22 Juli 2011

Revisi UU Pangan melawan kedaulatan pangan

DPR akan segera merevisi UU No.7 Tahun 1996 tentang Pangan seiring dengan berkembangnya industri dan lahan pangan skala besar (food estate). Sayangnya, draf yang saat ini dipegang DPR substansinya masih jauh dari kedaulatan pangan dan pemenuhan hak rakyat atas pangan.


 Di era keterbukaan informasi publik, RUU ini juga minim partisipasi masyarakat, di mana tidak ada kesempatan masyarakat memberikan pendapat melalui konsultasi publik sehingga masih banyak kekurangan dari segi substansi.

Keanekaragaman pangan non padi belum diakomodir, selain itu tidak ada pengakuan, pemberdayaan dan perlindungan peran nelayan. Baik nelayan tangkap maupun nelayan budidaya dalam penyediaan pangan. Selain itu juga masih perlu elaborasi lebih lanjut dalam soal reforma agraria, kedaulatan pangan dan sebagainya, termasuk bagaimana perlindungan pangan saat situasi khusus dan kepada kelompok rentan (masyarakat adat, perempuan, lansia, masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana, anak-anak, ibu menyusui dan ibu hamil).

Akses terhadap pangan juga masih hanya dilihat dari kemampuan daya beli masyarakat, bukan melihat dari hak atas pangan. Komodifikasi juga terlihat dalam pengaturan industri pangan hanya akan berpihak pada industri besar dan berpotensi menghilangkan produsen skala kecil.

M. Islah, Pengkampanye Air dan Pangan WALHI memandang bahwa RUU ini belum dapat memastikan terpenuhinya hak-hak rakyat atas pangan, karena lebih melihat pada aspek ketersediaan dan melihat pangan hanya sebagai komoditas.

Segala hal yang berhubungan dengan pangan seharusnya diletakkan dalam skema kedaulatan pangan secara utuh dan ramah lingkungan dan memastikan adanya perlindungan lahan-lahan pangan dari industri ekstraktif seperti perkebunan sawit, pertambangan dan pembangunan infrastruktur dan industri.

Mida Saragih, Ketua Divisi Manajemen Pengetahuan KIARA mengatakan bahwa, “Substansi revisi Undang-Undang Pangan harus menjadi benteng di tengah maraknya undang-undang sektoral yang mengeksploitasi sumber daya alam. Lonjakan impor ikan dari 184. 240 ton pada tahun 2006 menjadi 318. 803 ton pada 2010.

Ditambah lagi limpahan impor ikan ilegal mencerminkan inkonsistensi dan lemahnya komitmen negara melindungi kuantitas dan kualitas pangan, serta nelayan tradisional. Untuk itu, perikanan sebagai salah satu modalitas pangan nasional perlu mendapat perhatian dengan jalan melindungi hak-hak nelayan, terutama perlindungan bagi kawasan pangan perikanan rakyat.”

Solidaritas Perempuan menilai bahwa UU No.7/1996 tentang Pangan atau pun draft RUU masih belum memuat prinsip-prinsip keadilan gender dan tidak mencantumkan CEDAW sebagai dasar yuridisnya. Hal ini sangat berpotensi meminggirkan perempuan dalam mengakses sumber-sumber produksi pangan.

Kita ketahui bahwa perempuan tidak dapat dipisahkan dalam proses produksi, pengolahan, pemasaran, dan distribusi pangan. Karena hanya mengakomodir industri pangan skala besar, usaha pangan sector informal yang sebagian besar dilakukan perempuan kurang mendapat perlindungan. Di sisi lain, terjadinya sederet kelaparan yang dialami perempuan juga menunjukkan tidak adanya jaminan rakyat terhadap akses pangannya.

Yuyun Harmono, Program Officer Koalisi Anti Utang (KAU) mengatakan bahwa alokasi anggaran harus diprioritaskan untuk mendorong sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak, utamanya sub sektor pertanian, bukan sebaliknya untuk melayani kreditor melalui pembayaran cicilan pokok dan bunga utang
luar negeri (ULN).

Antara tahun 2005-2010, pembayaran cicilan pokok dan bunga ULN rata-rata mencapai 11 kali lipat dari anggaran pertanian. Pemerintah tidak bisa lagi menggantungkan harga pangan berdasarkan rezim harga pangan internasional yang rentan terhadap praktek perburuan rente oleh para spekulan, bank-bank besar dan hedge fund. Pemerintah harus medorong kemandirian pangan dan menetapkan harga pangan nasional.

Inda Fatinaware, dari Departemen Mitigasi Risiko Sosial dan Lingkungan Hidup Sawit Watch menilai pada RUU ini perlu diatur mulai dari tata produksi, tata distribusi sampai pada tata konsumsi karena rancangan yang ada di DPR saat ini hanya menitik beratkan masalah distribusi dan kemampuan daya beli masyarakat, serta idak ada pengakuan cadangan pangan yang dikelola oleh masyarakat.

Kasus-kasus kelaparan dan gizi buruk tidak pernah diproses sebagai pelanggaran hak asasi, karena itu penting adanya pengaturan kelembagaan yang bertanggung jawab untuk urusan pangan. Komisi Nasional Pangan penting diatur dalam RUU ini. | Pernyataan bersama 

*WALHI, Sawit Watch, Kiara, Solidaritas Perempuan, KRKP, IHCS, PEKKA, Bina Desa, SPI, KAU, Fatayat NU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar