*foto repro |
Kalimat itu meluncur dari Ibu Juwita (bukan nama sebenarnya), saat membuka percakapannya. Ibu enam anak ini mengenang, tanpa menjadi “gila”, semua hal yang dilakukannya tidak mungkin terjadi.
Upaya melarikan diri dari suaminya yang pemarah, suka memukul dan sering main perempuan tidak akan terlaksana bila dia berpikiran “waras”. Tanpa disadarinya, justru pilihan untuk hengkang dari Sumatera, dan pergi ke sebuah kota di Jawa Barat, adalah pilihan yang tepat.
Berawal dari rumah tangganya yang tidak bisa lagi diselamatkan, Juwita memutuskan pergi sejauh mungkin dari suaminya yang tinggal di Sumatera Utara. Namun, hal itu bukan hal yang mudah, mengingat dirinya tidak lagi sendiri.
Enam anak yang dimilikinya dalam perkawinan itu menjadikan langkah perempuan berjilbab ini semakin berat. Apalagi, perempuan berdarah Batak dan Riau itu tidak memiliki pekerjaan, yang berarti tidak memiliki cukup uang untuk menjalankan niatnya.
Kekerasan suaminya yang bertubi-tubi tidak membuat Juwita patah arang, dan menyerah atas kondisinya. Perempuan yang ketika tragedi keluarganya terjadi masih berumur 31 tahun itu masih mengenang, pemukulan pertama yang dirasakannya terjadi beberapa saat setelah melahirkan anak pertama.
Seperti lingkaran setan, kejadian terus berulang, bahkan setelah sang suami meminta maaf. Hingga dirinya memiliki tiga anak, kekerasan dalam rumah tangga itu tak juga berhenti.
“Saya sempat kabur ketika itu, dan meninggalkan anak-anak saya bersama ayahnya. Itu keputusan yang salah. Saya pun kembali ke rumah karena tidak kuasa memikirkan anak-anak saya. Sejak peristiwa itu saya bertekad. Suatu hari saya akan pergi dengan membawa semua anak-anak saya, agar tak ada lagi alasan untuk kembali,” kenangnya.
Rencana besar Juwita baru terlaksana ketika Juwita dan suaminya sudah dikaruniai enam orang anak. Prilaku sang suami tidak berubah. Malah semakin parah. Juwita bahkan sempat melaporkan sang suami ke polisi, dan membuat suaminya ditahan beberapa saat. Momentum hari “H” pun datang.
BERGANDENGAN
Berbekal uang hasil menjual semua barang-barang yang dimilikinya, seperti kursi, televisi, hingga pakaian milik suaminya, Juwita membawa keenam anaknya ke Jakarta dengan pesawat terbang.
Namanya anak-anak, keenam tidak tahu kemana sang ibu akan membawa mereka pergi. Yang mera tahu, ibunya sedang mengajak mereka jalan-jalan jauh, sampai harus naik pesawat terbang.
Saat anaknya bersorak-sorai kegirangan, Juwita justru dicekam rasa khawatir. Apalagi, tak selang beberapa lama, ia akan sampai ke Jakarta. Sebuah kota yang tidak ramah. Juwita takut keenam anaknya diculik penjahat. Karena itulah, sepanjang perjalanan, ia meminta seluruh anaknya untuk bergandengan tangan satu sama lain.
Sampai akhirnya pesawat mendarat dengan mulus di Bandara Soekarno-Hatta, dan berlanjut ke kota tujuannya, dengan menggunakan mobil sewaan.
Perjuangan Juwita belum berakhir. Begitu sampai di kota tujuannya, ujian baru pun menjelang untuk ia dan enam anaknya. Rencana untuk bekerja di pondok pesantren milik penceramah terkenal, sembari memberikan suasana tumbuh kembang yang baik bagi keenam anaknya tidak berjalan mulus.
Seorang staf ponpes mengatakan, pondok itu tidak menyediakan lapangan pekerjaan. Juwita justru diarahkan ke Dinas Sosial. Di Dinas Sosial itulah Juwita mendapat informasi tentang panti asuhan, tempat yang bisa ditinggali enam buah hatinya, sembari dirinya mencari pekerjaan.
Itu pun tidak untuk selamanya. Staf dinas sosial mengatakan, bila Juwita sudah berkehidupan layak, anak-anaknya bisa diambil kembali untuk tinggal lagi bersama dirinya.
Meski masuk akal, berpisah dengan anak-anaknya bukan sesuatu yang mudah. Apalagi, setelah jauh-jauh mereka merantau dari Sumatera. Pilihan harus segera diambil. Untuk pertama kalinya, Juwita memutuskan berpisah dengan keenam anaknya.
Begitu juga bagi anak-anak Juwita. Berpisah dengan ibunda mereka tidak pernah terbayangkan. Ironisnya, umur mereka yang berbeda, mengharuskan keenamnya berbeda panti asuhan. Anak paling besar sendirian di panti remaja.
Sementara tiga anak lainnya ada di panti asuhan yang lain. Dua anaknya yang paling kecil ditempatkan di panti untuk balita. Kepada anak-anaknya Juwita berpesan akan kembali bila sudah mendapatkan pekerjaan. “Saya menangis ketika berpisah dengan mereka,” kenang Juwita.
Semangat membara untuk membangun kehidupan yang lebih baiklah yang membuat Juwita terus menjalani hidup. Saat sendirian pada dua minggu pertama, Juwita tidur di masjid ponpes, hingga akhirnya ditegur salah satu pengasuhnya. Ia diminta mencari tempat kos.
Sebuah kamar kos sederhana seharga Rp.75 ribu menjadi tempat tinggalnya kemudian. Sembari menata kembali hati dan pikirannya, Juwita mencoba keberuntungannya dengan berjualan kue dan majalah milik ponpes.
Setahun lamanya kesibukannya bertahan hidup sebagai pedagang asongan majalah dilakukan. Sampai akhirnya ia berkesempatan ke Arab Saudi, untuk menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Tugasnya, membersihkan Masjid Nabawi di Madinah.
Dua tahun bekerja di Masjid Nabawi dijalani dengan penuh keprihatinan. Bayangan anak-anaknya di Indonesia terus beterbangan di benaknya. Sampai saat pulang ke Indonesia pun tiba. Juwita berhasil mengumpulkan uang Rp.60 juta.
MEMBANGUN HARAPAN
Mengambil kembali anak-anaknya adalah prioritas utama. Saat itulah, Juwita berkenalan dengan salah satu pekerja sosial yang berusaha membantunya.
Dalam perjalanannya, Juwita memutuskan untuk mengambil satu anak lagi. Kini, sudah tiga anak tinggal satu rumah bersama Juwita. Satu laki-laki, dua perempuan.
Berkumpul kembali setelah bertahun-tahun terpisah perlu kesabaran berlebih. Juwita merasakan anak-anaknya sudah berkembang pesat, dari saat terakhir ia meninggalkannya di panti asuhan.
Juwita bahkan mengaku sedikit “kehilangan kendali” dengan anak-anaknya. Terutama, ketika ia tidak mampu “mengambil hati” sang buah hati. “Yang paling susah menyatukan hati anak-anak dan menyatukan hati saya. Jadi misi ketika pertama tinggal bersama adalah menyatukan saya dengan hati anak-anak dulu,” kenangnya.
Dalam proses itu, Juwita bahkan pernah mendapatkan protes dari salah satu anaknya. Lantaran, dirinya tidak bisa memiliki rumah, meskipun sudah meninggalkan anak-anaknya di panti asuhan.
“Itu salah saya, karena pernah berjanji akan membeli rumah sepulang dari bekerja di Madinah. Ternyata saya tidak bisa memenuhi itu,” katanya. Waktu juga yang akhirnya bisa meredamnya. Perlahan-lahan, Juwita maupun ketiga anaknya sudah mulai terbiasa hidup bersama.
Pekerja sosial tetap melakukan pemantauan kepada keluarga Juwita. Termasuk, perkembangan tiga anak yang kini tinggal bersamanya. Begitu juga dengan dua anak lainnya masih yang tinggal di panti asuhan, dan satu anak lagi pindah dari panti asuhan ke pondok pesantren.
Badai belum hilang. Anak Juwita yang paling kecil, yang saat ini masih tinggal di panti asuhan, adalah anak yang paling “jauh” dengan Juwita. Meskipun selalu dikunjungi, namun ia enggan untuk diajak bicara. Salah satu penyebabnya, si anak sudah tinggal di panti asuhan sejak masih bayi.
Hal itu tidak membuat Juwita kecewa. Komunikasi antara keduanya terus dibangun, sembari menyiapkan rencana reunifikasi selanjutnya.
“Tinggal dua, lagi, semoga dalam waktu dekat saya bisa mengambil keduanya, dan kami semua bisa kembali hidup bersama-sama,” katanya. (*)
*Kisah Nyata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar