19 Januari 2012

Apakah kita akan terus berakrobat?

Berkehidupan di Indonesia, lama-lama seperti akrobat. Penuh dengan modifikasi dan keunikan yang dilakukan orang-orang di dalamnya. Aturan mainnya cuma satu: asal tidak terjatuh dari 'trapeze' dan 'juggling' tetap berlangsung, kehidupan pun berjalan normal. Hukum, menjadi barang lapuk yang syukur ada, dan tidak harus dituruti. Mayoritas menganggap lumrah pelanggaran yang terjadi.


Tulisan ini jelasnya tidak akan mengulas bagaimana korupsi Wisma Atlet terjadi. Termasuk tentang Nazaruddin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng dkk, yang disebut-sebut 'tergigit' oleh kasus itu. Namun tentang bagaimana keasyikan kita melanggar hukum dalam kehidupan sehari-hari. Yup! Kita semua. Coba tunjukkan siapa di antara kita yang tidak pernah melanggar hukum?

Kebanyakan dari kita memang tidak merasa, atau justru mencari kesempatan untuk bisa mendapatkan yang kita mau. Secepatnya, seenaknya dan semurah mungkin. Dalam perjalanan, misalnya. Bila lampu kuning traffic light menyala, yang kita lakukan justru menamcap gas, agar tidak keduluan lampu merah. Bahkan, ada juga, saat lampu merah, tengak tengok ke kanan dan ke kiri. Bila ‘aman’ (dari polisi maupun dari kendaraan lain yang lewat), langsung wuss!

Dalam kesempatan lain, ada pula pelanggaran lain yang kita tunggu-tunggu, dan dengan sadar melakukannya. Di rumah, di stasiun, di toilet di mana saja. Kalau toh kita terpaksa taat, itu sering kali bukan karena kesadaran. Melainkan, kita merasa akan ada punishment yang mengancam di ujung sana. Betulkan? Mungkin tidak semua. Tapi mayoritas.

Obrolan dengan kawan beberapa hari lalu mencapai kesimpulan sementara: manusia memang diciptakan dengan memiliki kemungkinan merusak. Merusak apa saja. Bahkan, dalam kitab Umat Islam disebutkan, malaikat pun tahu, betapa merusaknya manusia. Sampai-sampai, malaikat memberanikan diri bertanya kepada Tuhan.

“Bos, ngapain sih ciptain orang yang bakalan ngerusak di bumi?” Begitulah tanya malaikat bila diterjemahkan dalam dialek Jakarta kekinian. “Udah deh, Gue lebih tahu dari pada elo,” jawab Tuhan, masih dalam dialek Jakarta-an. Lalu, apakah dengan didasari keburukan manusia itu membuat kita menjadi sah melakukan pengrusakan, tidak taat hukum, tidak tertib dll?

Jujur, ini pertanyaan paling sulit dijawab,..

Iman D. Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar