24 April 2011

Meniti nasib kamerawan Global TV dalam kasus terorisme

Dan inisial IF atau sebagian media sudah menyebut nama Imam Firdaus, ditangkap Detasemen Khusus (Densus) Anti Teror 88 karena dianggap terlibat kasus terorisme. Oleh tersangka yang lain, karyawan Global TV ini diminta untuk menyiarkan aksi terorisme yang rencananya dilakukan pada perayaan Paskah 2011, melalui televisi. Bagaimana nasib Imam selanjutnya?


Babak baru kasus terrorisme, dengan menyeret Imam yang merupakan seorang wartawan ini tergolong unik. Di Indonesia, sepanjang catatan, sama sekali tidak ada koneksi antara aksi terorisme dengan profesi jurnalis. Apalagi, memasukkan jurnalis sebagai bagian dari aksi terornya. Selama ini, jurnalis hanya ‘masuk’ dalam aktivitas peliputan, tanpa ada embel-embel sebagai pelaku.

Teroris dan Media

Terorisme adalah sesuatu yang ‘seksi’ bagi media massa. Efeknya yang besar, dengan ‘drama’ yang mengiringi, dianggap layak untuk diberitakan. Simak saja kasus terorisme yang terjadi di Indonesia. Mulai Bom Bali I, Bom Bali II, Peledakan Kedutaan Besar Australia, Peledakan Hotel Marriot, hingga yang terakhir peledakan di Masjid Mapolres Cirebon. Media selalu memberitakan.

Muncul pemikiran, apakah teroris menghitung peran media yang begitu besar? Jelas. Ketika Gedung WTC di AS meledak, dan nama Osama Bin Laden disebut-sebut terlibat, sering tersiar kabar Osama mengirimkan video ke stasiun televisi untuk dimuat. Entah itu untuk mencaci maki AS dan kroninya, atau sekedar mengabarkan bahwa dirinya masih hidup, di suatu tempat di gua Afghanistan.

Hal yang sama juga dilakukan oleh teroris dari kelompok-kelompok non Islam. Semuanya mengunakan media massa untuk menyampaikan pesannya. Muncul pemikiran, apakah media ‘berpartisipasi’ untuk membuat teroris tetap eksis dan ‘sukses’ menebar terornya? Tak heran bila kemudian, ada pemikiran lain untuk membatasi berita terorisme.

Dalam sebuah diskusi dengan editor media berbahasa Inggris terbitan Jakarta terungkap, kasus Amrosi dkk, yang divonis menjadi pelaku Bom Bali I, telah memunculkan image ‘berbeda’. Media yang terus mempublikasikan kisah Amrozi dkk sebelum dieksekusi, telah menggeser Amrozi dari ‘bad guy’, menjadi ‘hero’. Benarkah efek media bisa sedahsyat itu?

Membantu Teroris

Apa pun itu, relasi kasus terorisme dengan media, telah memasuki babak baru, dengan kasus ditangkapnya Imam Global TV. Bisakah Imam dijerat oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme? Bila apa yang dituduhkan oleh Polisi pada Imam, sebagai corong aksi terorisme itu benar, maka UU itu telak akan dikenakan kepada Imam. Coba pelajari pasal-demi pasal di UU yang ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri itu.

Utamanya Pasal 13. Tertulis, “Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan (ayat c) menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas tahun. Diteruskan oleh padal 14 dan 15 yang memberikan ancaman penjara seumur hidup atau hukuman mati.

Dan bila polisi sudah menetapkan seseorang terlibat kasus terorisme, sepertinya sudah melalui pertimbangan yang (berat mengatakannya), matang. Pasal 25 UU ini menggariskan, untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama enam bulan. Dengan menggunakan bukti bukti permulaan yang ‘cukup’. Seperti halnya laporan intelijen.

Minimal, dalam penetapan Imam sebagai tersangka terorisme, ada bukti berupa ucapan atau pengakuan. Terlebih bukti lain yang tersimpan secara elektronik, seperti disebutkan pada pasal 27. Karenanya, Imam langsung ditahan paling lama 7 x 24 jam. Itulah mengapa, ketika pihak Redaksi Global TV ingin bertemu untuk memastikan, polisi berhak menolak keinginan itu.

Masih Ada Rehabilitasi

Bila Imam bersalah, maka hasil penyidikan akan diteruskan ke pengadilan. Pengadilanlah yang akan menilai kembali posisi Imam dengan tuduhan polisi dan jaksa. Di poin ini, Imam, bila memang tidak bersalah, bisa berjuang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Mari berasumsi, Imam tidak terlibat terorisme, maka Bab VI UU ini bisa menjadi solusi. Yakni tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang diatur di pasal 37.

“Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan,” demikian tertulis di pasal 37.| Iman D. Nugroho

2 komentar:

  1. repot......di satu sisi media harus memberitakan hal ttg terorisme. tp setelah diliput dikira membantu teroris!!! mn peran undang-undang pers disini???

    BalasHapus
  2. Sepertinya UU Pers tidak lantas membuat wartawan kebal hukum. Bahkan, jelas ditegaskan, meliput bukan berarti terlibat di dalamnya. Salam.

    BalasHapus