Youtube Pilihan Iddaily: Sejarah Laut Mati

20 May 2011

Kisah pelaut Indonesia yang setahun disandera di Somalia

Suatu malam di laut Arab. Octiansah dan lima temannya sedang bersiap beristirahat di kamar anak buah kapal (ABK) kapal ikan Jin Chun Tsai. Sepanjang hari, mereka bekerja di shift siang, sampai waktu oplosan tiba. Lima ABK lain, ganti bekerja malam itu. Tiba-tiba, terdengar dentuman meriam beberapa kali. Bersahutan dengan rentetan suara keras bak petasan dalam tradisi Betawi. Kapal telah dibajak!

Peristiwa yang terjadi pada 28 Maret 2010 itu masing terngiang di benak Octiansah dan sembilan rekannya. Apalagi, peristiwa itu dibumbui dengan peristiwa lain yang lebih menakutkan. Pukulan, tendangan hingga ancaman bunuh, menjadi sesuatu yang biasa dialami dalam penyanderaan yang berlangsung selama 12 bulan. “Semua masih ternginang sampai saat ini,” kenang Saparudin, satu dari 10 ABK yang juga ikut disandera.

Kisah itu berawal tahun 2008, ketika kesepuluh nelayan asal Jawa Tengah dan NTT itu mendaftarkan diri sebagai pelaut di PT. Surya Mitra Bahari di Jakarta. Seorang lagi, Nurdin asal Banten, mendaftar di PT. Wahana Samudera Indonesia. Oleh dua perusahaan itu, mereka diberangkatkan ke Taiwan, untuk bekerja di perusahaan Jia Feng Yi Co LTD, Taiwan. Kesepuluh pelaut itu adalah Edi Suprayitno, Yasno, Octiansh, Amier Hidayat, Slamet Riyadi, Saparudin, Japar, Agretas Bartolomeod Sau, Ahmad Yani dan Nuruddin.

Beberapa bulan setelah itu, sekitar 14 September 2009, kesepuluhnya mulai berlayar dengan kapal Jin Chun Tsai 68, menuju Thailand yang ditempuh selama 13 hari. Selama lima bulan, mereka bekerja dengan Kapten Wu Lai Yu alias Pina. Perjalanan dilanjutkan ke perairan Sri Lanka pada 27 Februari 2010. Lalu kembali berlayar ke perairan Somalia untuk menangkap ikan jenis Hiu dan Ikan Cucut.

DIBAJAK

Tragedi itu mulai terjadi pada 28 Maret 2010. Malam itu, ketika sedang ganti shift, kapal digaduhkan oleh kedatangan delapan perompak Somalia yang ditandai dengan ledakan dan rentetan tembakan senjata, yang kemudian diketahui jenis AK 47. “Kami yang kebingungan mencoba mencari tahu, saat itu beberapa orang sudah berada di kapal, entah datang dari mana, kulit mereka yang gelap menyamarkan kedatangan,” kenang Octavianus.

Tembakan yang tidak beraturan, sempat membentur beberapa kali di tiang-tiang kapal. Para nelayan yang menyadari, bersembunyi dengan tiarap di lantai kapal. Mereka ketakutan. Perompak pun berhasil menguasai kapal. Kapten dan awak kapalnya tidak memberikan perlawanan. Kekuatan perompak semakin besar, ketika 9 orang perompak lain, naik ke kapal, dan makin melumpuhkan kapal berbendera Taiwan itu. Kapal yang dikuasai perompak dipaksa berlayar ke Somalia selama 5 hari. ABK yang ketakutan dikunci di ruang ABK.

Hari-hari bersama perompak bukan hal yang menyenangkan. ‘Dunia’ para nelayan yang awalnya begitu luas, seluas samudera yang terbentang, merubah menjadi ruang berukuran 6x3 meter. Mereka hanya diizinkan ke kamar mandi yang terletak beberapa meter di depan kamar. Itu pun dipisahkan oleh pintu besi yang selalu terkunci. “Kami harus mengetok pintu bila ingin ke kamar mandi, saat pintu diketok, terdengar kokangan senjata AK 47 penjaga di depan pintu,” kenang Edy Suprayitno, salah satu ABK.

Makanan dan minuman pun dibatasi. Semuanya diambil dari persediaan kapal JCT yang hanya bertahan selama dua bulan. Ketika persediaan habis, perompak menyupai beras dengan kualitas buruk. Lauk pauknya ikan hasil tangkapan nelayan, serta bumbu-bumbu yang tersisa. “Dua-tiga bulan pertama begitu menakutkan, kami benar-benar di bawah ancaman,” kata Octiansah.

Namun semuanya mulai berubah seiring interaksi dengan perompak. ABK asal Indonesia itu diberi sedikit keleluasaan untuk berjalan-jalan di atas kapal. Dan puncak kepercayaan itu adalah diajaknya ABK kapal untuk ikut membajak kapal lain. Peristiwa itu terjadi pada akhir 2010.

MEMBAJAK

Suatu malam, tiba-tiba kapal bergerak ke tengah laut, dengan membawa 27 awak, 10 di antaranya adalah ABK Indonesia. Setelah berlayar beberapa jam menembus kegelapan laut, kapal berhenti, dan mematikan semua lampu. Beberapa orang bersenjata AK 47, mortar dan membawa tangga sepanjang 7 meter, pindah ke kapal speed boat, dan melaju menembus malam, menuju ke sebuah kapal yang sedang beraktivitas menangkap ikan.

“Ini menyeramkan, seperti yang terjadi di kapal kami, dua boat itu mengejar kapal itu, menembakkan mortir dan senjata beberapa kali,” kenang Octiansah. Begitu sudah menjangkau kapal, tangga itu dikaitkan,lalu dan secara bergantian naiklah para perompak di geladak. Saat semua dianggap aman, kapal utama, yang tak lain kapal JCT merapat ke kapal yang sudah dikuasai.

Dalam pembajakan ketiga yang dilakukan oleh perompak Somalia dengan mengikut sertakan ABK Indonesia, tidak berlangsung mulus. Kapal Crude Palm Oil (CPO) berbendera China. Dengan cara yang sama, perompak mencoba menguasai kapal itu. Namun, kapal itu memiliki sistem otomatif yang bisa mengunci pintu dari dalam. Perompak yang ada di atas kapal pun tidak bisa menguasai kapal. Saat itulah, tanpa diketahui oleh perompak, kapten kapal melaporkan kejadian itu kepada AL Selandia Baru.

Tak beberapa lama, datanglah helicopter AL Selandia Baru untuk membantu. Saat AL meminta perompak sebanyak 15 orang itu menyerah, tiba-tiba para perompak menjadikan ABK Indonesia sebagai tameng hidup. Mereka mengatakan akan membunuh ABK asal Indonesia, bila tidak dibebaskan. Beruntung, AL Selandia Baru menuruti keinginan pembajak, dan membiarkan mereka pergi, bersama kesepuluh ABK asal Indonesia.

Begitulah, setidaknya tiga kali ABK asal Indonesia diajak merompak. Perompakan yang sempat berhasil adalah kapal Irene SL berbendera Yunani. Peristiwa pembajakan yang gagal terjadi pada pembajakan ketiga. Melalui pembajakan ketiga ini jugalah, drama 12 bulan penyanderaan 10 ABK berakhir. Pembajakan terakhir di laut Arab yang diwarnai dengan baku tembak itu membuat tiga pembajak tertembak.

Satu tewas, dan dua lainnya terluka parah. “Saat itulah, pembajak Somalia menghubungi AL AS, USS Halyburton FFG 40 agar bisa memberikan pengobatan. Kompensasinya, 10 ABK Indonesia dan 3 sandera Yaman, akan dibebaskan. Barter pada bulan Maret 2011 itu berlangsung sukses. Octiansah diantarkan ke KBRI di Muscat, Oman, Arab Saudi. “Saat kami berada di kapal AS itulah, kami dengar kapal Indonesia MV Sinar Kudus dibajak,” katanya.

PERJUANGKAN HAK

Kisah 10 pelaut itu berlanjut di Indonesia, ketika sebulan lalu, mereka datang dan berusaha mempertanyakan hak-haknya ke PT. Surya Mitra Bahari dan PT. Wahana Samudera Indonesia di Jakarta. Sejak pertama kali melaut, disandera perompak sampai dibebaskan, belum pernah sepeserpun mereka mendapatkan gaji USD 240/bulan yang dijanjikan. Gaji sebanyak 19 bulan itu belum dibayarkan.

Pihak perusahaan berdalih, mereka belum mendapatkan konfirmasi dari perusahaan rekanan di Taiwan, tentang pembayaran gaji para pelaut itu. “Pihak perusahaan mengatakan, seluruh gaji akan dibayar, bila kapten kapal JCT yang saat ini masih disandera, juga dibebaskan,” terang Octiansah. Namun, kapan itu akan terjadi, tidak ada kejelasan sama sekali. Saat didesak, pihak perusahaan bahkan mengancam balik.

Merasa hak-haknya diabaikan, para pelaut meminta bantuan Perhimpunan Bantuan Hukum Tenaga Kerja Indonesia (PBHTKI) untuk juga ikut mendapatkan hak-haknya. Benhart Nababan, Direktur PBHTKI mengatakan, posisi hukum kesepuluh pelaut sudah cukup kuat untuk mendapatkan hak-haknya. Namun, faktanya, tidak terbukti di lapangan. “Semua sudah kami laporkan ke BNP2TKI dan berlanjut ke Kemenlu untuk bisa membela mereka,” katanya.


Tidak hanya itu, PBHTKI bersama ke sepuluh pelaut melaporkan kejadian ini ke Komisi IX DPR. Termasuk bertemu langsung dengan anggota Komisi IX dari PDIP, Rieke Dyah Pitaloka. “Nasib pelaut selama ini tidak dianggap sebagai TKI, tidak pernah mendapatkan pelatihan, apalagi perlindungan, ini harus diusut tuntas,” katanya.

Di sela-sela kelegaan karena terbebas dari cengkeraman perompak, meski masih berjuang untuk mendapatkan hak mereka yang belum terbayarkan, namun satu hal lain yang masih mengganjal. Yakni tentang masih adanya satu sandera asal Indonesia lain yang belum dibebaskan. ABK asal Jakarta itu bekerja di kapal Blida. Hingga saat ini, tidak jelas nasib ABK asal Indonesia itu, meski saat bertemu dengan Octiansah dkk, dia mengaku akan segera dibebaskan.

“Semoga, dia baik-baik saja,” kata Octiansah.

No comments:

Post a Comment