Hari Hak Untuk Tahu atau Right to Know Day digulirkan sejak 2002 di Sofia, Bulgaria. Hari Hak Untuk Tahu yang jatuh setiap 28 September ini didedikasikan untuk mempromosikan keterbukaan informasi di seluruh dunia guna memunculkan kesadaran global akan hak individu dalam mengakses informasi pemerintahan dan mengkampanyekan akses informasi sebagai hak asasi manusia. Meskipun bagi Indonesia, hak untuk tahu sudah dijamin sejak lahirnya NKRI berdasarkan UUD 1945.
Tahun 2011, Hari Hak Untuk Tahu diperingati untuk ke-9 kalinya. Di Indonesia, peringatanini bertepatan dengan 1,5 tahun berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Namun, berlakunya UU KIP belum membawa dampak yang signifikan dalam keterbukaan informasi dibidang lingkungan hidupberdasarkan hasil uji akses yang dilakukan oleh ICEL, FKPN Serang, LBH Semarang, dan masyarakat Desa Tubanan Jepara.
Dari 72 permohonan informasi lingkungan hidup kepada 22 badan publik di Kabupaten Serang, 18 permohonan langsung dikabulkan, sedangkan 54 permohonan dikabukan setelah melalui keberatan internal badan publik. Sedangkan dari 37 permohonan informasi lingkungan hidup kepada 11 instansi pemerintah Kabupaten Jepara, hanya 3 permohonan yang dikabulkan, sedangkan 34 tidak dikabulkan meskipun telah melalui keberatan internal badan publik.
Dari hasil uji akses yang telah dilakukan tersebut tercermin bahwa:
1. Akses informasi belum merata pada setiap daerah. Meskipun Indonesia telah memiliki standar layanan informasi yang bersifat nasional (Peraturan Komisi Informasi No. 1/2010), namun pada tataran implementasi, masih ditemukan hasil berbeda antara satu daerah dengan daerah lain. Hal ini berdampak bahwa pemenuhan hak atas informasi yang merupakan hak universal pada prakteknya belum dapat diimplementasikan secara optimal di Indonesia.
2. Lemahnya kapasitas aparat birokrasi dan kultur ketertutupan. Pada prinsipnya berbagai informasi yang dimohon melalui uji akses adalah informasi yang nyata-nyata terbuka berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup yang seharusnya disadari oleh birokrasi kita. Namun demikian, praktek yang berbeda ini menunjukkan bahwa kapasitas aparat birokrasi kita masih lemah dalam hal:
a. mengumumkan informasi lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan. Misalnya, AMDAL, izin lingkungan, hasil monitoring kualitas air dan udara, dll.
b. menyediakan informasi lingkungan hidup berdasarkan permohonan masyarakat. Hal ini ditunjukkan oleh hasil uji akses di mana dari total permohonan yang dilakukan 68% dikabulkan. Namun dari 68% tersebut, 96% harus terlebih dahulu melalui upaya keberatan. Padahal informasi yang dimohon tersebut adalah informasi yang terbuka berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan.
3. Lemahnya akses informasi dan partisipasi dalam program-program pemerintah. Berdasarkan hasil uji akses di atas, menunjukkan bahwa pemenuhan akses informasi dan partisipasi publik belum menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan setiap program pemerintah. Kondisi ini mengakibatkan tindak sinkronnya keputusan pemerintah dengan kondisi ditingkat masyarakat, misalnya:
a. Operasional PLTU Tanjung Jati B Jepara telah mendapatkan PROPER Merah dari KLH.[1] Seharusnya dengan hasil penilaian tersebut, pemerintah lebih memperhatikan masyarakat sekitar fasilitas perusahaan agar memperoleh informasi yang lebih memadai karena berdasarkan hasil PROPER, masyarakat tersebut berada pada tingkat kerentanan yang lebih tinggi atas resiko dampak buruk aktivitas perusahaan. Selain itu, pemenuhan kondisi seperti ini juga dapat mendorong masyarakat untuk melakukan pengawasan terhadap penaatan lingkungan oleh perusahaan tersebut.
b. Operasional PT. IKPP telah mendapatkan PROPER Biru[2] dan menjadi kontributor terbesar effluent Sungai Ciujung.[3] Di sisi lain, penurunan kualitas Sungai Ciujung telah dirasakan dampaknya oleh masyarakat sekitar. Namun, masyarakat tidak mendapatkan informasi yang pro-aktif dari pemerintah terkait dengan kondisi lingkungan maupun penaatan dari perusahaan yang berkontribusi terhadap penurunan kualitas Sungai Ciujung.
Kondisi di atas menjadi kontraproduktif dengan komitmen Indonesia dalam Open Government Partnership (OGP)[4] dan keikutsertaan Indonesia dalam persiapan pelaksanaan KTT Rio+20 di Brazil tahun 2012[5] di tengah-tengah krisis kepercayaan publik terhadap berbagai komitmen internasional Indonesia yang dianggap sebagai politik pencitraan pemerintah saat ini. Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah agar:
1. Kementerian Lingkungan Hidup membuat standar layanan informasi lingkungan hidup secara partisipatif yang mampu mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, dan pelaku usaha untuk memberikan akses informasi lingkungan hidup secara pro-aktif.
2. Memasukkan dan melaksanakan agenda perbaikan pemenuhan akses informasi lingkungan hidup dalam komitmen OGP dan komitmen untuk RIO +20 agar dapat mendorong keterbukaan informasi di tingkat nasional dan lokal secara terukur, termasuk bagi pelaku usaha.
3. Mendorong perbaikan sistem termasuk peningkatan kapasitas birokrasi dalam melaksanakan pemenuhan akses informasi lingkungan hidup.
4. Menerapkan mekanisme reward and punishment bagi pemerintah dalam melaksanakan komitmen OGP dan Rio+20 sebagai bagian dari akuntabilitas pemerintah dalam pembuatan dan pelaksanaan komitmen-komitmen internasional.
5. Melaksanakan putusan Komisi Informasi terhadap sengketa informasi publik. Hal ini penting karena hingga saat ini, setidaknya 3 putusan Komisi Informasi Pusat yang telah berkekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan oleh badan publik. Misalnya, putusan antara ICW dengan Mabes POLRI, ICW dengan Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dan PT.BPH dengan LPAW Blora. Hal mana tidak dilaksanakan putusan ini akan menjadi preseden buruk dalam upaya mendorong keterbukaan informasi publik di Indonesia, sekaligus melemahkan kelembagaan Komisi Informasi.|Press Release
*ICEL, LBH Semarang, FKPN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar