Youtube Pilihan Iddaily: Sejarah Laut Mati

15 April 2011

Segera investigasi penggunaan senjata api di Papua!

Pihak berwenang Indonesia harus menjamin pelaksanaan investigasi yang cepat, imparsial dan efektif atas penggunaan senjata api yang tidak perlu dan berlebihan oleh aparat keamanan yang mengakibatkan kematian setidaknya dua warga Papua dan mencederai tiga lainnya.


Menurut sumber yang dapat dipercayai, pada pagi hari 13 April 2011 petugas polisi dari Polsek Kecamatan Moanemani merazia operasi perjudian di kompleks Pasar Moanemani di Kabupaten Dogiyai, Provinsi Papua, menyita uang milik Dominokus Auwe, usia 27.

Kemudian di pagi yang sama itu, ketika Dominokus Auwe mendatangi kantor Polsek Moanemani untuk meminta uangnya, polisi dilaporkan menembaknya di dada dan kepala, membunuhnya di depan kantor. Polisi terus menembak dan mencederai dua orang lainnya yang mendampingi Dominokus Auwe. Albertus Pigai, usia 25, tertembak di rusuknya, sementara Vince Yobe, usia 23, tertembak di dada.

Seorang lagi yang berada di sekitar lokasi, Matias Iyai, berusia 27, juga tertembak di betis, mata kaki, dan telapaknya.

Bereaksi atas penembakan itu, pada pukul 14.00 itu, warga Papua lokal di area tersebut membakar kantor Polsek Moanemani dan barak polisi. Mereka juga menyerang dan mencederai sejumlah aparat polisi.

Menanggapinya, unit Brigade mobil (Brimob) polisi dan militer di mobilisasi dari Nabire dan distrik-distrik lainnya ke Kecamatan Moanemani untuk melakukan operasi gabungan di wilayah itu dari 13 hingga 15 April 2011. Alwisius Waine, usia 25, dilaporkan tertembak semasa operasi ini.

Badannya ditemukan pada jalan dekat Desa Ikebo, Kecamatan Moanemani pada pagi hari 14 April 2011, dengan luka tembak di dadanya. Semasa operasi ini setidaknya lima rumah terbakar, dilaporkan oleh petugas keamanan. Banyak penduduk desa yang melarikan diri ke dalam hutan.

Amnesty International mengakui kesulitan yang dihadapi petugas keamanan di Indonesia, terutama ketika berkonfrontasi dengan kekerasan. Namun, wewenang untuk menggunakan kekuatan dibatasi oleh hukum dan standar Hak Asasi Manusia, yang dasarnya adalah hak untuk hidup. Hak ini terjamin dalam pasal 4 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang Indonesia merupakan anggotanya, serta juga di Konstitusi Indonesia.

Prinsip-prinsip dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata api menyatakan bahwa petugas penegak hukum harus menerapkan cara-cara tanpa kekerasan sebelum beralih ke penggunaan kekuatan dan senjata api. Penggunaan secara sengaja atas senjata api yang dapat mematikan hanya dapat digunakan jika benar-benar tidak dapat dihindari untuk melindungi jiwa.

Lebih lanjut, Peraturan Kapolri tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan menekankan perlunya menghormati prinsip legalitas, kebutuhan dan proporsionalitas ketika menggunakan kekuatan, dan menyediakan kerangka kerja bagi akuntabilitas polisi ketika menggunakan kekuatan.

Jika hasil investigasi menemukan adanya penggunaan senjata api yang tidak diperlukan atau berlebihan oleh petugas keamanan, maka yang bertanggungjawab, termasuk pemegang tanggungjawab komando, harus dituntut dalam pengadilan yang memenuhi standar keadilan, serta para korban disediakan reparasi.

Pada Juni 2009 Amnesty International mempublikasikan laporan berjudul, Urusan yang Belum Selesai: Akuntabilitas Polisi di Indonesia (Indeks: ASA 21/013/2009). Laporan ini menekankan pada kelemahan yang kini ada dalam sistem akuntabilitas internal dan eksternal polisi, yang berkontribusi pada keimpunitasan polisi Indonesia.

Pada November 2009, Amnesty International dan organisasi non-pemerintah Indonesia, KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) mengirim surat ke Kepala Kepolisian Daerah Papua mengenai pengabaian atas kasus penyalahgunaan wewenang di Kabupaten Nabire, termasuk penggunaan kekuatan secara berlebihan, penyiksaan dan perlakuan buruk lainya, serta pembunuhan di luar hukum (Indeks: ASA 21/024/2009). Sepengetahuan Amnesty International, tidak ada investigasi atas kasus-kasus yang dicantumkan dalam surat tersebut.

Insiden ini sekali lagi mengangkat perlunya pembentukan mekanisme pengawasan polisi eksternal yang beroperasi independen dari pemerintah, pengaruh politik dan polisi itu sendiri. Mandatnya harus mencakup wewenang menerima keluhan; menjalankan investigasi yang efektif; dan mengirim kasusnya ke penuntut umum atau badan disipliner internal kepolisian.

Badan yang sudah ada seperti Komisi Kepolisian Nasional dan Komisi Hak Asasi Manusia secara garis besar tidak memadai untuk mengatasi secara efektif keluhan-keluhan publik mengenai penyalahgunaan wewenang polisi, dan memberikan keadilan dan reparasi bagi korban. | Press Release

No comments:

Post a Comment