Youtube Pilihan Iddaily: Sejarah Laut Mati

16 April 2011

Kehidupan keras buruh nelayan Indonesia di laut Atlantik

Mereka hanya tidur dua sampai empat jam perhari. Bekerja sampai kantuk datang, tak jarang menarik pancing dengan mata tertutup. "Saat kantuk itulah, sering kecelakaan terjadi. Mulai jari putus, perut robek oleh pancing atau tercebur ke laut dan hilang," kata Endang, buruh nelayan.


Ruang tunggu di Bandara Schiphol, Belanda itu sedikit 'aneh'. Di tempat duduk bagian tengah, terdapat beberapa pemuda yang kelihatan berbeda dengan penumpang lain.

Wajah mereka legam terbakar sinar matahari. Begitu juga dengan rambutnya yang panjang terurai. Pandangan mereka tajam, meski lebih banyak menunduk dan irit bicara.

"Kami baru datang dari Caracas, Trinidad Tobago, kami nelayan," kata Endang, salah satu dari mereka memperkenalkan diri. Endang dan beberapa orang lain yang juga nelayan itu akan terbang ke Jakarta menggunakan pesawat KLM Airlines.

"Kami akan pulang, kami rindu keluarga yang sudah kami tinggal kurang lebih dua tahun lamanya," katanya dalam bahasa Jawa berdialek Tegal, Jawa Tengah.

Bagi sebagian orang, dua tahun tidak bertemu keluarga, memang bukan waktu yang panjang. Tapi bagi buruh nelayan ini, dua tahun adalah waktu yang panjang. Apalagi, bila waktu itu dilewatkan di tengah lautan. Yup! Di tengah laut!

Mereka adalah buruh-buruh yang bekerja di kapal pencari ikan milik orang asing. Biasanya, milik warga negara Taiwan.

Endang misalnya, berangkat dua tahun lalu dari sebuah pelabuhan di Jawa Tengah. Tidak adanya pekerjaan dan iming-iming pendapatan bermata uang dollar, menjadi pemicu kepergian Endang, dan pemuda lain berusia 20-tahunan untuk menjadi buruh nelayan.

Mereka pergi ke laut lepas. Dan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar di atas geladak kapal.

Ciki-ciki


Melempar umpan ke laut, melempar kail dan menariknya. Lalu, mengumpulkan ikan-ikan yang tersangkut kail ke dalam sebuah tempat di lambung kapal. Berkala, kapal pengepul ikan akan datang untuk mengambil ikan, dan mendarat di laut. Kapal 'induk', dengan nelayan di atasnya, tetap berada di laut.

Kegiatan itu dilakukan setiap hari, siang dan malam, sampai tubuh tak lagi sanggup melakukannya. Apalagi bila lagi panen. Banyak ikan yang tersangkut oleh kail. Sang kapten pun terus meminta mereka untuk bekerja.

"Kalau kaptennya baik, kita diberi waktu istirahat yang cukup, kalau tidak, kita terus bekerja sambil kantuk menyerang," kenang Endang.

Di atas kapal, katanya, peran kapten (yang juga majikan) sangatlah penting. Harus dituruti, karena gaji, sepenuhnya berada 'di tangan'nya.

Perjuangan sepanjang dua tahun itu dilakukan untuk gaji sejumlah USD 250/bulan. Di potong sana-sini, hingga tersisa USD 180/bulan, untuk dikirim ke keluarga. Jumlah yang kecil bila dibandingkan buruh nelayan dari negara lain.

"Dari China atau Filipina, bisa sampai USD350-600," jelasnya. Namun, karena sudah kontrak, pekerjaan harus dilakukan. Apakah ada pilihan lain ketika berada di tengah laut?

Hiburan satu-satuya datang ketika kapal memutuskan untuk mendarat, di pelabuhan terdekat. Bila di sebuah pelabuhan di Afrika, Haiti, Bahama atau Portugal. Dan itu pun bukan hal yang mudah.

Karena untuk keluar dari wilayah pelabuhan perlu 'pass' khusus. Jelas mereka tidak memilikinya. Akhirnya, menyogok keamanan pelabuhan menjadi pilihan.

"Kami butuh ciki-ciki (sebutan untuk ke bar atau main perempuan," kata Yanto, seorang pelaut lain. Laki-laki asli Jawa Barat itu menceritakan, pekerja seks di beberapa negara menyenangi pelaut Indonesia yang terkenal ramah dan tidak aneh-aneh.

Namun, tidak berarti persoalan sudah menjauh. Tak jarang mereka terlibat keributan dengan buruh nelayan lain dari negara lain.

Kalau sudah ribut, tak jarang sampai berdarah-darah, atau bahkan tewas. "Kami sering bertengkar dengan 'curut',"katanya menyebut nelayan dari negara asing.

"Setelah semua 'hiburan' itu terlaksana, kembali lagi ke laut untuk bekerja," jelasnya. Untuk bekerja sampai kantuk menyerang dengan risiko yang sama: celaka saat kerja, atau pulang membawa uang untuk keluarga. | Iman D. Nugroho

2 comments:

  1. Setelah baca cerita ini, baru tau ada buruh kapal seperti itu. Jadi ingat cerita anak2 jermal. Lalu orang indonesia yg memperoleh penghasilan lbh kecil dr negara lain

    ReplyDelete
  2. Anonymous7:38 am

    lebih besar penghasilan nelayan di indonesia di daerah Banjarmasin

    ReplyDelete