pada gilirannya, mengikis Indonesia.

Orang boleh tidak setuju dengan ini, namun ini saya rasakan.

Kembali ke soal grup wasap, berbagai perbedaan argumentasi dan pemahaman itu, semakin lama semakin meruncing. Bagi saya, itu tidak sehat bagi saya, maupun anggota grup yang lain.

Saya memutuskan untuk left group.

Semoga langkah ini baik bagi semua.

ID NUGROHO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar