Sebuah diskusi menarik bersama kawan-kawan aktivis, belum lama ini. Tentang ‘ego sektoral’. Dalam banyak kasus, ego jenis ini tidak menguntungkan kepentingan bersama, besar dan lebih general. Sayangnya, semangat ini masih sering muncul.
Bayangkan sebuah komunitas besar, yang didalamnya ada komunitas-komunitas kecil dengan basis yang berbeda. Komunitas besar memiliki tujuan, begitu juga komunitas-komunitas kecil. Dalam banyak kasus, kepentingan komunitas-komunitas kecil ini mampu membuyarkan kepentingan yang lebih besar.
Bila hal itu ditanyakan kepada komunitas kecil yang terus mengusung kepentingannya, hampir pasti mereka menolak mengakui bahwa sedang memperjuangkan kepentingan komunitasnya sendiri. “Ah nggak kok, ini juga masalah komunitas besar, kami sudah melebur menjadi satu.” Begitulah alasan yang terdengar.
Bahkan yang lebih parah, komunitas kecil itu justru mengatasnamakan komunitas besar, dan menyalahkan elemen kecil yang lain. Dengan tuduhan serius: Mereka (komunitas kecil lain) telah keluar dari kesepakatan bersama! Wow,...
Masakan Bernama Koalisi
Konflik berbasis ‘ego sektoral’ bagi saya ibarat menu makanan yang cemplang (istilah jawa untuk rasa masakan yang tidak karuan-red). Masing-masing bumbu masakan, atau elemen masakan lainnya terlalu ‘kuat’ dalam masakan itu. Akibatnya, rasa lainnya ‘tenggelam’ dan tidak bisa dirasakan dengan sempurna.
Kata penyanyi dangdur Cucu Cahyati, yang sedang-sedang saja yang paling baik. Dan tidak terlalu. Namun dalam kenyataannya, standarisasi yang ‘sedang’ dan ‘terlalu’ itu yang tidak jelas. Sering kali, ketika kita memunculkan kepentingan dari komunitas kita, kesannya ‘tidak berlebihan’. Tapi bila komunitas lain yang melakukannya, justru terasa sebaliknya.
Namun, agaknya, bila kita melihat lagi kepentingan yang lebih besar, perlu ada ‘deklarasi’ internal (dalam diri masing-masing anggota), komunitas kecil dan komunitas besar untuk tidak lagi mengusung kepentingan masing-masing. Serius, ini sulit minta ampun untuk diimplementasikan. Tapi mudah diucapkan.
Bagaimana solusinya? Yang paling sederhana adalah ‘penghapusan’ bendera, dalam komunitas besar. Secara teknis itu mudah, harus disepakati untuk tidak mengusung bendera dalam terminology apapun. Ingat kisah three musketeer: All for one, one for all. Bisakah ini dilakukan? Sulit banget!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar