20 Juli 2011

Gila, pajak Rp.80 Triliun belum dibayar!


Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden RI, Direktorat Jenderal Pajak terbukti tidak memiliki kinerja yang bagus. Bahkan, terlihat malas dan kurang tegas terhadap wajib pajak. Lihat saja, ketika pada tahun 2010 negara berpotensi kehilangan penerimaan negara sebesar Rp.80 triliun. Utamanya pada DJP sebesar Rp.54 triliun, DJBC sebesar Rp.16 triliun, dan piutang migas sebesar Rp.4.2 triliun.

Ini belum termasuk temuan BPK atas piutang 35 perusahaan minyak dan gas sebesar Rp.5.2 triliun. Jadi, bila ditotal seluruhnya, piutang pajak kepada negara mencapai Rp. 80 triliun pada tahun anggaran 2010. Selain itu, pada tahun 2009 saja, potensi penerimaan negara hilang sebesar Rp. 80 triliun yang berasal dari DJP sebesar Rp.49 triliun, DJBC sebesar Rp.13 triliun, dan piutang minyak dan gas sebesar Rp.16 triliun.

Ini adalah tabel potensi penerimaa negara yang bakal hilang, per- 31 desember 2010 31 desember 2009

Direktorat Jenderal Pajak
Rp.54 triliun (2010)
Rp.49.9 triliun (2009)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Rp.16.9 triliun (2010)
Rp.13.6 triliun (2009)

Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain)
Rp.145,4 juta (2010)

Piutang minyak dan gas
Rp.4,2 triliun (2010)
Rp.16.4 triliun (2009)

Hasil temuan BPK atas Piutang pajak Perusahaan Migas
Rp.5,2 triliun (2010)

Total Rp.80.4 triliun (2010) Rp.80triliun (2009)
*diolah dari laporan Keuangaan BPK atas Pemerintah Pusat tahun anggaran 2010

Dari tabel diatas, FITRA mempunyai beberapa catatan sebagai berikut:

A. Pada tahun 2010, dalam piutang pajak sebesar Rp. 54 triliun yang ada pada DJP akan ditemukan piutang yang telah kadaluwarsa penagihannya sebesar Rp. 2 triliun. Dari Piutang Pajak yang telah kadaluwarsa tersebut, telah diusulkan penghapusan sebesar Rp 202 miliar dan telah mendapatkan persetujuan dari Menteri Keuangan sebesar Rp.45 miliar.

B. Piutang pajak perusahaan migas kepada negara mulai dari tahun 2005 sampai tahun 2009, hingga anggaran sebesar Rp.5.2 Triliun. Persoalan piutang pajak perusahaan migas ini terjadi karena:

1. Pada tahun 2009, Ada 21 perusahaan Migas tidak membayar sebesar USD. 139 juta kepada negara. Atau anggaran USD 139 juta ini (Rp.1,2 triliun), berasal dari 21 perusahaan yang melakukan kontrak dengan 21 wilayah kerja. Anggaran ini adalah selisih pembayaran pajak. Selisih pembayaran pajak ini oleh perusahaan migas terjadi karena pemerintah lali dan tidak teliti dalam melakukan rekonsilasi data antara
nilai government tax entitlement dalam FQR Tahun 2009, dengan nilai pembayaran pajak oleh operator dan partner dalam Laporan PSC 7.1 dan 7.2 Tahun 2009.

2. Pada tahun 2010, ada 13 perusahaan yang kurang bayar pajak sebesar USD.176,1 juta atau anggaran USD.176 juta (Rp.1.5 triiliun). Anggaran sebesar Rp.1.5 triliun ini sudah diberitahu kepada DJA, dan
didampaikan ke DJP untuk ditindaklanjuti.

3. Sayangnya pada 2010, DJA belum menyampaikan kurang bayar PPh Migas pada tiga perusahaan pajak sebesar USD108.10 juta atau ekuivalen Rp.971 triliun kepada DJP. Dengan demikian, kurang bayar PPh migas ini seperti sengaja disembunyikan kepada DJA.

4. Mulai dari tahun 2005 sampai 2009, ada 35 perusahaan migas tidak mau membayar pajak, karenanya, negara dirugikan sebesar USD. 4.7 juta atau sebesar Rp.42 milyar.

5. Hasil pemeriksaan secara uji petik terhadap penerapan tarif PPh kepada perusahaan Migas dalam perhitungan bagi hasil dan kewajiban PPh Migas untuk periode Januari s.d November 2010 menunjukkan ketidakkonsistenan 29 Perusahaan migas, dalam menggunakan tarif PPh tersebut. Tarif PPh pada Pokok-Pokok Kontrak Kerja Sama berdasarkan surat dari Sub Direktorat Wilayah Kerja Migas Konvensional Ditjen Migas Kementerian ESDM Nomor 222/DMEW/2011 tanggal 15 April 2011 menggunakan tarif PPh sesuai PSC dalam perhitungan bagi hasil migas.

Namun, perusahaan migas menggunakan tarif tax treaty yang lebih kecil dari tarif PPh yang ditetapkan dalam PSC. Dengan menggunakan tarif tax treaty tersebut, kontraktor memperoleh share lebih dari yang seharusnya. Pemerintah memperoleh pendapatan yang lebih rendah sebesar selisih tarif PPh sesuai PSC
dengan tarif tax treaty atau dengan ini negara mengalami kerugian sebesar sebesar USD159.33 juta, atau Rp.1.4 Triliun bila dikonversikan dengan kurs tengah BI tanggal 31 Desember 2010 Rp. 8.991

Dari permasalahaan itu, FITRA meminta kepada DPR untuk:

1. Melakukan amandemen UU Perpajakan. Selama ini dalam UU Perpajakan, partisipasi masyarakat tidak diperbolehkan terlibat. BPK pun tidak boleh melakukan audit terhadap wajib pajak alias penerimaan negara. Jadi, yang mengetahui wajib pajak adalah DJP saja. Ujungnya, bukan penerimaan negara yang setiap tahun makin besar, malah penunggak pajak untuk setiap tahun semakin meningkat.

Bila amandemen UU Perpajakan tidak dilakukan, maka yang terjadi adalah penggunaan UU Perpajakan sebagai payung hukum mafia perpajakan untuk “merampok” penerimaan negara. Dan, mafia pajak perpajakkan ini, tentu akan berkerjasama dengan aparat pajak untuk kepentingan pribadi mereka.

2. Melakukan evaluasi kepada kinerja Dirjend Pajak, karena Dirjend pajak ini kelihatan “nggak Mutu” alias tidak mempunyai kapasitas untuk mengelola penerimaan negara. Lihat saja. Masa pada tahun 2010 saja, ada Rp. 54 Triliun yang belum bisa ditagih sebagai uang penerimaan negara. Padahal tugas dan kewenangaan sangat power full diberikan oleh undang-undang perpajakan kita.

3. Meminta pertanggungjawaban mengenai persetujuan dari Menteri Keuangan mengapuskan piutang pajak sebesar Rp45.802.510.018. Di sini, publik ingin tahu mengapa begitu beraninya menteri keuangan menghapuskan piutang pajak tersebut. | Press Release FITRA | Uchok Sky Khadafi

1 komentar:

  1. Umar Idris11:15 AM

    Ruwet bung Iman. Temukan jawabannya saat training investigasi pajak di AJI Indonesia Sabtu pekan ini (23/7) jam 9-17 WIB :-)

    BalasHapus