Youtube Pilihan Iddaily: Sejarah Laut Mati

17 April 2011

Ironi sastra, ironi kita semua

Orasi Satu Tujuan yang digelar Perpustakaan Dbuku Bibliopolis, Royal Plaza, Surabaya sampai pada putaran ke-4. Untuk bulan April, dengan mengambil tonggak Hari Sastra Nasional, 28 April, kami mengundang sastrawan muda Slamet Wahedi untuk menyuarakan gagasannya.

Slamet mengingatkan sebuah pengalaman tragis. Pada sekitar tahun 2000-an saat dirinya berusia 16 tahun, diperkenalkan pada sebuah realitas sastra yang bukan hanya sekedar membaca, menulis, atau penikmat, atau sekedar membaca sebuah puisi, cerpen. Tapi lebih dari itu. Sastra juga membutuhkan sebuah mental. Sastra bukan hanya sekedar menulis, bertampang ria, bukan sekedar berbicara di depan forum, sastra juga harus memiliki sebuah dedikasi yang kuat.

Di dalam kehidupan sekolah, sastra tidak serta merta diterima sebagai sebuah kehormatan tetapi mesti diuji. Banyak anak-anak yang suka sastra tapi dia diolok-olok dulu. Mereka terus diasingkan, mereka terus dicaci maki. Dan semua itu hanyalah untuk menempa mental mereka.

Pertamakali Slamet mengenal sastra, sungguh takjub dan bangga Indonesia memiliki Goenawan Mohamad, Taufik Ismail, Ayu Utami dll. Juga saat membaca Saman, Catatan Pinggir, sungguh terkesan. Bahkan membayangkan ingin menjadi seperti para sastrawan. Sering membaca sajak-sajak Chairil Anwar, dan Goenawan yang sungguh indah.

Tapi sayang, pengalaman yang mengesankan, pengalaman yang memukau itu tiba-tiba menjadi berantakan ketika memasuki dunia kuliah. Ketika menghadapi betapa mirisnya dunia sastra. Melihat ternyata dunia sastra penuh intrik dan politik. Dunia sastra penuh siasat yang licik dan penuh mitos. Orang yang tulisannya tidak dimuat di Kompas, Tempo itu bukan penulis. Sungguh Ironi. Orang yang tidak diakui oleh Utan Kayu bukan penulis. Sungguh ironi. Dan kenyataan ini yang membuat tercekam pada dunia sastra.

“Saya membaca dunai sastra kita begitu dipenuhi oleh keteganggan. Dunia sastra kita dipenuhi oleh sebuah dusta. Kejujuran sudah tidak bisa dipertahankan,” katanya. Ini paradoks. Paradoks kesusastraan. Estetika yang seharusnya bisa menyuarakan kemanusiaan ternyata sudah habis oleh intrik politik. Estetika yang seharusnya mampu memperjuangkan kebenaran dan keadilan ternyata habis oleh proyek-proyek yang mengatasnamakan sastra.

Ya, ini memang ironi. Pada kesempatan ini, saya ingin mengajak kepada saudara-saudara seangkatan yang lahir pada periode 80-an, yang naik tanpa dendam. Ingin mengajak untuk kembali merebut kedaulatan sastra, kemerdekaan sastra. Kemerdekaan seperti apa? Sastra seharusnya mampu berpihak pada rakyat, seharusnya sastra memahami rakyat dan mampu memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. | Diana AV Sasa

No comments:

Post a Comment