Senin (4/7), Rusdi Mathari memenuhi panggilan Polres Jakarta Pusat atas kasus penggelapan yang dituduhkan Koran Jakarta. Padahal, Rusdi sedang berjuang untuk menuntut hak-haknya. Berikut ini adalah kronologi kasus versi Rusdi Mathari.
Sepekan terakhir, sebagian dari kita mungkin merasakan suasana kantor yang penuh dengan desas-desus. Antarteman saling curiga, penuh selidik, dan sebagainya. Suasana semacam itu, sebetulnya sudah saya rasakan sejak Juli atau Agustus tahun lalu, dan karena itu, saya sempat mengajukan pengunduran diri secara lisan kepada Marthen Selamet Susanto dan dia cegah dengan berbagai alasan, termasuk dengan setengah menghiba dan merajuk. Waktu itu saya merasakan, manajemen KJ sudah semakin tidak profesional.
Saya paham, suasana yang kini terjadi di KJ, disebabkan bukan oleh hal-hal yang luar biasa misalnya karyawan melakukan kesalahan yang menyebabkan kerugian pada perusahaan dan sebagainya, melainkan karena tiadanya sikap professional dari manajemen. Karyawan nonredaksi dengan seenaknya dipecat hanya karena alasan yang sebetulnya dibuat-buat. Juga karyawan redaksi yang dimulai dari pemecatan tiga wartawan, Nurcholis, Dudi Iskandar, dan Hasbunal. “Mana ada Pak alasan obyektif, keputusan ya harus subyektif,” kata Selamet.
Jumat 12 Maret 2010
Kabar pemecatan tiga wartawan itu, saya dengar sekitar jam 11.30 malam. Seorang reporter Minggu menghubungi saya, dan menanyakan kebenaran soal pemecatan itu, karena kata dia, nama saya termasuk yang dipecat. Dia mengaku, mendengar kabar itu dari Dudi, yang baru saja dipanggil untuk menghadap Selamet, Amu, Ken dan Thia Sitorus di ruang kerja Selamet.
Ketika saya menghubungi Dudi, yang bersangkutan menegaskan, dirinya dan Hasbunal memang sudah dipecat. Alasannya, kata Dudi tidak jelas. Dia juga yang kemudian memberikan kabar, ada nama saya dalam daftar wartawan yang dipecat. Selamet yang menyampaikannya ketika Dudi bertanya, siapa lagi wartawan yang akan dipecat. “Pokoknya karena tidak suka saja, karena kita vokal,” kata Dudi, emosional, mencoba menganalisis.
Beberapa menit setelah itu, saya berusaha menghubungi Selamet berkali-kali tapi dia tidak mengangkat panggilan telepon saya. Tak pula membalas pesan pendek SMS yang saya kirimkan.
Hanya Adi Murtoyo (Amu) yang mengangkat telepon tapi dia mengaku tidak tahu apa-apa. “Awakmu tako ke Selamet ae, aku pusing,” katanya. (Kamu tanya ke Selamet saja, saya pusing). Dua kali saya menghubungi Amu, dan jawabannya sama. Saya juga mengirimkan SMS ke Amu, yang isinya kurang lebih menanyakan, apa yang sebenarnya terjadi. Singkat kata malam itu, tidak ada penjelasan memadai dari petinggi KJ.
Saya kemudian mencoba menghubungi Fiter Bagus Cahyono dan Woeryadi Kentoyo. Kepada keduanya, saya bertanya, apa yang sebetulnya terjadi, siapa wartawan yang dipecat dan apa alasannya. Bagus dan Ken menjawab, yang benar-benar dipecat malam itu adalah Dudi dan Hasbunal. Hanya dua nama itu. Keduanya mengaku, hanya mendapat laporan, dan laporan itu harus diteruskan ke atas, entah siapa dan apa yang mereka sebut sebagai “ke atas” itu.
Ketika saya bertanya apa alasan pemecatan dua wartawan itu, Bagus mengaku tidak tahu alasannya, karena dia sedang cuti dan bukan bagian dari redaksi. Namun Ken, memberikan jawaban, Dudi dan Hasbunal dipecat karena dianggap terlibat pembuatan/penulisan blog Sekarkorjak (www.sekarkorjak.wordpress.com). Saya bertanya kepada Ken: Apa benar keduanya pembuat/penulis blog, dari mana manajemen tahu mereka adalah pembuat/penulis blog itu, dan bagaimana kalau kemudian ternyata salah. Ken tak bisa menjawab.
Malam itu saya mengirimkan email ke Selamet, mencoba menanyakan apa yang sebetulnya terjadi. Alasan saya, saya ingin mendengar langsung dari orang pertama. Beberapa jam kemudian dia membalas email itu dengan kalimat pendek. “Rusdi sahabatku, besok aku jelaskan di kantor.”
Sabtu 13 Maret 2010
Saya kembali menghubungi Selamet berkali-kali dan yang bersangkutan sekali lagi, sama sekali tidak merespons panggilan telepon saya. Sore hari, di kantor, Tri Juli Sukaryana (TJ) mengajak saya dan Adiyanto (Adi) berbicara di lantai atas kantor. TJ mengaku, sebagai Wapemred dirinya sama sekali tidak tahu dan tidak dilibatkan dalam pemecatan dua wartawan itu. Usahanya menelepon Selamet, katanya, juga tidak dijawab.
Saya bertanya kepada TJ, “Bagaimana mungkin Anda, sebagai Wapemred tidak tahu?” TJ menjawab,” Elu tidak percaya ke gua?” “Ini bukan soal percaya atau tidak percaya, ini soal struktur organisasi karena Anda adalah Wapemred dan salah satu direktur.”
Sekitar sehabis Isya, TJ meminta saya bertemu di ruangannya. Dia bercerita, berdasarkan keterangan M Husen Hamidy yang diperoleh dari seorang kawannya, alasan pemecatan Dudi dan Hasbunal dipicu oleh kabar yang menyebutkan, wartawan-wartawan eks Media Indonesia (termasuk TJ) berusaha mendongkel Selamet sebagai Pemred. “Coba elu bayangin, dari mana logikanya? Yang punya akses ke Gunawan Yusuf hanya dia (Selamet),” kata TJ. Saya menyarankan TJ, untuk menanyakan langsung perihal itu kepada
Selamet.
Malam harinya ada telepon dari Amu ke saya. Dia mengajak saya bertemu di bar di depan di kantor, sehabis deadline. Semula saya bilang tidak bisa, karena saya harus pulang bersama teman-teman Minggu. Amu bilang, anak-anak Minggu juga tidak ada apa-apa diajak. Saya tidak bisa berjanji, tapi entah kenapa kemudian Selamet menghubungi saya, dan juga meminta bertemu di bar itu.
Selepas deadline tengah malam, saya akhirnya menuju bar itu ditemani Adi. Teman-teman yang lain memilih untuk tidak ikut. Di tempat parkir, saya melihat Selamet dan Amu sudah berdiri, seolah menyambut saya. Tak berapa lama, setelah kami duduk, Selamet mengajak Amu dan saya keluar bar. “Di kamu tunggu di sini, sebentar,” kata Selamet kepada Adi.
Di tempat parkir, Selamet akhirnya berbicara kepada saya perihal pemecatan Hasbunal dan Dudi. Alasan pemcatan itu, karena keduanya dianggap sudah tidak cocok lagi dengan platform KJ. Dia mengibaratkannya dengan permainan bola. “Mana ada Pak alasan obyektif, keputusan ya harus subyektif,” kata
Selamet.
Dari Selamet pula, saya mendapat penjelasan, selain dua orang itu, Nurcholis juga akan dipecat. “Semua pemecatan itu, keputusannya dari aku. Pengangkatan Amu sebagai Wapemred, itu juga keinginan Gunawan Yusuf sejak awal KJ berdiri,” katanya.
“Bagaimana dengan aku?” saya bertanya kepada Selamet.
“Kamu juga dipecat,” kata Selamet.
“Loh bagaimana sih kalian, aku mengundurkan diri baik-baik, sekarang malah kalian banting,” tanya saya.
Tanggal 4 Januari 2010, saya memang mengajukan surat pengunduran resmi kepada Pemred KJ dengan tembusan TJ, Amu, dan Thia Sitorus (HRD). Tapi seperti ketika saya mengajukan pengunduran diri secara lisan, Agustus 2009, Selamet sekali lagi merajuk saya untuk tidak mundur. Alasannya banyak, tapi intinya, menurut dia KJ masih butuh saya. “Sudahlah Rus, percaya ke aku, kalau sampai Maret tidak ada perbaikan manajemen redaksi, kamu boleh pergi. Sekarang jangan dulu,” kata Selamet.
Waktu itu terus terang saya sudah tidak ambil pusing dengan rayuan Selamet. Namun teman-teman wartawan edisi Minggu terutama para reporter, kemudian mengambil sikap, jika saya mengundurkan diri, mereka juga akan mengundurkan diri. Terus terang saya memang berat meninggalkan mereka, sebuah tim yang sejak awal, saya coba bentuk bekerja dengan hati, dengan impuls dan semata hanya jadi wartawan bukan mencari jabatan. Saya akhirnya mengalah, dan menyetujui permintaan Selamet dengan syarat.
Pertama ada kenaikan gaji reporter, seluruhnya. Saya meminta gaji mereka menjadi Rp 4,8 sesuai standar AJI, meski belakangan saya tahu, standar gaji reporter dari AJI hanya sebesar Rp 4,5 juta. Selamet menjawab tidak mungkin. “OK, berapa yang mungkin?”
Selamet menyebutkan sejumlah angka, dengan janji akan ada kenaikan bertahap. Saya setuju. “Mulai kapan?” Dia bilang, akan berlaku sejak akhir Januari.
Kedua, saya minta perbaikan rapat redaksi agar bisa dilakukan pagi hari seperti masa-masa awal KJ terbentuk. Dia setuju, meski saya tahu, sebagian redaktur mungkin akan menggerutu dengan usulan itu.
Ketiga, saya minta ada sistem keredaksian yang memadai, yang memungkinkan kontrol arus berita dan penilaian yang tepat atas setiap wartawan.
Keempat, saya minta diadakan rapat opini (perspektif) setiap hari yang diikuti Asredpel ke atas.
Kecuali hanya poin kedua soal rapat pagi itu, semua permintaan saya tidak dipenuhi. Ketika akhir Januari saya telepon teman-teman reporter Minggu apakah di rekening bank mereka, sudah masuk gaji yang baru atau belum mereka menjawab tidak ada. Saya mengirimkan email ke Selamet, dan dijawab untuk bersabar. Hanya itu.
Tentu saya kecewa. Karena bukan sekali itu, Selamet cedera janji. Ketika saya masuk ke KJ, saya tidak sepakat soal gaji yang saya minta. Saya mengatakan, lebih baik tidak bekerja di KJ tapi Selamet dan juga Amu menjanjikan, gaji yang saya minta akan dipenuhi setelah tiga bulan saya bekerja di sana.
Ketika saya mencoba menagih gaji yang saya minta, setelah masa tiga bulan saya bekerja, Selamet dengan berbagai alasan mengelak. Faktanya, hingga hari ini, gaji yang saya minta sejak awal, tidak pernah dipenuhi.
Saya masih ingat, ketika Selamet menahan saya setengah mengemis pada awal Januari itu, dia sempat menyampaikan, pengunduran diri saya oleh TJ dianggap sebagai manuver untuk meminta kenaikan gaji. Saya marah mendengar hal itu, saya katakan, saya cukup kaya, untuk menukar kehormatan saya dengan cara mengemis-ngemis.
Saya mengatakan kepada Selamet, saya hanya ingin memperjuangkan teman-teman reporter, karena mereka paling banyak menghabiskan banyak ongkos untuk liputan dibandingkan para redaktur yang hanya duduk manis di kantor.
Malam itu, 13 Maret 2010, di tempat parkir bar di seberang kantor KJ, Selamet dan Amu lalu menjelaskan, keputusan pemecatan saya karena Trulyn Meinita Tobing tidak menyukai saya. Trulyn adalah CEO KJ selain merangkap sebagai seorang notaris. Alasan lain, Trulyn menurut Selamet menganggap pengunduran diri saya sudah efektif sejak 4 Januari.
Selamet menjelaskan, diterima atau ditolaknya pengunduran diri saya sepenuhnya ada adalah keputusan Pemred sebagai atasan langsung saya (Asredpel). SK pengangkatan saya sebagai Asredpel memang menyebutkan, saya bertanggungjawab langsung kepada Pemred dan Redpel (waktu itu masih dijabat oleh TJ). Dan menurut Selamet dia menjelaskan kepada Trulyn, tidak pernah menyetujui pengunduran diri saya. dan itu sudah menjadi keputusan di antara mereka (termasuk Trulyn dan TJ), sehingga saya tetap bekerja
kembali memimpin edisi Minggu.
“Salah satu bukti bahwa pengunduran dirimu ditolak, hak-hakmu seperti kartu asuransi kesehatan itu dihidupkan kembali. Waktu itu begitu,” kata Selamet.
Saya tertawa dalam hati. Sepanjang 23 tahun menjadi wartawan, baru kali ini saya tahu ada seorang CEO yang sama sekali tidak paham dunia jurnalistik dan manajemen redaksi, bisa begitu powerfull menentukan mana wartawan yang harus keluar dan mana yang tidak, hanya karena alasan tidak suka atau suka. Saya juga geli, mendengar penjelasan Selamet, karena ternyata, dia dan Trulyn sebagai petinggi KJ itu (jika memang pantas disebut seperti itu) bisa berselisih soal-soal semacam itu.
Selamet pula yang menerangkan, sikap Trulyn itu dipengaruhi oleh TJ. Suatu hari, kata Selamet, Trulyn “kepergok” (ini bahasa Selamet) dengan TJ membahas soal pengunduran diri saya.
Trulyn waktu itu bertanya kepada TJ, bagaimana kalau edisi Minggu tanpa saya yang dijawab oleh TJ, tidak apa-apa, semua orang bisa menggarap edisi Minggu. Singkat kata, Selamet menerangkan, TJ dan Trulyn sebetulnya bersepakat untuk menyingkirkan saya. “Itu Amu saksinya,” kata Selamet. Amu mengiyakan.
Saya masih ingat, Selamet dulu pernah mengungkapkan kekesalannya karena sejak Trulyn menjadi CEO KJ, TJ dianggap diam-diam pernah mengadakan rapat dengan Trulyn. “TJ mulai coba-coba menelikung, ketemu Trulyn tanpa sepengetahuan aku, itu maksudnya apa?”
Dan yang mengejutkan pada pertemuan malam itu, Selamet melontarkan pernyataan, TJ juga sudah dipecat berdasarkan RUPS atau pertemuan Selamet dengan Gunawan Yusuf beberapa hari sebelumnya. Menurut Selamet ada sebuah surat yang sampai ke tangan Gunawan Yusuf, yang mempromosikan TJ sebagai Pemred karena TJ-lah sebetulnya orang yang menyusun konsep KJ. Konon, kata Selamet, Gunawan Yusuf tidak suka dengan cara-cara itu.
Dalam pertemuan dengan Gunawan itu, kata Selamet, ditegaskan, Selamet adalah orang nomor satu bukan Trulyn yang CEO. Trulyn karena itu, harus membantu Selamet, termasuk jika ada kepentingan, bukan Selamet yang menghadap Trulyn melainkan Trulyn yang menghadap Selamet. Karena keterangan Gunawan Yusuf, Trulyn kemudian “berbalik badan” dan mencoba meninggalkan TJ. Benar tidaknya, saya tidak tahu.
“Jadi, saya tetap orang nomor satu di KJ,” kata Selamet.
“Kalau memang orang nomor satu, kenapa kamu tidak menganulir keputusan Trulyn yang memecat aku?” saya mencoba bertanya.
“Enggak bisa Rus, itu sudah keputusan manajemen, aku dan Amu sudah membela mati-matian tapi Trulyn maunya tetap kamu dipecat. Kesalahanku adalah menahanmu saat mengundurkan diri,” kata Selamet.
“Siapa manajemen yang kamu maksud Met?”
“Ya kita semua, minus TJ,” kata Selamet.
“Loh kok bisa tanpa TJ?” tanya saya.
Selamet tidak menjawab. Dia malah menawarkan saya, untuk freelancer membantu KJ Minggu yang tentu saja langsung saya tolak. Saya tidak mau dikasihani. Saya hanya bilang, kalau memang benar saya dipecat, sediakan waktu untuk saya bertemu dengan manajemen: Selamet, TJ, Amu, Trulyn, Bagus dan Ken. Selamet dan Amu tidak memastikan, dan sebaliknya Selamet malah mengungkapkan hal lain.
“Malam setelah pemecatan itu, Hasbunal bilang ke aku, ‘Ya sudahlah mas, kalau memang keputusan manajemen begini. Yang penting saya tidak pernah menjelek-jelekkan KJ. Rusdi itu yang selalu menjelek-jelekkan KJ.’ Itu asal kamu tahu saja,” kata Selamet.
“Jadi kapan aku dipecat?”
“Ya ndak tahu, aku minta Trulyn yang manggil kamu, karena dia yang ngotot minta kamu dipecat,” kata Amu.
14 Maret 2010
Dini hari sehabis berbicara dengan Selamet dan Amu, saya dan Adi ke Mellys menjumpai anak-anak Minggu yang sudah menunggu. Saya ceritakan semua apa yang terjadi termasuk soal kepastian pemecatan saya. Kepada TJ dan Hasbunal saya mengirimkan SMS “Kamu jahat ke aku.” TJ langsung merespons SMS itu dan saling berbalas dengan saya, tapi dia akhirnya menelepon juga menjelang pukul 3 dinihari.
Dalam percakapan telepon itu saya maki-maki TJ. Saya menanyakan apa motivasinya menginginkan saya dikeluarkan dari KJ. TJ bilang sama sekali tidak pernah ada niat darinya menyingkirkan saya.
“Saya bilang, saya tidak menghalang-halangi orang yang mau mundur. Sebaliknya saya menaruh hormat,” kata TJ.
“Asal kamu tahu saja Je, aku tidak mau terlibat urusanmu dengan Selamet dan semua kepentingan politik kantor kalian. Kamu boleh tanya Adi, apa yang aku bicarakan setiap kali aku bertemu dengan Selamet dan Amu di bar,” kata saya.
Intinya saya tidak percaya dengan omongan Selamet, Amu dan TJ dan saya meminta TJ agar mempertemukan saya dengan dia, Selamet, Amu, Trulyn, Bagus dan Ken. TJ menyanggupi.
Senin 15 Maret 2010
Saya masuk kantor seperti biasa. Mengadakan rapat perencanaan untuk Minggu 21 Maret 2010, dan mencoba menerangkan apa yang terjadi. Malamnya, saya dan semua reporter Minggu bertemu di Mellys. Adi dan Nala Dipa Alamsyah minta izin tidak ikut. Dalam pertemuan itu saya jelaskan, agar teman-teman Minggu tetap bekerja seperti biasa dan tidak melakukan hal-hal yang tidak menguntungkan.
Saya mencoba menelepon Amu, dan sekali lagi bertanya apa sebetulnya yang terjadi. Intinya, Amu tetap pada penjelasan semula seperti yang diterangkannya di tempat parkir bar, bahwa pemecatan saya karena Trulyn tidak suka kepada saya. “Emailmu yang menyoal cuti bersama orang-orang nonredaksi itu juga menjadi persoalan. Aku sudah bilang, ‘Apa yang salah dengan itu?’” kata Amu.
Kata Amu pula, ketidaksukaan Trulyn kepada saya, karena saya diketahui pernah menegur anak buahnya. “Hanya karena itu?” saya bertanya. Amu mengiyakan.
Saya ingat, suatu hari saya melihat-lihat renovasi gedung sebelah yang kini menjadi kantor Trulyn itu. Waktu itu dia baru beberapa minggu diitugaskan di KJ. Tiba-tiba seorang perempuan berjilbab yang tidak saya kenal, tanpa sopan-santun, bertanya entah kepada siapa, “Lihat Ibu enggak?”
Saya tidak menjawab. Bukan saja karena merasa tidak kenal dengan perempuan itu dan sebaliknya, tapi juga merasa pertanyaan itu tidak ditujukan kepada saya. Ketika perempuan berjilbab itu melewati saya, dia malah bilang, “Kalau ditanya orang, jawab. Jangan diam saja.”
Saya mencoba menoleh, mencoba mencari adakah orang lain yang dia maksud. Ternyata tidak ada. Di ruang itu hanya ada saya. “Kamu tanya ke saya? Siapa kamu? Karyawan KJ? Kalau kamu enggak kenal aku, yang sopan bertanya? Ibu siapa yang kamu maksud?” saya bertanya dengan membentak.
Perempuan itu terkejut. Mungkin dia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu. “Ibu Trulyn,” kata dia. “Siapa pun bosmu, aku tidak peduli. Kamu harus belajar sopan jika bertanya ke orang,” kata saya.
Belakangan saya mendengar dari beberapa orang, perempuan berjilbab itu adalah anak buah Trulyn di kantor notarisnya. Entah benar, entah tidak. Sebelum saya membentaknya, dia katanya sering ke kantor KJ dan kerap menyuruh karyawan-karyawan KJ seenaknya mengerjakan urusan yang tidak ada hubungannya dengan urusan kantor KJ. Misalnya menfotocopy surat-surat dari kantor notaris milik Trulyn. Dia mungkin tahu, Trulyn sebagai bosnya juga menjadi pembesar di KJ, dan karena itu dia merasa bisa petentang-petenteng menyuruh karyawan KJ meski dia bukan karyawan KJ dan jelas bukan siapa-siapa. Namun hari itu, dia bertemu saya, dan saya membentaknya.
Dalam percakapan telepon dengan Amu itu, saya bilang “Ya sudahlah Mu, sekarang jelas apa sebetulnya yang kamu perjuangkan, selain cuma urusan perutmu sendiri,” kata saya.
Selesai menelepon Amu, saya menghubungi Hasbunal. Saya bertanya apa benar dia mengatakan seperti yang diomongkan Selamet kepada saya. Dia membantah dengan nada belepotan. Saya lalu bertanya apa motivasinya, menyeret-nyeret nama saya ketika dia dan Dudi dipecat.
“Kenapa? Kamu tidak suka ke aku?” tanya saya.
“Ya, saya tidak suka?”
“Kenapa?”
“Ya tidak suka saja,” kata Hasbunal.
“Oh kalau begitu kamu memang berhati busuk, persis seperti gusimu yang hitam. Gimana kalau ketemu aku, kita berantem fisik saja. Di mana pun, kapan saja, untuk memuaskan persoalan pribadimu dengan aku itu?” Hasbunal tidak menjawab.
Hasbunal, sejak awal, saya tahu memang tidak suka kepada saya. Suatu hari, ketika awal-awal saya bergabung dengan KJ, dia dengan pongah menepuk pundak saya dan berkata. “Kamu jangan ajari anak-anak reporter melawan redaktur,” katanya.
Saya menoleh. “Siapa kamu? Apa urusanmu melarang-larang aku? Kalau kamu memang pantas dan cakap sebagai redaktur, mestinya kamu tidak khawatir,” kata saya. Dia diam.
Saya tahu dari Selamet dan Amu, sebagian redaktur dan asisten redaktur di KJ memang tidak layak dengan jabatannya. Mereka berdua karena itu merencanakan demosi, alias penurunan jabatan. Bukan saja mereka tidak becus menulis, tapi juga tidak bisa memberikan petunjuk jelas kepada para reporternya dan sebaliknya malah hanya memberikan perintah-perintah.
Saya pernah bilang ke Amu dan Selamet, semua kesalahan berawal dari perekrutan wartawan. Sebagian dari wartawan, melamar ke KJ yang baru terbentuk sekadar mencari peluang dan jabatan, meski di media sebelumnya mereka belum lagi genap menjadi reporter. Saya masih ingat, Selamet selalu menyalahkan Nurcholis untuk soal itu. “Dia yang merekrut dan jadi kepala sekolahnya,” kata Selamet.
Lalu ketika saya diangkat menjadi Asredpel sejak Januari 2009 ketidaksukaan Hasbunal kepada saya mungkin sudah semakin tak terbendung. Apalagi saya memang dikenal dekat dengan Selamet dan Amu. Dugaan saya, dia berpikir saya menjadi Asredpel karena kedekatan saya dengan dua orang itu. Saya tertawa karena penunjukan dan pengangkatan saya sebagai Asredpel berdasarkan keputusan Selamet, Amu dan TJ.
Ketika saya diminta menghadap ke mereka dan diberitahukan akan menjabat Asredpel, saya menolak dan sebaliknya mencalonkan Fery (redaktur ekonomi) agar diangkat menjadi Asredpel.
Tentu saya paham dan tahu dari beberapa orang, di belakang saya, Hasbunal selalu menjelek-jelekkan saya dan anak-anak Minggu. Menyebarkan kasak-kusuk. Pernah seorang redaktur bercerita kepada saya, suatu hari Hasbunal memintanya untuk mencari tahu, besarnya gaji redaktur lain. Redaktur itu tentu saja menolak, karena menurutnya untuk apa tahu urusan rezeki orang. Adi pernah bercerita, salah satu alasan dia meminta untuk pindah ke edisi Minggu, juga karena alasan tidak cocok dengan Hasbunal yang selalu menyebar desas-desus.
Rabu 17 Maret 2010
Siang, TJ menanyakan keberadaan saya, dan saya jawab sedang menuju kantor.
“OK kita ketemu di sana,” kata TJ.
Sore hari, saya masuk kantor seperti biasa. Namun suasana sudah semakin tidak nyaman. Saya menghubungi TJ untuk menanyakan kepastian pertemuan dengan Selamet, Amu, Trulyn, Bagus dan Ken. Dia mengiyakan. Saya rapat checking dengan teman-teman edisi Minggu.
Dari ruang rapat, saya melihat Trulyn berada di ruangan Selamet. Pengawalnya menunggu di sudut, di depan pintu ruang rapat. Tak berapa lama, saya kemudian melihat TJ masuk.
Dia mengirimkan SMS ke saya, agar masuk juga. Saya tidak mau karena sebaiknya bilang dulu ke Selamet dan Trulyn. Dari TJ pula, kemudian saya mendapat kabar, Selamet dan Trulyn tidak mau bertemu dengan saya, dan Selamet meminta mereka mempercepat pertemuan. Mungkin dia khawatir saya akan nylonong masuk ke ruangannya saat itu.
Karena tidak ada yang bisa lakukan, saya SMS Amu, agar mau bertemu saya di bar di seberang kantor. Dia mengiyakan. Selepas Maghrib, kami bertemu. Belakangan, Selamet juga datang bergabung dan disusul Yoyok BP.
Kepada Yoyok, saya bilang, “Sampean dengar sendiri kan, sekarang, aku dipecat?”
“Ya nih jadi bingung,” kata Yoyok.
“Sorry Yok, memang tidak semua informasi aku sampaikan ke kamu,” kata
Selamet. Yoyok pergi.
Sesudahnya saya bertanya kepada Selamet dan Amu, kapan manajemen, bersedia bertemu dengan aku dan menjelaskan ke teman-teman redaksi soal pemecatan itu. Mereka tidak bisa memastikan, dan sekali lagi, menegaskan, bahwa yang akan memanggil saya untuk menjelaskan soal pemecatan saya adalah Trulyn. “Jangan dendam ke aku Rus,” kata Selamet. Saya nyegir.
Saya tahu belakangan, soal pemecatan Dudi, Hasbunal dan Nurcholis, sebetulnya sudah dibicarakan oleh Selamet dan Amu kepada Khairil Huda dan Yoyok, beberapa jam sebelum Hasbunal dan Dudi dipanggil ke ruangan Selamet, Jumat 12 Maret 2010. Menurut Khairil, pertemuannya di bar, seberang kantor itu. Sosialisasi kontrak lanjutan, begitu Khairil memberi istilah.
Kepada Khairil dan Yoyok, Selamet awalnya mengeluh soal kontrak kerja yang naga-naganya akan banyak ditolak oleh teman-teman. Selain itu, Selamet juga mengutarakan untuk tidak memperpanjang kontrak kerja teman-teman tapi dia masih segan mengutarakan. Disebutlah kemudian, nama Dudi, Hasbunal dan Nurcholish. Beberapa jam setelah pertemuan itu, di kantor, Selamet menelepon Khairil dan menyebutkan satu nama: Rusdi Mathari.
Kamis 11 Maret 2010
Anak-anak reporter Minggu menghubungi saya untuk bertemu. Saya mengiyakan. Di rumah saya, mereka mengutarakan niat untuk mogok atau boikot. Saya bertanya apa alasannya, dan mereka menjawab untuk memberi pelajaran kepada manajemen agar tidak sewenang-wenang. Alasan lainnya, manajemen dianggap tidak serius mengurus karyawan dan wartawan. Terbukti dengan diharuskannya meneken kontrak kerja baru, sementara kontrak sebelumnya belum habis.
Saya menegaskan risiko boikot atau mogok dan mereka menjawab sudah tahu dan sudah memperhitungkan. “Kalau Cak Rusdi dipecat, kami juga mau dipecat. Dan mogok ini, agar kami dipecat,” begitulah jawaban mereka.
Saya dihadapkan kepada pilihan yang sulit. Di depan saya, kini berdiri anak-anak muda yang rela menyerahkan harapan dan pilihannya, hanya sekadar untuk membela saya yang sudah rapuh. Saya akhirnya menyerah dan memilih berdiri bersama mereka. Saya katakan, semua tanggung jawab mogok itu akan saya ambil alih meski mereka menolak.
Menurut mereka, justru mereka yang akan bertanggung jawab. Namun saya jelaskan secata struktural saya tetap akan bertanggungjawab.
Mereka lalu mengungkapkan, sengaja mengabarkan rencan mogok itu di hari-hari terakhir menjelang deadline Minggu, justru untuk membulatkan agar mogok dan boikot yang mereka rencanakan benar-benar terjadi. Mereka sengaja tidak memberitahu saya, dan para redaktur mereka, karena tak ingin merepotkan. “Ok saya yang akan memberitahu Adi dan Nala,” kata saya.
Jumat 19 Maret 2010
Siang, saya mengirimkan SMS kepada Selamet, TJ, Amu, Bagus dan Ken, dan sekali lagi meminta agar segera ada pertemuan manajemen dengan para wartawan yang bisa menjelaskan soal pemecatan. Tidak ada jawaban dari mereka, kecuali dari TJ, yang mengaku sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Menjelang Isya, saya dan teman-teman reporter Minggu bertemu di Bulungan, Blok M. Adiyanto dan Nala, tidak kami undang, karena sesuai rencana reporter, mereka tidak mau melibatkan dan memberikan beban risiko kepada keduanya. Namun Adi tahu rencana mogok itu setelah diberitahu oleh Teguh Nugroho. Alasan Teguh, dia tidak tega melihat Adi.
Saya kemudia menghubungi Adi dan Nala, agar bisa bertemu di Mellys. Keduanya mengiyakan. Kepada mereka, saya jelaskan, semua rencana dari teman-teman reporter dan sikap saya. Saya memberikan pilihan, keputusan ada di tangan mereka: Ikut atau tidak. Namun Adi dan Nala menyatakan kesediaannya untuk ikut memboikot.
Saya mengirimkan SMS kepada TJ perihal rencana pemogokan itu. Dia mengimbau untuk tidak dilakukan dan mencari jalan lain. Saya bilang sudah tidak bisa.
Sabtu 20 Meret 2010
Saya mengirimkan SMS kepada Selamet sebagai Pemred, soal rencana saya memboikot edisi Minggu, sebagai respons tidak adanya tanggapan dari manajemen untuk menjelaskan secara terbuka, perihal pemecatan wartawan KJ. SMS itu saya tembuskan ke TJ, Amu, Bagus dan Ken.
Tidak ada jawaban dari mereka semua. Di Facebook, saya utarakan maksud saya untuk mogok.
Amu mengirim SMS dan menelepon Adi yang dijawab oleh Adi, agar menghubungi saya sebagai penanggungjawab Minggu. Nala juga dihubungi. Selamet menghubungi Kristian Ginting, tapi Kristian tidak mengangkat panggilan telepon Selamet. Yebdi, Sekretaris Redaksi sibuk menghubungi teman-teman reporter Minggu karena disuruh oleh Selamet. Kepada Yebdi, Selamet meminta untuk tidak menghubungi saya.
Di Bulungan, semua teman-teman tim Minggu bertemu. Kepada Adi dan Nala, para reporter menjelaskan alasan mereka, termasuk soal kenapa tidak mau memberitahukan rencana boikot kepada keduanya. Adi kecewa karena seandainya dia tidak diberitahu, dan kemudian dia masuk kantor pada Sabtu, maka menurut dia, semua beban kerja akan diberikan kepadanya. Sebelum pertemuan berakhir, kami sepakat membuat kaus tanda solidaritas.
Dari beberapa orang yang masuk kantor pada Sabtu itu, saya mendengar kabar, ada beberapa orang yang dipanggil masuk mengerjakan edisi Minggu. Ada Yuniawan dan Arief (eks wartawan Suara Pembaruan, teman Selamet), yang bekerja kembali di KJ setelah mengundurkan diri. Ada juga Yoyok dan Edwin
Fajar.
Malam itu saya juga mendengar kabar, kantor KJ didatangi oleh lima orang satuan pengamanan tambahan. Selamet memerintahkan, agar mulai saat itu, setiap satpam yang bertugas, mencatat kapan saya dan TJ masuk dan keluar kantor. Mogok terjadi.
Minggu 21 Maret 2010
Edisi Minggu terbit 16 halaman dan sangat berantakan. Hanya sekadar terbit untuk menutupi malu. Saya menuliskan beberapa alasan soal mogok itu di Facebook sekaligus meminta maaf kepada para pembaca, dan berjanji akan menemui kembali 28 Maret 2010.
Senin 22 Maret 2010
Saya dan tim Minggu mengadakan rapat perencanaan untuk edisi 28 Maret. Kepada teman-teman, saya katakan tidak ada lagi aksi mogok atau boikot dan agar bekerja seperti biasa. Kami bubar menjelang tengah hari.
Sekitar jam 2 siang, teman-teman tim Minggu mengabarkan kepada saya, mereka dipanggil untuk menghadap Selamet. Semuanya, kecuali saya. Semula saya bertekad ikut dengan mereka untuk bertemu dengan Selamet tapi ada beberapa alasan yang menyebabkan saya harus menunggu, antara lain, karena teman-teman sepakat, seandainya Selamet bertanya alasan pemogokan, mereka akan menjawab, saya yang bisa menjelaskan. Harapannya, Selamet kemudian akan cukup gentle memanggil saya.
Pertemuan antara teman-tema tim Minggu dengan Selamet berlangsung di ruang rapat Lantai 1 yang di dalamnya dilengkapi dengan kamera pengintai dan perekam suara. Namun hasilnya, mudah ditebak, Selamet dan juga Amu, tidak mau berhadapan dengan saya di kantor secara resmi.
Selamet mengatakan, mulai hari itu, edisi Minggu dia ambil alih. Tidak ada penjelasan, apa yang dia sebut sebagai ambil alih: Apakah dia yang akan ikut terjun mengedit, atau akan ada tim lain yang mengerjakan edisi Minggu.
Kata dia, karena saya belum mencabut pernyataan boikot yang dikirim lewat SMS maka saya tidak berhak mengelolah edisi Minggu. Saya pun mengirimkan SMS berisi pernyataan pencabutan boikot dan akan bekerja seperti biasa. SMS itu ditembuskan, kepada TJ, Amu, Bagus dan Ken. Namun tidak ada jawaban.
Kesimpulan para reporter tim Minggu, Selamet dan Amu memang pemimpin yang plintat-plitut dan pembohong. Hari itu dia bilang, keputusan pemecatan saya bisa berubah. Entah apa maksudnya.
Malam harinya, saya mencoba menghubungi Selamet dan Amu, dan mengajak mereka bertemu di bar di seberang kantor. Mereka mengelak dengan banyak alasan.
Selasa 23 Maret 2010
Ponsel saya berdering. Thia, manajer HRD KJ, yang dengan bangga selalu mengaku sebagai orang Trulyn itu menghubungi saya.
“Pak Rusdi bisa ke kantor sore ini?”
“Oh ya, saya memang mau ke kantor. Tapi untuk urusan apa saya harus
menghadap ke Anda?”
“Ada yang harus diselesaikan Pak?”
“Apa itu?”
“Soal yang kemarin itu.”
“Boikot? Kan sudah selesai kata Selamet?”
“Makanya kita bisa di kantor saja Pak. Enggak enak bicara di telpon.”
“Tidak. Kalau cuma itu. Apa agenda lainnya. Saya dipecat kan?”
“Jangan begitu Pak. Tidak diperpanjang kontraknya.”
“Mulai kapan?”
“Bulan ini.”
“Anda tahu kapan kontrak saya berakhir?”
“Loh kapan Pak Rusdi teken kontrak?”
“Kamu pikir aku tenaga kerja ilegal apa?”
“Bukan begitu Pak, semua file hilang.”
“Saya tidak mau tahu. Bilang pada bosmu Trulyn, dia harus menjelaskan sendiri soal pemecatan saya. Saya sudah juga sudah minta Selamet dan Amu menyediakan forum untuk itu.”
“Waduh saya hanya menjalankan tugas Pak.”
“Kalau begitu, ya sudah. Saya tidak mau datang.”
Telepon saya tutup. Saya kemudian menelepon Selamet dan tumben dia berani mengangkat panggilan telepon saya. Singkat kata, saya menggugat kepemimpinan dia yang mencal-mecle, licik dan jahat. Dia memelas. Saya
terus mengumpat.
Ada satu hal penting yang dia katakan soal KJ. Kata Selamet, secara bisnis KJ sebetulnya rugi besar dan Gunawan Yusuf berniat untuk menutupnya. Namun kemudian ada sejumlah pilihan, yang menyebabkan KJ tidak ditutup, antara lain pemecatan sejumlah karyawan dan wartawan termasuk saya. “Kalau diminta aku yang harus pergi dari KJ, ya aku memilih tetap di sini,” kata Selamet.
Saya katakan saya bersedia diberhentikan tapi caranya sesuai aturan dan beradab, dan tidak menyebarkan fitnah dan desas-desus. Saya juga meminta, selain harus diselesaikan masa kontrak saya, saya minta hak intelektual saya yang merancang KJ edisi Minggu. Selamet bilang, dia tidak tahu menahu soal kontrak-kontrak kerja para wartawan. Saya bilang tidak mau tahu, karena dialah pemimpin redaksi, orang nomor satu di redaksi dan karena itu semua tanggungjawab keredaksian ada padanya.
Saya juga berusaha menelepon Amu tapi dia tidak mau menjawab. Saya mengirim SMS ke dia, “Kamu licik.”
Dia membalas, “Saya mau tenang dulu. Saya tahu kamu akan memaki-maki saya.” “Tidak. Buat apa memaki-maki orang mati.” Saya membalas SMS Amu.
Sore harinya, Selamet dan Amu, meminta teman-teman Minggu datang ke kantor untuk rapat perencanaan. Tapi hanya Adi dan Nala yang datang. Menurut Adi, isi perencanan tidak berubah dari yang sudah kami rencanakan dalam rapat Senin pagi.
Teman-teman yang baik
Saya menulis ini, karena jelas saya marah diperlakukan tidak adil. Namun di luar itu, saya hanya hendak menjelaskan duduk persoalan yang saya tahu, agar tidak ada lagi fitnah dan desas-desus.
Jauh sebelum gonjang-ganjing ini, saya beberapa kali mengirimkan email lewat jaringan outlook kantor, tapi entah kenapa tidak pernah sampai ke seluruh karyawan. Antara lain saya memprotes form penilaian untuk para wartawan yang mirip form penilaian buruh pabrik, hanya menyinggung soal absent dan hubungan antarkaryawan.
Saya juga menyoal soal keputusan sepihak manajemen yang kemudian hanya membatasi, uang kesehatan untuk anggota keluarga karyawan menjadi hanya 70 pesren setelah hak uang kesehatan setiap karyawan dibatasi sebesar Rp 1 juta per tahun.
Seorang redaktur Minggu bercerita, ketika diminta meneken kontrak baru, Thia mengatakan, si redaktur itu mendapat nilai excellent dan karena itu kata Thia diganjar kenaikan gaji paling besar. Saya tertawa mendengar itu, karena bahkan hingga hari ini, sebagai atasan langsung yang tahu betul kinerja dia sebagai wartawan saya sama sekali belum memberikan penilaian apa pun. Jadi dari mana penilaian redaktur itu?
Benar-benar sebuah dagelan, meski Selamet, TJ, Trulyn, Amu, Bagus, Ken dan
juga Thia bukan pelawak.
Kalibata 24 Maret 2010
tabik
Rusdi Mathari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar