08 Juli 2011

"Salah sendiri mereka malas dan miskin!"

Asuransi sosial pertama di Indonesia sedang diupayakan untuk dibangun. Di media, berita tentang hal ini tenggelam. Bahkan, masyarakat yang mengetahui hal ini pun terbagi. Sebagian merasa penting membantu orang miskin, sebagian lagi justru menyalahkan orang miskin. "Salah sendiri mereka malas dan miskin," kata salah satu penolak asuransi sosial bernama BPJS itu.

Memang, berita tentang lembaga asuransi sosial pertema yang sedang dibentuk, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), tidak mengalahkan hiruk pikuk pemberitaan di media massa belakangan. BPJS tenggelam di antara pencarian terduga korupsi wisma atlet, mantan Bendahara partai Demokrat, M.Nazaruddin, terduga korupsi lain, Nunun atau berita terorisme. Dalam persoalan respon media massa, BPJS memang nothing.

Coba tanya wartawan, intelektual atau orang-orang pintar di sekitar anda soal BPJS. Hampir pasti, bila tidak 'mengaku tidak tahu', mereka akan menjawab ngawur. Bandingkan dengan pertanyaan politik, Nazaruddin atau terorisme. Respon yang muncul akan sangat berbeda.

Ketidaktahuan itu memang bukan tanpa sebab. Asuransi Sosial BPJS adalah 'anak tiri' bagi media massa. keberadaannya yang tidak eye catching dan tidak memunculkan kehebohan, jelas tidak terlalu seksi untuk dimuat di media massa. Padahal, menyangkut efek, asuransi sosial BPJS jauh lebih bermanfaat dari pada Nazaruddin atau terorisme.

Melalui asuransi sosial inilah, masyarakat seluruh Indonesia terjamin hal dasar kehidupannya. Simak saja, bila asuransi sosial BPJS ini ada, maka seluruh persoalan tentang kesehatan, kecelakaan saat bekerja, pensiun hari tua dan kematian, akan teratasi. Dengan bahasa yang sederhana, asuransi sosial ini penting untuk kehidupan masyarakat, yang selama ini tidak diperhatikan oleh negara.

Asuransi Untuk Semua 

Secara sederhana BPJS adalah sebuah badan yang keberadaannya diatur dalam dalam UU Sistem Jaminan Sosial (SJSN). BPJS ini akan mengatur urusan asuransi kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua dan kematian. Sebelumnya, hal-hal itu diatur oleh 'asuransi sosial' yang dilaksanakan oleh empat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ada. PT.Jamsostek (untuk pekerja), PT.Asabri (untuk TNI/Polri), PT.Taspen (untuk pensiunan PNS) dan PT.Askes (untuk kesehatan).

BPJS lahir karena asuransi sosial yang dilakukan empat BUMN itu, plus program bantuan lain yang sudah ada (Jaminan Kesehatan Masyarakat/Jamkesmas dan Jaminan Persalinan/Jampersal), tidak mengcover asuransi seluruh masyarakat Indonesia. Bila dijumlahkan, seluruh peserta asuransi yang diatur oleh empat BUMN dan program bantuan itu, di bawah 25 persen penduduk Indonesia.

Bila "Keadilan Sosial" menjadi salah satu dasar negara ini, maka ke-75 persen penduduk Indonesia lainnya itu juga harus memiliki hak yang sama untuk dicover dalam asuransi sosial. Dalam UU SJSN, hal itu pun tertuang. Namun, pemerintah di bawah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mampu merealisasikan UU yang sudah ada sejak 2004 itu.

Uang Menjadi Masalah 

Karena besaran jumlah peserta yang dicover BPJS, seluruh masyarakat Indonesia yang berjumlah 220 juta jiwa, maka perlu juga keuangan yang sangat besar. Darimana uang itu akan didapat? Apakah pemerintah memiliki uang sebanyak yang dibutuhkan oleh BPJS? Jelas tidak. Pemerintah hanya memberikan uang sebanyak Rp.2 triliun sebagai modal awal BPJS. Lalu sisanya?

Karena selama ini Indonesia sudah memiliki 'asuransi sosial' dari empat BUMN dan dua program (Jamkesmas dan Jampersal), maka uang di empat BUMN itu juga yang akan dikelola. Harus ada peleburan program, aset dan lembaga empat BUMN dan dua program untuk mensuport BPJS. Di sinilah awal 'problem' itu terjadi.

Seperti diketahui, empat BUMN asuransi yang sudah running selama ini memiliki pekerja dan pengelola. Ada pemikiran yang dikembangkan, bila BUMN akan dilebur menjadi BPJS, maka pekerja dan pengelola BUMN (termasuk para 'bos' di posisi komisaris) akan ter-PHK. Maka, akan muncul PHK besar-besaran. Logika itu jelas keliru.

Bagaimana mungkin upaya untuk membantu masyarakat seluruh Indonesia harus membuat ribuan orang pekerja BUMN menjadi tersiksa dengan tidak lagi bekerja? Karena memang tidak akan ada PHK yang dilakukan. Peleburan empat BUMN itu sekaligus 'menggeser' posisi pekerja di empat BUMN menjadi pekerja di BPJS. Artinya, tidak akan ada PHK.

Bagaimana dengan peserta asuransi di empat BUMN itu? Seperti diketahui, selama ini ada setidaknya 55 ribu orang (terdiri dalam perorangan, perusahaan dll) yang menjadi peserta 'asuransi sosial' BUMN, Jamkesmas dan Jampersal. Hak para peserta lama itu akan tetap utuh, dan tidak dirugikan. Kepesertaan mereka akan terlebur dalam BPJS. Easy isn't?

Sumber dana lain adalah iuran. Iuran ini ibarat pajak. Hanya orang-orang yang berpenghasilan saja yang membayar iuran yang dijadikan satu dengan urusan pembayaran pajak. Untuk orang yang tidak mampu, tentu saja tidak perlu membayar pajak ini. Ada 'subsidi silang'. Masyarakat yang mampu, membayar yang tidak mampu, sampai kondisinya membaik.

Masyarakat Terpecah 

Namun, logika sederhana itu tidak mudah dala kenyataannya. Tidak seluruh masyarakat memahami hal itu. Bahkan, pekerja (baca: buruh) yang tergabung dalam serikat-serikat buruh, serikat-serikat pekerja di Indonesia pun terbagi dalam penyikapan pada BPJS. Menerima, menolak atau tidak peduli. Yang menerima merasa posisi mereka (bersama masyarakat seluruh Indonesia) akan diuntungkan dengan BPJS.

Sementara yang menolak merasa BPJS akan menjadi beban baru, lantaran ada iuran. Penolak BPJS merasa, masyarakat akan terbebani dengan iuran pada BPJS. Sementara yang tidak peduli, merasa pesimis kondisi akan membaik dengan adanya BPJS. Belum lagi ancaman korupsi yang mungkin akan terjadi dalam lembaga BPJS itu dikemudian hari. Yang lebih ekstrem, ada juga masyarakat yang berpikiran, BPJS adalah ketidakadilan baru.

"Bagaimana saya yang giat bekerja justru membayar orang malas dan miskin itu," kata salah satu penolak. Dia merasa, dirinya harus mendapatkan hak lebih (termasuk hak mendapatkan asuransi), tidak seperti orang-orang miskin yang tidak beruntung. "Salah sendiri mereka malas dan miskin," katanya. Hmm,.. sikap seperti ini memang memprihatinkan. Bukankah sebagai bangsa kita senasib sepenanggungan? Saling membantu?

Saat artikel ini ditulis, asuransi sosial BPJS tengah dibicarakan antara DPR dan Pemerintah. Apakah akan terealisasi? Kita tunggu saja. | Iman D. Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar