22 November 2015

HILANGNYA KEBERIMBANGAN DALAM BERITA TERORISME

Ilustrasi: huffpost.com |
Berita tentang terorisme belakangan bertebaran di media, pasca serangan mematikan di Prancis, Lebanon, Irak dan yang paling baru di Mali, Afrika.

Sebagian besar hanya berisi informasi, komentar dan fakta-fakta dari satu sisi, tanpa konfirmasi dari sisi yang berseberangan, atau pihak yang dituduh melakukan serangan itu (baca: teroris).

Kemana prinsip keberimbangan dalam berita terorisme?


PASCA SERANGAN

Pertengahan November 2015, dunia disergap berita memilukan. Gerombolan orang melakukan penyerangan di beberapa tempat.

Penembakan membabi buta di beberapa titik di kota Paris, Prancis.

Bersamaan, terjadi pengeboman di Beirut. Lebanon dan Irak

Beberapa hari kemudian, terjadi lagi penyerangan dibarengi penyanderaan di sebuah hotel di Bamako, Mali, Afrika.

Dalam sekejap, media massa berisi follow up berita itu secara bertubi-tubi.

Tentu saja, peristiwa Prancis-yang memang paling dramatis- menjadi arus berita utama.

Berita dari Paris dilanjutkan dengan berita-berita lain yang berhubungan dengan peristiwa itu.

Respon pemimpin dunia, reaksi negara-negara Eropa lain, meningkatnya penjagaan di Kedutaan Besar Prancis di seluruh dunia, dan sebagainya.

Sementara peristiwa di Lebanon, Irak dan Mali, berada di layer kedua.

Meski ada berita lanjutan, namun tidak segencar follow up berita serangan Prancis.

TIDAK BERIMBANG

Bendittowardjustice.wordpress.com, blog yang dikelola oleh pengamat hukum Sean Darling-Hammond menyuguhkan analisa menarik soal itu.

Dalam artikel berjudul Lives Fit for Print: Media Coverage of Terror Attacks in Western vs. Non-Western Countries terungkap, pemberitaan tentang tiga aksi teror November 2015 di Paris, Lebanon dan Irak, memiliki jumlah pemberitaan yang jauh berbeda.

  • Terorisme di Irak, 392 berita
  • Terorisme di Lebanon 1,292 berita
  • Terorisme di Prancis, 21,000

Dalam artikel yang sama disebutkan, dalam prespektif yang lebih luas, pemberitaan terhadap aksi teror di negara barat, jauh lebih banyak dari pada pemberitaan aksi teror di negara non barat.

Pemberitaan dalam kasus penembakan Charlie Hebdo pada Januari 2015 contohnya. Sejumlah 12 orang tewas dalam peristiwa itu.

Di waktu yang bersamaan, ada aksi terorisme di Yaman yang menewaskan 37 orang. Namun, jumlah pemberitaannya jauh berbeda.

  • Terorisme Charlie Hebdo Paris, 12 tewas, 22,000 berita.
  • Terorisme Yaman, 37 orang tewas, 565 berita.


SATU SISI

Selain soal jumlah pemberitaan, hal lain yang bisa dicermati adalah minimnya komentar atau reaksi dari dua pihak, sesuai prinsip keberimbangan dalam jurnalisme.

Dalam hal ini, komentar dari kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS minim muncul di media massa.

Pasca serangan ke tiga negara itu, setidaknya, hanya sekali komentar ISIS muncul.

Yaitu, saat ISIS mengaku bertanggung jawab dalam serangan di Prancis dan Lebanon.

Dengan keyword: ISIS responsible for Paris attack, Google.com banyak menampilkan coverage media massa menyangkut pengakuan ISIS atas serangan-serangan itu.

Salah satunya dimuat Cable News Network atau CNN.

“This month alone, ISIS has claimed responsibility for the Paris attacks, the downing of a Russian passenger jet in Egypt and a pair of suicide bombings in Beirut.”

Hal senada, juga dimuat di Independent.co.uk dan The New York Times.

Selebihnya, berita-berita tentang serangan terorisme didominasi dari berita dari sisi korban, serangan balasan tentara Prancis ke Suriah serta pencarian pelaku teror di Prancis.

Fakta ini jelas tidak ideal. Jurnalisme mensyaratkan keberimbangan dalam pemberitaan.

MENOLAK JURNALIS
ISIS BUNUH JURNALIS JEPANG | Dailymail.co.uk |
Namun harus diakui, menyajikan keberimbangan dalam berita terorisme, bukan hal yang mudah.

Apalagi bila menyangkut ISIS, yang memiliki karakter tidak welcome dengan budaya jurnalistik (yang dinilai sebagai “kebarat-baratan).

Reporters Without Borders menempatkan Suriah, sebagai negara paling mematikan di dunia bagi jurnalis. Pada 2014, setidaknya ada 15 jurnalis tewas.

ISIS menerapkan kediktatoran informasi di daerah yang mereka kontrol. ISIS juga tidak ragu-ragu untuk “menghilangkan” jurnalis dan menganggapnya sebagai musuh.

Bahkan, jurnalis juga menjadi salah satu sandera yang dibunuh.

Dalam catatan International Federation of Journalist (IFJ), selama 2015, setidaknya 91 jurnalis terbunuh.

Sepak terjang ISIS serupa dengan Al Qaeda. Mereka hanya bersedia “berbicara” dengan cara yang mereka mau.

Melalui video atau saluran lain, tanpa memberi kesempatan media untuk “berdialog” dalam peliputan.

Bagaimana keberimbangan bisa tercipta, bila tidak ada saluran untuk melakukannya?

TERORIS INDONESIA

KELOMPOK SANTOSO | foto: Url Liputan6.com |
Dalam konteks Indonesia misalnya, bisa dilihat dalam pemberitaan menyangkut kelompok Santoso.

Kelompok yang disebut-sebut sebagai jaringan Jamaah Islamiyah (JI) dan Al Qaeda (belakangan Kapolri Badroddin Haiti menyebut mereka sebagai jaringan ISIS) ini, sering diberitakan melancarkan aksinya.

Pada September 2015, kelompok ini dikabarkan melakukan teror dengan memenggal warga desa di Poso, Sulawesi Tengah.

Hampir seluruh pemberitaan didapatkan dari sumber kepolisian. Tidak ada suara dari kelompok Santoso yang dikabarkan bersembunyi di hutan.

Mengapa kelompok Santoso tidak angkat bicara? (*)

ID Nugroho

*Melalui tulisan ini, saya mengundang Kelompok Santoso untuk bersedia diwawancara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar