Gedung MK |
Sejak awal rumusan norma yang terkandung di dalam Pasal 21 dan Pasal 47 ini memang mengandung pengertian yang sangat luas dan tidak rigid. Hal ini disebabkan, ketentuan mengenai “perbuatan yang dilarang” dan “diancam pidana” dalam UU Perkebunan ini disusun dan dibentuk hanya berdasarkan atas praanggapan yang tidak diselidiki secara luas sampai di mana kebenarannya.
Akibatnya, perbuatan-perbuatan yang ditetapkan sebagai perbuatan yang dilarang dan dapat dipidana oleh UU Perkebunan ini dirasakan bertentangan dengan nilai (value) dan rasa keadilan dalam masyarakat, kepastian hukum, bahkan politik hukum dan politik sosial yang tertuang dalam UUD 1945.
Ketentuan Pasal 21 juga dianggap menguntungkan pihak pengusaha atau perusahaan perkebunan. Terutama dengan adanya pengakuan bersyarat terhadap tanah masyarakat adat yang tanahnya diperlukan untuk lahan perkebunan. Masyarakat hukum adat tersebut baru diakui apabila masyarakat adat dapat membuktikan bahwa masyarakat adat masih ekses.
Sehingga, mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan masyarakat adat, sebagai pemilik ulayat atas tanah yang banyak digunakan sebagai tempat usaha perkebunan. Padahal, reformasi 1998 telah menghasilkan pengakuan dan dinyatakannya secara eksplisit dan tegas akan eksistensi masyarakat adat. Hal mana secara jelas dan terang tertuang dalam UUD 1945 khususnya Pasal 18 B ayat (2) menyatakan:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Putusan MK ini sekaligus pula menegaskan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat dalam UUD 1945, yang menyatakan bahwa pengakuan terhadap hak asasi manusia dan keberadaan Masyarakat Adat merupakan pengakuan eksistensialis. Sehingga, hak asasi manusia, dan keragaman, keunikan yang ada pada masyarakat adat diakui dan dilindungi oleh negara.
Pengakuan yang diberikan oleh negara terhadap keberadaan masyarakat adat tidak lagi bersifat simbolik semata, tetapi sudah pengakuan yang sifatnya eksistensialis. Artinya pengakuan negara yang didasarkan pada sifat dan hakekat masyarakat indonesia yang terdiri dari berbagai macam golongan yang salah satunya adalah masyarakat adat, dan ini merupakan kenyataan atau kebenaran umum (noteire feiten) yang jelas, terang dan tidak membutuhkan bukti lagi akan kebenaran dan keberadaannya.
Dibatalkannya ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU Perkebunan ini juga telah memberikan angin segar bagi setiap petani dan masyarakat untuk memperjuangan kembali lahan-lahan dan tanahnya yang selama ini dirampas dan digunakan perusahaan perkebunan.
Demikian juga para pengambil kebijakan Negara, Presiden, Menteri Pertanian, Dirjen Perkebunan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, serta aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung beserta seluruh lembaga Peradilan di bawahnya), harus memperhatikan dan menjadikan Putusan sebagai indicator dan pegangan. | Press Release
*Indonesia Corruption Watch (ICW), Public Interest Lawyer Network (PILNET), Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar