01 Mei 2011

Buruh itu kita, kita itu buruh

Penjara AJI Jakarta, May Day 2011
Kali ini di tahun 2011, May Day kembali diperingati. Untuk kesekian kalinya, jutaan buruh di seluruh dunia turun ke jalan, meneriakkan kenyataan-kenyataan nasib yang belum berubah, tekanan-tekanan yang mereka alami, tidak adanya perhatian dari pemerintah, dan berbagai persoalan lain. Namun sesudahnya, kosong,..


Bagaimana kondisi buruh dan cerita duka yang selalu menyelimutinya, bisa dicari di ribuan tulisan di internet. Termasuk bagaimana cara pengusaha dan pemerintah mengabaikan kelompok terbawah dalam rangkaian aktivitas produksi itu. Bisa jadi, orang akan bosan mendengarnya. Karena tahun berganti, keadaan tidak berubah.

Seperti halnya kelompok termarjinalkan lain seperti petani, nelayan, pekerja informal dan sebagainya. Orang-orang ini penuh dengan pengalaman buruk dalam hubungan dengan majikan, perusahaan atau pemerintah. Mereka terdesak, tapi tidak kuasa untuk melawan karena tahu, sebesar apa pun perlawanan pasti akan menemukan sebuah kata: kekalahan.

"Hebatnya", kondisi yang sama juga mencengkeram kelompok profesional (baca: yang mengaku profesional). Buruh-buruh pekerja kantoran yang mungkin berbeda secara atmosfir pekerjaan, namun sama dalam kenyataannya. Mereka bernasib buruk, dan tidak lebih sebagai bagian dari alat produksi. Tempat bos dan majikan memerintah, tanpa diberi ruang untuk mendapatkan hak-haknya. Mereka, mungkin juga kita, adalah buruh juga.

Dengan alasan itulah May Day hadir di tengah-tengah kita. Sebuah perayaan atas perlawanan terhadap kekalahan. Terbaca sangat normatif bukan? Memang seperti itu keyataannya. Buruh di berbagai belahan dunia selalu berada dalam posisi yang termaljinalkan. Mendapatkan upah yang jauh lebih kecil dari majikannya, tanpa tahu, bagaimana skema upah itu ditentukan.

Jangankan bicara tentang peningkatan upah, untuk bertanya apakah ada perubahan status dari 'kontrakan' menjadi 'karyawan tetap' saja, pada buruh ini tidak punya kuasa. Tidak ada pilihan selain 'nrimo ing pandum' (baca: menerima apa yang dibagikan), tanpa ada kuasa untuk memperbaikinya."Hebatnya" lagi, di sisi lain, majikan menginginkan terus ada peningkatan hasil produksi.

Berhak memindah-mindah posisi seenak hati, atau bila perlu, menghentikan menurunkan upah tanpa alasan. Bila buruh bertanya, selalu dianggap melawan. Dan tidak lama, surat pemberhentian akan muncul. Buruh terlempar di jalanan. Di mana keadilan?

Karena itulah, May Day hadir,..


Iman D. Nugroho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar