repro thyaonly |
Resolusi itu adalah redefinisi tentang ketaqwaan beribadah. Saya meneguhkan definisi yang pernah terlintas bertahun lalu, yakni, beribadah yang tidak didasari oleh ‘ketakutan’ pada neraka, atau ‘harapan’ untuk mendapatkan keuntungan. Bisa dalam bentuk pahala, cita-cita atau timbal balik akan mendapatkan surga.
Bila ‘takut’ yang menjadi dasar, maka peribadahan itu akan bergeser menjadi keterpaksaan. Namun bila ‘surga’ yang diincar, maka pelan-pelan, proses itu akan terkapitalisasi dengan ‘untung rugi’. Apakah layak, umat manusia justru menginginkan timbal balik dari Tuhannya? Rasanya kok tidak pas juga. Terlalu banyak kenikmatan yang sudah diberikan kepada manusia.
Definisi yang tercipta menjelang 2012 lalu itu adalah ‘ibadah sebagai perwujudan dari ‘ujian’ ketaqwaan’. Yup! Taqwa (baca: patuh) karena memang diperintahkan. Hasil dari pemaknaan ulang itu adalah proses peribadahan yang murni dan tanpa tendensi. Karena saya Islam, maka dalam skala terendah, pemaknaan itu saya lakukan dalam peribadahan sholat. Saya sholat, karena itu diperintahkan.
“Kawan, saya akan kembali sholat, karena, entah mengapa, saya menilai, perintah beribadah adalah ujian ketaqwaan semata,” tulis saya melalui pesan pendek pada beberapa kawan. Beberapa orang bersyukur, beberapa lain, cuek dan (mungkin) menilai saya berlebihan. Apapun reaksinya, toh resolusi 2012 sudah terucap.
Rabu (18/1/2012) pagi, ketika saya menulis artikel ini, hal ketaqwaan itu kembali melintas. Dan saya tersadar, betapa semua berantakan. Saya tidak mulus dalam melakukan ‘ujian ketaqwaan’ itu. Tak terhitung, berapa kali peribadahan saya berantakan, bahkan tidak ‘sempat’ dikerjakan. Duh,..
Iman D. Nugroho
Alhamdulillaah, resolusi sudah dititah. Semoga perubahan kebaikan bergerak selentur Myelin, menyiasati mustahil menjadi mungkin. Aamiin.
BalasHapusSalaman Sesungguhan,
GA9
Terima kasih Gus Adhim. Semoga menjadi kebaikan bagi semua.
BalasHapus