Youtube Pilihan Iddaily: Sejarah Laut Mati

14 October 2015

MEMPERLAKUKAN ANAK BERMASALAH TETAP SEBAGAI ANAK-ANAK

ACARA TV YANG MELIBATKAN ANAK |
Saya memang bukan aktivis pembela hak anak. Tidak paham dan tidak hafal teori dan regulasi tentang anak. Kebetulan, entah mengapa, saya merasa apa yang terjadi Selasa (13/10/2015) malam, tidak pas.

Di sebuah acara dialoq di televisi, anak korban kekerasan dihadirkan dengan mengenakan topeng (untuk menyembunyikan identitasnya), namun diminta untuk menceritakan kejahatan yang sudah dialaminya. Belasan, orang dewasa hadir dalam peristiwa itu. Memperhatikannya, lalu, memberikan tepuk tangan.


Bukankah menceritakan kembali peristiwa traumatik adalah hal yang sekali lagi bisa “melukai” korbannya? Apalagi, bila peristiwa itu adalah hal yang terus melekat (karena membawa perubahan dalam hidupnya), seperti perkosaan misalnya.

Dari apa yang pernah saya baca, untuk orang dewasa korban perkosaan saja, mengenang peristiwa itu ibarat menorehkan luka. Bisa kita bayangkan, apa yang kira-kira dirasakan anak-anak korban perkosaan saat diminta kembali menceritakan peristiwa yang dialaminya?

MENGHORMATI ANAK

Dalam beberapa kali berbincang dengan aktivis pembela hak anak, hal paling penting yang saya pahami adalah: Menghormati anak. Apalagi, anak-anak yang bermasalah. Entah itu bermasalah di keluarga, sekolah, atau korban kekerasan.

Cara menghormati anak, salah satunya adanya memahami psikologi anak. Menempatkannya anak sebagai anak. Membebasakan dia menikmati dunianya (baca: masa kanak-kanaknya), tidak mengeksploitasinya demi kepentingan (atau kepuasan) orang dewasa-entah itu orang tua atau lingkungannya, hingga, menghapus trauma atas peristiwa tidak mengenakkan yang pernah dialaminya.

Dalam sebuah kesempatan, saya pernah berada dalam beberapa kondisi yang berhubungan dengan anak-anak. Di sebuah kota di Jawa Timur, saya pernah meliput sebuah kasus perkosaan, untuk sebuah media cetak di Jakarta. Pelakunya anak-anak, korbannya anak-anak pula. Bisa terbayang, bagaimana rumit berhadapan dengan kasus itu.

Dari apa yang saya pahami, pendekatan hukum yang dilakukan untuk anak-anak yang bermasalah, sangat-sangat berbeda dengan pendekatan hukum pada orang dewasa. Sejak awal, ketika kasus itu diketahui, anak-anak harus diperlakukan sebagai anak-anak. Tidak boleh dituduh, tidak boleh ditekan dan seterusnya. Baik untuk pelaku, apalagi untuk korbannya.

Polisi/jaksa yang memeriksa kasus itu, juga wajib memiliki kesadaran yang sama. Selain tidak boleh melakukan desakan pada anak-anak, aparat juga tidak diperkenankan untuk memakai seragam (yang dinilai bisa menakutkan dan menjadi presure dalam bentuk lain). Begitu juga ruangan tempat pemeriksaan, yang harusnya berupa ruang yang “netral”.

Hal serupa juga berlaku untuk hakim. Pengadilan dalam kasus anak, berbeda dengan pengadilan dewasa. Tidak boleh ada nuansa pengadilan di sana. Hakim, pengacara dan seluruh petugas di ruangan itu, mutlak tidak boleh memakai seragam. Senada dengan polisi dan jaksa, hakim pun tidak diperkenankan bertanya sesuatu yang “memojokkan” anak yang bermasalah.

Di provinsi yang sama, saya juga sempat mengunjungi penjara anak. Menyaksikan bagaimana anak-anak yang divonis bersalah oleh pengadilan itu harus hidup di balik lembaga pemasyarakatan. Melihat aktivitas mereka mulai membersihkan sel, memasak, hingga bermain di dalam penjara. Termasuk, berbincang dengan petugas penjara.

Sejauh yang saya tahu, penjara anak juga memiliki konsep berbeda dengan penjara dewasa. Tidak diperkenankan adanya benda-benda yang menunjukkan kepenjaraan. Seperti jeruji besi, misalnya. Sayangnya, penjara anak-anak yang kita punya, jauh dari itu. Di mata saya, penjara anak yang saya datangi, tidak berbeda dengan penjara orang dewasa.

MENJAGA PERKEMBANGAN ANAK

Mengapa memperlakukan anak-anak yang bermasalah harus berbeda dengan memperlakukan orang dewasa yang bermasalah? Secara teori, mungkin kawan-kawan yang ahli teori hukum anak dan praktisi pembela anak yang menjawabnya.

Dari apa yang saya pahami, anak-anak adalah sosok yang belum sepenuhnya memiliki nalar dan pemahaman laiknya orang dewasa. Tindakan (baik atau buruk) yang dilakukannya, adalah cerminan, pantulan, bahkan, plagiasi dari perlakukan/prilaku orang dewasa yang dilihatnya, tanpa nalar untuk menakar baik dan buruk.

Karena itu, saya setuju dengan konsep: Bila anak-anak bersalah atau melakukan kesalahan, justru orang tua atau wali-nya yang harus dihukum. Orang tua dari anak yang bermasalah, terbukti tidak mampu memberikan pelajaran dan pendidikan yang baik. Orang tua yang harus dihukum atas perilaku anaknya.

Hal itu terkait pula dengan “sanksi” untuk anak-anak. Saya memahami, sanksi yang diberikan pada anak-anak haruslah berupa sanksi yang membangun anak-anak. Definisi pasti soal ini, baiknya dijelaskan oleh kawan-kawan aktivis hak anak. Yang pasti, sanksi itu, tidak menghapuskan senyum di wajah anak-anak itu, sembari menanamkan benih budi pekerja yang baik pada mereka.

Lalu, bila memperlakukan anak-anak yang bermasalah saja harus dengan semangat menghormati anak-anak, apalagi, bila anak-anak itu sebagai korban. Apakah menghadirkannya dalam acara televisi, lalu memintanya untuk menjelaskan tindakan kejahatan yang menimpanya adalah sebuah penghormatan pada anak-anak?

ID NUGROHO

No comments:

Post a Comment