Ceria setelah melewati berjam-jam penerbangan. |
Tulisan ini dibuat ketika berita tentang kecelakaan AirAsia QZ8501 sedang bertubi-tubi muncul di media massa. Termasuk di media tempat saya bekerja. Dan jujur saja, hal itu semakin membuat saya deg-degan bila membayangkan naik pesawat. Rasa itu, sepertinya semakin lama semakin besar.
Duh,..
Dalam sebuah penerbangan dari Surabaya-Jakarta, saya duduk berdampingan dengan seorang laki-laki setengah baya. Singkat kata, kami berkenalan. Dia mengaku seorang penasehat spiritual asal Jawa Timur, yang sedang dipanggil kliennya di Jakarta.
Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba pesawat yang kami tumpangi mengalami turbulensi. Burung besi itu berguncang keras. Saya panik. Mencengkeram sandaran tangan, dan terdiam sejenak. Saya berdoa dalam hati. Entah doa apa.
“Gak usah panik. Santai saja. Panik atau tidak, kalau sudah waktunya mati, ya kita akan mati. Kalau belum, ya belum,” katanya pelan. Saya jengkel mendengar kalimat yang mungkin berusaha menenangkan saya itu.
Namun setelah saya pikir, benar juga. Apakah arti pegangan kursi, bila hal lebih buruk terjadi. Sesaat kemudian, saya memilih diam. “Menikmati” pesawat yang berguncang tak beraturan.
TAKUT
Saya memang orang yang takut naik pesawat. Dalam pikiran saya, pesawat terbang adalah moda transportasi yang tidak memberi kesempatan penumpangnya untuk menyelamatkan diri, bila terjadi “apa-apa”.
Kecuali, bila mendarat di air. Ada cara menyelamatan dengan pelampung dan alat seluncur dari pintu darurat yang bisa digunakan sebagai kapal karet. Asal bisa landing dengan selamat di atas air, selanjutnya bisa berusaha bertahan hidup dengan pelampung. Tapi bagaimana bila ada error di udara?
Takut terbang itu trauma? |
Berbagai referensi yang saya baca, plus diskusi dengan berbagai pihak soal penerbangan, ketakutan saya pada pesawat, menurut mereka, sebenarnya tidak beralasan. Pesawat udara, ternyata adalah alat transportasi yang paling aman, dibandingkan alat transportasi lain yang pernah ada.
Hal itu terlihat dengan perbandingan jumlah kecelakaan dan korban antara pesawat dan alat transportasi lain. Jumlah kecelakaan pesawat terbang lebih kecil. Dari jumlah yang kecil itu pula, tingkat keselamatannya juga jauh lebih besar.
Kecelakaan pesawat terbang, biasanya disebabkan oleh beberapa hal. Dalam sebuah blog, tulisan seorang pilot, Novianto Herupratomo, menarik untuk disimak. Menurut tulisan itu, ada beberapa faktor penyebab kecelakaan pesawat.
- Last Defense Failure. Ini adalah metode kerja atau sistim peralatan yang telah disusun demikian rupa guna mencegah terjadinya kecelakaan pesawat. Dalam sebuah kecelakaan pesawat, bisa jadi sistem ini tidak bekerja dengan baik.
- Front Line Failures. Poin ini lebih pada aktivitas pelatihan yang dilakukan untuk semua elemen pendukung kerja teknis pesawat. Mulai awak kabin, petugas lalu-lintas udara, petugas check-in counter, petugas muatan sampai petugas pemberangkatan pesawat. Melalui pelatihan yang berkesinambungan, diharapkan elemen pendukung kerja teknis mampu mengendalikan peralatan kerja (pesawat). Dalam situasi rutin atau pun dalam kondisi darurat secara handal. Nah, kelalaian menjalankan tugas masuk dalam kategori ini.
- Predetermine Contributing Factors. Poin ini mengacu pada situasi atau kondisi yang kurang menguntungkan. Tidak lengkapnya prosedur, cuaca buruk, informasi cuaca yang kurang akurat, fasilitas bandara, kerusakan salah satu sistim atau peralatan pesawat terbang masuk dalam kelompok ini. Juga hal-hal yang bersifat personal, seperti datangnya rasa kantuk, tekanan mental, masalah rumah tangga, kurang pengalaman, dan seterusnya.
- Supervisory Failures. Kali ini, kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh manajemen atau para atasan langsung. Termasuk para atasan pada setiap elemen sistim keselamatan dan keamanan penerbangan. Bisa jadi, karena orang-orang itu, fungsi control menjadi lemah, adanya perintah yang melanggar ketentuan penerbangan, pelatihan yang kurang memenuhi persyaratan, sampai kurang kompeten pada bidang kerjanya.
- Top Management Failures. Poin terakhir ini memposisikan kebijakan top manajemen atau atasan tertinggi sebagai pihak yang lalai atau bersalah. Jika menyangkut otorita penerbangan sipil, maka para kepala bidang, direktorat, direktur jenderal, menteri bahkan presiden menjadi “tersangka”-nya.
Penjelasan itu kurang lebih memberikan gambaran rumitnya pengelolaan keamanan pesawat terbang. Tak heran, pesawat terbang tercatat paling jarang mengalami kecelakaan. Lalu, mengapa saya masih takut terbang?
EFEK PEKERJAAN
Dalam sebuah perbincangan dengan seorang kawan, apa yang saya rasakan ini adalah bentuk trauma. Meskipun tingkatannya tidak terlalu “parah”. Bukan tidak mungkin, trauma ini saya dapat karena saya sering meliput kecelakaan pesawat yang berulang kali terjadi di Indonesia. Saya tidak membantah hal ini.
Memang, sejak beraktivitas jurnalistik mulai 1996 hingga sekarang, saya beberapa kali dihadapkan dengan liputan kecelakaan transportasi. Baik kecelakaan kendaraan di darat, laut maupun udara. Kata kawan, informasi tentang kecelakaan itu mengendap dalam pikiran, dan pada suatu titik menjadi trauma. Hmmm,..
Tidur menjadi solusi. |
Saya tidak mau berpanjang kata soal trauma saya. Tapi, beberapa kawan lain yang saya kenal, juga memiliki kekhawatiran yang sama bila berurusan dengan penerbangan. Artinya, saya tidak sendirian. Seorang kawan yang kebetulan seorang jurnalis, juga takut terbang dengan pesawat.
Bila ada penugasan yang mengharuskan dia naik pesawat, kawan ini memilih tidak tidur sehari semalam, hanya untuk membuatnya tertidur selama penerbangan. “Kalau ada apa-apa, kan saya sedang tidur,” katanya.
Beberapa kawan lain bercerita, ada jurnalis yang memilih untuk naik kendaraan selain pesawat, sejauh apapun tugas yang dibebankan kepadanya. “Seorang mantan pemred ini rela naik mobil Jakarta-Surabaya, setiap pulang kampung, hanya karena takut terbang. Padahal dia sebelum jadi jurnalis adalah seorang pilot,” cerita seorang kawan.
Bagaimana dengan anda?
Iman D. Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar