24 Juni 2011

Pelanggaran Hak Warga Negara Bisa Dilawan

Pelanggaran atas salah satu hak sosial publik berpotensi menjalar ke persoalan sosial lainnya namun tidak semua warga negara berani menuntut atau mempermasalahkan hal itu, karena perlawanan dalam banyak kasus menimbulkan respon negatif terhadap warga negara. Sehingga perlawanan parsial hanya menghasilkan penyelesaian parsial yang tidak mencabut akar persoalan. Demikian pernyataan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dalam Diskusi "Menggugat Negara atas Kelalaian dalam Memberikan Pemenuhan Hak Dasar dan Perlindungan Sosial bagi Masyarakat Indonesia" kemarin.



Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat mengungkap persoalan yang mendominasi pengaduan masyarakat ke lembaganya adalah perumahan dan kesehatan, dari banyak masalah lain seperti layanan transportasi, komunikasi,pendidikan, infrastruktur, serta listrik dan air. Buruknya pelayanan sosial di Indonesia menurut Nurkholis tercermin dari Survei Integritas tahunan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di mana tahun lalu saja Jakarta hanya mampu merebut dua tempat di posisi 10 besar dari 22 pemerintah kota yang disurvei.

Nurkholis mencontohkan "Pelanggaran atas hak identitas (dalam hal ini pembuatan KTP) akan berimbas pada terganggunya pemenuhan hak-hak lain seorang warga negara mulai dari pekerjaan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, bahkan pangan." Keberanian warga negara memprotes masalah-masalah yang mereka hadapi hanya menimbulkan reaksi negatif "misalnya kasus Prita (Mulyasari versus Rumah Sakit Omni International tahun 2009-red)."

J. Prastowo dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengatakan pola hubungan yang digunakan negara untuk menghadapi persoalan hak warga negara bukanlah negara berhadapan dengan masyarakat tetapi "bagaimana rakyat bisa diadu dengan rakyat." "Negara," lanjutnya, "mnciptakan kelompok-kelompok seperti di Kalimantan untuk membentuk pandangan publik bahwa peladang berpindah adalah perambah hutan, dan penduduk asli dieksklusi dari hak ekonomi mereka."

Proses pembuatan kebijakan publik di Indonesia menurutnya tidak didasarkan pada basis ideologi yang jelas. Tidak ada upaya menjawab pertanyaan "bagaimana kita memecahkan sebuah persoalan, atau ke arah mana suatu hal bisa diarahkan."

Parameter yang digunakan pemerintah untuk mengidentifikasi persoalan juga dipertanyakan oleh Prastowo. "Karena target MDGs Bappenas bilang, kemiskinan berkurang tapi gembel ada di mana-mana. Kematian ibu melahirkan dibilang turun tapi Indonesia masih peringkat lima dunia," lanjutnya.

Warga negara menurut Prastowo harus lebih proaktif menghadapi persoalan ini secara sistemik, bukan secara sporadis, karena pengaduan individual hanya menghasilkan penyelesaian individual, tidak menyeluruh.

Ia optimis hal itu dapat dilakukan bila Lembaga Swadaya Masyarakat memperluas jangkauan ke kelompok lain, seperti mereka yang hidup di birokrasi level menengah karena menurutnya masih ada kelompok yang kritis namun tidak berani bertindak karena takut kehilangan pekerjaan mereka. Kedua peran media sosial (Facebook, Twitter) yang terbukti telah menjadi penghubung antar warga negara dalam menyikapi isu-isu sosial walaupun aksi nyata turun ke lapangan belum sebesar aksi di dunia maya. Ketiga pemogokan sipil dalam membayar pajak karena masyarakat punya hak mendapat pelayanan dari pajak yang mereka bayar. Dan terakhir pencabutan mandat dari pemerintah yang berkuasa. | Ronaldo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar