09 Agustus 2011

Keteladanan dari sebuah Jembatan Merah


Ketika kita melihat ataupun melewati Jembatan Merah, Surabaya, mungkin hal itu bukan sesuatu yang istimewa. Karena Jembatan Merah memang jembatan seperti pada umumnya. Secara fisik, pun tidaklah besar, megah atau wah. Karena keistimewaan Jembatan Merah bukan fisiknya, tapi sejarahnya.

Jembatan Merah yang dibangun atas perjanjian antara Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743 itu mempunyai nilai sejarah dan politik yang tak ternilai. Di tempat itu, salah seorang pimpinan angkatan bersenjata Inggris, Brigadir Mallaby tewas terbunuh pada tahun 1945 dalam perang mempertahankan kemerdekaan.

Jembatan Merah juga menjadi saksi gelora arek-arek Suroboyo dalam perang 10 November Surabaya melawan tentara Sekutu dan NICA-Belanda. NICA yang hendak menguasai kembali Surabaya, dilawan. Darah tertumpah, memerahkan bumi Surabaya.

Maka dari itulah, sebagai rangkaian refleksi 66 tahun kemerdekaan Indonesia, kami dari Serikat Buruh Kerakyatan-Komite Persiapan Konfederasi Serikat Nasional (SBK-KP KSN), Forum Advokasi Mahasiswa Universitas Airlangga (FAM Unair), Serikat Kedaulatan Mahasiswa untuk Rakyat (SKMR), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) Surabaya dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia Jawa Timur (IKOHI Jatim) menggelar “Ruwatan Jembatan Merah”.

Acara ini di awali dengan Long March dari Tugu Pahlawan sampai Jembatan Merah, melakukan Musikalisasi Puisi yang bertemakan kemerdekaan, monolog tentang cerita perjuangan rakyat Surabaya pada tahun 1945 dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ada juga larung rakit (getek bambu) yang berisi makanan dan tabur Bunga di kali mas di bawah jembatan merah sebagai simbol penghormatan atas keberanian pejuang dulu dalam mempertahankan kemerdekaan.

Kegiatan ruwatan yang kami adakan ini bertujuan untuk mengingatkan kembali kepada seluruh rakyat Indonesia tentang sebuah cerita perjuangan anak bangsa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia hingga harus berkorban harta dan nyawa. Namun sayangnya, perjuangan kemerdekaan tersebut kini telah di khianati oleh elit-elit politik bangsa ini.

Elit ramai mengkorupsi uang rakyat, menggadaikan kekayaan alam Indonesia, melakukan perampasan tanah rakyat, membiarkan pendidikan dan kesehatan semakin mahal, membiarkan terjadinya perbudakan modern terhadap kaum buruh dengan adanya upah murah, kerja kontrak dan outsourcing, pembiaran terjadinya kekerasan mengatasnamakan agama serta berbagai persoalan kebangsaan lainnya.

Press Release

Tidak ada komentar:

Posting Komentar