02 Agustus 2011

Puasa dan kemungkinan untuk berubah

Puasa kali ini adalah puasa yang saya lakukan dalam kondisi keagamaan yang paling rendah. Tidak lagi memiliki makna, tidak lagi memiliki giroh (baca: gairah). Bagi sebagian orang, mungkin ini menyedihkan, tapi tidak bagi saya. Karena saya justru menilai ini ‘menarik’. Salah satunya sebagai eksperimen kemungkinan ‘perubahan’ yang mungkin terjadi. Perubahan macam apa?


Dalam dunia sosial, posisi saya tidak berbeda dengan orang lain. Tinggal dan menjadi bagian kecil dari keluarga. Menjadi ayah, paman, paklik, sepupu, kakak, adik dll. Sering menjadi bagian dari problem keluarga, sesekali pula menjadi solusi. Tidak ada yang istimewa dari semua peran-peran itu. Selain menjalaninya, posisi itu juga yang setiap saat menjadi penentu apa yang akan saya lakukan, dan kerjakan. Mencoba untuk tidak merugikan semua sisi, semua kalangan.

Namun di antara semua, posisi sebagai penganut salah satu agama (meski saya tidak pernah mempertanyakan bahkan menggugat bagaimana awal dari hal ini), menjadi hal yang menurut saya selalu menarik untuk direnungi. Saya tercatat sebagai seroang muslim. Jujur saya katakan, saya bukan muslim yang baik. Yang selalu taat dan selalu mengerjakan perintah dan menghindari larangan-NYA. “Kau abangan (mungkin Islam Abangan maksudnya),” kata seorang kawan.

Sempat terbahak sejenak karena istilah itu. Meski kemudia menjadi renungan soal apa itu ‘Islam Abangan’. Menurut ensiklopedia bebas Wikipedia, Islam Abangan atau ‘Abangan’ adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis. Bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.

Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, namun saat ini maknanya telah bergeser. Abangan dianggap lebih cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). Dalam sistem kepercayaan tersebut terdapat tradisi-tradisi Hindu, Buddha, dan animisme.

Pendapat lainnya mengatakan, bahwa kata abangan diperkirakan berasal dari kata Bahasa Arab aba'an. Lidah Jawa membaca huruf 'ain menjadi ngain. Arti aba'an kurang lebih adalah "yang tidak konsekwen" atau "yang meninggalkan". Jadi para ulama dulu memberikan julukan kepada para orang yang sudah masuk Islam tapi tidak menjalankan syari'at adalah kaum aba'an atau abangan. Jadi, kata "abang" di sini bukan dari kata Bahasa Jawa abang yang berarti warna merah. Link di sini.

Apakah Saya seperti itu? Hmm,.. sulit menjawabnya. Karena sebagai Muslim, saya tidak pernah dibai’at, namun pernah membai’at diri sendiri dengan dua kalimat syahadat. Namun kemudian, ‘turun naik’ dalam hal keagamaan. Saya juga tidak pernah secara khusus membai’at diri saya sebagai ‘Islam Abangan atau aba'an. Saya juga tidak pernah membai’at diri sebagai Islam jenis lain. Lalu saya Islam apa?

Gampangnya, Islam yang Mengucap dua kalimat syahadat, (mencoba) salat lima kali sehari, (mencoba) berpuasa, (mencoba) membayar zakat dan akan menunaikan ibadah haji. Meski pada poin ini belum ada keinginan sampai saat ini. Saya juga percaya kepada Allah, Malaikat-NYA, Kitab-kitab-NYA, nabi dan rasul Allah, hari kiamat dan qada dan qadar. Islam jenis apa itu? Inilah sisi menariknya. Dan saya akan menunggu apa yang akan terjadi setelah ‘Ramadhan’ tahun ini. Semoga menjadi kebaikan. | Iman D. Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar