Moore (bawa speaker) bersama eks PMK tragedi WTC menuju ke Cuba untuk pengobatan (dok) |
Film Sicko dibuat tahun 2008 oleh sutradara film documenter ternama AS, Michael Moore. Moore juga lah yang membuat film berjudul Fahrenheit 911, yang menceritakan sisi lain dari peristiwa robohnya menara kembar WTC, New York akibat ditabrak oleh dua pesawat komersial yang sebelumnya dibajak oleh teroris Al Qaeda.
Seperti halnya Fahrenheit 911, Sicko juga membuat orang terbelalak lantaran memutarbalikkan kenyataan kehidupan di AS yang katanya nyaman, aman dan terlindungi. Nyatanya, untuk urusan yang paling mendasar seperti kesehatan, tidak benar-benar dirasakan oleh masyarakat AS. Tidak tanggung-tanggung, setidaknya kehidupan 50 juta rakyat AS tidak terlindungi oleh asuransi jiwa dan kesehatan. Sementara sisanya, mendapatkan perlindungan palsu oleh perusahaan asuransi.
Sicko secara apik menunjukkan fakta bahwa asuransi kesehatan hanya dinkmati oleh orang-orang yang memiliki uang saja. Ironisnya, semuanya pun tidak bermakna apa-apa saat si pengguna asuransi itu justru tertimpa musibah penyakit yang tidak tercover asuransi. Bahkan, perusahaan asuransi yang melindungi pesertanya pun berbuat curang dengan sedemikian rupa untuk menolak klaim asuransi yang diajukan pesertanya.
Kondisi berbeda justru sangat berbeda di Kanada, Negara tetangga AS. Di sana penduduk merasa sangat terlindungi dengan universal coverage (perlindungan keseluruhan) asuransi kesehatannya. Di Inggris dan Perancis pun sama. Di Negara yang sering dituduh AS sebagai jaringan ‘setan’ karena memilih untuk menjadi Negara sosialis, Cuba, melaksanakan universal coverage untuk melindungi warganya.
Moore pun secara demonstrative membawa petugas-petugas Petugas Pemadam Kebakaran (PMK) eks penolong serangan 9/11 ke Cuba untuk diobati secara gratis. Selama ini terungkap, puluhan petugas PMK mengalami sakit dalam, namun tidak bisa beobat di RS AS, karena mereka tidak punya uang. Dan di negara yang dituduh ‘jahat’ itu mengobati pada petugas PMK yang sempat dielu-elukan sebagai ‘hero’, pasca 911.
Pelajaran Penting
Apa pelajaran penting yang bisa dilihat dari Sicko? Yang pertama pasti adalah gambaran perlunya masyarakat mendapatkan hak kesehatan dan fasilitas pendukungnya secara gratis dan terjangkau. Di AS pun, Negara yang memiliki image maju, demokratis dan semua ukuran ideal sebuah Negara, menyimpan catatan hitam hingga kini tentang tidak adanya asuransi kesehatan yang memadai itu. Langkah Presiden Barrack Obama untuk memperbaiki komposisi asuransi kesehatan hingga lebih pro pada orang miskin, mendapatkan penolakan.
‘Wajar’ bila penolakan itu terjadi di AS. Karena dalam sejarahnya, di AS, perusahaan asuransi swasta memang disetting untuk meraup untung banyak, namun minim pelayanan. Dalam percakapan orginal antara Richard Nixon dan stafnya tentang UU Lembaga Penjaga Kesehatan tahun 1973 menunjukkan betapa Nixon setuju dengan hal itu. Disinyalir ada peran perusahaan obat Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA), yang berhasil melobby pemerintah AS ketika itu.
Hillary Clinton, istri mantan Presiden AS Bill Clinton pun sama. Hillary yang sempat ingin memperbaiki kondisi itu harus berhadapan dengan kenyataan kritikan yang tiada henti dari anggota Parlemen. Khususnya dari partai Republik.
Hillary dituduh sedang membangkitkan semangat ‘kiri’ di AS. Posisi suaminya, Bill Clinton yang menjadi presiden AS ketika itu, membuatnya ‘mundur teratur’ dari apa yang diperjuangkan. Tujuh tahun kemudian, pasca Hillary memutuskan untuk diam, dia menjadi Senator dari New York. Industri obat disinyalir’bermain’ dengan menyumbang dana ke tim kampanye Hillary.
Begitulah, tidak gampang membangun asuransi sosial di manapun. Cobalah tengok di Indonesia, ketika asuransi sosial BPJS sedang diperjuangkan. Betapa keras perlawanan dari pemerintah dengan berbagai dalihnya. Dalam perjalanannya, beberapa anggota DPR yang awalnya memiliki keteguhan sikap, pun pelan-pelan bergeser ke arah ‘memahi’ keinginan pemerintah.
Apakah ada kekuatan ekonomi yang kuat dalam kasus BPJS di Indonesia? Hmm,. Setidaknya, hal paling keras yang terjadi dalam pembahasan BPJS adalah saat rencana ‘transformasi’ BUMN asuransi PT.Jamsostek, PT.Askes, PT.Asabri dan PT.Taspen.
Empat BUMN yang memiliki asset Rp.150 triliun lebih! Melalui BUMN inilah, salah satu sumber dana pemerintah berasal. Bukan tidak mungkin, buruknya ‘manajemen’ membuat beberapa dana tidak lagi bisa dipertanggungjawabkan. Dalam bahasa sederhana, mungkin uang dari BUMN itu juga yang biasa ‘dipinjam’ secara illegal. You know what I mean? :)
Saat artikel ini ditulis, DPR sedang reses. Pembahasan BPJS yang sudah mencapai klimaksnya dengan membuat Presiden SBY turun gunung menghasilkan keputusan untuk membali membahasnya pada 18 Agustus mendatang. Komite Aksi Jaminan Sosial-KAJS, kumpulan puluhan organisasi massa, buruh dan mahasiswa yang peduli pada BPJS, akan menagih DPR untuk segera menjalankan BPJS pada hari itu.
Akankah Indonesia punya asuransi sosial? Atau tetap tersiksa seperti warga Negara AS dalam film Sicko? |Iman D. Nugroho
Tidak ada komentar:
Posting Komentar