17 Juni 2011

Pembatasan peliputan di DPR menuai reaksi organisasi profesi

Di tengah sorotan rakyat atas kinerja buruk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), justru muncul upaya membatasi akses publik atas informasi tentang kinerja para wakil rakyat. Upaya pembatasan itu tercermin dari rencana Badan Urusan Rumah Tangga DPR menyusun aturan bagi jurnalis yang meliput di DPR. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menilai rencana itu berpotensi menutup akses warga negara untuk memantau kinerja parlemen.



Buktinya, belum lagi aturan itu disahkan, pembatasan akses jurnalis untuk meliput telah diterapkan di lapangan. Pada Senin (13 Juni 2011) pagi, wartawan Liputan6.com, Kristian Ginting, dan wartawan Komhukum.com, Kahfi, dilarang memasuki gedung Nusantara I, kompleks parlemen DPR. Sejumlah petugas Pengamanan Dalam (Pamdal) DPR menahannya di pintu masuk, dengan alasan Ginting tidak memiliki tanda pengenal wartawan yang diterbitkan Sekretariat Jenderal DPR.

Setelah insiden itu, Kepala Biro Humas dan Pemberitaan DPR, Helmizar, menegaskan bahwa peliputan di DPR hanya bisa dilakukan oleh wartawan yang memiliki tanda pengenal yang diterbitkan Sekretariat Jenderal
DPR. Wartawan yang tidak memiliki tanda pengenal diminta melapor ke Bagian Pemberitaan Setjen DPR untuk mendapatkan tanda pengenal harian atau bulanan.

AJI Jakarta menilai pengaturan bagi jurnalis yang meliput di kompleks parlemen sah-sah saja dilakukan, asalkan memenuhi sejumlah persyaratan:

1. Penyusunan aturan peliputan di DPR harus partisipatif, dengan melibatkan pemangku kepentingan seperti organisasi profesi wartawan dan media yang menempatkan wartawannya di DPR.

2. Pengaturan peliputan di DPR tidak boleh membatasi akses wartawan meliput aktivitas pimpinan, alat kelengkapan, dan anggota parlemen.

3. Pengurusan tanda pengenal bagi jurnalis yang meliput di DPR harus cepat, tidak bertele-tele, dengan prosedur standar yang jelas sehingga tidak menunda kesempatan wartawan untuk segera bekerja.

4. Penerbitan tanda pengenal ini harus dibarengi kemudahan akses bagi jurnalis untuk mendapatkan salinan dokumen resmi, jadwal kegiatan, risalah, atau data apapun terkait kerja dan kinerja pimpinan dan anggota DPR.

Jika keempat persyaratan ini tidak dipenuhi, maka pengaturan jurnalis peliput DPR yang tengah digodok Badan Urusan Rumah Tangga DPR berpotensi menjadi pembatasan jurnalis. Ini tentu bertentangan dengan
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 angka (3) yang menyatakan untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi. Setiap orang yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan itu, terancam pidana penjara dua (2) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Pembatasan peliputan dan akses wartawan juga melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Kebebasan Informasi Publik. Pasal 4 ayat (2) aturan itu menyatakan setiap orang/warga negara berhak melihat dan mengetahui informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik terkait dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara. DPR jelas termasuk badan publik yang harus tunduk pada aturan ini.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyatakan:

1.Mengecam pembatasan peliputan yang dialami sejumlah wartawan pada 13 Juni lalu. Pembatasan itu, selain tidak punya dasar hukum kuat, juga melanggar hak konstitusional warga negara dan ketentuan UU Pers.

2.Mendesak DPR agak aturan peliputan bagi jurnalis di parlemen dirumuskan dengan mekanisme yang partisipatif, serta memperhatian ketentuan di dalam konstitusi, UU Pers dan UU Kebebasan Informasi
Publik.

3.Mendukung upaya DPR menghentikan praktek-praktek pemerasan berkedok wartawan atau pelanggaran kode etik jurnalistik, selama upaya penertiban dan pengaturan dilakukan dengan cara-cara yang menghormati
hak konstitusional warga negara serta aturan hukum yang berlaku. | Press Release

Tidak ada komentar:

Posting Komentar