ILUSTRASI: Makesocialmediasell.com |
PASANG SURUT
Ensiklopedia Bebas Wikipedia mencatat pasang surut Dewan Pers, sejak didirikan pertama kali pada 1996, hingga terbentuknya Dewan Pers "baru" pasca reformasi. Tepatnya, setelah UU Pers dibentuk pada 1999. Dewan yang awalnya menjadi bagian dari Pemerintah RI di bawah Departemen Penerangan (Deppen) ini, berubah menjadi lembaga independen.
Pasal 15 UU Pers 1999 mengamanatkan, "Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentuk Dewan Pers yang independen." Sebuah amanah yang tidak ringan untuk dikerjakan. Tak heran, bila hingga saat ini, Dewan Pers terus menyisakan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh tiap kepengurusan Dewan Pers. Termasuk Dewan Pers di bawah Stanley.
Secara garis besar, statuta Dewan Pers menyebutkan tujuh tugas dan fungsi lembaga ini. Yakni, melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain, melakukan pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers, menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik, memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.
Juga, mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat, dan pemerintah, memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam menyusun peraturan-peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi kewartawanan, serta yang terakhir, mendata perusahaan pers.
MELINDUNGI KEMERDEKAAN PERS
Poin pertama, "Melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain", bagi saya adalah poin terberat Dewan Pers. Kemerdekaan Pers, yang dimaksud dalam poin ini, hendaknya tidak diartinya secara klasik: Pers boleh memberitakan apa pun. Melainkan lebih general, tentang seluruh proses mencari, mengolah, menyimpan dan mempublikasikan berita dalam suasana yang merdeka. Apakah sudah seperti itu di Indonesia?
Faktanya, tidak selalu seperti itu. Dalam catatan AJI, setiap tahun, setidaknya ada 30-an lebih kasus kekerasan pada jurnalis. Mulai kekerasan verbal berupa pelecehan, caci maki, teror, hingga kekerasan fisik berupa mendorong, menutup lensa kamera, memukul hingga mengeroyok. Bahkan, dari kasus-kasus itu, ada juga yang berakhir tragis dengan kematian jurnalisnya.
Indonesia mengenal delapan (8) kasus gelap pers Indonesia, yakni, terbunuhnya 8 jurnalis di sela-sela melaksanakan tugasnya. Dan hingga saat ini, kedelapan kasus itu masih belum tuntas diusut polisi. Bahkan kasus pembunuhan jurnalis Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin, yang dibunuh pada 1996 pun, masih menggantung hingga saat ini.
AJI mencatat, kasus kekerasan pada jurnalis yang belakangan masih berproses di kepolisian adalah kasus pengeroyokan jurnalis Riau Online, Zuhdi Febryanto yang terjadi di akhir tahun2015. Pelakunya, polisi. Atas kasus itu, polisi yang pada awalnya meminta maaf dan berjanji akan mengusut kasus itu. Namun belakangan justru balik "menyerang" Zuhdi, karena dinilai melakukan penghinaan pada polisi.
Hal lain yang menjadikan suasana merdeka dalam berjurnalistik ternodai adalah hadirnya regulasi atau peraturan di hukum positif Indonesia yang justru menempatkan jurnalis dalam posisi berbahaya. Hadirnya UU ITE, yang sudah memakan korban puluhan orang (karena dilaporkan atas statusnya di internet), beberapa kali digunakan sebagai ancaman pada jurnalis yang menjadikan internet sebagai platform pemberitaannya, atau wilayah penyaluran ekspresinya.
Juga pasal-pasal karet dan multi intepretasi di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang masih saja digunakan polisi dalam kasus-kasus bernuansa jurnalistik. Seperti yang digunakan dalam kriminalisasi narasumber media. Secara tidak langsung, hal itu menciptakan suasana ketakutan pada narasumber, dan pada gilirannya, membungkam kebebasan pers.
Apa yang bisa dilakukan Dewan Pers untuk menyelesaikan berbagai kasus itu?
Mau tidak mau, Dewan Pers harus berperan lebih aktif di garda depan penyelesaian kasus-kasus penyangkut pers. Pembentukan lembaga adhoc seperti Satuan Tugas (Satgas) Anti Kekerasan Pada Wartawan yang dalam kepengurusan sebelumnya pernah ada, perlu kembali dihidupkan dan diefektifkan. Melalui lembaga ini, Dewan Pers memiliki “tambahan kekuatan” untuk fokus mengurus kasus-kasus kekerasan dan penodaan pada kebebasan pers.
Adanya Memorandum of Understanding (MoU) antara Dewan Pers dan Markas Besar Polri, tentang pers dan penegakan hukum, harus lebih masif di sosialisasikan. Seperti banyak diketahui, dalam MoU itu, kedua belah pihak telah sepakat untuk menggunakan UU Pers dalam penyelesaian kasus pers. Polisi juga menempatkan Dewan Pers sebagai pemberi pertimbangan atas kasus-kasus menyangkut pers.
Meskipun, dalam beberapa kasus, UU Pers telah semakin banyak digunakan, tapi secara kuantitas, masih banyak kasus pers yang menggunakan non UU PErs. Agaknya, kesepahaman di tingkatan Mabes Polri dan Dewan Pers itu belum dipahami sampai tingkatan “bawah”. Yang lebih ironis, dalam catatan AJI, anggota kepolisian menjadi pihak yang banyak melakukan pelanggaran kemerdekaan pers.
ETIKA MASIH MENJADI PERSOALAN
Poin “menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik”, juga bukan hal yang mudah. Penetapan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) pada 2006, tidak serta merta membuat etika jurnalis membaik. Hingga 10 tahun berjalan, masih saja jurnalis yang tidak memahami, tidak pernah membaca, bahkan tidak mengetahui tentang adanya Kode Etik Jurnalistik. Tidak mengherankan bila kemudian, muncul berbagai “malpraktik” jurnalistik.
Muncul berita yang dibuat dengan tidak mengindahkan KEJ. Hal yang paling mudah adalah semakin kendornya wartawan pada keakuratan informasi. Padahal, keakuratan adalah pasal pertama dalam KEJ, di samping poin independensi berita, keberimbangan dan tidak adanya itikad buruk.
Dalam poin independensi, AJI melihat adanya “ancaman” independensi datang dari dalam media itu sendiri. Yakni, pendomplengan kepentingan pemilik media. Ini ditandai dengan sikap pemodal media yang menggunakan media yang dimilikinya untuk kepentingan politik. Sikap semacam ini terlihat sangat jelas dari berbagai tayangan dan pemberitaan media selama pemilihan umum legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden 2014 lalu.
Hal lain yang juga terasa adalah semakin kentalnya trial by press atau penghakiman pemberitaan atas sebuah peristiwa. Pemberitaan, menjadi “ruang sidang” dan ikut menghakimi orang dalam sebuah peristiwa. Prinsip praduga tidak bersalah yang diatur dalam poin ke-3 KEJ, semakin banyak ditinggalkan. Tak mengherankan bila kemudian, banyak pihak semakin menjauh dari pers, karena enggan untuk “dihakimi”. Juga, munculnya istilah “media darling”, untuk pihak-pihak yang kerap muncul dan “didukung” oleh pers. Sisi buruk dari hal ini adalah, keberpihakan pada pihak-pihak tertentu.
Ironisnya, kondisi itu dibarengi dengan jumlah media massa bertambah banyak, seiring berkembangnya platform media. AJI menyebut kondisi saat ini sebagai "era air bah informasi." Hadirnya gadget dengan teknologi tinggi tinggi, membuat informasi seolah tidak berhenti mendatangi publik. Di masa yang sama, tidak dibarengi tidak meratanya kemampuan publik untuk menyaring informasi.
Dan yang tak kalah penting masih adanya penyalahgunaan profesi wartawan, dengan menerima suap (baca: amplop). Hal yang jelas-jelas diatur dalam poin ke-6 KEJ itu tetap dilanggar dengan “sadar”. AJI melihat ini terkorelasi dengan minimnya kesejahteraan jurnalis, dan carut marut status kekaryawanan wartawan. Dan jalan keluar yang paling mudah dalam persoalan ini, adalah menjadi wartawan amplop atau penerima suap dari narasumber.
Lagi-lagi, Dewan Pers harus berada di garda depan untuk persoalan ini.
Entah bagaimana caranya…
*ID Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar